Manusia_dan_agama.docx

  • Uploaded by: Hasan Jr.
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manusia_dan_agama.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,313
  • Pages: 54
MODUL 1 MANUSIA DAN AGAMA  Pengertian Manusia Beberapa para ahli mendefinisikan pengertian Manusia sebagai berikut:  RENE DESCARTES Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan apa yang kita pikirkan dengan akal kita.  UPANISADS Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh, jiwa, pikiran, dan prana atau badan fisik.  SOKRATES Manusia adalah makhluk berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar.  KEES BERTENS Manusia adalah suatu makhluk yang terdiri dari 2 unsur yang kesatuanya tidak dinyatakan.  I WAYAN WATRA Manusia adalah makhluk yang dinamis dengan trias dinamikanya yaitu, cipta, rasa, dan karsa.  NICOLAUS D. & A. SUDIARJA Manusia adalah bhineka, tetapi tunggal. Bhineka karena ia adalah jasmani dan rohani akan tetapi tunggal karena jasmani dan rohani merupakan satu barang.  ABINENO J. I Manusia adalah “tubuh yang berjiwa” dan bukan “jiwa abadi yang berada atau yang terbungkus dalam tubuh yang fana”.  OMAR MOHAMMAD AL-TOUMY AL-SYAIBANY Manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir, dan manusia adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan.

1

Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari. Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan social (superego). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai). Para penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang Nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek. Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.

 Pengertian Agama Agama merupakan sarana yang menjamin kelapangan dada dalam individu dan menumbuhkan ketenangan hati pemeluknya. Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan dan menjauhkannya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati manusia menjadi jernih halus dan suci. Disamping itu, agama juga merupakan benteng pertahanan bagi generasi muda muslim dalam menghadapi berbagai aliran sesat.

Agama juga mempunyai peranan penting dalam pembinaan akidah dan akhlak dan juga merupakan jalan untuk membina pribadi dan masyarakat yang individu-individunya terikat oleh rasa persaudaraan, cinta kasih dan tolong menolong.

2

Agama berasa dari bahasa sansekerta yaitu, dari kata “A” yang artinya tidak dan “GAMA” artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau. dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan. Didunia baratter dapat suatu istilah umum untuk pengertian agama ini, yaitu: religi, religie, religion, yang berarti melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan atau mati-matian, perbuatan ini berupa usaha atau sejenis per ibadatan yang dilakukan secara berulang ulang. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Istilah lain bagi agama ini yang berasal dari bahasa arab, yaitu addiin yang berarti: hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan dan pembalasan. Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa “addiin” merupakan pengabdian dan penyerahan, mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan penciptanya dengan upacara dan tingkah laku tertentu, sebagai manifestasi ketaatan tersebut (Moh.Syafaat,1965).

Dan secara umum, Agama adalah suatu system ajaran tentang Tuhan, dimana penganut-penganut nya melakukan tindakan-tindakan ritual, moral atau social atas dasar aturan-aturan-Nya. Oleh karena itu suatu agama mencakup aspek-aspek sebagai berikut.

a.Aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus diyakini. b. Aspekritual, yaitu tentang tata cara berhubungan dengan Tuhan, untuk minta perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk menunjuk kan kesetiaan dan penghambaan. c. Aspek moral ,yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan baik bagi individu dalam kehidupan. d. Aspeksosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat.

3

Asal-usul terbentuk dan berkembangnya suatu agama dapat dikategorikan kedalam tiga jenis, yaitu:

a. Agama yang muncul dan berkembang dari perkembangan budaya suatu masyarakat disebut dengan Agama Budaya atau Agama Bumi (dalam bahasa Arab disebut Ardli) , seperti Hindu, Shinto, atau agama-agama primitive dan tradisional. b. Agama yang disampaikan oleh orang-orang yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan disebut agama wahyu atau agama langit (dalam bahasa Arab langit disebut samawi) seperti Yahudi, Nasrani danI slam. c. Agama yang berkembang dari pemikiran seorang filosof besar.

Dia memiliki pemikiran-pemikiran yang mengagumkan tentang konsep-konsep kehidupan sehingga banyak orang yang mengikuti pandangan hidupnya dan kemudian melembaga sehingga menjadi kepercayaan dan ideology bersama suatu masyarakat. Agama semacam ini dinamakan sebagai agama filsafat, seperti Konfusianisme (Konghucu), Taoisme, Zoroaster atau Budha.

 Manusia Menurut Agama Islam Yang dimaksud disini, manusia secara umum diciptakan dari segumpul darah dengan jenis dan ras yang berbeda-beda tapi mereka mempunyai proses penciptaan yang sama, hal ini menunjukkan bahwa Allah mengistimewakan manusia, agar mereka ingat dan menyadari bahwa Dia telah memberikan kemulian, melindungi peranan dan menjunjung tinggi kedudukan mereka diantara makhluk yang lain.

Meminjam istilah Dr. Ali Shariati, seorang intelektual Muslim, yang mengatakan bahwa: Manusia adalah makhluk dua dimensi yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi serta intelegensi yang baik dan penting.

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N.A Rasyid, 1983:19). 4

Dalam Al-Quran manusia dipanggil dengan beberapa istilah, antara lain al-insaan, alnaas, al-abd, dan bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah, atau makhluk yang sering lupa. Al-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti manusia sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari keturunan nabi Adam. Namun dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Allah selaku pencipta alam semesta dan manusia telah memberikan informasi lewat wahyu Al-quran dan realita faktual yang tampak pada diri manusia. Informasi itu diberi- Nya melalui ayat-ayat tersebar tidak bertumpuk pada satu ayat atau satu surat. Hal ini dilakukanNya agar manusia berusaha mencari, meneliti, memikirkan, dan menganalisanya. Tidak menerima mentah demikian saja. Untuk mampu memutuskannya, diperlukan suatu peneliti Alquran dan sunnah rasul secara analitis dan mendalam. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan penelitian laboratorium sebagai perbandingan, untuk merumuskan mana yang benar bersumber dari konsep awal dari Allah dan mana yang telah mendapat pengaruh lingkungan. Hasil peneliti Alquran yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpuannya bahwa manusia terdiri dari unsur-unsur: jasad, ruh, nafs, qalb, fikr, dan aqal. A. Jasad Jasad merupakan bentuk lahiriah manusia, yang dalam Alquran dinyatakan diciptakan dari tanah. Penciptaan dari tanah diungkapkan lebih lanjut melalui proses yang dimulai dari sari pati makanan, disimpan dalam tubuh sampai sebagiannya menjadi sperma atau ovum (sel telur), yang keluar dari tulang sulbi (laki-laki) dan tulang depan (saraib) perempuan (aThariq: 5-7). Sperma dan ovum bersatu dan tergantung dalam rahim kandungan seorang ibu (alaqah), kemudian menjadi yang dililiti daging dan kenpmudian diisi tulang dan dibalut lagi dengan daging. Setelahnia berumur 9 (sembilan) bulan, ia lahir ke bumi dengan dorongan suatu kekuatan ruh ibu, menjadikan ia seorang anak manusia.

5

Meskipun wujudnya suatu jasad yang berasal dari sari pati makanan, nilai-nilai kejiwaan untuk terbentuknya jasad ini harus diperhatikan. Untuk dapat mewujudkan sperma dan ovum berkualitas tinggi, baik dari segi materinya maupun nilainya, Alquran mengharapkan agar umat manusia selalu memakan makanan yang halalan thayyiban (Surat Al-baqarah: 168, Surat Al-maidah 88, dan surat Al-anfal 69). Halal bermakna suci dan berkualitas dari segi nilai Allah. Sedangkan kata thayyiban bermakna bermutu dan berkualitas dari segi materinya. B. Ruh Ruh adalah daya (sejenis makhluk/ciptaan) yang ditiupkan Allah kepada janin dalam kandungan (Surat Al-Hijr 29, Surat As-Sajadah 9, dan surat Shaad 27) ketika janin berumur 4 bulan 10 hari. Walaupun dalam istilah bahasa dikenal adanya istilah ruhani, kata ini lebih mengarah pada aspek kejiwaan, yang dalam istilah Al-Qur’an disebut nafs. Dalam diri manusia, ruh berfungsi untuk : 1. Membawa dan menerima wahyu (Surat As-Syuara 193) 2. Menguatkan iman (Surat Al-Mujadalah 22) Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia pada dasarnya sudah siap menerima beban perintah-perintah Allah dan sebagai orang yang dibekali dengan ruh, seharusnya ia elalu meningkatkan keimanannya terhadap Allah. Hal itu berarti mereka yang tidak ada usaha untuk menganalisa wahyu Allah serta tidak pula ada usaha untuk menguatkan keimanannya setiap saat berarti dia mengkhianati ruh yang ada dalam dirinya. C.Nafs Para ahli menyatakan manusia itu pasti akan mati. Tetapi Al-Qur’an menginformasikan bahwa yang mati itu nafsnya. Hal ini diungkapkan pada Surat Al-Anbiya ayat 35 dan Surat Al-Ankabut ayat 57, Surat Ali-Imran ayat 185. Hadist menginformasikan bahwa ruh manusia menuju alam barzah sementara jasad mengalami proses pembusukan, menjelang ia bersenyawa kembali secara sempurna dengan tanah.

6

Alquran menjelaskan bahwa, nafs terdiri dari 3 jenis: 1. Nafs Al-amarah (Surat Yusuf ayat 53), ayat ini secara tegas memberikan pengertian bahwa nafs amarah itu mendorong ke arah kejahatan. 2. Nafs Al-lawwamah (Surat Al-Qiyamah ayat 1-3 dan ayat 20-21) dari penjelasan ayat tersebut terlihat bahwa yang dimaksud dengan nafs lawwamah ini adalah jiwa yang condong kepada dunia dan tak acuh dengan akhirat. 3. Nafs Al-Muthmainnah (Surat Al-Fajr ayat 27-30). Nafs muthmainnah ini adalah jiwa yang mengarah ke jalan Allah untuk mencari ketenangan dan kesenangan sehingga hidup berbahagia bersama Allah.

Manusia adalah ciptaan Allah yang paling besar, untuk itu terlebih dahulu harus mengenalnya. Kalau manusia itu sudah mengenal jiwanya pasti ia akan mengenal tuhannya. “Barang siapa sudah mengenal jiwanya, maka ia akan mengenal Tuhannya”

Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (at-tin:4)

 Firman-firman Allah tentang Manusia

Dalam surat al-Hijr ayat 28-29 dijelaskan bahwa:

(‫ون‬ َ ‫ص ْل‬ َ ‫ َوإِذْ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم ََلئِ َك ِة إِنِِّي خَا ِل ٌق بَش ًَرا ِ ِّمن‬٢٨ ﴿ ٍ ُ‫صا ٍل ِ ِّم ْن َح َمإ ٍ َّم ْسن‬ َ‫اجدِين‬ ِ ‫س َّو ْيتُهُ َونَفَ ْختُ فِي ِه ِمن ُّر‬ َ ُ‫وحي فَقَعُوا لَه‬ َ ‫( فَإِذَا‬٢٩) ِ ‫س‬ Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud . (al-hijr(15);28-29).

7

Tentang ruh (ciptaan-Nya) yang ditiupkan ke dalam rahim wanita yang mengandung embrio yang terbentuk dari saripati (zat) tanah itu, hanya sedikit pengetahuan manusia, sedikitnya juga keterangan tentang makhluk ghaib itu diberikan tuhan dalam Al-quran.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (al-hajr(15);28-29). Yang dimaksud”dengan bersujud” dalam ayat ini bukanlah menyembah, tetapi memberi penghormatan. Al-Qur’an tidak memberi penjelasan tentang sifat ruh. Tidak pula ada larangan di dalam alquran intuk menyelidiki ruh yang gaib, sebab penyelikikan tentang ruh, mungkin berguna, mungkin pula tidak berguna, dalam hubungan dengan masalah ruh ini Tuhan berfirman dalam surat al-isra:85 ً ‫ح ِم ْن أ َ ْم ِر َربِِّي َو َما أُوتِيت ُم ِِّمنَ ا ْل ِع ْل ِم إِ اَّل قَ ِل‬ ‫يل‬ ُ ‫الرو‬ ْ َ‫) َوي‬٨٥( ﴿ ُّ ‫الروحِ ۖ قُ ِل‬ ُّ ‫سأَلُونَكَ ع َِن‬ Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Q.S. AlIsra:85). Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa manusia tumbuh dan berkembang mengikuti tahapan tertentu. Jika analisis, Al-Qur’an dan hadits secara umum membagi kehidupan manusia pertumbuhan dan perkebangan di dunia menjadi dua katagori besar, kelahiran dan pasca kelahiran. Al-quran juga menyatakan, sebagimana petikan (Q.S Al-hajj 5) bahwa periode perkelahiran telah ditentukan (biasanya 9 bulan dalam keadaan normal). Namun Alquran juga menyebutkan bahwa ada kasus-kasus pengecualian dimana periode prakelahiran dihentikan, sebelum atau setelah waktu yang normal.

 Tugas Manusia Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat yang harus di pertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang di pikul manusia di muka bumi adalah tugas

8

kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam. Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah, berarti manusia memperoleh mandate Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang di berikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah dan mendayagunakanvapa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Agar manusia bisa menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepadanya kebenaran dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia bisa menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan. Dua peran yang di pegang manusia di muka bumi. Sebagai khalifah dan abdullah merupakan perpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup, yang sarat dengan kreatifitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu hidup seorang muslim akan di penuhi dengan amaliah, kerja keras yang tiada henti, sebab bekerja bagi seorang muslim adalah membentuk satu amal shaleh. Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan sebagai makhluk Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan melainkan suatu kesatuan yang padu dan tidak terpisahkan. Kekhalifaan adalah ralisasi dari pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya. Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajat manusia meluncur jatuh ke tingkat yang paling rendah, seprti firman Allah dalam surat ath-Thin:4. Dengan demikian, manusia sebagai khalifah Allah merupakan satu kesatuan yang menyampurnakan nilai kemanusiaan yang memiliki kebebasan berkreasi dan sekaligus menghadapkannya pada tuntutan kodrat yang menempatkan posisinya pada ketrbatasan.

9

Perwujudan kualitas keinsanan manusia tidak terlepas dari konteks sosial budaya, atau dengan kata lain kekhalifaan manusia pada dasarnya diterapkan pada konteks indvidu dan sosial yang berporos pada Allah, seperti firman Allah dalam Muthathohirin:112.

 Hubungan Manusia dengan Agama Untuk membimbing manusia dalam meniti dan menata kehidupan, Allah menurunkan agamanya sebagai pedoman yang harus dijadikan referensi dalam menetapkan setiap keputusan, dengan jaminan ia akan terbebas dari segala kebingungan dan kesesatan. Firman Allah yang terjemahannya: “Nanti akan Aku berikan kepadamu petunjuk (dalam menempuh kehidupan). Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku tersebut, niscaya mereka tidak akan di timpa rasa khawatir dan takut (dalam kehidupan) dan tidak akan bersedih hati”.(Q.SAlBaqarah:38). Dan Allah swt. Menegaskan bahwa satu-satunya hidayah yang benar yang Ia ridhoi itu adalah agama islam.“Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah ISLAM”.“ Pada hari ini Aku lengkapkan bagimu agama mu dan Aku sempurnakann hikmat-Ku kepadamu. Dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu. Yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupanya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Sedangkan yang datang dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang di lakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluar kabiaya, tenaga dan fikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Allah berfirman dalam Al-Qr’ an SuratAl-Anfal: 36 Yang artinya: “sesungguh ya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah”. (QS.Al-Anfal:36) Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang-orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebaginya di buat dengan sengaja. Untuk itu, upaya membatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini meningkat, sehingga uapaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.

10

Orang yang beriman kepada Allah dan menghambakan diri kepadaNya, mengatur hidupnya agar sesuai dengan seruan Allah dalam Al-Qur’an. Dia menjadikan agama sebagai petunjuk hidupnya. Patuh kepada hal-hal yang baik menurut hati nuraninya, dan meninggalkan segala yang buruk yang ditolak hati nuraninya. Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Dia menciptakan manusia agar siap untuk menghidupkan agamaNya: Maka, teguhkanlah pengabdianmu kepada Agama yang benar yang Allah ciptakan untuk manusia. Tiada yang mampu merubah ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Surat Ar-Rum: 30)

 Pengertian Agama menurut pandangan Islam Agama yang Lurus merupakan agama yang lurus karena islam sebagai hidayah (petunjuk) dalam kehidupan umat manusia sebagai mana firman Allah dalam surat AlBaqarah : 38) “Nanti akan Aku berikan kepadamu petunjuk (dalam menempuh kehidupan). Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku tersebut, niscaya mereka tidak akan di timpa rasa khawatir dan takut (dalam kehidupan) dan tidak akan bersedih hati ”. (Q.SAl-Baqarah:38) Dalam Al-Qur’an, agama disebut Millah, misalnya Millatu Ibrahim yang artinya agama (yang dibawa) ibrahim. (An-Nahl:123). Selain itu dalam Al-Qur’an agama disebut juga din atau ad-din. Misalnya: lakum dinukum waliya din yang artinya bagimu din (agama) mu, dan bagiku din (agama) ku. (Al-Kafirun ayat 6). Tetapi kata din, selain berarti agama juga berarti : pembalasan hari kiamat, adat kebiasaan, undang-undang, peraturan, dan taat atau patuh. Kemudian menurut arti istilah (terminologi), sebuah rumusan tentang pengertian agama menyebutka, bahwa agama itu mengandung tiga unsur pokok: 1. Satu sistem CREDO (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; 2. Satu sistem RETUS (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu; dan

11

3. Satu sistem NORMA (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas (Anshari, 1979: 110-111). Drs. Hasbullah Bakry, dalam sebuah artikelnya “Bicara tentang Definisi Agama” Surat Kabar Kedaulatan Rakyat terbitan 10 Mei 1961 menyebutkan bahwa: “Agama adalah jalan hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan YME serta berpedoman kitab suci dan dipimpin oleh seorang Nabi”. Dengan definisi itu dapat diketahui, bahwa yang disebut agama itu mengandung empat unsur: 1. Agama itu merupakan jalan hidup atau way of life. Suatu jalan muamalah yang konkret. Dia memiliki aturan-aturan tertentu guna pedoman bagi amal kehidupan penganut-penganutnya. 2. Agama itu mengajarkan kepercayaan (keimanan) adanya Tuhan YME. Tuhan itu mustahil tidak ada, dan mustahil jumlahnya berbilangan. 3. Agama itu memiliki kitab suci yang merupakan kumpulan wahyu yang diterima oleh Nabinya dari Tuhan YME itu, dengan melalui bisikan Roh Suci (Malaikat Jibril). 4. Agama itu dipimpin oleh seorang Nabi. Kalau Nabi itu masih hidup, beliau tidak tersembunyi di lingkungan orang-orang awam yang bodoh, tetapi menyebarkan ajarannya dengan terbuka, dan sanggup berdiskusi di tengah orang-orang pandai. Dan kalau Nabi itu sudah wafat, maka ada bukti-bukti yang terang bahwa beliau pernah hidup, mengatakan ini dan itu guna petunjuk bagi umatnya (hafidy, 1982:123-124).

 Pentinganya Agama bagi Manusia Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak sesungguhnya manusia, sangatlah membutuhkan agama. Dan sangatlah dibutuhkannya agama oleh manusia, tidak saja di masa primitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan belum berkembang, tetapi juga di zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan teknologi telah sedemikian maju.

12

Berikut ini adalah sebagian dari bukti-bukti mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia. 1. Karena agama sumber moral. 2. Karena agama merupakan petunjuk kebenaran. 3. Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika. 4. Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia, baik di kala suka maupun di kala duka. Yang pertama kali harus dilakukan oleh seseorang yang meyakini keberadaan Allah adalah mempelajari apa-apa yang diperintahkan dan hal-hal yang disukai Penciptanya. Dia lah yang memberinya ruh dan kehidupan, makanan, minuman dan kesehatan. Selanjutnya dia harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk patuh kepada perintah-perintah Allah dan mencari ridhaNya. Agama lah yang membimbing kita kepada moral, perilaku dan cara hidup yang diridhai Allah. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang patuh kepada agama berada di jalan yang benar, sedangkan yang lainnya akan tersesat. Dia yang dadanya terbuka untuk Islam mendapat cahaya dari Tuhannya. Sungguh celaka orang-orang yang berkeras untuk tidak mengingat Allah! Mereka dalam kesesatan yang nyata. (Surat az-Zumar: 22)

 Fungsi Agama bagi Manusia Agama islam, dapat berperan dan berfungsi bagi manusia yang dapat dikembangkan oleh setiap individu, sebagai berikut:

1. Pemberi makna bagi perbuatan manusia. 2. Alat control bagi perasaan dan emosi. 3. Pengendali bagi hawa nafsu yang terus berkembang. 4. Pemberi reinfor cement (dorongan penguat) terhadap kecenderungan berbuat baik pada manusia. 5. Penyeimbang bagi kondisi psikis yang berkembang.

13

Fungsi Agama bagi Manusia juga sebagai berikut:

1. Memberikan dukungan dan pelipur lara yang dapat membantu mengatasi kekhawatiran tentang masa depan yang tidak menentu dan mencemaskan. 2. Memberikan makna dan tujuan hidup bagi keberadaan manusia. 3. Memungkinkan adanya transdensi sehari. 4. Membantu manusia mengembangkan rasa identitas. 5. Membantu manusia selama menghadapi krisis yang terjadi pada tahap tradisi kehidupan.

14

MODUL 2 SUMBER AJARAN ISLAM

Sumber Ajaran Islam itu ada tiga, yakni Al-Quran, Hadits (As-Sunnah), dan Ijtihad. Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam.

Sumber ajaran Islam pertama dan kedua (Al-Quran dan Hadits/As-Sunnah) langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga (ijtihad) merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

 Sumber Ajaran Islam: Al-Qur’an Secara harfiyah, Al-Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.

Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan (akidah/tauhid/iman), peribadahan (syariat), dan budi pekerti (akhlak).

Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya. Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. “Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitabkitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37). “Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).

15

Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushaf Utsmani.

 Sumber Ajaran Islam: Hadists/As-Sunnah Hadits disebut juga As-Sunnah. Sunnah secara bahasa berarti "adat-istiadat" atau "kebiasaan"

(traditions).

Sunnah

adalah

segala

perkataan,

perbuatan,

dan

penetapan/persetujuan serta kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad Saw. “Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65). “Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S. 59:7). “Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah-ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni). “Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R. Abu Daud). Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan) Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan berbicara tentang ruku’ 16

dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar” sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga bacaan tahiyat dan salam.

Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.

Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa, Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah.

Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian diseleksinya.

Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i yang menuangkan koleksi haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan Imam Daruquthni dalam Sunan Daruquthni.

 Sumber Ajaran Islam: Ijtihad Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.

17

Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman. “Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?” “Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.” “Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” “Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.” “Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?” “Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.” “Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!” Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw. “Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?” “Kamu punya Al-Quran!” “Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?” “Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!” “Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?” “Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!” Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.

18

Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai AlQuran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersamasama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan. Wallahu a'lam.

19

MODUL 3 AJARAN ISLAM AKIDAH

A. Pengertian Aqidah Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan), al-muraashah (erat/rapat) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan aljazmu (penetapan).

"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: "‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan "‘Uqdatun Nikah" (ikatan pernikahan). Seperti dalam firman Allah Ta'ala,

‫عقه ْدت ُ ُم ْاْل ا ْي ام ا‬ ‫ان‬ ‫ااخذُ ُك ْم ِب اما ا‬ ِ ‫َّللاُ ِبالله ْغ ِو فِي أ ا ْي امانِ ُك ْم اولا ِك ْن يُؤ‬ ِ ‫اَل يُؤ‬ ‫ااخذُ ُك ُم ه‬ Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah: 89).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqaid. Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.

Sedangkan Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi) yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada tingkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya di atas hal tersebut. 20

Menurut M Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan aqidah menurut ketentuan bahasa (bahasa arab) ialah sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari padanya.

Adapun aqidah menurut Syaikh Mahmoud Syaltout adalah segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syakwasangka dan tidak dipengaruhi oleh keragu-raguan. Aqidah atau keyakinan adalah suatu nilai yang paling asasi dan prinsipil bagi manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri, bahkan melebihinya. Sedangkan Syekh Hasan Al-Banna menyatakan aqidah sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.

Aqidah merupakan aspek yang harus dimiliki lebih dahulu sebelum yang Iain‐lain. Aqidah itu harus bulat dan penuh, tidak ada keraguan dan kesamaran di dalamnya. Aqidah yang benar adalah Aqidah yang sesuai dengan ketetapan keterangan‐keterangan yang jelas dan tegas yang terdapat dalam Alquran dan hadits. Aqidah ini merupakan hal yang utama dan pertama yang harus ditanamkan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aqidah adalah pengikat yang menjadi keyakinan yang dianut oleh orang yang beragama Islam.

Seseorang yang beraqidah dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak benar. Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui Sang Penciptanya dengan benar, niscaya ia akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh atau bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya.

Adapun yang dapat menyempurnakan aqidah yang benar terhadap Allah adalah beraqidah dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para Rasul dan percaya kepada Rasul-rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan amanah dalam menyampaikan risalah Tuhan Mereka. Keyakinan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, dan para Rasul-rasul-Nya berserta syariat yang mereka bawa tidak akan 21

dapat mencapai kesempurnaan kecuali jika disertai dengan keyakinan akan adanya hari Ahkir dan kejadian-kejadian yang menggiringnya.

Salah satu ciri manhaj (jalan) yang lurus adalah manhaj yang memiliki kesamaan mashdar (sumber) pengambilan dalil dalam masalah agama, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah. Hal ini berlaku kapan dan di mana pun kaidah tersebut digunakan. Tidak ada kesimpangsiuran pemahaman akidah pada setiap zaman dalam manhaj tersebut. Dari zaman Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam hingga zaman sekarang dan sampai kapan pun, prinsip akidah yang benar tidak pernah berubah. Jika ada perubahan dalam hal akidah, tentu agama ini belumlah sempurna. Prinsip inilah yang digunakan oleh para ulama dalam memahami dan menjaga syariat Islam. Jika kita menelaah tulisan para ulama dalam menjelaskan akidah, maka akan didapati 2 sumber pengambilan dalil penting. Dua sumber tersebut meliputi : 1. Dalil asas dan inti yang mencakup Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ para ulama 2. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan yang telah diberikan oleh Allah azza wa jalla B. Sumber Islam Aqidah  Al-Quran Sebagai Sumber Akidah Al Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al Qur’an, sebagaimana dalam firman-Nya “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al An’am:115) Al Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan 22

manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan di atas pundaknya, termasuk di dalamnya perkara akidah. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan ditemui banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami akidah yang bersumber dari AlQur’an karena kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.  As Sunnah: Sumber Kedua Seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah. “Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4) Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda: “Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya”. (Riwayat Abu Dawud) Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat karena begitu banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadits yang shohih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang bukan berasal dari Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah menjaga kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman melalui para ulama ahli ilmu. Allah menjaga kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan membela sunnah-sunnah Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam dari usaha-usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga sunnah dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika

23

kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka agar tidak terseret dalam jurang penyimpangan. Selain melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara akidah-ditegaskan dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya firman Allah yang artinya : “Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang maka tinggalkanlah” (Q.S Al Hasyr:7) Dan firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rasul” (Q.S An Nisaa:59) Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnul Qoyyim juga pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya sholallohu ‘alaihi wassalam dengan mengulangi kata kerja (taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.  Ijma’ Para Ulama Ijma’ adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad sholallohu ‘alaihi wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan Ijma’, Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S An Nisaa:115) Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang wajib untuk diikuti karena

24

Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul. Di dalam pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang shahih karena perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma’ adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzoni sehingga menjadi qotha’i.  Akal Sehat Manusia Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahamanpemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa. Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan Al Qur’an ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”. Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat 25

dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam Qur’an, Sunnah dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.  Fitrah Kehidupan Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassalam bersabda “Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Muslim) Dari hadits ini dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk menghamba kepada Allah. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap bayi yang lahir telah mengetahui rincian agama Islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa, tetapi setiap manusia memiliki fitrah untuk sejalan dengan Islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua pencipta alam yang memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeru kepada Alloh seperti dijelaskan dalam firman-Nya. “Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling, dan manusia adalah sangat kufur” (Q.S Al Israa’:67) Semoga Allah memahamkan kita terhadap ilmu yang bermanfaat, mengokohkan keimanan dengan pemahaman yang benar, memuliakan kita dengan amalan-amalan yang bermakna. Wallahu’alam.

26

C. Ruang Lingkup Aqidah Seperti yang sudah disimpulkan di atas bahwa aqidah adalah pengikat yang menjadi keyakinan yang dianut, maka ruang lingkup aqidah juga berkenaan dengan keyakinan. Keyakinan itu sendiri disebut dengan iman. Rukun Iman adalah hal wajib yg mesti diimani/diyakini oleh seseorang yang mengaku beragama Islam. Tidak meyakini salah satu dari rukun iman ini, maka keimanan seorang muslim akan diragukan. Adapun ruang lingkup aqidah di antaranya adalah:

1. Iman kepada Allah SWT Meliputi upaya meyakini eksistensi Allah SWT dengan mempelajari dan mengenalNya melalui; dzat, asma’, sifat (karakteristik) dan af’al (perbuatan-Nya). Titik tekan yang paling utama adalah pada sifat-Nya yang berupa karakteristik Allah SWT. Dari sifat ini umat Islam akan dengan mudah mengidentifikasikan sesuatu itu tergolong sebagai khaliq (pencipta) atau makhluq (yang dicipta). Dalam hal ini pembahasan akan dipisah garis dikotomi yang tegas antara sifat wajib dan sifat yang mustahil bagi Allah SWT. Di samping mengetahui dan meyakini sifat yang wajib dan sifat yang mustahil bagi Allah yang perlu diketahui dan diyakini agar menambah keimanan megenai adanya Allah adalah mengenai nama-nama Allah yang baik yang berjumlah 99 yang dikenal dengan Al-Asma Al-Husna.

Adapun sifat yang wajib dan mustahil bagi Allah adalah sebagai berikut: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

SIFAT WAJIB Wujud Qidam Baqa' Mukhalafatuhu lil hawadits Qiyamuhu binafsihi Wahdaniyyah Qudrah Iradah Ilmu Hayat Sam'un Basar Kalam Qadirun 27

ARTINYA Ada Dahulu Kekal Berbeda dengan ciptaan-Nya Berdiri dengan sendirinya Esa, tunggal, satu Berkuasa Berkehendak Mengetahui Hidup Mendengar Melihat Berkata Yang Berkuasa

15 16 17 18 19 20

Muridun Alimun Hayyun Sami'un Basirun Mutakallimun

Yang Berkehendak Yang Mengetahui Yang Hidup Yang Mendengar Yang Melihat Yang Berbicara

Sedangkan sifat mustahil bagi Allah SWT adalah: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

SIFAT MUSTAHIL Adam Huduus Fana Mumatsalatuhu lil hawadits Ihtiyaju lighairihi Ta'addud Ajzun Karahah Jahlun Mautun Samamum Umyun Bukmun Ajizun Mukrahun Jahilun Mayyitun Ashamma A'maa Abkama

28

ARTINYA Tidak ada Baru Rusak Sama dengan ciptaan-Nya Membutuhkan yang lain Berbilang Lemah Terpaksa Bodoh Mati Tuli Buta Bisu Yang maha lemah Yang maha terpaksa Yang maha bodoh Yang mati Yang maha tuli Yang maha buta Yang maha bisu

2. Iman kepada Malaikat. Pembahasan ini meliputi defenisi malaikat dan ragam tugas-tugasnya. Pembahasan juga akan melingkupi diskursus mengenai kemungkinan manusia untuk melihat wujud malaikat. Firman Allah mengenai adanya malaikat terdapat dalam surat Al-Anbiya ayat 2627: Artinya: “Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah Telah mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan[6], Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya.[7] Mereka diciptakan Allah SWT, maka mereka beribadah kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Firman Allah SWT, yang artinya: ” …Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak bersikap angkuh untuk beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. “ (QS. AlAnbiya: 19-20). Sebenarnya jumlah malaikat itu banyak dan jika kita menghitungnya niscaya tidak akan dapat terhitung, akan tetapi ada sepuluh malaikat serta tugas-tugasnya yang wajib kita imani dan kita ketahui, yaitu: 1. Jibril Adalah malaikat yang diberikan amanat untuk menyampaikan wahyu, turun membawa petunjuk kepada Rasul agar disampaikan kepada umat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sungguh dia (Muhammad) telah melihatnya (Jibril) di ufuk yang terang” (QS. At Takwiir : 23) Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Aku melihatnya (Jibril) turun dari langit, tubuhnya yang besar menutupi antara langit sampai bumi” (HR. Muslim no. 177, dari ‘Aisyah radhiyallaHu ‘anHa) Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melihat jibril memiliki enam ratus sayap (HR. Al-Bukhari). 2. Mikail

29

Dialah yang diserahi tugas mengatur hujan dan tumbuh-tumbuhan dimana semua rizki di dunia ini berkaitan erat dengan keduanya. Terdapat penyebutan Jibril dan Mika-il secara bersamaan dalam satu ayat, Allah Ta’ala berfirma“Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mika-il, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah : 98) 3. Israfil Dia diserahi tugas meniup sangkakala atas perintah Rabb-nya dengan tiga kali tiupan. Pertama adalah tiupan keterkejutan, tiupan kedua adalah tiupan kematian dan tiupan ketiga adalah tiupan kebangkitan. 4. ‘Izra-il Penamaannya dengan malaikat maut tidak disebutkan dengan jelas di dalam al Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih. Adapun penamaan dirinya dengan ‘Izrail terdapat di sebagian atsar. 5. Munkar dan Nakir Terdapat penyebutan dengan mereka di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Tatkala orang yang mati telah dikubur, datanglah kepadanya dua malaikat yang hitam kebiruan, salah satu diantara keduanya dinamakan Munkar dan yang lainnya dinamakan Nakir” (HR. at Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiih Sunan at Tirmidzi) 6. Raqib dan ‘Atid Sebagian ulama menjelaskan bahwa diantara malaikat ada yang benama Raqib dan ‘Atid. Allah Ta’ala berfirman, “Maa yalfizhu min qaulin illaa ladayHi raqiibun ‘atiidun” yang artinya “Tidak suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf : 18) 7. Malik Dia adalah penjaga neraka. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka berseru, ‘Hai Malik, biarlah Rabb-mu membunuh kami saja’. Dia menjawab, ‘Kamu akan tetap tinggal (di Neraka ini)’. Sesungguhnya Kami telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan diantara kamu benci kepada kebenaran itu” (QS. Az Zukruf : 77-78) 8. Ridwan Dia adalah penjaga Surga. Ada sebagian hadits yang dengan jelas menyebutkan dirinya. 30

3. Iman kepada kitab-kitab Allah SWT. Pembahasan kitab suci adalah suatu wacana interkoneksi dengan sejumlah ilmu-ilmu lainnya, ilmu sejarah misalnya. Dengan menelusuri keimanan kepada kitab, seorang muslim akan diajak turut merunut kenyataan bahwa Al-Qur’an adalah kitab pamungkas yang paling agung. Ia adalah mukjizat terakbar dalam sejarah literatur sakral dunia.

4. Iman kepada para Rasul. Guna menyakini eksistensi para Rasul umat Islam dapat merumuskannya dengan terlebih dahulu mengetahui karakteristik (sifat) sebagai kualifiasi Rasul itu sendiri. Hal ini meliputi sifat wajib, sifat mustahil dan sifat ja’iznya.

5. Iman kepada hari akhir atau kiamat. Hari akhir atau kiamat yang dimaksud adalah hancurnya seluruh alam semesta di bawah titah Allah SWT. Pembahasan hari kiamat juga akan mencakup tentang fase-fase penting yang akan dialami oleh seluruh umat manusia. Fase-fase tersebut antara lain adalah adanya yaumil ba’ats (hari kebangkitan setelah kematian masal umat manusia), yaumil hisab (hari perhitungan amal), penitian atas jalur shirat (jembatan yang membentang di antara syurga dengan terminal perhitungan amal, dimana di bawah bentangan tersebut tergelarlah samudera neraka). Pembahasan hari kiamat dan alam setelahnya adalah wacana luas yang meliputi pembahasan-pembahasan tingkatan neraka dan syurga, nasib kaum kafirin dan fasiqin serta umat yang selamat mencapai syurga. Pada sisi pendahuluan, umat Islam biasanya juga akan diajak guna turut mengenal pertanda-pertanda awal ketika hari Kiamat akan datang. Hal ini penting ditegaskan, sebab bagaimanapun umat Nabi Muhammad adalah umat akhir zaman yang paling dekat dalam menyambut kehancuran semesta.

6. Iman kepada Qada dan qadhar. Selain membahas permasalahan yang berkaitan dengan rukun iman, aqidah Islamiyyah juga mencakup pembahasan peristiwa-peristiwa penting yang bersinggungan dengan keimanan seseorang. Artinya bahwa keimanan seseorang akan batal ketika mengingkari hal-hal tersebut. Pengingkaran yang berpotensi membatalkan iman seseorang adalah mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW. Isra’ Mi’raj 31

adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram atau Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Dari bumi Palestina Nabi Muhammad SAW diperjalankan menuju Sidhratul Muntaha atau Arasy guna beraudensi dengan Allah SWT. Puncaknya adalah misi pensyari’atan ibadah sholat lima waktu bagi umat Islam hingga akhir zaman. Wacana lainnya yang menjadi ruang pembahasan adalah masalah kemampuan manusia untuk melihat langsung kepada Allah SWT kelak di syurga. Hal ini adalah tema krusial dan kontroversial yang menjadi perdebatan kalangan Ulama Kalam selama berabad-abad lamanya. Setiap sekte teologi yang berkembang dalam Islam memiliki pendapat berbeda menyikapi masalah ini. Pembahasan pokok lainnya di dalam aqidah Islamiyyah adalah permasalah Mujtahid dan Mukhalid. Mujtahid menurut Syaikh Thahir bin Saleh al-Jazairi adalah adalah orang yang menguasai sebagian besar kaidah syari’at dan nash-nashnya . Sehingga seorang Mujtahid memungkinkan guna menggali dan menemukan maksud-maksud pensyari’atan suatu hukum agama. Meski ini merupakan wilayah ilmu fikih, namun menjadi hal yang integral di dalam ranah Aqidah. Mujtahid adalah sosok sentral yang paling bertanggungjawab menafsirkan dan menanggung akibat atas keputusan suatu konsep hukum yang digagasnya. Sedangkan Mukhalid adalah masyarakat umum umat Islam yang mengikuti pendapat Mujtahid. Meski demikian Mukhalid dibagi menjadi beberapa klasifikasi, dari yang paling awam hingga yang telah mapan pemikirannya. Dalam hal ini selama belum mencapai derajat Mujtahid.

32

MODUL 4 AJARAN ISLAM FIQIH A. Pengertian Fiqih Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78) dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511) Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti: 1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad. 2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya). Tidak perlu diragukan, bhwa kehidupan manusia ini mempunyai banyak segi, dan bahwa kebahagiaan manusia terletak pada terpeliharanya segi-segi tersebut seluruhnya, dengan cara diatur dan diberi undang-undang. Dan oleh karena Fiqih Islam ini berupa 33

hukum-hukum yang disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya, demi memlihara kemaslahatan-kemaslahatan mereka, maka Fiqih Islam sangat memperhatikan segala segi kehidupan ini, dan dengan hukum-hukumnya mengatur segala keperluan manusia. Dan untuk lebih jelasnya, perhatikan keterangan berikut ini: Kalau kita memperhatikan kitab-kitab Fiqih yang memuat hukum-hukum syari’at, yang disimpulkan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta ijma’ ulama kaum muslimin dan ijtihad-ijtihad mereka, niscaya kita dapati hukum-hukum itu terbagi menjadi tujuh kelompok, yang keseluruhannya merupakan undang-undang umum bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupaun masyarakat:  Kelompok pertama, berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan peribadatan kepada Allah, seperti wudlu, shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Hukum-hukum itu disebut al-‘Ibadat.  Kelompok kedua, berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, nasab, menyusukan anak, nafkah, waris dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut al-Ahwal asy-Syakhshiyah.  Kelompok ketiga, berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia dan pergaulan hidup sesama mereka, seperti jual-beli, gadai, sewa-menyewa, pernyataan-pernyataan, surat-surat tanda bukti, keputusan dan lain-lain. Hukumhukum ini disebut Mu’amalat.  Kelompok keempat, berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajibankewajiban pemerintah, seperti menegakkan keadilan, menolak kezaliman dan melaksanakan hukum-hukum, dan juga tentang kewajiban-kewajiban rakyat, seperti mentaati perintah dalam hal selain kemaksiatan, dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut al-Ahkam as-Sulthaniyah atau as-Siyasat asy-Syar’iyah.  Kelompok kelima, berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap kaum pendurhaka, dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban, seperti hukuman atas membunuh, pencuri, peminum khamar, dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut al‘Uqubat. 34

 Kelompok keenam, berupa hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara-negara lain, seperti perang, damai, dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut al-‘Uqubat.  Dan kelompok ketujuh, berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlaq dan tingkah laku, sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat buruk, dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut al-Adab wal Akhlaq.

Demikianlah, ternyata Fiqih Islam dengan hukum-hukumnya, mencakup segala keperluan manusia, dan memperhatikan segala aspek kehidupan individu maupun masyarakat. Bahwa Fiqih Islam itu berupa himpunan hukum-hukum syari’at yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya supaya dilaksanakan. Dan hukum-hukum ini seluruhnya berpangkal kepada sumber fiqih.

B. Sumber Islam Fiqih 1. Al-Qur’an Sumber Islam Fiqih. Al-Qur’an ialah Firman Allah Ta’ala, yang telah Dia turunkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang , yaitu firman yang termaktub dalam Mushaf . Al-Qur’an adalah sumber rujukan utama bagi hukum-hukum Fiqih Islam. Apabila timbul masalah, sebelum segala sesuatunya , terlebih dahulu kita merujuk kepada kitab Allah ‘Azza Wa Jalla ini, kita cari hukumnya di sana. Jika kita peroleh hukumnya di sana , maka kita ambil, dan tidak perlu kita merujuk kepada yang lain. Kalau kita bertanya tentang hukum meminum khamar, berjudi, memuja batu-batu dan mengundi nasib dengan panah umpamanya, maka kita merujuk kepada kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya kita dapat firman Allah Ta’ala di sana menyatakan: Hai orang-orang beriman , Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Q.S. Al-Maidah:90)

35

Dan apabila kita bertanya tentang jual-beli dan riba, maka akan kita dapati hukumnya dalam kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, yang menyatakan: Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharakan riba (Q.S. AlBaqarah:275) Dan juga, apabila kita menanyakan tentang hijab, maka hukumnya kita dapati pada Firman Allah Ta’ala: Dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya. (Q.S. An-Nur:31) Bi Khumurihinna jamak dari khimar, yang artinya kain kerudung penutup kepala. Uyubihinna jamak dari jaib, yaitu belahan baju dari arah kepala. Sedangkan yang dimaksud menutup khimar pada jaib ialah menutup tubuh bagian atas sekalian dengan penutup kepala. Dan kita dapati pula hukumnya dari firman Allah Ta’ala: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Handaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab:59) Yudnina: hendaklah para wanita mengulurkan dan menutupkan pada wajah dan leher mereka. Jalabibihinna, jamak dari jilbab, yaitu baju kurung yang menutupi seluruh tubuh, bagian atas maupun bawah. Adna: lebih dekat. Maksudnya, agar lebih mudah dibedakan antara wanita terhormat yang memelihara diri daripada yang tidak. Fala yu’dzaina: dengan demikian mereka tidak disakiti dan diganggu. Al-Qur’anul karim merupakan sumber utama dari hukum-hukum dalam Fiqih Islam. Namun demikian, Al-Qur’anul karim dengan ayat-ayatnya tidak bermaksud menerangkan berbagai masalah serinci-rincinya dan menjelaskan hukum-hukumnya dengan memberi nash atas masing-masing. Hanya Akidah-akidah sajalah yang oleh Al-Qur’anul karim dinyatakan nashnya secara rinci. Sedang soal ibadat dan mu’amalat hanya diberikan garis-garis 36

kehidupan kaum muslimin, sedang rincinya dia serahkan kepada Sunnah Nabi untuk menjelaskannya. Contohnya: Al-Qur’an menyuruh shalat, namun begitu tidak menjelaskan cara-caranya maupun bilangan rakaat-rakaatnya. Al-Qur’an menyuruh pula Zakat, tetapi tidak menjelaskan berapa ukurannya , berapa nisabnya dan harta apa saja yang wajib dizakati. Dan Al-Qur’an menyuruh pula menunaikan akad-akad, namun demikian, tidak menerangkan mana akad-akad yang sah, yang wajib ditunaikan itu, dan banyak lagi masalah-masalah yang lainnya. Oleh sebab itu, Al-Qur’an erat hubungannya dengan Sunnah Nabi yang bertugas meneranagkan garis-garis umum tersebut, dan menjelaskan masalah-masalah global yang ada dalam Al-Qur’an. 2. As-Sunnah Sumber Islam Fiqih. As-Sunnah ialah segala yang diberitakan orang dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuaan beliau. Contoh, dari As-Sunnah yang berupa perkataan, ialah berita yang pernah dikeluarkan oleh Al-Bukhari (48) dan Muslim (64) dari Nabi, beliau bersabda:

ُ‫فس ْوقُ ْالم ْس ِل ُِم ِسبَاب‬، ُ‫ك ْفرُ َو ِقتَاَله‬ Mencela orang Islam adalah Fasiq dan membunuhnya adalah kafir.

َُ‫صنَعُ َماكاَن‬ ُِ ‫ى‬ َُ ّ‫صل‬ ْ َ‫للا َرس ْولُ ي‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ ‫بَ ْيتِ ِه؟ ِفى َو‬ َ ُ‫علَ ْي ُِه للا‬ ْ َ‫ا َ ْه ِل ُِه ِم ْهنَ ُِة فِى يَك ْونُ كاَنَُ قَاَل‬، ُِ‫ض َرة‬ ُ‫ت‬ َّ ‫قا ََُم ال‬ َ ‫صالَةُ فَ ِا َذا َح‬ ‫اِلَ ْي َها‬ Apakah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah SAW di rumahnya? Maka jawab ‘Aisyah: “Beliau senantiasa membantu keluarganya. Dan apabila waktu shalat tiba maka beliau pun melakukannya.” Mihnati ahlihi: membantu keluarganya dalam pekerjaan yang mereka lakukan.

37

Adapun contoh persetujuan nabi, ialah apa yang pernah diriwayatkan oleh Abu Daud (1267), bahwa Nabi SAW melihat seorang lelaki melakukan shalat dua rakaat sesudah shalat subuh. Maka beliau bersabda; “Shalat subuh itu hanya dua rakaat.” Laki-laki itu menjawab: “Sesungguhnya aku belum melakukan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh yang dua rakaat itu. Dan sekarang inilah aku melakukannya.” Melihat itu Rasulullah SAW diam saja. Dan diamnya itu dianggap sebagai persetujuan beliau atas dibolehkannya shalat Sunnah Qabliyah dilakukan sesudah shalat fardlu, bagi orang yang tidak sempat melakukannya sebelumnya.

 Kedudukan As-Sunnah

Dalam kedudukannya sebagai rujukan hukum, as-Sunnah menempati tempat kedua sesudah al-Qur’anul Karim. Maksudnya, pertama-tama kita harus merujuk kep[ada al-Qur’an. Dan jika dalam al-Qur’an tidak kita dapati hukum, barulah kita merujuk kepada as-Sunnah. Apabila hukum itu kia dapati di sana, maka kita laksanakan seperti halnya bila kita dapati hukum itu dalam al-Qur’anul Karim, dengan syarat as-Sunnah itu benar-benar datang dari Rasulullah SAW dengan sanad yang shahih.  Tugas As-Sunnah

Tugas as-Sunnah tak lain adalah menjelaskan dan menerangkan hal-hal yang telah ada dalam al-Qur’anul Karim. Karena al-Qur’an – sebagaimana telah kita katakan – menetapkan kewajiban shalat secara garis besar saja, maka datanglah as-Sunnah menerangkan secara rinci cara-cara shalat, baik yang berupa ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan. Telah diriwayatkan secara sah dari

Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

‫صلُّ ْوا‬ ُْ ‫ص ِلّى َراَيْتم ْو ِن‬ َ ‫ى َك َما‬ َ ‫البخارى رواه(ا‬ Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat. (H.R alBukhari: 605) 38

Begitu pula as-Sunnah telah menjelaskan tentang amalan-amalan dan manasik haji. Rasulullah SAW bersabda:

‫عنِِّى َمنَا ِس َك ُك ْم)رواه البخارى‬ َ ‫ُخذُ ْوا‬ Ambillah dariku manasik hajimu. (H.R. al-Bukhari).

Dan telah dijelaskan pula oleh as-Sunnah akad-akad yang diperbolehkan dan akad-akad yang diharamkan dalam mu’amalat dan lain-lain. Selain dari itu, as-Sunnah mensyari’atkan pula beberapa hukum yang tidak disebutsebut oleh al-Qur’an dan tidak dinyatakan hukumnya. Umpamanya, pengharaman memakai cincin emas dan mengenakan sutera bagi kaum lelaki. Ringkasnya, bahwa as-Sunnah adalah sumber kedua sesudah al-Qur’anul Karim, dan bahwa melaksanakannya adalah wajib. Dan as-Sunnah itu merupakan keharusan yang tak bisa dihindari dalam rangka memahami dan melaksanakan al-Qur’an.

3. Ijma’ Sumber Islam Fiqih Ijma’ artinya kesepakatan semua ulama’ mujtahidin dari ummat Muhammad SAW pada suatu masa, atas suatu hukum syari’at. Jadi, apabila para ulama’ itu telah sepakat – baik di masa sahabat maupun sesudahnya – atas salah satu hukjm syari’at, maka kesepakatan mereka adalah merupakan ijma’, sedang melaksanakan apa yang mereka sepakati adalah wajib. Dalilnya, bahwa nabi SAW telah memberitakan, bahwa para ulama’ kaum muslimin takkan sepakat atas satu kesesatan. Jadi kesepakatan mereka adalah merupakan kebenaran. Dalam Musnadnya (6 396),

Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Bashrah al-Ghifari RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

39

‫ضَلَلَ ٍة‬ َ ‫ى‬ َ ‫ع َّز َو َج َّل ا َ ْن الَيَ ْج َم َع ا ُ َّمتِى‬ َ َ‫سأ َ ْلتُ هللا‬ َ َ َ‫عل‬ َ ‫فَا َ ْع‬. ‫طانِ ْي َها‬ Aku telah meminta kepada Allah ‘Azza Wa Jalla’ agar ummatku tidak menyepakati suatu kesesatan, maka permintaanku itu Dia perkenankan. Contohnya ialah ijma’ para sahabat RA, bahwa kakek mengambil seperenam harta peninggalan si mayi, bila ada anak lelaki, sedang ayah mayit itu tidak ada.  Kedudukan Ijma' dalam Fiqih Islam Sebagai rujukan hukum, ijma’ menempati urutan ketiga. Artinya, apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama’ kaum muslimin telah ijma’. Apabila ternyata demikian, maka ijma’ mereka kita ambil dan kita laksanakan. 4. Qiyas Sumber Islam Fiqih Qiyas ialah menyamakan suatu perkara, yang hukumnya syara’nya tidak ada, dengan perkara lain yang ada nash hukumnya, dikarenakan adanya kesamaan ‘illat do anara keduanya. Qiyas seperti ini dapat kita jadikan rujukan, hukum , apabila kita tidak mendapatkan satu nash atas hukum suatu masalah, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’.  Rukun-rukun Qiyas: Adapun rukun Qiyas ada empat: Asal (pokok) yang merupakan standar Qiyas. Fara’ (cabang) yang diQiyaskan, hukum asal yang ada nashnya, dan ‘illat (alasan) yang mempersamakan antara asal dengan Fara’. Contoh Qiyas, bahwa Allah telah mengharamkan khamar dengan nash dalam AlQur’an Karim, sedang ‘illat dari pengharamannya khamar itu memabukkan dan menghilangkan akal. Apapun minuman yang lain sekalipun namanya bukan khamar tapi minuman itu membukkan hukum minuman itu haram, karena diQiyaskan kepada khamar. Sebab ‘illat pengharaman-yaitu memabukkan-terdapat dalam minuman tersebut. Dengan dengan demikian, ia pun hukumnya haram seperti halnya khamar.

40

MODUL 5 AJARAN ISLAM AKHLAK

A. Pengertian Akhlak Secara etimologi akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabi’at. Sinonim kata akhlak adalah budi pekerti, tata krama, sopan santun, moral dan etika. Sedangkan akhlak menurut istilah sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut : akhlak adalah suatu bentuk (naluri asli) dalam jiwa seorang manusia yang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan mudah dan sopan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik dan terpuji menurut akal dan agama, maka disebut budi pekerti yang baik. Namun sebaliknya bila melahirkan tindakan dan kelakuan yang jahat maka disebut budi pekerti yang buruk. Yang di maksud melahirkan tindakan dan kelakuan

ialah suatu yang dijelmakan

anggota lahir manusia, misalnya tangan, mulut, demikian juga yang dilahirkan oleh anggota bathin yakni hati yang tidak dibuat-buat. Kalau kebiasaan yang tidak dibuat-buat itu baik disebut akhlak yang baik dan kalau kebiasaan yang buruk disebut akhlak yang buruk. Jadi dapat kita simpulkan awal perbuatan yang itu lahir malalui kebiasaan yang mudah tanpa adanya pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. contohnya jika seseorang memaksakan dirinya untuk mendermakan katanya / menahan amarahnya dengan terpaksa , maka orang yang semacam ini belum disebut dermawan / orang yang sabar. Seseorang yang memberikan pertolongan kepada orang lain belumlah dapat dikatakan ia seorang yang berakhlak baik.

41

Apabila ia melakukan hal tersebut karena dorongan oleh hati yang tulus, ikhlas, dari rasa kebaikannya / kasihannya sesama manusia maka ia dapat dikatakan berakhlak dan berbudi pekerti yang baik. Jadi akhlak adalah masalah kejiwaan, bukan masalah perbuatan, sedangkan yang tampak berupa perbuatan itu sudah tanda / gejala akhlak. Sedangkan akhlak menurut Ibrahim Anis adalah sifat yang tertanam di dalam jiwa yang dengannya malahirkan macam-macam perbuatan baik / buruk tampa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Dan menurut Abdul Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatan baik / buruk untuk kemudian memilih melakukan / meninggalkannya. Dari beberapa pengertian tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa akhlak / khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran / pertimbangan terlebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Sifat spontanitas dari akhlak tersebut ccontohnya adalah apabila ada seseorang yang menyumbang dalam jumlah besar untuk pembangunan mesjid setelah mendapat dorongan dari seorang da’i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadist-hadist tentang keutamaan membangun mesjid di dunia), maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kemurahannya itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar dan belum tentu muncul lagi pada kesempatan yang lain. Boleh jadi tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyumbang. Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa akhlak itu brsifat spontan dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Menurut terminologi, filosofis akhlak Islam yang terpengaruh oleh filsafat Yunani ia memberikan defenisi akhlak yaitu suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan. Dari keadaan itu tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi 2 ada yang berasal dari tabiat aslinya ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulangulang. Boleh jadi tindakan itu pda mulanya hanya melalui pemikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus maka jadilah suatu bakat dan akhlak. Di samping istilah akhlak juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu samasama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Akhlak itu ada yang bersifat tabrat / alami, maksudnya bersifat fitrah sebagai pembawaan sejak lahir, misalnya sabar, penyayang, malu, sebagaimana di dalam hadist Abdil Qais disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW berkata kepadaku “sesungguhnya pada diri kamu ada dua tabiat yang di 42

sukai Allah”, Aku berkata “Apa yang dua itu ya Rasulullah?”, rasulullah SAW menjawab “Sabar dan malu”. Kata akhlak dipakai untuk perbuatan terpuji dan perbuatan tercela. Oleh karena itu akhlak memerlukan batasan agar bisa dikatakan akhlak terpuji / akhlak tercela.

Ajaran akhlak dalam Islam berumber dari wahyu Illahi yang termasuk dalam Al-quran dan sunnah. Akhlak dalam Islam bukanlah moral yang kondisional dan situasional, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak untuk memperoleh kebahagian di dunia ini dan di akhirat kelak. Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting. Di dalam Alquran saja banyak ayat-ayat yang membicarakan masalah akhlak . belum lagi dengan hadits-hadits Nabi, baik perkataan maupun perbuatan, yang memberikan pedoman akhlak yang mulia dalam keseluruhan aspek kehidupan. Akhlak dalam Islam bukanlah moral yang harus disesuaikan dengan suatu kondisi dan situasi, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak, nilai-nilai baik dan buruk, terpuji dan tercela berlaku kapan saja, dimana saja dalam segala aspek kehidupan tidak di batasi oleh ruang dan waktu. Ajaran akhlak dalam Islam sesuai dengan fitrah manusia. Manusia akan mendapatkan kebahagiaan hakiki bukan semu bila mengikuti nilai-nilai kebaikan yang di ajarkan oleh Alquran dan Sunnah, dua sumber akhlak dalam Islam. Akhlak Islam benar-benar memelikhara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormay sesuai dengan fitrahnya itu. Hati nurani / fitrah dalam bahasa Alquran memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid, mengakui keesaanNya. (QS Ar-Rum :30) Karena fitrah itulah manusia kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaranajaran Tuhan, karena kebesaran itu tidak akan di dapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah hanyalah merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat lagi melihat kebenaran, oleh sebab itu ukuran baik dan buruk tidak di serahkan sepenuhnya hanya

43

kepada hati nurani / fitrah manusia semata, harus dikembalikan kepada penilaian syara’ yaitu Alquran dan Hadits. Semua keputusan syara’ tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena kudua-duanya berasal dari sumber yang sama yauti Allah SWT. Demikian juga halnya dengan akal pikiran. Ia hanya lah salah satu kekuatan yang dimilki manusia untuk mencari kebaikan / keburukan . Dan keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya, oleh karena itu keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan subjektif. Demikanlah tentang hati nurani dan akal pikiran. Di samping istilah akhlak juga di kenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu samasama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaanya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlak standarnya adalah Alquran dan Sunnah, bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran, dan bagi moral standarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.

B. Hubungan Akhlak dan Tingkah Laku Jika akhlak merupakan sifat diri secara bathiniahyang bisa diketahui oleh mata hati, tingkah laku merupakan gambara diri secara lahiriah yang bisa diketahui oleh mata atau dapat kita katakan bahwa hubungan akhlak dan tingkah laku itu seperti hubungan antara yang menunjukkan dan yang ditunjukkan. Jika tingkah laku manusia itu baik serta terpuji, akhlaknya terpuji, sedangkan jika tingkah lakunya buruk maka serta tercela maka akhlaknya pun tercela. Inipun terjadi bila tak ada faktor luar yang mempengaruhi tingkah laku itu, kemudian menyebabkan tidak mengarakan akhlak secara benar. Contohnya orang yang bersedekah karena ingin dilihat orang-orang disampingnya. Rasulullah juga pernah bersabda “Manusia yang paling banyak dimasukkan ke dalam surga adalah manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan akhlak yang baik”. Akhlak itu merupakan suatu keadaan dalam diri, maksudnya ia merupakan suatu sifat dimilki aspek jiwa manusia, sebagaimana tindakan merupakan suatu sifat bagi aspek tubuh manusia.

C. Pembagian Akhlak Akhlak dibagi menjadi dua macam : 1. Akhlakul Karimah

44

Akhlakul karimah adalah akhlak yang mulia atau terpuji. Akhlak yanh baik itu dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik pula yaitu sesuai dengan ajaran Allah SWT dan rasil-rasulNya1[3] Misalnya : a.

Bertqwa kepada Allah SWT “Dan bertaqwalah kepada Ku, hai orang-orang yang berakal”. (QS Al-Baqarah : 197) Rasulullah juga telah bersabda yang mana artinya adalah sebagai berikut : “Bertqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah suatu keburukan dengan kebaikan, niscaya akan menghapuskannya dan bergaullah dengan sesma manusia dengan akhlak yang baik” (H.R Tirmidzi dari Abu Dzar dan Mu’adz bin Jabal)

b. Berbuat baik kepada kedua orang tua. Allah SWT telah berfirman yang mana artinya adalah sebagai berikut : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia.dan hendaklah kamu berbuat baik kepad ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS Al-Isra’ : 23) Rasulullah juga telah bersabda “Ridha Allah SWT itu terletak pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murkanya kedua orang tua” (H.R Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr). c.

Suka Menolonh Orang yang Lemah Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Maidah : 2 yang mana artinya adalah sebagai berikut “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa. Dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”. Rasulullah juga telah bersabda : “Dan Allah akan menolong hambaNya, selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”

45

(H.R Muslim dari Abu Hurairah)

2. Akhlakul Madzmumah Akhlakul madzmumah adalah akhlah tercela / akhlak yang tidak terpuji. Akhlakul madzmumah (tercela) ialah akhlak yang lahir dari sifat-sifat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah SWT dan RasulNya.2[4] Misalnya : a.

Musryik (menyekutukan Allah) Sebagaiman firman Allah SWT yang artinya : “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata ‘sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam’ padahal Al Masih sendiri berkata ‘ Hai Bani Israil, sembahlan Allah Tuhanku dan Tuhanmu!’. Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pastilah Allah mengharamkam surga kepadanya dan tempatnya adalah neraka. Orangorang zalim itu tidaklah mendapat seorang penolong pun” (QS Al Maidah : 72). Rasulullah SWA juga bersabda yang artinya sebagai berikut : “Tidaklah kalian mau kuberi tahukah sebesar-besarnya dosa besar? (beliau mengatakan demikian demikian sampai 3 kali). Para sahabat menjawab,”Tentu ya Rasulullah “. Rasulullah SAW bersabda yang demikian itu adalah musryik (menyekutukan Allah)”. (H.R Bukhari dan Muslim)

b. Pergaulan Bebas (zina) Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina , sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk” (QS Al-Isra’ : 32) Rasulullah telah bersabda yang artinya : “tidak ada suatu dosa pun setelah musryik (menyekutukan Allah) yang lebih besar di sisi Allah dari pada seseorang yang meletakkan spermanya kepada kamaluan perempuan yang tidak halal baginya” (H.R Ahmad dan Thabari dari Abdullah bin Al-Harits)

46

c.

Meminum Minuman Keras (narkoba) Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Maidah : 90, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maidah : 90) Rasulullah dalam hal ini telah bersabda : “Jauhilah minum minuman keras, karena dia merupakan kunci segala keburukan” (H.R Al-Hakam dari Ibnu Abbas r.a)

D. Kedudukan Akhlak Dalam Islam Akhlak mempunyai kedudukan yang paling penting dalam agama Islam. Antaranya: E. Akhlak dihubungkan dengan tujuan risalah Islam atau antara perutusan utama Rasulullah saw. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Pernyataan Rasulullah itu menunjukkan pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam. F. Akhlak menentukan kedudukan seseorang di akhirat nanti yang mana akhlak yang baik dapat memberatkan timbangan amalan yang baik. Begitulah juga sebaliknya. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Tiada sesuatu yang lebih berat dalam daun timbangan melainkan akhlak yang baik.” G. Akhlak dapat menyempurnakan keimanan seseorang mukmin. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.” H. Akhlak yang baik dapat menghapuskan dosa manakala akhlak yang buruk boleh merosakkan pahala. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Akhlak yang baik mencairkan dosa seperti air mencairkan ais (salji) dan akhlak merosakkan amalan seperti cuka merosakkan madu.” I. Akhlak merupakan sifat Rasulullah saw di mana Allah swt telah memuji Rasulullah kerana akhlaknya yang baik seperti yang terdapat dalam al-Quran, firman Allah swt yang bermaksud: “Sesungguhnya engkau seorang yang memiliki peribadi yang agung 47

mulia).” Pujian allah swt terhadap RasulNya dengan akhlak yang mulia menunjukkan betapa besar dan pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam. Banak lagi ayat-ayat dan hadith-hadith Rasulullah saw yang menunjukkan ketinggian kedudukan akhlak dan menggalakkan kita supaya berusaha menghiasi jiwa kita dengan akhlak yang mulia. J. Akhlak tidak dapat dipisahkan dari Islam, sebagaimana dalam sebuah hadith diterangkan bahawa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, apakah itu agama?” Rasulullah menjawab: “Akhlak yang baik.” K. Akhlak yang baik dapat menghindarkan seseorang itu daripada neraka sebaliknya akhlak yang buruk menyebabkan seseorang itu jauh dari syurga. Sebuah hadith menerangkan bahawa, “Si fulan pada siang harinya berpuasa dan pada malamnya bersembahyang sedangkan akhlaknya buruk, menganggu jiran tetanganya dengan perkataannya. Baginda bersabda : tidak ada kebaikan dalam ibadahnya, dia adalah ahli neraka.” L. Salah satu rukun agama Islam ialah Ihsan, iaitu merupakan asas akhlak seseorang muslim. Ihsan iaitu beribadat kepada allah seolah-olah kita melihatNya kerana walauun kita tidak melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihat kita  Kedudukan Akhlakul Karimah Akhlakul karimah merupakan barometer tinggi rendahnya derajat seseorang sekalipun orang itu pandai setinggi langit, namun jika ia suka melanggar norma-norma agama maka ia tidak bisa dikatakan orang yang mulia. Akhlakul karimah tidak hanya menentukan tinggi rendahnya derajat seseorang akan tetapi mencakup pula derajat suatu bangsa. Suatu bangsa dapat dikatakan mulia karena kemuliaan dan kebesarannya, kalau mereka berakhlak jahat dan hinakarena yang akan tinggal itu bukan kemewahan dan kebesarannya melainkan akhlaknya. Oleh karena itu akhlak menjadi peninggalan kekal yang akan terhapus selama dunia dihuni manusia, sedang kemewahan dan kebesaran itu akan lenyap bila bangsa itu hancur dan binasa. Lenyapnya kemuliaan suatu bangsa karena kehilangan akhlak yang baik dan utama dari mereka, demikian pula sebaliknya kekalnya suatu bangsa karena kekalnya akhlak-akhlak dari mereka. Seorang pujangga Mesir bernama Ahmad Syauqi dalam salah satu qubahannya: Sesungguhnya suatu bangsa akan menjadi jaya dan terhormat selama bangsa itu memiliki akhlak yang luhur, apabila bangsa itu telah kehilangan akhlak yang luhur, maka bangsa itu akan musnah dan hancur lembur. 48

Oleh karena itu masalah akhlak itu tidak bisa dianggap sepele, karena mencakup masyarakat luas, yang akan mengangkat drajat manusia ke tingkat yang semulia-mulianya, namun bila salah jalan justru akan membawa mareka kepada derajat yang serendahrendahnya. Masalah akhlak pada masa sekarang ini pada umumnya kejahatan mengatasi kebaikan,kebatilan mengatasi kebenaran, pencemaran menjadi perbuatan yang lumrah dilakukan orang. Pada masa sekarang orang tua sangat mengkhawatirkan moral anaknya, karena rusaknya pergaulan dikalangan manusia, khususnya pada masa remaja. Masa yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dipengaruhi oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Namun manusia tidak bisa semata-mata mengandalkan teknologi dan ilmu pengetahuan ini untuk membimbingnya ke jalan kebajikan dan mengesampingkan ajaran dan tuntutan agama. Kaum muslim sebaiknya mempraktekkan akhlakul karimah ini, karena kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah sebagai penyempurna akhlak yang baik dan utama. Sebagaimana diterangkan dalam sabdanya yang artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R Al-Hakim dari Abu Hurairah) Sebagai anjuran bagi umatnya supaya berakhlak baik, bliau bersabda, yang artinya adalah : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R Tirmidzi dari Abu Hurairah) Dan Nabipun telah mendorong orang tua agar mengajarkan tata krama dan sopan santun kepada anak-anaknya tersebut dalam sebuah hadits yang artinya “Muliakanlah anak-anakmu dan baguskanlah budi pekerti mereka” (H.R Ibnu Majah dari Anas bin Malik) Nabi Muhammad tidak hanya menganjurkan umatnya supaya berakhlak baik dan mulia, tetapi lebih dahulu beliau berakhlak mulia, bersopan santun dan berperangai terpuji, sehingga Allah SWT memberikan pujian kepada beliau yang belum pernah diberikannya kepada orang lain, sebagaimana diterangkan dalam firmannya : “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berbudi pekerti agung” (QS Al-qalam : 4) Oleh karena itu setiap muslim berkewajiban mendidik dirinya sendiri dan ank-anaknya supaya berakhlak baik. Dan di perguruan tinggi masalah akhlak ini perlu mendapat perhatian. Janganlah mereka hanya mementingkan ilmu pngetahuan dan teknologi saja, sedangkan akhlak tidak diperhatikan. 49

Ilmu pengetahuan dan teknologi serta penghidupan yang serba mewah itu, tidaklah memiliki arti apa-apa kalau mereka dan anak-anak mereka berakhlak jahat dan hina, karena ketiadaan akhlak yang baik itu bisa membawa mereka kepada kerusakan dan kerendahan. Dalam keseluruhan agama Islam akhlak menempati kedudukan istimewa dan sangat penting, karena Rasulullah SAW menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia sebagai misi pokok risalah Islam, beliau bersabda yang artinya : “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R Baihaqi) Akhlak merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam sebagai Rasulullah Saw pernah mendefenisikan agama itu dengan akhlak yang baik. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya pada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, apakah agama itu? Beliau menjawab “Agama itu adalah akhlak yang baik”. Pendefisian agama (Islam) dengan akhlak yang baikitu sebanding dengan pendefenisian ibadah haji dengan wuquf di Arafah. Rasulullah menyebutkan haji adalah wuquf di Arafah. Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wuquf di Arafah. Akhlak yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nantipada hari kiamat. Rasulullah bersabda yang mana artinya : “Tidak ada satupun yang akan lebih memberatkan timbangan (kebaikan) seorang hamba mukmin nanti pada hari kiamat selain dari akhlak yang baik” (H.R Tirmidzi) Dan orang yang paling dicintai serta dekat dengan Rasulllah SAW nanti pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Rasulullah menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai ukuran klulitas imannya. Hal ini bisa kita lihat pada sabda rasulullah yang artinya adalah : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, misalnya shalat, puasa, zkat, dan haji. Sebagaiman firman Allah yang artinya : “Dan dirikan lah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS Al-Ankabut : 29:45) Rasulullah juga pernah bersabda bahwa puasa itu bukan hanya menahan makan dan minum saja, tapi puasa itu menahan diri dari perbuatan kotor dan keji. Jika seoarng mencaci, menjahili kamu maka katakan sesungguhnya aku sedang puasa. Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah 9:103 : “ Ambilah zakat dari sebagaian harta mereka, demgan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. Firman allah dalam surat Al-Baqarah : 197

50

“Musim haji adalah beberapa bulan dimaklumi. Barabg siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulakan birahi yang tidak senonoh / bersetubuh dalam masa mengerjakan haji”. Dan beberpa arti dari ayat di atas kita dapat melihat adanya kaitan langsung antara shalat, puasa, haji dan zakat dengan akhlak. Seseorang yang mendirikan shalat tentu tidak akan mengerjakan segala perbuatan yang tergolong keji dan mungkar. Sebab apalah arti shalat kalau dia tetap saja mengerjakan kekejian dan kemungkaran. Seseorang yang benarbenar puasa demi mencari ridha Allah, di samping menahan keinginannya untuk makan dan minum, tentu saja akan menahan dirinya dari segala kata-kata yang kotor dan perbuatan yang tercela. Sebab tanpa meninggalkan perbuatan yang tercela itu dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus semata. Begitu juga dengan ibadh, zakat dan haji, di kaitkan oleh Allah SWT hikmahnya dengan aspek akhlak. Jadi kesimpulannya, akhlak yang baik dan diterima oleh Allah adalah buah dari ibadahyang baik atau ibadah yang baik dan diterima oleh Allah SWT tentu akan melahirkan akhlak yang baik dan terpuji. Nabi Muhammad Saw selalu berdoa agar Allah SWT membaikkan akhlak beliau.

Salah satu doa beliau adalah : “Ya Allah tunjukilah aku jalan menuju akhlak yang baik, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat memberi petunjuk menuju jalan yang lebih baik selain engkau. Hindarilah aku dari akhlak yang buruk karena sesungguhnya tidak ada yang dapat menghindarkan aku dari akhlak yang buruk kecuali engku”. Di dalam Alquran banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlak,baik berupa perintah untuk berakhlak yang baik serta pujian dan pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mematuhi perintah itu, maupn larangan berakhlak yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang-orang yang melanggar.

E. Sumber – Sumber Akhlak Dalam Islam Akhlak yang benar akan terbentuk bila sumbernya benar. Sumber akhlak bagi seorang muslim adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga ukuran baik atau buruk, patut atau tidak secara utuh diukur dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan tradisi merupakan pelengkap selama hal itu tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul51

Nya. Menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber akhlak merupakan suatu kewajaran bahkan keharusan. Sebab keduanya berasal dari Allah dan oleh-Nya manusia diciptakan. Pasti ada kesesuaian antara manusia sebagai makhluk dengan sistem norma yang datang dari Allah SWT. F. Hubungan Akhlak Dengan Iman dan Ikhsan Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari beberapa hadis terkenal seperti “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi.” Iman menjadi dasar untuk berperilaku bagi setiap insan yang mengaku dirinya muslim. Karena dengan iman seseorang akan merasakan adanya dzat yang Maha Halus dan Maha Mengetahui, yang tidak hanya menghindarkan orang dari bebuat jahat tapi juga memotifasi untuk berbuat baik. Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlak harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatAn yang dilakukan selama didunia ini akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

52

DAFTAR PUSTAKA Adnan, Habib, HS, Islam dan Dinamika Kehidupan:Refleksi dan Peran Ulul Albab. Denpasar: MUI Tk.I Bali-CV Saka Abiyuda, 1997 Djatnika, Rachmat. 1996. Sistem Ethika Islam. Jakarta: pustaka panjimas. Hasan, Aliah B purwakania . 2006 . Psikologi Perkembangan Islam . Jakarta: Rajagrafindo persada. Husnan, Djaelan, dkk. 2009. Islam Integral Membangun Kepribadian Islami. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Rachmat, Noor. 2009. Islam dan Pembentukan Akhlak Mulia. Depok: Ulinnuha press. Majalah Al Islam edisi I dan II Azmi, Rifki, 2013. Ajaran, Hukum dan Aturan Agama Islam dengan Dalil Alqur'an dan Hadits Nabi Muhammad saw. Jakarta: Pustaka DR.H.Yunahar.1999.Kuliah Akhlak.Yogyakarta:Pustaka Pelajar offset.hal

DR. Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari.2006.Keistimewaan Akhlak Islam. Bandung: Pustaka Setia

53

Drs.KH.Ahmad Dimyathi Badruzzaman,M.A.2004.Panduan Kuliah Agama Islam. Bandung: Sinar Baru Ibid,hal 41

54

More Documents from "Hasan Jr."