1 LAPORAN LENGKAP PRAKTEK LAPANG MANAJEMEN TATA LINGKUNGAN AKUAKULTUR (MTLA)
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Mata Kuliah Manajemen Tata Lingkungan Akuakultur
OLEH :
ARDANA KURNIAJI I1A210 097
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2013
2 I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepualauan yang mempunyai garis pantai kurang
lebih 81.000 km dengan luas perairan pantai 5,8 juta km2 merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan budidaya laut. Kondisi seperti ini merupakan modal untuk pengembangan perekonomian, khususnya bagi sub sector perikanan. Selama ini pemanfaatan sumber daya perikanan laut sebagian besar masih terbatas psda usaha penangkapan atau pengumpulan dari alam. Usaha yang sepenuhnya mengantungkan kepada hasil penangkapan atau pengumpulan dari alam tersebut akan membawa pengaruh terhadap kontinuitas produksi. Kegiatan penangkapan atau pengumpulan hasil laut yang tidak bijaksana atau penangkapan lebih (Over Fishing) dapat berakibat menurunnya populasi dan kelestarian sumber itu sendiri. Kegiatan budidaya udang merupakan jenis usaha perikanan yang hampir semua proses produksinya dapat ditargetkan sesuai dengan keinginan, sejauh manusia dapat memenuhi persyaratan pokok dan pendukung kehidupan serta pertumbuhan udang yang optimal. Tingginya produksi menyebabkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengekspor udang besar di dunia. Kegiatan ini biasa memanfaatkan lahan-lahan pesisir yang berbatasan langsung dengan pinggir pantai. Tambak merupakan wadah budidaya yang intens digunakan dalam budidaya udang khususnya udang vaname. Pembesaran udang dalam tambak merupakan hal yang telah sering dilakukan oleh pembudidaya baik skala ekstensif atau konvensional hingga pada skala super intensif. Salah satu pembudidaya yang melakukan budidaya udang secara intensif adalah pembudidaya yang berada di
3 Desa Bororo Kabupaten Konawe Selatan. Prosedur budidaya yang dilakukan telah membuat kegiatan budidaya ini mampu menembus pasar ekspor. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih jauh mengenai proses dan tata lingkungan yang diterpkan dalam budidaya tambak pada pembudidaya yang dimaksud, dilakukanlah praktikum ini guna mendapatkan informasi yang lebih mendetail. 1.2.
Tujuan dan Manfaat Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk dapat mengetahui mengenai
penataan lingkungan yang baik untuk budidaya udang vanamei pada tambak intensif. Manfaat dari praktikum ini adalah agar dapat menjadi bahan informasi tentang mahasiswa untuk dapat mengetahui cara budidaya udang vanamei secara intensif.
4 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Organisme Yang Dibudidayakan 2.1.1. Kalsifikasi Udang Vaname merupakan udang jenis introduksi yang saat ini banyak dibudidayakan di Indonesia, hal ini dikarenakan induk/benur udang vaname berkualitas mudah didapat, mudah didomestikasi, tersedia. Namun seiring perkembangan teknologi budidaya udang vaname di Indonesia dan terjadinya penurunan kualitas lingkungan, maka berbagai masalah muncul dan mengancam perkembangan udang ini (Rukyani, 2004). Menurut Haliman dan
Adijaya (2005), klasifikasi udang vaname
(Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Crustacea Class : Malacostraca Order : Decapoda Family : Penaeidae Genus : Litopenaeus Species : Litopenaeus vannamei
Gambar 1. Udang Vannaemei (Litopenaeus vanname )
5 Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) udang vannamei bersifat noktural, yaitu melakukan aktifitas pada malam hari. Proses perkawinan ditandai dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat loncatan tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat besamaan, udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung sekitar 1 menit. Sepasang udang vannamei dapat menghasilkan 100.000-250.000 butir telur yang menghasilkan telur yang berukuran 0,22 mm.Siklus udang vannamei meliputi stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), udang merupakan golongan hewan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda, polyhaeta, larva kerang, dan lumut. Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulubulu halus (setae) yang terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxillipied. Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dicapit menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxillipied di dalam mulut. 2.1.2. Morfologi dan Anatomi Bagian tubuh udang vanamei terdiri dari kepala yang bergabung dengan dada (chepalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang vanamei terdiri dari antenula , antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Kepala udang vanamei juga
6 dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang terdiri dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxiliped. Perut udang vanamei terdiri dar 6 ruas dan juga terdapat pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson. Sift udang vanamei aktif pada kondisi gelap dan dapat hidup pada kisaran salinitas lebar dan suka memangsa sesama jenis (kanibal), tipe pemakan lambat tapi terus menerus (continous feeder) serta mencari makan lewat organ sensor. Spesies ini memiliki 6 stadia naupli, 3 stadia protozoa, 3 stadia mysis dan stadia post larva dalam siklus hidupnya. Stadia post larva berkembang menjadi juvenil dan akhirnya menjadi dewasa (Haliman 2005 diacu dalam Pranoto 2007). Udang vanamei juga mempunyai nama F.A.O yaitu whiteleg shrimp, crevette pattes blanches, dan camaron patiblanco. Udang vanamei dapat tumbuh sampai 230 mm/9 inchi (Dore dan Frimodt 1987 diacu dalam Muzaki 2004). Udang vanamei menyukai dasar yang berpasir dengan kedalaman sekitar 72 m dari permukaan laut (Dore dan Frimodt 1987 diacu dalam Muzaki 2004). Pada betina gonad pertama berukuran kecil, berwarna coklat keemasan atau coklat kehijauan pada musim pemijahan Penaeus vannamei, biasa juga disebut sebagai udang putih dan masuk ke dalam famili Penaidae. Anggota famili ini menetaskan telurnya di luar tubuh setelah telur dikeluarkan oleh udang betina. Udang Penaeid dapat dibedakan dengan jenis lainnya dari bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Penaeid vannamei memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal (Anonim , 2007). Penaeus vannamei memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m2). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan
7 diatas berat tersebut, Penaeus vannamei tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et al., 1991). 2.1.3. Habitat dan Penyebaran Penaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 – 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan darah isoosmotik. Rasa udang dapat dipengaruhi oleh tingkat asam amino bebas yang tinggi dalam ototnya sehingga menghasilkan rasa lebih manis. Selama proses post-panen, hanya air dengan salinitas tinggi yang dipakai untuk mempertahankan rasa manis alami udang tersebut. Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Penaeus vannamei akan mati jika tepapar pada air dengan suhu dibawah 15oC atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 oC dan 30-33oC. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Penaeus vannamei adalah 23-30oC. Pengaruh temperatur pada pertumbuhan Penaeus vannamei adalah pada spesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun (Wyban et al., 1991). 2.1.4
Siklus Hidup Udang biasa kawin di daerah lepas pantai yang dangkal. Proses kawin
udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan ke udang betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam
8 waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius (Perry, 2008). Tahap nauplii tersebut memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorfosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorfosis menjadi postlarva. Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplii sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat alaminya, postlarva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan bersalinitas rendah. Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut (Anonim 2, 2008).
Gambar 2. Siklus hidup Udang Panaeid (Stewart, 2005)
9 2.1.5. Reproduksi Udang Sistem reproduksi Penaeus vannamei betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina. Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan menjadi dikelilingi oleh sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur (yolk) dari darah induk melalui sel-sel folikel (Wyban et al., 1991). Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et al., 1991). Leung-Trujillo (1990) menemukan bahwa jumlah spermatozoa berhubungan langsung dengan ukuran tubuh jantan. Udang biasa kawin di daerah lepas pantai yang dangkal. Proses kawin udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan ke udang betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam. Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur. Dalam waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius (Januri, 2008). Tahap nauplii tersebut memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorfosis menjadi zoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil
10 dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorfosis menjadi postlarva. Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplii sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat alaminya, postlarva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan bersalinitas rendah. Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut (Anonim , 2008). Siklus kidup udang vaname Udang yang dijadikan sebagai induk (broodstock) sebaiknya bersifat SPF (Specific Pathogen Free). Udang tersebut dapat dibeli dari jasa penyedia udang induk yang memiliki sertifikat SPF. Keunggulan udang tersebut adalah resistensinya terhadap beberapa penyakit yang biasa menyerang udang, seperti white spot, dan lain-lain. Udang tersebut didapat dari sejumlah besar famili dengan seleksi dari tiap generasi menggunakan kombinasi seleksi famili, seleksi massa (WFS) dan seleksi yang dibantu marker. Induk udang tersebut adalah keturunan dari kelompok famili yang diseleksi dan memiliki sifat pertumbuhan yang cepat, resisten terhadap TSV dan kesintasan hidup di kolam tinggi. Karakteristik induk udang baik yang lain adalah udang jantan dan betina memiliki karakteristik reproduksi yang sangat bagus. Spermatophore jantan berkembang baik dan berwarna putih mutiara. Udang betina matang secara seksual dan menunjukkan perkembangan ovarium yang alami. Berat udang jantan dan betina sekitar 40 gram dan berumur 12 bulan. Sistem reproduksi Penaeus vannamei betina terdiri dari sepasang ovarium, oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina. Organ
11 reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia, petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Selama perjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan fluid dan melingkupinya dalam sebuah chitinous spermatophore (Wyban et al., 1991). Proses kawin alami pada kebanyakan udang biasanya terjadi pada waktu malam hari.Tetapi, udang Penaeus vannamei paling aktif kawin pada saat matahari tenggelam. Spesies Penaeus vannamei memiliki tipe thelycum tertutup sehingga udang tersebut kawin saat udang betina pada tahap intermolt atau setelah maturasi ovarium selesai, dan udang akan bertelur dalam satu atau dua jam setelah kawin (Wyban et al., 2005). Peneluran terjadi saat udang betina mengeluarkan telurnya yang sudah matang. Proses tersebut berlangsung kurang lebih selama dua menit. Penaeus vannamei biasa bertelur di malam hari atau beberapa jam setelah kawin. Udang betina tersebut harus dikondisikan sendirian agar perilaku kawin alami muncul (Wyban et al., 1991). 2.2. Tata Letak dan Fasilitas Budidaya 2.2.1. Pengertian Tambak Tambak adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur).Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengaair payau atau air laut. Kolam yang berisiair tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum tambak
12 biasanya dikaitkan langsung dengan pemeliharaan udang windu,walaupun sebenamya masih banyak spesies yang dapat dibudidayakan di tambak,misalnya ikan bandeng, ikan nila, ikan kerapu, kakap putih dan sebagainya (Ahmad, 2011). Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum tambak biasanya dikaitkan langsung dengan pemeliharaan udang windu, walaupun sebenamya masih banyak spesies yand dapat dibudidayakan di tambak misalnya ikan bandeng, ikan nila, ikan kerapu, kakap putih dan sebagainya. Tetapi tambak lebih dominan digunakan untuk kegiatan budidaya udang windu. Udang windu (Penaeus monodon) merupakan produk perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi berorientasi eksport. Tingginya harga udang windu cukup menarik perhatian para pengusaha untuk terjun dalam usaha budidaya tambak udang. Para pengusaha di bidang lain yang sebelumnya tidak pernah terjun dalam usaha budidaya tambak udang windu secara beramai-ramai membuka lahan baru tanpa memperhitungkan aturan-aturan yang berkenaan dengan kelestadan lingkungan sehingga meninbulkan masalah (Khuri, 2009). 2.2.2. Fasilitas Budidaya 2.2.2.1. Pematang Pematang utama/tanggul utama merupakan bangunan keliling tambak yang gunanya untuk menahan air serta melindungi unit tambak dari bahaya banjir, erosi dan air pasang. Oleh karena itu dalam konstruksinya pematang/tanggul harus dibangun benar-benar kuat, bebas dari bocoran dan aman dari kemungkinan longsor.
13 2.2.2.2. Pintu air Dalam petakan tambak pintu air merupakan pengendali dan oengatur air dalam operasional budidaya. Oleh karena itu dalam budidaya di tambak jumlah pintu air tergantung tingkat teknologi yang diterapkan. Di petakan tambak biasanya pintu air terdiri atas dua macam yaitu pintu air pemasukan dan pembuangan. 2.2.2.3. Saluran air Di dalam petakan tambak terdapat saluran air yang berfungsi untuk memasukan air setiap saat secara mudah, baik untuk mengalirkan air dari laut ataupun air tawar dari sungai/irigasi. 2.2.2.4. Konstruksi tambak Kontruksi tambak dibangun dengan bentuk bujur sangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 50 meter, sehingga luas satu petak tambak sebesar 2.500 m2. Untuk konstruksi tanggul tambak, digunakan harflek yaitu lembaran dinding terbuat dari bahan asbestos berkadar asbes rendah yang biasanya digunakan untuk dinding bangunan atau pagar. Harflek tersebut dipasang memanjang pada dinding tambak bagian dalam dan pada setiap sambungan diperkuat dengan pasangan batako semen. Sebelum harflek dipasang, maka dasar dan dinding tambak dilapisi dengan plastik (ketebalan 0,6 mm). Pematang tambak dibuat
miring
dengan
perbandingan
1
:
1
sampai
1
:
1,5.
Sebelum bioseal dipasang, pematang pasir dipadatkan terlebih dahulu agar stabil. Untuk memudahkan dan memperkuat konstruksi dinding, maka pada pada dasar dinding terlebih dahulu diberi konstruksi “sepatu dinding” selebar 1 meter terbuat dari plesteran.
14 Agar tambak mudah dikeringkan dan sisa pakan selama pemeliharaan dapat dibersihkan, maka dasar tambak dibuat miring ke tengah dengan tingkat kemiringan 1-2%. Selanjutnya di tengah dasar tambak dilengkapi dengan konstruksi pengeluaran air (central drainage). Central drainage terdiri dari bangunan tower, saringan air dan pipa pembuangan bawah tanah terbuat dari pipa PVC 12″. Selain konstruksi petakan tambak, perlu pula diperhatikan konstruksi saluran pemasukan air (inlet) dan konstruksi pembuangan air (outlet). Saluran pemasukan air dibuat di atas pematang tambak yang menghubungkan sumber air sungai (yang dipompakan ke saluran) dengan petakan tambak. Konstruksi saluran air tersebut terbuat dari pasangan bata merah selebar 0,5 m dan tinggi 0,5 m, yang bagian dasarnya diperkuat dengan fondasi batu kali. Saluran pembuangan dibuat di bawah tanah dan lebih rendah dari dasar tambak, terbuat dari buis beton yang menampung air pembuangan yang berasal dari central drainage (Ahmad, 2011).
15 III. METODE PRAKTIKUM
3.1.Waktu dan Tempat Praktikum ini dilakukan pada hari Minggu, tanggal 26 Mei 2013, pukul 09.00 WITA – 12.00 WITA yang bertempat di Bororo. 3.2.Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Alat yang digunakan pada praktikum Manajemen Tata Lingkungan Akuakultur beserta kegunaannya No. Alat dan Bahan Kegunaan 1. Alat :
2.
- Alat Tulis Menulis - Tambak
Mencatat Hasil Wawancara Lokasi yang diamati
Bahan : - Udang Vanamei
Bahan yang diamati
3.3.Prosedur Kerja Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum ini dibagi dalam dua tahapan, yakni tahapan observasi dan tahapan wawancara (interview), adapun prosedur kerjanya sebagai berikut: 3.3.1. Observasi a. Melakukan persiapan peninjauan berupa alat tulis b. Mensruvei seluruh kawasan tambak yang diamati c. Mencatat hasil pengmatan berupa penggunaan fasilitas dan layout tambak 3.3.2. Wawancara a. Mempersiapkan alat wawancara yang akan digunakan
16 b. Melist beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan tata lingkungan tambak c. Melakukan wawancara secara langsung dengan pembudidaya/teknisi tambak d. Mencatat semua hasil wawancara
17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil Pengamatan
Gambar 3. Lokasi Budidaya 4.2.Pembahasan Tambak merupakan media atau wadah budidaya payau yang digunakan dalam budidaya udang vaname. Proses budidaya ini memerlukan perhatian lebih terutama pada tata lingkungan tambak, hal ini selain karena taknologi yang digunakan adalah teknologi budidaya intensif, luasan petakan tambak juga menyebabkan perlu dilakukan panataan lingkungan yang sesuai untuk kebutuhan budidaya. 4.2.1. Tata Letak dan Fasilitas Budidaya (secara Makro) Sistem penataan lingkungan yang dilakukan secara permanen dan mutlak adanya merupakan sistem tata lingkungan makro yang harus dipenuhi guna menunjang terselenggaranya kegiatan budidaya. Lingkungan yang digunakan menjadi salah satu syarakt mutlak yang harus diperhatikan dan diolah sehingga
18 tidak menimbulkan kegagalan budidaya, adapun fasilitas makro dan sitem penataan yang digunakan adalah sebagai berikut: 4.2.1.1. Petakan Tambak Petakan adalah bagian-bagian tambak yang merupakan kesatuan unit sistem budidaya, didalam petak terdapat fasilitas penunjang yang digunakan dalam budidaya. Petakan tambak yang ada dalam kawasan tambak mencapai 32 petakan dengan setiap petak memiliki jumlah fasilitas penunjang berbeda-beda tergantung dari luasan petakan. Dari 32 petakan tersebut dibagi dalam 1 kawasan tambak seluas 17 hektar yang berada tepat ditepi pantai dengan kawasan hutan mangrove disekeliling lokasi. Masing-masing petak memiliki ketinggian yang berbeda-beda yakni antara 2-3 meter namun memiliki kedalam air yang sama yakni mencapai 120-150 cm setiap petak. Jenis petakan berbeda-beda, beberapa petak tambak menggunakan beton dan ada pula yang masih menggunakan jenis substrat lempung berpasir, sehingga masih berbeda dalam skala produksinya. Saat dilakukan wawancara, pada petakan tambak yang menggunakan beton, tambak lebih mudah dibersihkan dan terhindar dari penumpukan senyawa berbahaya sehingga produksinya dapat lebih tinggi dibadingkan dengan petakan yang menggunakan substrat lempung berpasir. Hanya saja dalam pembagian petakan ini tidak ditemukan penerapan differentiation function pada masing-masing petak tambak. Padahal hal ini sangat urgen untuk menunjang kegiatan budiaya setiap siklus produksi, dimana perlu diadakan petakan tambak untuk nener, untuk gelondongan, untuk proses
19 aklimatisasi dan petakan pasca panen serta patak karantina saat udang terserang penyakit. Jika saja dapat disarankan, dalam pembuatan petakan untuk nener pada umumnya dangkal, luasnya berkisar antara 500 -1.000 m 2 . Letak petakan nener dekat dengan sumber air tawar maupun air asin. Selanjutnya pada petakan untuk gelondongan mempunyai areal lebih besar (luas) dan lebih dalam (1.000 - 2.000) m 2. Hal ini digunakan untuk menampung gelondongan dari petakan peneneran tempat untuk menumbuhkan gelondonan kecil (pre fingerling) atau untuk penyimpanan dan menahan gelondongan besar (post fingerling). Sedangkan untuk petakan aklimatisasi atau yang biasa disebut ipukan/baby box merupakan petakan kecil yang terbuat dalam penggelondongan dan bersifat hanya sementara. Ipukan ini dibatasi oleh pematang yang relatif kecil (sempit dan rendah) dibangun berdekatan dengan saluran air, agar mutu lebih baik dan memudahkan pengelolannya. Ukuran luasnya tergantung kepada banyaknya nener yang akan ditebarkan (stock). Pada musim kemarau temperatur udara dapat naik mencapai 33°C, ipukan dapat menampung 5.000 - 10.000 ekor per m 2 selama 3 hari, meskipun dibawah periode yang relatif tenang. Dan diperlukan pula berupa petakan kecil untuk penangkapan atau kanal yang sempit atau tempat untuk mengumpulkan gelondongan dalam waktu singkat. Ikan-ikan dikumpulkan ke tempat pengumpulan dengan cara pengaturan aliran air, dari air pada saat pasang atau air dari petakan lain yang telah disiapkan sebelumnya. Aerasi dapat diatur dengan aliran air dari tambak yang berdekatan atau dari tambak yang lain, sehingga tidak terjadi efek yang merugikan karena kekurangan oksigen, walaupun di dalam petakan tersebut padat dengan ikan. Dalam petakan ini ikan-ikan tersebut
20 mudah dijaring dan dipindahkan ke petakan yang lain dengan cara mengunakan jaring untuk pemindahan gelondongan. Hal ini dipermudah dengan sifat ikan bandeng yang senang menentang arus. 4.2.1.2. Saluran Air Saluran air tambak merupakan hal terpenting dalam pengaturan sirkulasi air pada suatu kawasan tambak. Saluran air yang sesuai akan menghasilkan sistem sirkulasi air yang baik dan menghindarkan kontaminasi limbah hasil pembuangan. Selain itu pula, saluran air juga menentukan secara spasial proses pemanenan udang pada tambak, sehingga fungsi saluran air sangat urgen untuk sebuat sistem budidaya intensif. Berdasarkan hasil pengamatan pada kawasan tambak yang ada, saluran air yang digunakan terbagi dalm dua siklus air, yakni pengairan inlet dan pengairan outlet. Jenis saluran air yang digunakan juga dibagi dua, yakni dengan menggunakan pipa paralon dan saluran air biasa. Sehingga dalam sistem saluran air ini ditemukan saluran air utama yang biasa dengan ukuran yang lebih besar untuk membawa air dari sumber air (laut) menuju kawasan tambak. Sedangkan untuk cabang saluran menggunakan pipa paralon yang ukurannya berbeda-beda sebagai saluran pemasukan air dari saluran utama ke dalam tambak. Menurut Andriar (2012) bahwa saluran air untuk tambak dibagi dalam dua bagian, yakni saluran suplai air yang menampung air dengan baku mutu air standar, yang didistribusikan ke petak-petak pembesaran dan Saluran pembuangan yang berasal dari petak pembesaran, berfungsi sebagai saluran pengendapan lumpur/limbah. Selain saluran tambak, juga diperlukan pintu tambak untuk mengatur jalannya siklus air dalam tambak. Pintu air dapat digongkan menjadi
21 beberapa bagian, yaitu pintu utama, yaitu pintu yang terletak pada saluran utama, dimana fungsi dari pintu ini adalah untuk mengendalikan air didalam saluran. Pintu tambak adalah berfungi untuk mengendalikan air dalam tambak. Pintu tambak dapat terbuat dari PVC, Kayu, concrete, bahkan bambu
4.2.1.3. Kincir Kincir merupakan salah satu fasilitas penunjang yang digunakan dalam sistem budidaya tambak. Jika diamati, kincir yang terdapat dalam setiap petak berkisar antara 8-12 kincir, dimana kincir tersebut diletakan disetiap sudut tambak. Lain halnya dengan kincir air elektrik yang dioperasikan pada malam hari, ini dimaksudkan untuk mensuplai lebih banyak oksigen pada malam hair dimana kondisi kadar DO berangsur menurun. Sehingga operasional kincir pada siang hari berbeda dengan operasional kincir pada malam hari. jumlah kincir yang digunakan pada malam hari juga lebih banyak. Pemahaman dasar terkait dengan peran dan fungsi kincir air dalam operasional tambak udang sangat diperlukan, agar kincir air tersebut dapat berperan secara optimal. Pemahaman yang kurang memadai tentang kincir air hanya akan memfungsikan kincir air tersebut sebagai aksesoris suatu petakan tambak. Dalam pelaksanaan di lapangan, banyak sekali dijumpai model-model kincir air yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya (pada pembahasan ini tidak akan diuraikan pengetahuan terkait model dan spesifikasi teknis dari kincir air). Secara mendasar fungsi dari kincir air di dalam operasional tambak udang antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai penyuplai oksigen di dalam perairan tambak. Seperti telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa di dalam suatu
22 ekosistem perairan tambak kebutuhan oksigen telah disuplay oleh phytoplankton, tapi kebutuhan oksigen tersebut tidak akan mencukupi bagi biota dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Oksigen di dalam perairan tambak diperlukan tidak hanya dalam proses respirasi (pernapasan) tapi juga dibutuhkan dalam proses-proses fisika, kimia dan biologi yang terjadi di dalam perairan tersebut. Keberadaan kincir air didalam tambak diharapkan dapat membantu dan mengantisipasi terjadinya kekurangan oksigen yang dapat terjadi pada saat tertentu di dalam perairan tersebut. 2. Membantu dalam proses pencampuran karakteristik antara perairan tambak lapisan atas, dan bawah. Sebagai suatu perairan yang statis dan memiliki ketinggian tertentu, maka suatu perairan tambak jika dalam kondisi diam akan memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara lapisan atas dan lapisan bawah. Perbedaan karakteristik perairan tersebut, jika tidak segera diantisipasi dapat membahayakan kehidupan udang yang ada didalamnya.
Pengoperasian
kincir
diharapkan
dapat
membantu
mengantisipasi terjadinya perbedaan yang cukup menyolok antar lapisan air tambak, sehingga kualitas air yang dihasilkan relative sama antar lapisan air tambak. 3. Membantu dalam proses pemupukan air. Kegiatan pemupukan air dilakukan sebagai upaya pembentukan kualitas air yang terkait dengan kecerahan air dan warna air tambak dengan cara menstimulasi pertumbuhan phytoplankton kea rah yang lebih stabil. Pengoperasian kincir diharapkan dapat membantu proses penyebaran pupuk secara merata
23 di dalam perairan tambak sekaligus menstimulasi pertumbuhan plankton melalui oksigen yang dihasilkannya. 4. Membantu dalam mengarahkan kotoran dasar tambak ke arah sentral pembuangan, sehingga memudahkan dalam proses pembersihan dasar tambak. Fungsi kincir air terkait hal ini sangat erat hubungannya dengan tata letak kincir di dalam tambak. 5. Pada saat pengoperasian kincir air, putaran-putaran air yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kestabilan kualitas air di dalam tambak (telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya)
4.2.1.4. Instalasi Pengelolaan Limbah Instalasi Pengelolaan Limbah yang diterapkembangkan dalam sistem budidaya intensif pada tambak ini adalah sistem drainase yang menggunakan sentral tepat ditengah tambak. Sehingga seluruh limbah akan terbuang keluar melalui sistem ini. Tambak yang baik umumnya memiliki sistem pengelolaan limbah yanb baik guna mengurangi efek lingkungan yang berbahaya, sehingga untuk memenuhi persyaratan tersebut maka bentuk tambak yang mudah mengeluarkan limbahnya adalah tambak lingkaran atau bujur sangkar dengan sudut melengkung. Namun pada prinsipnya, proses pengendapan limbah pada salah satu wilayah kecil di tambak harus dapat dilakukan dengan manipulasi saluran tengah, kolam tengah di dalam tambak dan yang paling berperan adalah peletakan kincir air tunggal atau berangkai. Instalasi pengelolaan limbah yang ada pada kawasan tambak ini memberikan dampak yang baik dalam pencegahan kontaminasi penyakit, yakni perbedaan saluran dan letak pengambilan air untuk tambak. Sistem budidaya pada
24 tambak intensif ini pada khususnya tidak menggunakan sistem pengelolaan yang intens dilakukan dibeberapa sistem budidaya.
Secara garis besar sistem pengolahan air limbah terdiri dari beberapa tahap, yaitu pengolahan pendahuluan (pre treatment), pengolahan pertama (primary treatment), pengolahan sekunder (secondary treatment), pengolahan tersier (tersiary treatment), pembunuhan kuman dan pengolahan lanjutan.
4.2.1.4.1. Pengolahan Pendahuluan (pretreatment) Sebelum mengalami proses pengolahan perlu dilakukan pembersihanpembersihan
untuk
memperlancar
proses
berikutnya.
Kegiatan
berupa
pengambilan benda terapung dan pengambilan benda yang mengendap seperti pasir. Pengolahan pendahuluan dIgunakan untuk memisahkan padatan kasar, mengurangi ukuran padatan, memisahkan minyak atau lemak, dan proses menyetarakan fluktuasi air limbah pada bak penampung. Unit yang terdapat dalam pengolahan pendahuluan adalah:
4.2.1.4.2. Pengolahan Pertama (primary treatment) Pengolahan tahap pertama digunakan untuk mengurangi kandungan padatan tersuspensi melalui proses pengendapan (sedimentation). Pada proses pengendapan, partikel padat dibiarkan mengendap ke dasar tangki. Bahan kimia biasanya ditambahkan untuk menetralisasi dan meningkatkan kemampuan pengurangan padatan tersuspensi. Dalam unit ini, pengurangan BOD dapat mencapai 35 5, sedangkan SS berkurang sampai 60 %. Pengurangan BOD dan padatan pada tahap awal ini selanjutnya akan membantu mengurangi beban pengolahan tahap kedua (secondary treatment).
25 4.2.1.4.3. Pengolahan Kedua (secondary treatment) Pada umunya mencakup proses biologis, denagn tujuan untuk mengurangi bahan organik melaluio mikroorganisme yang ada didalamnya. Dalam pengolahan kedua banyak digunakan beberapa metoda seperti lumpur aktif (activated sludge), lempeng biologi berputar, trickling filter, parit oksidasi, kolam oksidasi dan laguna aerasi. Tapi metoda yang paling sering digunakan adalah lumpur aktif (activated sludge) karena metoda pengolahan ini mempunayai beberapa kelebihan yaitu tidak memerlukan lahan yang luas, effluen hasil perlakuan mempunyai kualitas lebih tinggi dengan penurunan BOD sekitar 90-95 %, tidak timbul bau yang mengganggu.
4.2.1.4.4. Pengolahan Ketiga (tersiary treatment) Menurut Haryoto Kusnoputranto (1984, hlm.37) dalam Soeparman dan Suparmin (2001), terdapat tiga jenis kolam yang digunakan, yaitu:
a. Kolam pengolahan pendahuluan secara anaerobik (Anaerobic pretretment ponds) Kolam anaerobik beroperasi pada beban organik yang tinngi sebagai unit pertama dari sistem kolam dan pencapaian pengurangan zat organik semata-mata karena proses anaerobik. Fungsi kolam ini mirip dengan septic tank terbuka. Periode tinggal adalah 1-5 hari dengan kedalam antara 2-4 meter. Desain beban kolam berkisar antara 100-400 gram BOD/m2/hari, umumnya 250 gram BOD/m2/hari digunakan pada suhu diatas 200C. Kolam fakultatif dioperasikan pada beban organik yang lebih rendah sehingga memungkinkan pertumbuhan algae pada lapisan atas kolam.
26 Kolam fakultatif dapat digunakan sebagai unit pertama atau kedua dari suatu rangkaian kolam. Kolam ini memerlukan oksigen untuk oksidasi biologis dari bahan-bahan organik, terutama di dapat dari hasil fotosintesis ganggang hijau. Periode tinggalnya (retention time) berkisar antara 5-30 hari, dengan kedalaman 1-1,5 meter. Desain beban kolam umumnya 100-400 kg BOD/ha/hari, tergantung pada suhu kolam. Kolam pematangan yang dibuat kolam fakultatif adalah kolam yang mengolah limbah cair, terutama secara aerobik karena sebagian zat organik telah terambil pada unit-unit anaerobik dan fakultatif, sehingga beban organik pada kolam pematangan menjadi rendah. kolam pematangan menerima effluen yang berasal dari kolam fakultatif dan bertanggung jawab terhadap kualitas dari effluen akhir. Periode tinggal berkisar antara 5-10 hari dengan kedalam kurang lebih 1,5 meter. Umumnya, kolam ini didesain untuk pengurangan koliform yang berasal dari tinja daripada untuk pengurangan BOD. Sejumlah besar koliform akan dapat dihilangkan dalam waktu penahanan sekitar 5 hari. 4.2.1.4.5. Pembunuhan kuman (disinfektion) Pengolahan
ini
bertujuan
untuk
mengurangi
atau
membunuh
mikroorganisme patogen yang ada dalam air limbah. Mekanisme pembunuhan sangat dipengaruhi oleh kondisi zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri. 4.2.1.5. Pengawasan Pengawasan menyangkut pada tambak ini dilakukan secara tertutup dengan penggunaan sistem keamanan berupa pemagaran pada setiap bagian kawasan tambak. Selain itu juga dilibatkan 15 tenaga kerja yang secara intensif mengawasi sistem operasional tambak untuk mnghindari kegagalan.
27 4.2.2. Tata Letak dan Fasilitas Budidaya (Secara Mikro) Adapun sistem penataan letak dan fasilitas budidaya yang dikembangkan dalam skala mikro yakni berupa teknisi pelaksanaan budidaya. Pelaksanaan budidaya ini memiliki tahapan yang berbeda-beda disetiap waktu, namun dilakukan secara terus menerus selama masa prouksi. 4.2.2.1. Sistem Pengeringan Tambak Pengeringan tambak merupakan tahapan yang dilakukan pada saat akan memulai siklus produksi atau biasanya pada pasca panen. Pengeringan tambak ini bertujuan untuk mempersiapkan tambak yang akan digunakan terutama untuk mencegah tersisanya senyawa berbahaya didasar tambak dan mikroorganisme yang akan menganggu pertumbuhan udang nantinya. Pengeringan tambak dilakukan hingga dasar tambak tambak kering dan tanahnya retak. Selanjutnya akan dilakukan beberapa perlakuan berupa pemberian dolomit sebanyak 1 ton/hektar, pupuk Za sebanyak 2% dari dolomit. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan plankton yang akan dimanfaatkan oleh bibit udang sebagai pakan alami. Setelah itu pemberian kapur sebanyak 1 ton 200 kg/hektar yang disinyalir akan memperbaiki kualitas air nantinya. Kemudian pemberian atraktran yang berfungsi untuk menumbuhkan kakaban dan menyuburkan lingkungan. Setelah pengeringan dilakukan, maka dilakukan pula pengecekan fasilitas yang nantinya akan digunakan. Hal ini dimasksudkan untuk mengantisipasi kerusakan pada beberapa fasilitas yang ada. Perlu juga dipahami bahwa pada pembesaran udang vannamei, dilakukan penyemprotan air ke tanah guna membersihkan lumpur. Tanah sebagai dasar pada
28 persiapan satu kali siklus dibiarkan dalam kondisi terjemur matahari. Dalam pengeringan ini, bertujuan untuk membunuh sisa-sisa bakteri pembusuk, sisa kotoran dan pakan pada siklus sebelumnya, menghilangkan air-air yang tergenang yang mengandung gas-gas beracun dan sisa plankton. Pengeringan dasar tambak dilakukan selama ± 1 bulan sesuai dengan terik matahari hingga tanah menjadi kering. Diharapkan, setelah dilakukan pengeringan tanah tambak, sinar UV yang ada pada sinar matahari dapat membunuh bakteri pembusuk, menaikkan pH tanah, serta memudahkan dalam renovasi kolam agar tidak licin dan berlumpur. Pengapuran dilakukan setelah dilakukan pengeringan tanah dasar dan penyesetan. Pemberian kapur ini bertujuan untuk menaikkan pH tanah dan mempertahankannya dalam kondisi yang stabil. Selain itu, diharapkan, setelah pemberian kapur tanah dasar menjadi subur, reaksi kimia yang terjadi didasar tanah menjadi baik, gas-gas beracun dapat terikat secara kimiawi. Pada umumnya, kapur yang digunakan dalam pengapuran untuk persiapan tambak adalah kapur kaptan dan dolomite yang mengandung unsur magnesium dengan dosis 20 ppm. 4.2.2.2. Sistem Pemasukan Air Tahapan selanjutnya setelah petakan tambak kering dan telah diberikan beberapa treatment sebelumnya, maka dilakukan pemasukan air. Pemasukan air tentu saja dilakukan secara bertahap melalui saluran inlet air, sehingga memerlukan waktu yang lama. Setelah air tersebut berada pada petakan tambak, maka dilakukan beberapa perlakuan untuk memberantas hama yang berasal dari alam, yakni pemberian kaporit sebanyak 35% untuk air asin, dan sekitar 40-50% untuk payau. Kemudian diberikan saponin sebanyak 15-30% untuk membunuh
29 organisme yang ikut masuk bersama dalam tambak utamnya organisme yang memiliki hemoglobin seperti ikan-ikanan. Setelah pemberian saponin, maka didiamkan beberapa waktu hingga seluruh hama mati, dan kemudian dilakukan planktonisasi atau upaya untuk menumbuhkan plnakton melalui pemberian pupuk TSP, setelah itu langkah terakhir adalah pemberian probiotik yakni Pro 1, atau dapat pula tiger bac triobactilus. Setelah semua perlakukan dilakukan, maka air yang dimasukan dalam tambak siap untuk digunakan dalam satu siklus budidaya. 4.2.2.3. Penebaran Bibit Benur merupakan bibit udang yang siap ditebar untuk usaha pembesaran. Jenis benur sangat menentukan kualitas dari benur seperti ketahanan terhadap penyakit dan virus. Menurut Soeseno (1993), benur yang baik selalu masih cerah warnanya dan langsing, padat berisi, tidak bengkok kusam. Diciduk dengan gayung bersama airnya dan dituang ketempat lain, selalu berusaha menempel didasar gayung, tidak mau hanyut begitu saja. Sungutnya jelas kembang kempis. Kalau sungut ini sudah tidak rapat lagi, tapi membentuk huruf V, itu tanda benur sudah payah. Sebaiknya tidak dibeli. Penebaran benur vaname harus segera dilakukan setelah petakan tambak siap untuk pemeliharaan. Waktu penebaran dilakukan pada pagi hari sebelum jam 08.00 atau pada malam hari atau pada saat kondisi cuaca teduh. Karena pada waktu tersebut kondisi fluktuasi suhu tidak mencolok, parameter air yang lain seperti pH, salinitas tidak banyak berubah. Kondisi lingkungan demikian mengurangi tingkat stress pada benih yang akan ditebar.
30 Benur yang telah didatangkan dari sumber pembibitan akan langsung ditebar di tambak yang telah siap digunakan. Penebaran melalui proses aklimatisasi yaitu proses adaptasi terhadap parameter kualitas air (suhu, salinitas, pH, dan parameter kualitas lainnya) secara perlahan-lahan. Aklimatisasi benur dimaksudkan untuk mencegah tingginya tingkat kematian (mortalitas) benur pada saat dan setelah penebaran. Aklimatisasi benur dilakukan dengan cara menempatkan kantong yang berisi benur pada permukaan selama ±15-30 menit. Setelah itu tali pengikat kantong satu per satu kemudian dibuka dan memasukkan air tambak sedikit demi sedikit ke dalam kantong benur tersebut sampai parameter kualitas air tambak relatif sama atau mendekati parameter kualitas air pada kantong. Hal ini ditandai dengan keluarnya benur dengan sendirinya saat kantong dimiringkan. Penebaran dilakukan dengan kepadatan 100-150 ekor/meter2. 4.2.2.4. Sistem Pergantian Air Sistem pergantian air ini dilakukan secara kontinyu setiap hari, pergantian air dimakudkan untuk mengeluarkan senyawa-senyawa yang mengendap diperairan ataupun bahan-bahan organik yang berpotensi menganggu parameter air terutama DO dan pH. Air diganti setiap hari sebanyak 10-20% dari total seluruh volume air yang ada dalam setiap petakan tambak. Pergantian dilakukan dengan sistem siphonisasi sehingga volume air akan tetap sama selama masa pergantian. Pada pemasukan air ini digunakan pompa khsusus untuk memasukan air yang telah berada didalam saluran air, atau bisa juga melalui pintu tambak. Selanjutnya untuk pembuangan air, dditeruskan dipintu pengeluaran melalui sistem drainase center pada tengah tambak, sehingga air akan tetap terjaga kualitanya.
31 4.2.2.5. Manajemen Pemberian Pakan Pemberian pakan dilakukan secara terus menerus selama 24 jam, biasanya dapat mencapai 4-5 kali pemberian tergantung dari hasil kontrol di anco. Menurut Soeseno (1993), untuk benur dipakai pakan berbentuk crumble halus yang butirannya rata-rata 0,5 mm. Sesudah umur 2 bulan, makanan diganti dengan yang berbentuk crumble kasar yang butirannya rata-rata sebesar 2 mm. seudah 3 bulan, pakan diganti lagi dengan yang berbentuk pellet seperti potongan obat nyamuk bergaris tengah 3 mm sependek 2 cm itu. Sesudah berumur 3,5 bulan pelletnya lebih kasar, bergaris tengah 1 cm dengan panjang potongan 5 cm. Penerapan feeding ragim hendaknya disesuikan dengan tingkah laku kultivan, serta siklus alat pencernaan guna memaksimalkan penggunaan pakan. Selain itu juga memperhatikan hal-hal berikut ini: 1. ukuran pakan yang kita berikan 2. jumlah pakan yang diberikan 3. cara pemberian pakan 4. kontrol pakan ( di ancho ) 5. sampling Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan ini adalah, ukuran butiran pakan, dimana kuran pakan yang diberikan harus sesuai dengan capit dan mulut udang karena sangat penting menyangkut efisiensi kestabilan lingkungan.pakan yang terlalu kecil dan terlalu besar,akan berakibat rendahnya efisiensi, dan akan cepat menurunkan kualitas air. Jumlah pakan ditentukan oleh: jumlah tebar,nilai SR (survival rate) ,ukuran udang,dan tingkat feeding ratenya,lama cek ancho, kualitas air, fasilitas,
32 tetapi untuk udang yang berumur 1 – 30 hari masih memakai feeding program. sedangkan kelanjutannya kita menggunakan kontrol ancho, dan cek saat sampling. Adapun cara pemberian pakan pada saat pakan no. D 0 S pemberian pakan harus dicampur dengan air agar pemberian pakan rata, cepat tenggelam, dan tidak berhaburan karena angin.setelah pakan no D0 pakan dibasahi secukupnya.pakan bisa ditebar keliling tanggul juga bisa dengan memakai rakit tergantung luas petak dan ketrampilan anak feeder.yang penting pakan jangan sampai tercecer di tanggul,dan harus tertebar merata di feeding area. Hindari penebaran pakan di dead zone. Pemberian pakan diancho diberikan setelah pakan selesai ditebar keseluruhan di petak atau kolam . Frekuensi pemberian pakan, awal kita berikan 3 kali sehari , kemudian 4 kali sehari dan 5 kali sehari. Jam pemberian pakan.sebaiknya diberikan pkl 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, 23.00. diatas jam 23.00 jangan dilakukan pemberian pakan apapun alasannya karena saat itu kondisi kualitas air menurun, suhu turun, DO turun, H2S meningkat daya racun karena pH turun dan karyawan mengantuk. Ancho adalah alat komunikasi harian antara teknisi dengan udang dalam hal jumlah pakan, nafsu makan, ukuran udang,jumlah udang,kesehatan udang, sehingga ancho harus bagus dan tempatnya yang datar, dan arusnya jangan terlalu kencang. Ancho berukuran 80 x 80 x10 cm. -umur 10 hari ancho sudah diturunkan -umur 20 hari ancho sudah diberi pakan sekedarnya -umur 25 hari ancho diberi 0,3 % dikontrol 2-2,5 jam.
33 Apabila sampai umur 30 hari belum mau makan di ancho,makan pakan harus dipotong sampai 40 %nya.biasanya 2 hari kemudian udang sudah mau makan di ancho dan bisa dikontrol. Usahakan selang 3 – 4 hari setelah bisa dikontrol pakan bertahap dinaikkan dan dikembalikan ke porsi pada saat udang umur 30 hari.kemudian jumlah pakan disesuaikan dengan kemampuan makan udang. Bila umur 25 hari pakan sudah bisa di kontrol 2,5 jam penambahan pakan jangan mengikuti program tetapi bisa ditambah max 10 %sehingga pada umur 30 hari kemampuan pakan udang sudah bisa seperti pada daftar.selanjunya pakan diikuti sesuai kemampuan makan udang dengan lama kontrol dan persen ancho.Setelah ancho bisa dikontrol selanjutnya mencari titik balance.pakan belum balan dalam arti masih kurang apabila ke 5 kali pemberian pakan habis semua pada jam kontrol.dan pakan sudah menunjukan balan bila pakan pada jam 23.00 sudah tidak habis.apabila kondisi sudah begini penambahan bisa dilakukan per 2 hari sekali.tetapi kontrol ancho tetap 5 kali sehari. 4.2.2.6. Sistem Monitoring Hal utama yang perlu diperhatikan dalam proses budiaya ini adalah menjaga kualitas air yang setiap saat harus berada pada kondisi normal. Air yang merupakan media hidup bagi udang vannamei, memiliki peran yang sangat vital karena akan menentukan kelangsungan hidup udang yang akan dibudidayakan karena mahluk hidup memiliki ambang toleransi terhadap beberapa zat-zat sebagai kebutuhan hidup. Ada beberapa parameter yang selalu dijaga dan dikontrol dalam pelaksanaan pembesaran, diantaranya adalah salinitas, pada umumnya budidaya udang vannamei, air yang digunakan dalam tambak adalah air payau, yaitu campuran air laut dan air tawar pada perbandingan tertentu. Tetapi
34 pada lokasi praktek kerja lapang ini hanya mengandalkan air payau dengan salinitas dalam pemebesaran udang vannamei berkisar antara 20 – 25 ppt. Oksigen pada air, yang sering disebut dissolved oksigen adalah oksigen terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan biota perairan. Kuantitas DO dijaga dengan pemberian kincir dengan jumlah mengikuti jumlah tebaran benur yang ditebar. Hal ini dilakukan karena, akan menentukan seberapa besar jumlah kebutuhan oksigen terlarut. Parameter ini dijaga hingga diatas 4 ppm, karena pada kondisi dibawah angka itu, udang sudah tidah dapat lagi bertoleransi yang bisa mengakibatkan kematian. Menurut Tebbut (1992) dalam Effendi (2006) menjelaskan bahwa, kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan bervariasi antar organisme. ·
pH air Pada pembesaran udang vannamei, parameter pH dilakukan pengecekan setiap hari di pagi hari dan sore hari dengan menggunakan pH meter. Karena menurut Effendi (2006), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misal proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain pengontrolan kualita air perlu juga dilakukan sampling udang, sampling untuk mengetahui biomassa udang dapat dilakukan ketika udang telah berumur 40 hari. Alat yang disarankan untuk sampling adalah jala tebar dengan ukuran mess size disesuaikan dengan besar udang. Waktu sampling pada pagi
35 atau sore hari, agar udang tidak mengalami tingkat stress yang tinggi, penentuan titik sampling disesuaikan dengan luasan tambak, jumlah titik sampling 2 – 4 titik, titik lokasi sampling berada di sekitar kincir dan di wilayah antara kincir. Sampling dilakukan untuk mengetahui size udang yang akan di panen. Proses sampling dilakukan dengan cara menjaring udang dengan menggunakan jala sampling, setelah itu udang di timbang untuk mengetahui jumlah berat udang yang terjala, kemudian dilakukan proses sampling untuk menghitung berapa banyak udang yang terjala. 4.2.2.7. Proses Pemanenan Panen dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan 3-4 bulan. Pada umur demikian ukuran udng berkisar antara 30-40 gram/ekor dan banding berkisar 500 gram/ekor. Pemanenan ikn atau udang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : panen sebagian (selektif) dan panen total. Dalam pelaksanaan panen baik dilaksanakan panen total ataupun selektif, sebaiknyaaikan dipanen terlebih dahulu kemudian udang.
36 V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil pengamatan dan perhitungan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Penerapan teknologi yang dikembangkan dalam sistem budidaya pada kawasan tambak tersebut adalah sistem budidaya intensif yang menerapkan penataan lingkungan secara spasial dan intensif. 2. Secara Makro, Penataan dan penggunaan fasilitas tambak meliputi pengadaan dan pengontrolan petakan tambak, saluran air, kincir dan pengadaan sistem instalasi limbah serta pengawasan secara berkala. 3. Secara Mikro, penataan dan penggunaan fasilitas tambak meliputi sistem pengeringan air secara periodic, pemasukan air harian, penebaran bibit, pergantian air, manajemen pemberian pakan dan monitoring pertumbuhan serta pemanenan.
5.2. Saran Adapun saran yang dapat diajukan dalam praktikum kali ini sebaiknya dilakukan pula observasi dan wawancara kepada pembudidaya yang menerapkan sistem budidaya semi intensif dan sistem budidaya tradisional untuk membandingkan penataan lingkungan dari ketiga teknologi tersebut.
37 DAFTAR PUSTAKA Adiyodi, k.g. And r.g. Adiyodi, 1970. Endocrine control of reproduction in decapod crustacea. Biol. Rev. 45: 121-165 Adiwidjaya D, dan Erik S. 2007. Aplikasi Pemberian Pakan Buatan Secara Optimal pada Budidaya Udang Windu Intensif Berkelanjutan. http://www.udang-bbbap.com. Diakses Pada Tanggal 17 Juni 2013. Alex w. 2009. Penaeus vannamei. http://www.sellingurchins.info. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013. Amri dan Iskandar. 2008. Budidaya Udang Vannamei. PT. Garamedia Pustaka Utama. Jakarta Aquacop, 1975. Maturation and spawning in captivity of penaeid shrimp: penaeus Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC). 2005. Regional Technical Consultation on the Aquaculture of Penaeus vannamei and Other Exotic Shrimps in Southeast Asia. www.seafdec.org.ph/pdf/P_vannamei.pdf Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 2009. Budidaya Udang Windu. www.udang-bbbap.com. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2008. Budidaya Tambak Berwawasan Lingkungan. http://jurnal.pdii.lipi.go.id. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013. Baliao D, dan Siri T. 2002. Manajemen Budidaya Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. www.asianfisheriessociety.org. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013. Boone. 1931. Penaeus vannamei. http://www.fao.org. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013. Buwono, Ibnu Dwi. 1993. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius. Yogyakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Budidaya Udang Vanname. http://202.51.119.162/index.php. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013. DKP Provinsi Sulteng. 2009. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Teknologi Ekstensif Plus. DKP Provinsi Sulteng. Sulawesi Tengah. Duronslet, m., a.i. Yudin, r.s. Wheller and w.h. Clark, jr. 1975. Light and fine structural studies of natural and artificially induced egg growth of penaeid shrimp. Proc. World marine culture. Soc. 6: 105-122 Eman. 2008. Vannamei. Universitas Kristen Petra http://digilib.petra.ac.id. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.
38 Ghufran, M. 2010. Pakan Udang: Nutrisi, Formulasi, Pembuatan, dan Pemberian. Akademia. Jakarta. Haliman, R.W. dan D. Adijaya S. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta. Harriet Perry. 2011. Litopenaeus vannamei . 2011. Litopenaeus vannamei. USGS Nonindigenous Aquatic Species Database, Gainesville, FL. USGS non pribumi Spesies Akuatik Database, Gainesville, FL. Hameed, a.k. And s.n. Dwivedi, 1977. Acceleration of prawn growth by cauterization of eye stalks and using actes indicus as supplementary feed. J. India fish. Assoc. Bombay, 3-4 (1-2): 136-138 Kongkeo H. 1997. Perbandingan Sistem Budidaya Udang Intensif di Indoneisa, Filipina,Taiwan dan Thailand. www.asianfisheriessociety.org. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013. Kordi, Ghufron dan Tancung, Andi Baso. 2005. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta Merguiensis (de man), p. Japonicus (bate), p. Aztecus (ives), metapenaeusensis (de haan) and p. Semisulcatus (dehaan). Proc. World marine culture. Soc. 6: 123- 132 Mustafa
A. 2008. Disain, Tata Letak, dan Konstruksi Tambak. http://jurnal.pdii.lipi.go.id. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.
Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia Prihatman
K. 2001. Saponin untuk Pembasmi Hama http://isjd.pdii.lipi.go.id. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.
Udang.
Ratnawati E. 2008. Budidaya Udang Windu (Panaeus monodon) Sistem Semi Intensif pada Tambak Tanah Sulfat Asam. http://isjd.pdii.lipi.go.id. Diakses pada tanggal 17 Juni 2013.