Manuskrip.docx

  • Uploaded by: Ridho Pangestu
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manuskrip.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,053
  • Pages: 11
PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP PERILAKU GAMBARAN PELAKSANAAN NATIONAL EARLY WARNING SCORING (NEWS) PADA PERAWAT DI RUANG INAP TULIP DAN MAWAR RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG TAHUN 2018 Eka Rosdiansyah1, Eka Ernawati2 1.

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan

2.

Dosen Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan

ABSTRAK Salah satu strategi untuk deteksi dini kegawatan pasien sakit berat dengan periode penyakit kritis adalah dengan penerapan National Early Warning Scoring (NEWS). NEWS adalah sebuah sistem peringatan dini yang menggunakan penanda berupa skor untuk menilai pemburukan kondisi pasien. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran pelaksanaan NEWS oleh perawat. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan sampel penelitian perawat di Ruang Inap Tulip dan Mawar RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang sebanyak 40 orang diambil menggunakan teknik total sampling. Hasil analisis univariat menunjukan hampir seluruh perawat berumur < 40 tahun (95%), sebagian besar perawat berjenis kelamin perempuan (60%), hampir sebagian besar perawat memiliki lama kerja ≥ 5 tahun (57,5%), dan sebagian besar perawat melaksanakan NEWS dengan baik (77,5%). Pihak rumah sakit perlu mengadakan briefing atau pengarahan secara kontinyu tentang teori konsep NEWS sehingga dapat menyegarkan kembali ingatan atau pengetahuan tentang teori atau konsep NEWS tersebut.

Kata Kunci : perawat, national early warning scoring

PENDAHULUAN Tingginya angka kematian di RS merupakan pertanda akan kemungkinan adanya masalah mutu pelayanan yang memerlukan tindakan perbaikan, hal ini ditunjukan antara lain dalam penelitian Hayward & Hofer (2001) yang mengungkapkan 22,7% kematian di RS dapat dihindarkan dengan perawatan optimal, dengan pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan yang disusun sendiri, yang dilaksanakan, yang dimonitoring dan dievaluasi pelaksanaannya.

Angka kematian merupakan indikator hasil kinerja dari sebuah proses pelayanan kesehatan, di rumah sakit ada kematian di bawah 48 jam dan ada kematian di atas 48 jam, kematian yang terjadi di bawah 48 jam diindikasikan karena faktor tingkat kegawatan yang dialami pasien, artinya kondisi pasien lebih menentukan kematiannya. Sedangkan pada kematian di atas 48 jam, peran proses pelayanan kesehatan dengan berbagai sumber dayanya bisa menjadi salah satu faktornya (Rasmanto, 2011).

Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus gawat darurat antara lain karakter pasien, penempatan staf, ketersediaan stretcher dan petugas kesehatan, waktu kedatangan pasien, pelaksanaan manajemen, strategi pemeriksaan dan penanganan yang dipilih. Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan konsep tentang waktu tanggap penanganan kasus di rumah sakit (Yoel et al dalam We Ode Nur, 2012). Deteksi dini, ketepatan waktu dan kompetensi dalam respon klinis merupakan triad faktor penentu dari Clinical outcomes yang baik pada penyakit akut. Di dunia telah diperkenalkan sistem scoring pendeteksian dini atau peringatan dini untuk mendeteksi adanya perburukan keadaan pasien dengan penerapan Early Warning Scores. EWS telah diterapkan banyak Rumah sakit di Inggris terutama National Health Service, Royal College of Physicians yang telah merekomendasikan National Early Warning Scoring (NEWS) sebagai standarisasi untuk penilaian penyakit akut, dan digunakan pada tim multidsiplin (NHS Report, 2012). Early Warning Scores Systems merupakan sebuah sistem skoring fisiologis yang umumnya digunakan di unit medikal bedah sebelum pasien mengalami kondisi kegawatan. Skoring EWSS disertai dengan algoritme tindakan berdasarkan hasil skoring dari pengkajian pasien. EWSS melengkapi sistem Tim Medik Reaksi Cepat (Rapid Response Team) dalam menangani kondisi kegawatan pada pasien atau biasa kita kenal dengan istilah code blue. Early Warning Score lebih berfokus kepada mendeteksi kegawatan sebelum hal tersebut terjadi. Sehingga diharapkan dengan tatalaksana yang lebih dini, kondisi yang mengancam jiwa dapat tertangani

lebih cepat atau bahkan dapat dihindari, sehingga output yang dihasilkan lebih baik (Duncan & McMullan, 2012). Ruang perawatan cenderung berisi pasien sakit berat dengan periode kritis. Akibat dari masalah ini adalah peningkatan jumlah komplikasi atau efek samping seperti serangan jantung dan tidak diragukan lagi hal ini akan berdampak pada kematian pasien (Georgaka, D; Mparmparousi, M & Vitos, N, 2012). Kejadian henti jantung selama perawatan di rumah sakit di Amerika Serikat diperkirakan 192.000 pasien setiap tahunnya dan survei American Hospital Association memperkirakan 211.000 pasien henti jantung setiap tahunnya. Pada dasarnya penyakit henti jantung di rumah sakit biasanya didahului oleh tanda-tanda yang dapat diamati, yang sering muncul 6 sampai dengan 8 jam sebelum henti jantung tersebut terjadi. Studi menunjukkan banyak pasien memperlihatkan tanda-tanda dan gejala kerusakan medis yang tidak ditangani sebelum serangan jantung terjadi (Duncan & McMullan, 2012). Banyak rumah sakit sekarang menggunakan skor peringatan dini (EWS) untuk mengidentifikasi kebutuhan pemantauan atau frekuensi monitoring, pengobatan dan untuk memanggil bantuan tenaga kesehatan lainnya. Penggunaan sistem ini telah terbukti meningkatkan frekuensi penting untuk memantau secara dini jika kondisi pasien mengalami perburukan (Deakin et al, 2010). Pada tahun 2010, Dewan Resusitasi Eropa menjelaskan pentingnya EWS dengan memasukkan ke dalam pedoman resusitasi dan termasuk ke link pertama dalam rantai kelangsungan hidup (Georgaka, D; Mparmparousi, M & Vitos, N, 2012).

Penelitian terkait program pelaksanaan EWS yang dilakukan Wahyuni, Sidik dan Wahiduddin (2012) di Puskesmas Kabupaten Gowa menunjukkan bahwa pelaksanaan Early Warning Alert and Respon System (EWARS) sangat dipengaruhi oleh komponen input yaitu sumber daya manusia. Petugas EWS harus mendapat pelatihan dan menguasai tentang teknik-teknik pelaksanaan EWS, selain itu komponen output seperti sarana penunjang juga harus tersedia dengan lengkap. Liswati (2015) dalam penelitiannya tentang gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang Early Warning Score (EWS) di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng mendapatkan hasil responden yang berpengetahuan baik sebanyak 23 orang (39,7%) dan responden yang berpengetahuan cukup sebanyak 35 orang (60,3%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang berpengetahuan baik lebih sedikit daripada responden yang berpengetahuan cukup. Rekomendasi dalam penelitian tersebut adalah mengadakan program pelatihan tentang EWS di rumah sakit, dengan pelatihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan perawat tentang EWS, sehingga kegawatan pada pasien dapat diidentifikasi sejak dini dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu keperawatan. Hasil studi pendahuluan didapatkan informasi bahwa RSUD dr. Dradjat Prawiranegara saat ini sedang dalam tahap penerapan sistem deteksi dini (EWS) khususnya pada ruang rawat inap dengan pasien periode kritis, seperti pasien jantung dan pasien penyakit saraf. Hasil wawancara dengan 4 orang perawat di Ruang Tulip tentang Early Warning System (EWS), khususnya tentang National Early Warning Scoring (NEWS) didapatkan data

bahwa sebanyak 2 perawat (50%) belum sepenuhnya memahami tentang NEWS, mereka hanya tahu secara garis besar saja bahwa NEWS adalah deteksi dini perburukan kondisi pada pasien, tapi kurang memahami tentang bagaimana pelaksanaannya dan juga indikatornya apa saja, serta masih bingung dengan respon klinis yang harus dilakukan terhadap pemantauan yang dilakukannya. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Early Warning System (EWS) di ruang rawat inap tulip (ruang perawatan penyakit saraf) dan mawar (ruang perawatan penyakit jantung) sebagai bahan masukan kepada pihak manajemen rumah sakit dalam rangka penerapan sistem EWS tersebut. TUJUAN PENELITIAN Mengidentifikasi pelaksanaan National Early Warning Scoring (NEWS) pada perawat di Ruang Rawat Inap Tulip dan Mawar (RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang tahun 2018. METODELOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan prospektif yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan prediksi nilai NEWS sebagai deteksi dini perburukan pada pasien di Ruang Tulip dan Mawar RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang.. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di Ruang Tulip dan Mawar RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang berjumlah 44 perawat. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling, jadi jumlah sampel adalah 44 responden.

HASIL PENELITIAN

PEMBAHASAN

1. Gambaran Karakteristik Perawat Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik perawat Usia < 40 tahun ≥ 40 Tahun Lama Kerja < 5 tahun ≥ 5 tahun Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total

N 38 2 N 17 23 N 16 24 30

% 95,0 5,0 % 42,5 57,5 % 40,0 60,0 100,0

Berdasarkan Tabel 1 dapat terlihat bahwa 40 perawat di Ruang Mawar dan Tulip RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, hampir seluruhnya atau sebanyak 38 perawat berusia < 40 tahun (95%), hampir sebagian besar atau sebanyak 23 perawat memiliki lama kerja ≥ 5 tahun (57,5%) dan sebagian besar atau sebanyak 24 perawat berjenis kelamin perempuan (60%). 2. Gambaran Pelaksanaan National Early Warning Scoring (NEWS) Tabel 2 Gambaran Pelaksanaan National Early Warning Scoring (NEWS) NEWS Kurang Baik Total

N 9 31 40

(%) 22,5% 77,5% 100,0%

Berdasarkan Tabel 2 dapat terlihat bahwa dari 40 perawat di Ruang Mawar dan Tulip RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, sebagian besar atau sebanyak 31 perawat melaksanakan NEWS dengan baik (77,5%).

1. Gambaran Usia Perawat Hasil penelitian menggambarkan bahwa hampir seluruh perawat di Ruang Mawar dan Tulip RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang berusia < 40 tahun (95%). Umur perawat dalam penelitian ini adalah lama hidup perawat yang terhitung sejak dilahirkan hingga penelitian ini dilakukan. Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan akan terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang, semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Hurlock, 2009). Dalam penelitian ini umur dibedakan menurut Hurlock (2009) yang menjabarkan bahwa kriteria umur perawat dibagi menjadi 2 berdasarkan tugas perkembangannya yaitu 20-40 tahun termasuk dewasa muda dan 41-60 tahun termasuk golongan dewasa menengah. Perawat yang berumur ≥ 40 tahun (dewasa menengah) bisa dikatakan memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan perawat yang berumur < 40 tahun (dewasa muda). Hal tersebut karena perawat yang memiliki umur ≥ 40 tahun lebih sering menjalankan tugas keperawatan sehingga lebih berpengalaman. Menurut Notoatmodjo (2012), usia seseorang akan mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang terhadap informasi yang diberikan. Semakin bertambah usia maka daya tangkap dan pola pikir seseorang semakin berkembang. Potter & Perry (2010) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis pun meningkat secara teratur selama usia dewasa. King (2010) menjelaskan bahwa pada usia

dewasa awal petugas kesehatan yang sudah terlatih dapat melakukan tindakan dengan baik karena usia dewasa adalah waktu pada saat seseorang mencapai puncak dari kemampuan intelektualnya. Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa umur seseorang mempengaruhi daya ingat seseorang sehingga bisa disimpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. 2. Gambaran Lama Kerja Perawat Hasil penelitian menggambarkan bahwa hampir sebagian besar perawat di Ruang Mawar dan Tulip RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang memiliki masa kerja ≥ 5 tahun (57,5%). Lama bekerja dalam penelitian ini adalah lama seorang perawat yang bekerja di rumah sakit dari mulai awal bekerja sampai saat penelitian ini dilakukan. Semakin lama masa kerja seseorang dalam bekerja maka semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, hal ini dapat membantu dalam meningkatkan kinerja seorang perawat. Lama bekerja seseorang akan menentukan banyak pengalaman yang didapatkannya. Sunaryo, (2004) mengemukakan bahwa tingkat kematangan dalam berpikir dan berperilaku dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama masa kerja akan semakin tinggi tingkat kematangan seseorang dalam berpikir sehingga lebih meningkatkan pengetahuan yang dimiliki.

Lama kerja sangat erat hubunganya dengan pengalaman seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Pengalaman adalah hal yang pernah dialami seseorang, bisa bersumber dari diri sendiri ataupun orang lain. Pengalaman merupakan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran dan kepribadian manusia ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan penyebab tindakan tapi oleh penyebab masa lalu (Muksydayan, 2012). Menurut peneliti, lama kerja adalah waktu yang telah dilalui oleh seorang perawat dalam menjalankan tugas keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Lama kerja bagi setiap perawat merupakan variabel yang sangat penting, karena lama waktu kerja sangat mempengaruhi kemampuan seorang perawat, hal ini berkaitan erat dengan pengulangan secara sistematis beberapa hal atau langkah-langkah tindakan medik yang dilakukan. Lama kerja seorang perawat juga sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan diri dalam melakukan tindakan keperawatan, karena sudah terbiasa dan berpengalaman. 3. Gambaran Jenis Kelamin Perawat Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar perawat di Ruang Mawar dan Tulip RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang berjenis kelamin perempuan (60%). Dalam dunia kerja perawat profesional, tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Semua mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam memperoleh keterampilan keperawatan, yang mungkin membedakan hanyalah soal tenaga yang lebih besar pada laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Siagian (2014) yang menyatakan bahwa petugas kesehatan berjenis kelamin

laki-laki secara fisik lebih kuat dibandingkan perempuan tetapi dalam hal ketanggapan memilah pasien tidak ada perbedaan dengan petugas kesehatan yang berjenis kelamin perempuan. Nurnaningsih (2012) juga menyatakan bahwa pada pekerjaan yang berat maka jenis kelamin laki-laki sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kerja, akan tetapi pemberian keterampilan yang cukup memadai pada perempuan juga akan mendapatkan hasil pekerjaan yang cukup memuaskan. Ada sisi positif dalam perempuan yaitu perempuan lebih taat dan patuh dalam bekerja, hal ini akan mempengaruhi kinerja secara personal. Berdasarkah hasil penelitian dan teori diatas, peneliti berpendapat bahwa sebagai seorang perawat laki-laki dan perempuan mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama, yang membuat berbeda mungkin pada laki-laki mempunyai tenaga yang lebih besar dan lebih agresif. Tapi dalam hal memperoleh pengetahuan, lelaki dan perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama. 4. Gambaran Pelaksanaan NEWS oleh Perawat Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar perawat di Ruang Mawar dan Tulip RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang melaksanakan NEWS dengan baik (77,5%). National Early Warning Scoring (NEWS) adalah salah satu bentuk Early Warning Systems (EWS) yang merupakan sebuah sistem skoring fisiologis digunakan sebagai pendeteksian secara dini adanya perburukan keadaan pasien (NHS Report, 2012, Duncan & McMullan, 2012). Patterson, et al (2011) menjelaskan bahwa salah satu strategi untuk deteksi dini

kegawatan pasien sakit berat dengan periode penyakit kritis adalah dengan penerapan Early Warning Score (EWS). EWS adalah sebuah sistem peringatan dini yang menggunakan penanda berupa skor untuk menilai pemburukan kondisi pasien dan dapat meningkatkan pengelolaan perawatan penyakit secara menyeluruh. Skor peringatan dini (EWS) yang direkomendasikan sebagai bagian dari pengkajian awal dan respon terhadap kerusakan organ pasien. EWS dapat mengidentifikasi keadaan pasien yang beresiko lebih awal dan menggunakan multi parameter. Salah satu parameter yang dinilai adalah perubahan tanda-tanda vital, tingkat kesadaran dan saturasi oksigen. Para ahli mengatakan bahwa, sistem ini dapat menghasilkan manfaat lebih bagi pasien dan rumah sakit dengan mengidentifikasi penurunan kondisi pasien. Hasil penelitian yang dilakukan Polly, H (2013) mengenai early warning scores in cardiac arrest patients. Hasil penelitian menunjukkan bahwa early warning score sangat bermanfaat pada pemantaun atau deteksi dini sebelum pasien mengalami kondisi yang lebih buruk dan mampu menggunakan jalur rujukan atau tindakan yang sesuai. Apapun penyakit yang mendasarinya tanda-tanda klinis perburukan kondisi bisanya serupa yang dapat dilihat dari fungsi pernapasan, kardiovaskular dan neurologis. Pengamatan efektif pasien adalah kunci pertama dalam mengidentifikasi kondisi pasien. Sangat penting untuk memiliki praktek keperawatan yang lebih baik sehingga dapat memberikan laporan secepat mungkin agar bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian. Dalam penelitian ini hal – hal yang kadang dilupakan oleh perawat di Ruang Mawar dan Tulip dalam pelaksanaan NEWS antara

lain adalah pemantauan tekanan darah sistolik dan pemantauan denyut jantung. Berdasarkan pengamatan saat penelitian, peneliti berasumsi bahwa hal tersebut dikarenakan saat perawat melakukan pemantauan tingkat kesadaran pasien hasilnya pasien dapat merespon dengan baik, hal tersebut membuat perawat terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kondisi pasien dalam keadaan baik sehingga melupakan untuk memantau tanda-tanda vital lainnya, seperti pemeriksaan tekanan darah sistolik dan frekuensi denyut jantung. Hal tersebut harusnya tidak boleh terjadi, karena dalam keadaan tertentu dapat terjadi penurunan kondisi pasien secara mendadak atau tiba-tiba. Misalnya pada pasien jantung, keadaan cardiac arrest (hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak) bisa terjadi tiba-tiba dan waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak. Cardiac arrest selalu didahului adanya ketidaknormalan akan adanya kelistrikan dalam jantung (dimulai dari sinus takikardi sampai terjadi fibrilasi ventrikel yang merupakan faktor penyebab yang paling banyak pada pasien cardiac arrest) hal ini bisa dilihat dari perubahan parameter frekuensi nadi, atau adanya ketidakadekuatan sirkulasi darah yang memberikan suplai darah ke arteri koronaria yang menggerakkan jantung (yang memicu munculnya kasus Infark Myocard Akut akibat oklusi akibat sirkulasi yang lambat dan kurang) hal ini bisa dilihat dari tekanan darah sistolik, dimana terjadinya hipotensia memicu penurunan sirkulasi darah keseluruh tubuh, begitu juga di arteri koronaria), atau adanya kematian batang otak yang disertai dengan adanya proses infeksi di seluruh tubuh

menggambarkan akan adanya perubahan parameter tubuh, dimana tubuh menjadi lebih hipermetabolisme sehingga menimbulkan perubahan pada parameter tubuh antara lain peningkatan suhu tubuh atau bahkan penurunan suhu tubuh (ditemukan pada pasien sepsis lanjut), peningkatan maupun penurunan Frekuensi pernapasan (Takipneu atau Bradipneu), penurunan kesadaran (AVPU), dan seterusnya. Perubahan parameter EWS atau tandatanda vital haruslah menjadikan warning tersendiri bagi perawat yang telah melakukan pemeriksaan dan pengkajian pada pasien yang dirawat, melalui signal warning yang telah ditemukan pada pasien, perawat bisa membuat kesimpulan apakah diperlukan observasi lebih mendalam, atau bahkan memberitahukan ke tim reaksi cepat untuk meminta bantuan yang lebih spesifik. Dalam kasus cardiac arrest seringkali pasien tidak bisa mendapatkan pertolongan maksimal, akibat adanya penundaan penanganan akibat ketidaktahuan terjadinya cardiac arrest. Melalui EWS sangat memungkinkan perawat untuk segera melakukan penilaian terhadap kondisi pasien dan segera melakukan tindakan yang sesuai (meminta bantuan kepada tim yang lebih ahli), selain itu juga melalui EWS memfasilitasi kepada RS yang sarana prasarananya kurang memadai untuk melakukan rujukan apabila tidak didapatkannya support yang maksimal untuk melakukan tindakan preventife saving life terhadap kondisi pasien yang mengancam nyawa, supaya morbiditas dan mortalitas tidak terjadi dan diminimalkan. Pengetahuan Early Warning System (EWS) sangat penting dimiliki oleh perawat. Kemampuan EWS yang dimiliki perawat sangat menentukan ketepatan dalam

melakukan pengkajian dan penilaian. Ketepatan penilaian EWS sangat menentukan tingkat ketepatan dan kecepatan dalam pengambilan keputusan tindakan yang diperlukan. Kecepatan pengambilan keputusan ini akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan penanganan, pengobatan dan perawatan yang dibutuhkan oleh pasien. Dan kecepatan penanganan mempengaruhi tingkat keberhasilan penanganan pasien. Penelitian terkait program pelaksanaan EWS yang dilakukan Wahyuni, Sidik dan Wahiduddin (2012) di Puskesmas Kabupaten Gowa menunjukkan bahwa pelaksanaan Early Warning Alert and Respon System (EWARS) sangat dipengaruhi oleh komponen input yaitu sumber daya manusia. Petugas EWS harus mendapat pelatihan dan menguasai tentang teknik-teknik pelaksanaan EWS, selain itu komponen output seperti sarana penunjang juga harus tersedia dengan lengkap. Liswati (2015) dalam penelitiannya tentang gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang Early Warning Score (EWS) di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng mendapatkan hasil responden yang berpengetahuan baik sebanyak 23 orang (39,7%) dan responden yang berpengetahuan cukup sebanyak 35 orang (60,3%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang berpengetahuan baik lebih sedikit daripada responden yang berpengetahuan cukup. Rekomendasi dalam penelitian tersebut adalah mengadakan program pelatihan tentang EWS di rumah sakit, dengan pelatihan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan perawat tentang EWS, sehingga kegawatan pada pasien dapat diidentifikasi sejak dini dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu keperawatan.

KESIMPULAN DAN SARAN National Early warning scoring (NEWS) sangat bermanfaat pada pemantaun atau deteksi dini sebelum pasien mengalami kondisi yang lebih buruk, dimana NEWS ini membantu dalam hal pengambilan tindakan yang tepat dan cepat serta untuk mengetahui kondisi perburukan pasien. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 40 perawat di Ruang Mawar dan Tulip RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu hampir seluruh perawat memiliki usia < 40 tahun (95%), hampir sebagian besar perawat memiliki lama kerja ≥ 5 tahun (57,5%), sebagian besar perawat berjenis kelamin perempuan (60%), dan sebagian besar perawat melaksanakan NEWS dengan baik (77,5%). Berdasar temuan dalam penelitian ini maka peneliti menyarankan agar pihak rumah sakit dapat mengadakan briefing atau pengarahan tentang teori konsep EWS secara kontinyu sehingga dapat me-refresh atau menyegarkan kembali ingatan atau pengetahuan tentang teori atau konsep EWS tersebut, selain itu juga perlu merencanakan suatu program peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat dengan mengirim perawat untuk mengikuti pelatihan atau seminar EWS, sehingga pengetahuan perawat terhadap pelaksanaan EWS dapat tersebar secara merata. 39

DAFTAR PUSTAKA 1. Bickley, L. S. (2008). Buku Saku Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat Kesehatan Bates. Jakarta. EGC. 2. Considine, J., Lucas, E., & Wunderlich, B. (2012). The uptake of an early warning system in an Australian emergency department: a pilot study.

Critical Care and Resuscitation, 14(2), 135. 3. Dahlan, S. (2009). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Ed. 2. Salemba Medika. Jakarta. 4. Dahlan, S. (2011). Penelitian Prognostik dan Sistem Skoring : Disertai Praktik dengan SPSS dan Stata. Seri. 8. Alqaprint. Jatinangor. 5. Duncan, K., & McMullan, C. (2012). Early warning system. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 6. Djojodibroto, D. R. D. (2009). Respirologi : Respirasi Medicine. EGC. 7. Georgaka, D., Mparmparousi, M., & Vitos, M. (2012). Early warning systems. Hospital Chronicles, 7(1 Sup), 37. 8. Hayward, RA. & Hofer, TP. (2001). Estimating hospital deaths due to medical errors: preventability is in the eye of the reviewer. 9. Henriksen, D. P., Brabrand, M., & Lassen, A. T. (2014). Prognosis and risk factors for deterioration in patients admitted to a medical emergency department. PloS one, 9(4), e94649 10. Joghnstone, C. C., Rattray, J., & Myers, L. (2007). Physiological risk factors, early warning scoring systems and organizational changes. Nurs Crit Care 2007; 12: 219-222 11. Jones, D., Mitchell, I., Hillman, K., & Story, D. (2013). Defining clinical deterioration. Resuscitation, 84(8), 1029-1034. 12. Jones, A. E., Yiannibas, V., Johnson, C., & Kline, J. A. (2006). Emergency department hypotension predicts sudden unexpected in-hospital mortality: a prospective cohort study. CHEST Journal, 130(4), 941-946. 13. Jones, P., & Schimanski, K. (2010). The four hour target to reduce

emergency department ‘waiting time’: a systematic review of clinical outcomes. Emergency Medicine Australasia, 22(5), 391-398. 14. Kyriacos, U., Jelsma, J., James, M., & Jordan, S. (2014). Monitoring vital signs: development of a modified early warning scoring (MEWS) system for general wards in a developing country. PloS one, 9(1), e87073. 15. Kowalski, R. E. (2010). Terapi hipertensi program 8 minggu: Menurunkan tekanan darah tinggi dan mengurangi risiko serangan jantung dan stroke secara alami. Bandung: Qanita. 16. Liswati. (2015). Gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang Early Warning Score (EWS) di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng. Jurnal Keperawatan. http://lib.ui.ac.id/detail?id=20413985&l okasi=lokal 17. Miguel-Montanes, R., Hajage, D., Messika, J., Bertrand, F., Gaudry, S., Rafat, C., ... & Dreyfuss, D. (2015). Use of high-flow nasal cannula oxygen therapy to prevent desaturation during tracheal intubation of intensive care patients with mild-to-moderate hypoxemia. Critical care medicine, 43(3), 574-583. 18. Mitchell, I., McKay, H., Leuvan, V. C. et al., (2010). A prospective controlled trial of the effect of a multi-faceted intervention on early recognition and intervention in deteriorating hospital patients. Resuscitation 81:658 – 666

19. Muttaqin A. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan Hematologi,

Edisi Pertama, Salemba Medika, Jakarta 20. National Clinical Effectiveness Committe (NCEC). (2013). National Early Warning Score: Guideline No. 1. An Roinn Slainte Departement Of Health. 21. National Early Warning Score Development and Implementation Group (NEWSDIG). (2012). National Early Warning Score (NEWS): standardising the assessment of acuteillness severity in the NHS. London: Royal College of Physicians. ISBN 978-1-86016-471-2. 22. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). (2007). Acutely ill patients in hospital recognition of and respond to acute illness in adults in hospital. NICE clinical guideline No. 50. London 23. Nolan, J. P., Soar, J., Ziderman, D. A., et al. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation. Resuscitation; 81: 1219-1276. 24. Notoatmodjo S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta 25. Odell, M., Victor, C., & Oliver, D. (2009). Nurses’ Role In Detecting Deterioration In Ward Patients: Systematic Literature Review. J Adv Nurs 2009; 65: 1992-2006. 26. Patterson, C; Maclean, F; Bell, C ; Mukherjee, E; Bryan, L;… Bell, D (2011) Early warning systems in the UK: variation in content and implementation strategy has implications for a NHS early warning system. Clinical Medicine 2011, Vol 11, No 5: 424–7 27. Potter, Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC

28. Rapsang, A. G., & Shyam, D. C. (2015). Scoring systems of severity in patients with multiple trauma. Cirugía Española (English Edition), 93(4), 213221. 29. Rasmanto, J. (2011) Angka Kematian di Rumah Sakit. https://www.kompasiana.com 30. Rowat, A. M., Dennis, M. S., & Wardlaw, J. M. (2006). Hypoxaemia in acute stroke is frequent and worsens outcome. Cerebrovascular Diseases, 21(3), 166-172. 31. Smith, J., & Roberts, R. (2011). Vital signs for nurses: An introduction to clinical observations. John Wiley & Sons. 32. Sugiyono. (2012). Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung. 33. Sund‐Levander, M., & Grodzinsky, E. (2009). Time for a change to assess and evaluate body temperature in clinical practice. International journal of nursing practice, 15(4), 241-249. 34. Sundén-Cullberg, J., Rylance, R., Svefors, J., Norrby-Teglund, A., Björk, J., & Inghammar, M. (2017). Fever in the Emergency Department Predicts Survival of Patients With Severe Sepsis and Septic Shock Admitted to the ICU. Critical Care Medicine. 35. Ting, H. W., Chen, M. S., Hsieh, Y. C., & Chan, C. L. (2010). Good mortality prediction by Glasgow Coma Scale for neurosurgical patients. Journal of the Chinese Medical Association, 73(3), 139-143. 36. Wahyuni, Sidik, Wahiduddin. (2012). Gambaran Pelaksanaan Program (EWARS) di Puskesmas Kabupaten Gowa. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanudin 37. Wa Ode Nur. (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan

waktu tanggap penanganan kasus pada respon time I di Instalasi Gawat Darurat Bedah dan Non Bedah RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo. Jurnal Keperawatan. http://pasca.unhas 38. World Health Organization. (2015). Health Systems Strengthening Glossary, G-H. Available at: http:// www.who.int/healthsystems/hss_glossa ry/en/index5. html.

More Documents from "Ridho Pangestu"