Masa Depan Iklim Dan Cuaca

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Masa Depan Iklim Dan Cuaca as PDF for free.

More details

  • Words: 2,349
  • Pages: 5
MASA DEPAN IKLIM DAN CUACA KITA Oleh : Siswanto1 Kalau kita sering membaca Koran, tentu saja istilah pemanasan global dan perubahan iklim bukanlah sesuatu yang tampak asing lagi. Sebagai anak bangsa yang tanggap kondisi lingkungan, sudah sepantasnya kita memiliki perhatian dan pemahaman lebih baik terhadap masalah dunia yang paling popular itu sekarang ini semenjak digelar COP 13 UNFCCC di Denpasar di penghujung 2007 yang dikuti berikutnya COP 14 di Poznan Polandia Juli 2008 lalu. Tulisan ini tidak bermaksud menggurui namun lebih bertujuan menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap hal-hal yang erat kaitannya dengan lingkungan dan kehidupan kita, misalnya masalah global warming dan climate change yang sedang naik daun itu.

SISTEM IKLIM BUMI KITA : FAKTOR KUNCI  Iklim berasal dari bahasa Yunani : klima, diartikan sebagai kecenderungan (inclination). Orang sering bilang sebagai rata-rata dari cuaca pada kurun waktu tertentu. WMO (World Meteorological Organization) mendefinisikan Iklim sebagai total seluruh elemen atmosfer seperti penyinaran matahari (lama dan intensitasnya), kelembaban, awan, hujan dan angin (arah dan kecepatan) dalam jangka waktu 30 tahun. Idiom baru dalam climate sciences : Climate is what you expect, Weather is what you get.  Thus, menjelaskan sistim iklim bumi ke depan, apalagi memprediksikannya bukanlah pekerjaan yang gampang. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut umumnya dikategorikan ke dalam tiga grup. Pertama, faktor utama meliputi semua unsur pembawa secara langsung dan tidak langsung sistim iklim itu sendiri, misalnya dinamika glacier, lautan dan pola-pola alami iklim permukaan bumi (siklus air, sirkulasi atmosfer, es dan salju, uap air dan awan). Faktor kedua adalah gaya-gaya yang berpengaruh selain faktor utama tersebut misalnya pemanasan global yang disebabkan emisi gas rumah kaca, pergeseran lempeng tektonik, dan radiasi matahari, termasuk pula aktifitas vulkanik dan perubahan orbit bumi. Faktor ketiga adalah aktifitas manusia misalnya penggunaan dan pembakaran bahan bakar fossil, aerosol, industri semen dan perubahan tata guna lahan. Sebagaimana kita tahu, unsur iklim seperti temperatur dan curah hujan, sangat bergantung kepada keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Secara rata-ratanya, jumlah radiasi matahari yang diserap bumi akan sama dengan jumlah radiasi yang dilepaskan ke atmosfer, sehingga radiasi yang dilepas ini menyebabkan atmosfer bumi kita menghangat. Radiasi matahari dan atmosfer merupakan determinan utama dari sistim iklim kita. Menurut IPCC, energi radiasi matahari yang diterima atmosfer terluar bumi mencapai 1.370 watt per meter persegi per detik, 30%-nya diradiasikan kembali ke angkasa luar karena pemantulan dari samudera awan dan partikel ‘aerosol’ di atmosfer. Eksistensi udara, salju dan bukit pasir turut mengembalikan sepertiga dari energi radiasi matahari tersebut. Sementara jumlah energi yang diterus-serapkan ke permukaan bumi mencapai 240 watt permeter persegi. Untuk menjaga keseimbangan, permukaan bumi memantul-balikkan panas tersebut dalam bentuk gelombang radiasi. Sehingga seluruh benda dipermukaan bumi pada dasarnya mengeluarkan emisi gelombang panjang secara berkesinambungan. Pancaran radiasi balik gelombang panjang ini di refleksikan kembali oleh partikel-partikel atmosferik berupa gas-gas alami yang lazim disebut gas rumah kaca (GRK). GRK terdiri

                                                             1

 Staff Bidang Informasi Meteorologi‐BMKG Jakarta, pernah bekerja pada Stasiun Observasi Klimatologi Negara‐Bali  dan saat ini mendapat grant Pemerintah Swiss untuk melanjutkan study pada Graduate School of Climate Sciences,  University of Bern, Switzerland.  Penulis bisa dihubungi pada alamat e‐mail : [email protected],  http://unibe.academia.edu/SiswantoSISWANTO   

dari karbon dioksida CO2, dinitro oksida N2O, metana CH4,sulfur hexaflorida SF6 dan perfluorokarbon PFCs. Keberadaan gas-gas alami inilah yang menjadikan permukaan bumi hangat dan cocok bagi kehidupan. Dari sinilah kemudian para ilmuwan, dengan memperhitungkan semua komponen, membangun model-model yang unik dari sistim iklim bumi kita dengan berbagai area spesifiknya.

Gbr. 1 Skema konseptual kesetimbangan energi dalam sistim iklim bumi (diadaptasi dari IPCC 2007)

BUMI MEMANAS DAN IKLIM PUN BERUBAH  Keseimbangan alam sistim iklim sangat dipengaruhi oleh proses-proses yang berlangsung di alam dan aktifitas manusia. Salah satunya, sebagai bentuk proses alam, adalah aerosol di atmosfer. Efek dari aerosol sangat nyata misalnya pada saat terjadi erupsi gunung berapi yang menyemburkan debu-debu (volcanic ash), batu serta gas ke ruang atmosfer. Normalnya, hujanlah yang akan menghapus debu-debu dan partikel kecil lainnya di atmosfer, meski sebagian besar aerosol mengapung jauh di atas awan. Partikel aerosol bisa bertahan selama 2 – 3 tahun di atmosfer yang kemudian secara bertahap jatuh kembali ke permukaan bumi dengan mekanisme hujan. Para ahli menyatakan, erupsi gunung berapi mampu menurunkan suhu permukaan bumi rata-rata 0.5oC perbulannya. Aktifitas manusia, misalnya pembakaran energi fosil dan sampah, bisa menciptakan polusi aerosol di atmosfer, bahkan lebih besar daripada proses alami di atas. Hasilnya adalah gas rumah kaca menjadi lebih tebal, dan terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai pemanasan global. Alasan ilmiah paling utama dari peningkatan konsentrasi GRK adalah meningkatnya jumlah CO2 di atmosfer kita akibat pembakaran bahan bakar fosil dan industry semen sebagai aktifitas manusia selain natural gas di alam. Masih menurut IPCC, hampir 400.000 tahun kandungan CO di atmosfer cenderung stabil, lalu semenjak Revolusi Industri 1850-an, jumlahnya meningkat dari 280 ppm hingga 380 ppm sekarang ini. Jika hal ini terus berlangsung, diprediksikan pada abad ke 21, jumlah gas karbon akan mencapai 560 ppm, bumi kita akan mati lemas oleh cekikan gas CO2 dan menghadiahi bumi dengan temperatur yang tinggi hingga 800.000 tahun!!! Kenaikan CO2 diikuti pula kenaikan gas metana yang akan turut meningkatkan pemanasan global 1.4 – 5.6oC pada tahun 1990 – 2100. Jadi pada 50 tahun terakhir, sebagaimana dilaporkan IPCC, telah terjadi kenaikan 2 kali lipat dibandingkan 100 tahun yang lalu. Meski kenaikan temperatur pada kurun masa

sekarang masih terlihat remeh, lapisan laut es abadi di arctic telah menyusut dengan laju 2.7% perdekade dan hal ini menyebabkan es di pegunungan Greenland meleleh lebih cepat semenjak 1992 – 2005. Masih ditambah lagi oleh deforestasi dan perubahan tata guna lahan, dua faktor yang signifikan pada perubahan iklim. Pembabatan hutan yang menggila menyebabkan hilangnya hutan yang mampu menyerap gas karbon dan merefleksikan sinar matahari, tata guna lahan yang berubah lebih buruk akan mengurangi kapasitas tanah pada fungsi absorbsi air. Perubahan iklim akibat pemanasan global akan membuat manusia di belahan bumi selatan tertikam sinar ultraviolet lebih banyak dan dosis yang lebih tinggi. Kisaran temperatur dari pusat kutub menuju ekuator adalah -40oC - +40oC. daerah dengan temperatur yang tinggi memiliki limpahan uap air dan kelembaban yang lebih tinggi. Pada daerah +40oC, kandungan uap airnya 470 kali lipat daripada daerah dengan 40oC. Sedangkan kelembaban dan panas yang tinggi akan memicu banyak persoalan bagi kehidupan manusia, meningkatkan sirkulasi laut dan atmosfir yang akan merubah secara cepat pola-pola iklim, serta meluasnya daerah tropis (muncul daerah tropis baru) dan akibat peningkatan sirkulasi menandai akan kuatnya pola frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim yang bakal terjadi (gelombang panas, hujan lebat, storm, dll). Jika keseimbangan alam terganggu maka efeknya pun begitu nyata. Climate is what you affect, weather is what affects you.

  MASA DEPAN IKLIM DAN CUACA (DARI ILMUWAN HINGGA FORECASTER, NYAMUK HINGGA PESAWAT)

Gbr. 2 Simulasi perubahan temperatur dan hujan (proyeksi untuk bulan Februari tahun 2100‐2000) menggunakan  sebuah model iklim regional (Siswanto, 2008)  Seringkali kita sulit menjawab pertanyaan : bagaimana para ahli klimatologi bisa memprediksi iklim 100 tahun yang akan datang sementara mereka (termasuk para forecaster) kesulitan dan sering salah memprakirakan cuaca beberapa hari/minggu dari sekarang? Ada juga anggapan yang menolak global warming karena pendinginan dan pemanasan selalu terjadi dalam sejarah bumi atau memang akan selalu terjadi panas dan dingin yang ekstrim dalam sejarah iklim bumi dengan frekuensi dan intensitas yang berubah sebagaimana orang menganggapnya sebagai perubahan iklim sekarang ini. Memproyeksikan iklim, kadangkala bisa dianalogikan seperti menebak kehidupan keberuntungan seseorang yang akan terjadi di masa datang, atau misalnya kita bisa mengatakan usia manusia di

negara-negara industri tak lebih dari 75 tahun, namun dalam ilmu iklim dan cuaca ada hal-hal yang bisa terukur secara ilmiah dan bisa diprediksi karenanya, seperti sebuah prosentase pengharapan dalam hidup maka demikian halnya untuk rata-rata iklim. Sementara memprediksi cuaca hingga beberapa minggu ke depan sangat dipengaruhi oleh sistim chaotic dari alam sehingga membuatnya unpredictable. Meteorologist (termasuk forecaster) telah melakukan banyak upaya dengan mengamati, memahami dan lalu memprediksikan perubahan dari hari ke hari dari sistim cuaca. Dengan berdasar pada konsep fisika tentang bagaimana atmosfer bersirkulasi, konsep panas/dingin, hujan dan penguapan, angin dan perawanan, biasanya seorang forecaster mampu menebak kondisi cuaca hingga beberapa hari ke depan saja. Kemampuan peramalan (predictability) di daerah tropis umumnya tidak lebih dari 3 hari dengan tingkat akurasi kurang dari 70 %. Model-model atmosfer yang dibangun pun hanya memiliki performansi tidak lebih 30% untuk daerah tropis. Keterbatasan faktor prediktabilitas ini sangat dipengaruhi oleh dinamika atmosfer, dimana perbedaan tipis dari keadaan awal (initial condition) yang diberikan dapat menghasilkan perbedaan besar pada hasil akhir prediksi. Ini yang kemudian terkenal dengan ‘butterfly effect’ dari teori chaos Edward Lorenz (1961) dimana perubahan kecil dari variable atmosfer tertentu bisa berdampak nyata secara acak pada sistim yang komplek. Terkait dengan perubahan iklim, teori chaos tidak berpengaruh terhadap total jangka panjang dari cuaca. Karena rata-rata cuaca (misal temperatur dan hujan) dalam kurun waktu yang panjang (disebut iklim) tidak akan berubah oleh munculnya sistim badai yang berlangsung beberapa hari. Sehingga membuat sebuah proyeksi perubahan pada iklim 50 tahun yang akan datang akibat perubahan variabel konsentrasi GRK misalnya, sangat berbeda dan lebih mudah problem solving-nya daripada menebak pola cuaca beberapa minggu dari sekarang. Mengintip dari kepastian adanya pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang dan akan terus berlangsung, tentu saja dengan memahami dampak yang ditimbulkannya akan lebih mudah bagi kita untuk beradaptasi dan merencanakan jalan mitigasinya. Bila kita melihat pada gambar 2. Simulasi proyeksi yang dilakukan penulis untuk masa depan iklim Indonesia, yang mana menurut scenario emisi SRES A1B secara umum diprediksikan kenaikan temperatur sebesar 1.8 oC untuk regional Indonesia, tampak secara umum pada simulasi bulan Februari tahun 2100 terjadi kenaikan suhu 0.5 oC hingga 4 oC yang jamak di seluruh wilayah Indonesia kecuali daerah pegunungannya. Demikian pula untuk presipitasi, terdapat beberapa daerah akan mengalami defisit curah hujan dan sebagian besarnya mengalami peningkatan curah hujan yang ekstrim. Hal ini menandakan bencana banjir untuk beberapa daerah serta kekeringan untuk daerah lainnya akan menjadi lebih sering bertamu, menyebabkan kelangkaan air bersih, kerusakan biota dan lingkungan, mewabahnya penyakit diarhea, asma, dll serta masalah sosial lainnya yang rawan muncul. Bahkan akibat kenaikan suhu yang signifikan turut mempengaruhi siklus hidup nyamuk. Penelitian membuktikan bahwa pada suhu yang tinggi, akan memendekkan siklus hidup nyamuk malaria (anopheles) dan demam berdarah (aedes aegypti), merubah pola hidup nyamuk yang biasa muncul pada musim transisi dimana udara kelembabannya tinggi, menjadi hidup di sepanjang tahun karena peningkatan suhu sebagaimana di atas menjadikan kelembaban lebih tinggi di Indonesia dan berlangsung sepanjang tahun, sehingga nyamuk pembawa virus bisa menyerang lebih agressif kapan saja tidak mengenal musim. Selain itu perubahan iklim akan semakin menambah perbendaharan variant jenis penyakit. Masalah lainnya yang akan menjadi serius bagi Indonesia akibat kenaikan temperatur permukaan adalah tingkat kerawanan yang tinggi dari kebakaran hutan dan lahan, yang bisa berkembang menjadi lebih politis akibat transboundary haze trajectory, juga kemungkinan penambahan lubang ozon pada stratosfer, kemungkinan munculnya gelombang panas, tenggelamnya daerah pesisir akibat kenaikan tinggi muka laut, berubahnya pola angin, tingginya gelombang laut, munculnya badai tropis di wilayah lebih dekat Indonesia dan lain-lainnya. Belum lagi dampak terhadap transportasi, jadwal pesawat dan kapal laut yang tidak menentu karena factor cuaca, dampak ekonomi dari keterlambatan pengiriman barang hingga ketersediaan stock bahan pangan pada suatu daerah.

Saya yakin, bisa jadi ilmu meteorologi dan klimatologi pun akan turut berevolusi dan seorang forecaster akan menjadi lebih pusing setiap hari karenanya. Prakiraan musim pun akan lebih sering meleset awalakhirnya. So, Seasonal prediction is what we do, weather unpredictable is what you get.

THE NUSA DUA MANDATE HINGGA CERITA SELEMBAR DAUN  Penyelenggaraan “the 2007 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)”, 3 – 14 Desember tahun lalu di Nusa Dua, Bali telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dalam meratifikasi Protocol Kyoto yang mentargetkan penurunan emisi GRK 5.2% pada tahun 2012, memaksa Amerika dan Australia tidak saja turut ‘mendengarkan’ dalam konferensi tersebut, lebih dari itu menuntut mereka melepas arogansi kebijakan ekonomi dan lingkungannya, menyepakati skema Clean Development Mechanism (CDM), dan apa yang disebut deklarasi Bali atau mandate Nusa Dua. Secara de jure, langkah-langkah sebagai bentuk penyelamatan bumi dari kehancuran yang terlalu cepat telah di’arrange’ oleh pertemuan itu. Dan kita sedang menunggu implementasi nyata dari semua pihak sehingga CDM tidak menjadi Completely Difficult Mechanism. Lebih dari wise policies semua itu, masalah perubahan iklim sejatinya bukan hanya masalah besar yang melibatkan negara dan dunia, masalah ini paling mendasar juga menyangkut mental dan attitude, cara hidup kita sebagai manusia salah satu penghuni bumi,..kita sebagai individu yang sering abai terhadap lingkungan, membuang sampah seenak tangan melempar, lebih suka menggantikan daerah hijau untuk dibangun mall atas nama pertumbuhan ekonomi, boros energi dan bahan-bahan ATK dan lebih suka membiarkan rumah tanpa sehelai daun yang hijau apalagi taman yang rindang. Maka di sini kita tidak mengilustrasikan bagaiman hutan hujan tropis begitu penting bagi keberlangsungan kehidupan planet ini, mari kita tengok bagian terkecilnya yaitu sehelai daun. Tahukah kita, sehelai daun yang diciptakan Tuhan memiliki mukjizat yang jarang kita pikirkan. Sehelai daun ternyata bisa mengontrol aliran energi pada biosfer bumi. Ia memberikan kesempatan berbagai kehidupan untuk bernafas dan berkembang biak, melanjutkan eksistensi spesiesnya, menjadi kunci bagi kalori dan rantai makanan. Kalori berpindah dari rantai makanan satu ke rantai makanan lainnya bermula dari selembar daun yang tipis – namun secara mikrobiologi bisa merupakan organ, jaringan, individu sel tunggal berklorofil. Tidak satupun dari kehidupan di dunia yang mampu mengolah sinar matahari menjadi energi dan mengirimkannya ke dalam sistim rantai makanan, kecuali daun. Ada mekanisme keajaiban Allah yang menakjubkan pada saat seberkas cahaya matahari menimpa permukaan daun. Dalam seper sekian juta detik, energi foton matahari pada luasan tertentu bagian daun diubah bentuknya menjadi energi kimia berbentuk molekul-molekul, dalam proses yang cepat penyusunan molekul air melepaskan O2 ke udara dan memproduksi atom hydrogen bebas untuk reaksi selanjutnya. Pada saat yang sama, stomata membuka-menutup seperti pintu sebuah mall, memastikan CO2 dari udara luar mengalir masuk dalam volume yang tepat. Di dalam sel daun, katalis dan hydrogen secara bebas mengikat CO2, sekali lagi berlangsung reaksi kimia, tapi kali ini tanpa sinar matahari. Selanjutnya dalam waktu teramat singkat, terjadi reaksi jenis kedua yaitu dark photosinthesis yang menghasilkan molekul organic tingkat pertama, C-H-O, dengan 3 – 4 atom C yang menjadi dasar dari substansi organic yang lebih stabil : glukosa atau lemak. Itulah tugas mulia dari daun, pohon, hingga hutan yang menyediakan makanan berlimpah dalam rantai makanan dari terbit matahari hingga tenggelamnya. Namun karena dosa-dosa manusia yang mengingkari nikmat Tuhan-Nya menjadikan tugas selembar daun menjadi amat berat bebannya akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca. Akibat ulah kita. 

Related Documents