Manajemen Terapi Medikasi Pada Kasus Hernia Umbilikalis Pada Pedet.docx

  • Uploaded by: Ridha Avicena Ila Salsabila
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manajemen Terapi Medikasi Pada Kasus Hernia Umbilikalis Pada Pedet.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,188
  • Pages: 4
RIDHA AVICENA ILA SALSABILA 165130107111024/2016B MANAJEMEN TERAPI MEDIKASI PADA KASUS HERNIA UMBILIKALIS PADA PEDET 1. Iodine tinxture 10% a. Farmakokinetik & Farmakodinamik Povidone iodine adalah obat luar yang berfungsi sebagai antiseptik, yang umumnya digunakan untuk membersihkan serta membunuh bakteri, jamur, dan virus pada daerah kulit, termasuk kulit yang yang terdapat luka, misalnya karena cedera atau tersayat pisau. b. Interaksi obat Iodine tinxture dapat menimbulkan interaksi yang tidak diinginkan jika digunakan bersama lithium. 2. Lidocaine a. Farmakodinamik b. Farmakokinetik Lidocaine adalah obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit atau memberi efek mati rasa pada bagian tubuh tertentu untuk sementara. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sinyal penyebab nyeri sehingga mencegah timbulnya rasa sakit. Lidocaine bukan obat bius total, sehingga efek mati rasa yang ditimbulkan tidak disertai dengan hilangnya kesadaran. c. Interaksi Obat i. Dapat meningkatkan kadar lidocaine dalam darah jika dikonsumsi dengan cimetidine dan propranolol. ii. Meningkatkan risiko gangguan jantung jika dikonsumsi dengan obat golongan beta blocker, misalnya bisoprolol. iii. Meningkatkan efek samping terhadap penyakit jantung jika lidocaine dikombinasikan dengan phenytoin suntikan. iv. Mengurangi efektivitas lidocaine bila digunakan bersama diuretik, seperti acetazolamide, furosemide, atau hydrochlorothiazide. v. Dosis harus disesuaikan pada pasien yang rutin mengonsumsi phenytoin 3. Antibiotika peniciline LA a. Farmakokinetik i. ABSORPSI Penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2). Cairan lambung dengan pH 4 tidak terlalu merusak penisilin. Bila dibandingkan dengan dosis oral terhadap IM, maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral haruslah 4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM. Oleh karena itu penisilin G tidak dianjurkan untuk diberikan oral. Larutan garam Na-penisilin G 300.000 IU (=180 mg) yang disuntikkan IM, cepat sekali diabsorpsi dan menghasilkan kadar puncak dalam plasma setinggi 8 IU (= 4,8µg)/mL dalam waktu 15 sampai 30 menit. Untuk memperlambat absorpsinya, peni-silin G dapat diberikan dalam bentuk repositori, umpamanya penisilin G benzatin, penisilin G prokain sebagai suspensi dalam air

atau minyak. Penisilin tahan asam pada umumnya dapat menghasilkan kadar obat yang dikehendaki dalam plasma dengan penyesuaian dosis oral yang tidak terlalu ber-variasi, walaupun beberapa penisilin oral diabsorpsi dalam proporsi yang cukup kecil. Adanya makanan akan menghambat absorpsi; tetapi beberapa di antaranya dihambat. secara tidak bermakna. Penisilin V walaupun relatif tahan asam, 30% mengalami pemecahan di saluran cerna bagian atas, sehingga tidak sempat diabsorpsi. Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorpsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar. Absorpsi ampisilin oral tidak lebih baik daripada penisilin V atau fenetisilin. Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi obat. Perbedaan absorpsi ampisilin bentuk trihidrat dan bentuk anhidrat tidak memberikan perbedaan bermakna dalam penggunaan di klinik. Absorpsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada yang dicapai oleh ampisilin, sedang masa paruh eliminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedang amoksisilin tidak. Metisilin tidak diberikan per oral sebab cepat dirusak oleh asam lambung dan ab-sorpsinya buruk. Karbenisilin tidak diabsorpsi di saluran cerna. Pada pemberian 1 g IM, kadar puncak karbenisilin dalam plasma mencapai 15 sampai 20 µg/mL dalam 0,5 sampai 2 jam. Aktivitasnya hilang sekitar 6 jam sesudah pemberian. Waktu paruh eliminasi pada individu dengan fungsi ginjal normal, sekitar 1 jam dan dapat me-manjang hingga 2 jam bila ada kelainan fungsi hati. Sekitar 50% obat ini terikat pada protein plasma. Tikarsilin, suatu bentuk ester lain dari karbenisilin, tidak stabil pada pH asam sehingga harus diberikan parenteral. Sulbenesilin, azlosilin, mezlosilin dan piperasilin juga diberikan parenteral ii. DISTRIBUSI Penisilin G didistribusi luas dalam tubuh. Kadar obat yang memadai dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe dan semen, tetapi dalam CSS sukar dicapai. Bila meningen dalam keadaan normal, sukar sekali dicapai kadar 0,5 IU/mL dalam CSS walaupun kadar plasmanya 50 IU/mL. Adanya radang meningen lebih memudahkan penetrasi penisilin G ke CSS tetapi tercapai tidaknya kadar efektif tetap sukar diramalkan. Pemberian intratekal jarang dikerjakan karena risiko yang lebih tinggi dan efektivitasnya tidak lebih memuaskan. Distribusi fenoksimetil penisilin, penisilin isoksazolil dan metisilin pada umum-nya sama dengan penisilin G. Dengan dosis yang sama, kadar puncak dalam serum tertinggi dicapai oleh diklosasilin, sedangkan kadar tertinggi obat bebas dalam serum dicapai oleh flukloksasilin. Perbedaan nyata terlihat antara

lain adalah dalam hal peng-ikatan oleh protein plasma. Penisilin isoksazolil memiliki angka ikatan protein tertinggi (Tabel 42-2). Dengan dosis yang sama, dikloksasilin oral maupun IV meng-hasilkan kadar dalam darah lebih tinggi daripada oksasilin ataupun kloksasilin karena adanya perbedaan distribusi dan eliminasi. Ampisilin juga didistribusi luas di dalam tubuh dan pengikatannya oleh protein plasma hanya 20%. Ampisilin yang masuk ke dalam empedu mengalami sirkulasi enterohepatik, tetapi yang diekskresi bersama tinja jumlahnya cukup tinggi. Penetrasi ke CSS dapat mencapai kadar yang efektif pada keadaan peradangan meningen. Pada bronkitis, atau pneumonia, ampisilin disekresi ke dalam sputum sekitar 10% kadar serum. Bila diberikan sesaat sebelum persalinan, dalam satu jam kadar obat dalam darah fetus menyamai kadar obat dalam darah ibu-nya. Pada bayi prematur dan neonatus, pemberian ampisilin menghasilkan kadar dalam darah yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah Distribusi amoksisilin secara garis besar sama dengan ampisilin. Karbenisilin pada umumnya memperlihatkan sifat distribusi yang sama dengan penisilin lainnya termasuk distribusi ke dalam empedu, dan dapat mencapai CSS pada meningitis. 4. Antihistamin vetadryl a. Farmakodinamik Obat diphenhydramine merupakan antihistamin dari kelas etonolamin. Diphenhydramine berperan sebagai antagonis reseptor histamin H1. Diphenhydramine bersaing dengan histamin bebas untuk menempati reseptor histamin H1 terutama di saluran pencernaan, uterus, pembuluh darah besar dan otot bronkus.[8] Ikatan obat Diphenhydramine dengan reseptor histamin H1 mengurangi efek negatif yang diakibatkan oleh ikatan histamin bebas dengan reseptor histamin H1 seperti reaksi inflamasi, vasodilatasi, bronkokonstriksi dan edema. Ikatan obat antihistamin H1 dengan reseptor histamin dapat mengurangi faktor transkripsi respons imun NF-ĸß melalui fosfolipase C. Jalur sinyal fosfatidilinositol (PIP2) juga dapat mengurangi presentasi antigen dan mengurangi pengeluran sitokin pro inflamasi dan faktor kemotaksis. Antihistamin juga dapat menurunkan konsentrasi ion kalsium sehingga dapat menstabilkan sel mast sehingga pengeluaran histamin berkurang.[9] Antihistamin generasi pertama seperti Diphenhydramine dapat melewati sawar otak (blood brain barrier) dan dapat berikatan dengan reseptor histamin H1 di otak sehingga dapat menyebabkan efek sedasi walaupun diberikan dalam dosis terapeutik.[10] Turunan etonolamin seperti diphenhydramine memiliki efek antikolinergik yang lebih besar dibandingkan dengan golongan antihsitamin lain. Efek antikolinergik ini berperan sebagai antidiskinesia untuk mengurangi gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan obat antipsikosis dalam waktu lama. Efek antidiskinesia ini juga dapat mengurangi gejala penyakit parkinson. Obat Diphenhydramine dapat berikatan dengan reseptor asetilkolin muskarinik M2.

Efek antikolinergik dari diphenhydramine diduga berasal dari efek antimuskarinik pada sistem saraf pusat sehingga juga dapat bekerja sebagai antiemesis, walaupun cara kerjanya belum diketahui secara pasti. b. Farmakokinetik i. Absorbsi Obat diphenhydramine diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak sekitar 1-4 jam. ii. Distribusi Diphenhydramine didistribusikan secara luas ke seluruh bagian tubuh termasuk sistem saraf pusat. Obat ini dapat berikatan dengan protein plasma (plasma binding protein) 98-99%. iii. Metabolisme Diphenhydramine dimetabolisme terutama di hati. Diphenhydramine dapat dimetabolisme di hati menjadi NDesmetildiphenhydramine dan dipfenhidramin N-glukoronida. iv. Ekskresi Diphenhydramine diekskresi melalui urin dalam bentuk metabolit walaupun sebagian kecil bisa berbentuk obat utuh. Waktu paruh eliminasi dari tubuh: 2,4-9,3 jam.[2] 5.

Related Documents


More Documents from ""