TUGAS KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH “MANAJEMEN PEGADAIAN”
Disusun Oleh : Anna Rosalina (Nim : 123070046) Irma Yusnita (Nim : 123070050)
MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2008
MANAJEMEN PEGADAIAN
A.
PENDAHULUAN Unit layanan pegadaian syariah bermula dari terbitnya PP No.10 tanggal 1 April
1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP 10/1990 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pagadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada system administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan denganb nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah / Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi dibawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara structural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) cabang dewi sartika dibulan januari tahun 2003. menyusul kemudian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta ditahun yang sama hingga September 2003. Masih ditahun yang sama pula, 4 kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah. B.
PENGERTIAN GADAI PADA KONVENSIONAL
Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli atau membayar berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya. Kalau sudah demikian maka mau tidak mau harus mengurangi berbagai keperluan yang dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang sangat penting terpaksa harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada. Jika kebutuhan dana jumlahnya besar, maka dalam jangka pendek sulit untuk dipenuhi, apalagi jika harus dipenuhi lewat lembaga pebankan. Namun jika dana yang dibutuhkan relatif kecil tidak jadi masalah, karena banyak tersedia sumber dana yang murah dan cepat, mulai dari pinjaman ke tetangga, tukang ijon sampai kepinjaman dari berbagai lembaga keuangan lainnya. Bagi mereka yang memiliki barang-barang berharga kesulitan dana dapat segera dipenuhi dengan cara menjual barang berharga tersebut, sehingga sejumlah uang yang diinginkan dapat terpenuhi. Namun resikonya barang yang telah dijual akan hilang dan sulit untuk kembali. Kemudian jumlah uang yang diperoleh terkadang lebih dari yang diinginkan sehingga dapat mengakibatkan pemborosan. Untuk mengatasi kesulitan di atas di mana kebutuhan dana dapat dipenuhi tanpa kehilangan barang-barang berharga, maka masyarakat dapat menjaminkan barang-barang berharga tertentu ke lembaga tertentu. Barang yang dijaminkan tersebut pada waktu tertentu dapat ditebus kembali setelah pinjaman dilunasi. Kegiatan menjaminkan barangbarang untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Pegadaian. Secara umum pengertian usaha gadai adalah dengan lembaga gadai. kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah.
Pengertian gadai yang ada dalam syariah agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada dalam hukum positif, sebab pengertian gadai dalam hukum
positif seperti yang
tercantum dalam Burgerlijk Wetbook (Kitap Undang-undang Hukum Perdata) adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang yang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa usaha gadai memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan. 2. Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan. 3. Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali. C.
KEUNTUNGAN USAHA GADAI Tujuan utama usaha pegadaian adalah untuk mengatasi agar masyarakat yang
sedang membutuhkan uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang ijon atau tukang rentenir yang bunganya reltif tinggi. Perusahaan Pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang berharga. Meminjam uang ke Perusahaan Pegadaian bukan saja karena prosedurnya yang mudah dan cepat, tapi karena biaya yang dibebankan lebih ringan jika dibandingkan dengan para pelepas uang atau tukang ijon. Hal ini dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan dari Perusahaan Pegadaian dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dengan moto “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Jika seseorang membutuhkan dana sebenarnya dapat diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi kendala utamanya adalah prosedurnya yang rumit dan memakan waktu yang relatif lebih lama, di samping itu persyaratan yang lebih sulit untuk dipenuhi seperti dokumen yang harus lengkap, membuat masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhinya. Begitu
pula dengan jaminan yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak semua barang dapat dijadikan jaminan di bank. Namun di perusahaan pegadaian begitu mudah dilakukan, masyarakat cukup datang ke kantor pegadaian terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu, maka uang pinjamanpun dalam waktu singkat dapat terpenuhi. Jaminannya pun cukup sederhana sebagai contoh adalah jaminan jam tangan saja sudah cukup untuk memperoleh sejumlah uang dan hal ini hampir mustahil dapat diperoleh di lembaga keuangan lainnya. Keuntungannya
lain
di
pegadaian
adalah
pihak
pegadaian
tidak
mempermasalahkan untuk apa uang terrsebut digunakan dan hal ini tentu bertolak belakang dengan pihak perbankan yang harus dibuat serinci mungkin tentang penggunaan uangnya. Begitu pula dengan sangsi yang diberikan relatif ringan, apabila tidak dapat melunasi dalam waktu tertentu. Sangsi yang paling berat adalah jaminan yang disimpan akan dilelang untuk menutupi kekurangan pinjaman yang diberikan. Jadi keuntungan perusahaan pegadaian jika dibandingkan dengan lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan lainya adalah: 1. Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang yaitu pada hari itu juga, hal ini disebabkan prosedurnya yang tidak berbelit-belit. 2. Persyaratan yang sangat sederhana sehingga memudahkan konsumen untuk memenuhinya. 3. Pihak Pegadaian tidak mempermasalahkan uang tersebut digunakan untuk apa, jadi sesuai denan kehendak nasabahnya. D.
PRODUK-PRODUK PEGADAIAN 1. KCA (Kredit Cepat Aman) Pemberian kredit sistem gadai, prosesnya cepat (hanya 15 menit), aman dan mudah prosedurnya, dengan jaminan barang bergerak seperti perhiasan (emas dan berlian), kendaraan bermotor dan barang bergerak lainnya. 2. KRASIDA (Kreddit Angsuran Sistem Gadai) Pemberian kredit gadai bagi usaha mikro & kecil dengan sistem angsuran bunga 1% / bulan, jangka waktu maksimal 3 tahun dengan jaminan barang bergerak
seperti perhiasan (emas dan berlian), kendaraan bermotor (sepeda motor & mobil), dan barang bergerak lainnya (sama dengan KCA). 3. KREASI (Kredit Angsuran Sistem Fidusia) Pemberian kredit sistem fidusia bagi usaha mikro & kecil dengan sistem angsuran bung 1%/bulan, jangka waktu maksimal 2 tahun. Barang jaminan BPKB dan survey kelayakan usaha. 4. JASA TAKSIRAN Layanan untuk memberikan penilaian berbagai jenis dan kualitas perhiasan emas dan berlian. Penaksir-penaksir kami akan menjelaskan kepada nasabah akan karatase dan keaslian perhiasan nasabah. 5. JASA TITIPAN Layanan penitipan/penyimpanan surat berharga / dokumen / sertifikat dan barang berharga lainnya. Prosedur mudah, biaya murah dan barang / dokumen nasabah akan aman. E. PROSEDUR MEMPEROLEH PINJAMAN Nilai taksiran atas barang yang akan digunakan tidak sama dengan besarnya pinjaman yang diberikan. Setelah nilai taksiran ditentukan, petugas menentukan junlah uang pinjaman yang dapat diberikan. Penentuan uang pinjaman ini juga ditentukan oleh Perum Pagadaian berdasarkan golongan yang sesarnya berkisar antara 80-92%. Pinjaman kemudian digolongkan atas dasar jumlah untuk menentukan syaratsyarat pinjaman seperti besarnya sewa modal, jangka waktu pelunasan, jadwal atau waktu pelelangan. Adapun tariff sewa modal per 15 hari adalah sebagai berikut : Golongan Golongan A Golongan B Golongan C Golongan D
Tarif Sewa Modal (Bunga) 0,15 % 1,2 % 1,3 % 1%
Pinjaman Rp. 5.000 – 150.000 Rp. 151.000 – 500.000 Rp. 510.000 – 20.000.000 ≥ Rp. 20.500.000
Jangka waktu kredit yang diberikan oleh Perum Pegadaian adalah 120 hari atau 4 bulan, jika nasabah belum dapat mengembalikan pinjaman atau menebus maka dapat
diperpanjang atau digadai ulang. Permintaan atau perbaharui kredit dikenakan biaya administrasi pada bank konvensional adalah sebesar 1 % dari uang pinjaman. Pemberian uang pinjaman dan pelunasan pinjaman dapat digambarkan sebagai berikut :
2. PENAKSIR 1.
3. KASIR
E.1. Gambar pemberian uang pinjaman
1.
2. KASIR
3. Petugas penyimpan barang jaminan
E.2. Gambar pelunasan pinjaman
F. LELANG BARANG JAMINAN Jika sampai batas waktu tertentu, nasabah tidak melunasi, mencicil atau memperpanjang pinjaman, barang jaminan akan dilelang pada bulan ke 5. Pelelangan dilaksanakan oleh Pegadaian sendiri (Staaatsblad tahun 1920 No. 133). Tanggal lelang
diumumkan melalui papan pengumuman dan media radio. Dalam hal barang jaminan telah dilelang, maka nasabah masih berhak untuk menerima uang kelebihan yaitu hasil penjualan dalam lelang setelah dikurangi uang pinjaman + sewa modal, biaya lelang. Apabila kredit belum dapat dikembalikan pada waktunya dapat diperpanjang dengan cara dicicil atau gadai ulang. Kedua cara ini secara otomatis akan memperpanjang jangka waktu kredit. Jika setelah dilelang teradi kelebihan maka uang kelebihan dapat diambil sesudah pelelangan. Tenggang waktu pengambilan uang kelebihan ditentukan selama 1 (satu) tahun setelah tanggal lelang. Apabial dalam waktu yang ditentukan tidak diambil maka uang kelebihan (kadaluarsa) akan menjadi milik perusahaan. G. PENGERTIAN GADAI DALAM SYARIAH Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan). Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu. Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-
rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya. Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn. Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn. Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rudy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam. Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut. Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Agar lebih jelasnya perbedaan pendapat para ulama mengenai pemanfaatan barang gadai akan dipaparkan sebagai berikut: 1.
Pendapat Imam Syafii Dalam kitab al-Um’nya Imam Syafii menjelaskan tetang pemanfaataan barang jaminan sebagai berikut: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai.” Sedangkan pendapat senada diutarakan Ulama Safiiyah bahwa orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadai itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai, Kekuasaannya atas barang yang digadai tidak hilang kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadai tersebut. Sedangkan penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad, tetapi jika mengambil manfaatnya itu diizinkan oleh orang yang menggadai maka itu diperbolehkan. Ulama Safiiyah menyandarkan pendapat ini pada hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan resikonya (kerusakan dan biaya)”. Sedangkan Imam Syafii menyebutkan hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa, “barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Secara tegas Imam Syafii memberi penjelasan mengenai hadis di atas yakni bahwa yang boleh menunggangi dan memeras barang gadai itu hanyalah pemiliknya dan bukan orang yang menerima gadai. Dari penjelasan dan dasar syar’i yang digunakan Imam Safii dan Ulama Syafiiyah di atas dapat diartikan bahwa manfaat barang gadai hanyalah milik si pegadai dan bukan orang yang menerima barang gadai, sedangkan hak bagi penerima gadai hanyalah mengawasi barang jaminan sebagai kepercayaan hutang yang telah diberikannya kepada si pegadai dan dapat memanfaatkannya hanya jika seizin orang yang menggadai.
2.
Pendapat Imam Malik (Malikiyah) Ulama Malikiyah dalam hal pemanfaatan barang gadai berpendapat bahwa hasil dari barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya adalah hak yang menggadaikan, dan hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penggadai tidak mensyaratkan (Rahmat Syafii, 1997). Dengan kata lain jika murtahin mensyaratkan bahwa hasil barang gadai itu untuknya, maka hal itu dapat dilakukan dengan beberapa syarat: a.
Utang terjadi karena jual beli dan bukan karena menguntung-kan.
b.
Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya.
c.
Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan waktunya harus ditentukan, dan jika tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah (Sayyid Sabiq, hal. 188). Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut ulama Malikiyah
sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan. Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan keduanya yaitu bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang memilikinya (menggadainya). Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya pemanfaatan barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam Syafii atau ulama Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai (orang yang mempunyai barang). Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang membolehkan pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah sebagai berikut: Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia dijadikan jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan jaminan utang dan kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR Bukhari).
3.
Pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal (Hambaliyah) Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih menekankan pada jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang digadai tersebut hewan atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya atau tidak. Jika barang yang digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka boleh bagi penerima gadai mengambil manfaat atas barang gadai. Sedangkan jika barang gadai tersebut tidak dapat ditunggangi dan diperah maka barang tersebut dapat diambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela dan selama sebab gadai itu bukan dari sebab hutang. (Sayyid Sabiq, hal. 189) Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat dikalangan Ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan refrensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak terabaikan. -
Pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas jaminan yang diterimanya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
-
Murtahun adalah pemilik dana (perum pegadaian) yang memeberikan pinjaman kepada rahn dengan menerima barang jaminan sebagai pelunas pinjaman yang diberikan kepada rahn.
-
Marhun adalah harta / barang yang dijadikan sebagai rahn/jaminan (di-rahn kan), yaitu barang yang berharga atau mempunyai nilai ekonomis serta dapat disimpan / bertahan lama, seperti emas perhiasan atau batangan, barang-barang elektronik, kendaraan bermotor.
-
Sighat adalah ijab qobul antara rahn dan murtahin yang dituangkan dalam satu akad.
-
Akad adalah perjanjian, yaitu pertalian ijab dengan qobul menurut cara-cara yang disyariatkan yang berpengaruh terhadap objek yang di akadkan dan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang melaksanakan akad.
-
Al-Qardh adalah suatu akad pembiayaan dari murtahun (pihak yangn berpiutang) kepada rahin (pihak yang berhutang) dengan ketentuan bahwa rahn wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada murtahin pada waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
-
Ijaroh adalah akad pemindahan manfaat atas suuatu barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu melalui pembayaran upah / sewa tempat, tanpa diikuti peminadahaan kepemilikan barang itu sendiri.
-
Musta’jir adalah pihak penyewa tempat atas barang yang sedang dijadikan jaminan pelunasan utang kepada pegadaian.
-
Mu’ajjir adalah pihak penyewa tempat atas barang yang sedang dijadikan jaminan pelunasan pinjaman kepada musta’jir.
-
Ma’jur adalah barang yang dijadikan objek sewa menyewa dalam akad ijaroh.
H. TUJUAN PENDIRIAN PEGADAIAN Pada saat pendirian pegadaian syaraih oleh Bank Muamalat Indonesia dan Perum Pegadaian melalui program musyarakah ditetapka visi dan misi dari pegadaian syariah yang akan didirikan, yang keduanyA mensiratkan tujuan didirikannya pegadaian syariah. Visi pegadaian syariah adalah menjadi lembaga keuangan syariah terkemuka di Indonesia. Sedangkan misinya ada tiga: a. Memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin melakukan transaksi ang halal. b. Memberikan superior return bagi investor c. Memberikan ketenangan kerja bagi karyawan. Jadi tujuan pendirian pegadaian syariah meliputi seluruh stakeholder yang berkaitan dengan usaha layanan pegadaian yaitu masyarakat, investor, dan karyawan. Mengenai rukun dan sahya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis4 sebagai berikut : 1.
Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. (Ijab Qabul / sighot) Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2.
Adanya pemberi dan penerima gadai. (Aqid) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murthahin (penenima gadai) adalah Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
3.
Adanya barang yang digadaikan. (Marhun) Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah: a. dapat diserah terimakan b. bermanfaat c. milik rabin (orang yang menggadaikan) d. jelas e. tidak bersatu dengan harta lain f. dikuasai oleh rahin g. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhajul Muslim” menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman dan buahbuahan dipohonnya yang belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur gharar bagi murthahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur
gharar karena piutang murthahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan (AlJazairi, 2000: 532). 4.
Adanya utang/ hutang. Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah: a. berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan; b. utang harus lazim pada waktu akad; c. utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin. Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murthahin, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murthahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murthahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena. Rasulullah SAW bersabda: “barang bukti dimintakan dari orang yang mengklaim dan sum pah dimintakan dan orang yang tidak mengaku”. (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik) (Al-Jazairi, 2000: 533). Jika murthahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, maka ucapan yang diterima adalah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murthahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya (Al-Jazairi, 2000: 533). Madzhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad, setelah akad orang yang menggadaikan (rahin) dipaksakan untuk menyerahkan barang untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin) (Sayyid Sabiq, 1987: 141). Sedangkan menurut Al-Jazairi marbun boleh dititipkan kepada orang yang bisa
dipercaya selain murthahin sebab yang terpenting dan marhun tersebut dapat dijaga dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa dipercaya (Al-Jazairi, 2000: 532).
I.
OPERASIONALISASI PEGADAIAN SYARIAH Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian
konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15 menit saja ). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat. Di samping beberapa kemiripandari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut. C.1. Landasan Konsep Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah : Quran Surat Al Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para
saksi)
menyembunyikan
persaksian.
Dan
barangsiapa
yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan Hadist Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. HR Bukhari dan Muslim Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia
harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali Muslim dan NasaiBukhari Ijtihad Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak berpergian maupun pada waktu berpergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi tersebut di Madinah Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSNMUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut. a. Ketentuan Umum : 1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. 4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan marhun
5.1.Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya. 5.2.Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi. 5.3.Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. 5.4.Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. b. Ketentuan Penutup 1.
Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.
C.2. Teknik Transaksi Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu. 1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah. 2. Akad Ijaroh. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad rukun dari akad transaksi tersebut meliputi : a.
Orang yang berakad : 1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang (murtahin).
b.
Sighat ( ijab qabul)
c.
Harta yang dirahnkan (marhun)
d.
Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : 1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas. 2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu. 3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin,
tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya. 4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur. 5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi. Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang. Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan : 1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan . 2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 80,- (delapan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman. Tarif Ijaroh per 10 Hari : Taksiran Rp. 80 x
---------------------Rp. 10.000
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman. Dengan ketentuan sebagai berikut: GOLONGAN
GOL. A GOL. B GOL. C GOL. D GOL. E GOL F GOL. G GOL. H
PINJAMAN
Rp. 20.000 – 150.000 Rp. 151.000 – 500.000 Rp. 501.000 – 1.000.5000 Rp. 1.001.000 – 5.000.000 Rp. 5.010.000 – 10.000.000 Rp. 10.050.000 – 20.000.000 Rp. 20.100.000 – 50 Jt Rp. 50.100.000 – 200 Jt
BIAYA ADM
Rp. 1.000 Rp. 5.000 Rp. 8.000 Rp. 16.000 Rp. 25.000 Rp. 40.000 Rp. 50.000 Rp. 60.000
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk o
melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
o
mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
o
atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan,
maka Pegadaian Syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. Teknis operasional dalam lembaga pegadaian syariah dapat diilustrasikan sebagai berikut:
J.
PENDANAAN Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
K.
PERBEDAAN
PEGADAIAN
KONVENSIONAL
DAN
PEGADAIAN
SYARIAH Dari uraian diatas dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu 1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang
mensyaratkan
secara
mutlak
keberadaan
barang
jaminan
untuk
membenarkan penarikan bea jasa simpan. Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan. Perbandingan Perhitungan Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional Pegadaian Syariah (Gadai Rahn)
Pegadaian Konvensional (Gadai Emas)
Taksiran Marhun = Rp. 924.075
Taksiran Barang = Rp. 924.075
Uang Pinjaman yang diterima = 90% x Rp. 924.075
Uang Pinjaman yang diterima = 90% x Rp. 924.075
= Rp. 832.000 Biaya ADM Gol C = Rp. 8.000 Ijaroh per 10 hari x 3 (30 hari/1 bulan)
= Rp. 832.000 Biaya ADM Gol C (1%x UP) = Rp. 8.500 Tarif sewa modal (bunga, 1.3% per 15 hari x 2 =
Total
= Rp. 22.200 Rp. 862.200
2,6%/bulan)
Total
= Rp. 22.000
Rp. 862.500
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PEGADAIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM) yang mencabut berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM), dan Perusahaan Perseroan (PERSERO), maka peraturan tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian perlu disesuaikan; b. bahwa berhubung dengan hal tersebut dalam huruf a, maka dipandang perlu untuk mengatur kembali peraturan tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian dengan Peraturan Pemerintah; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; 2. Pandhuis Reglement (Aturan Dasar Pegadaian) Staatsblad Tahun 1928 Nomor 81; 3. Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1989); 4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM) (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3732); MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PEGADAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian , yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Perusahaan, adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969, yang bidang usahanya berada dalam lingkup tugas dan kewenangan Menteri Keuangan, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. 2. Pembinaan adalah kegiatan untuk memberikan pedoman bagi Perusahaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dengan maksud agar Perusahaan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara berdaya guna dan berhasil guna serta dapat berkembang dengan baik. 3. Pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap Perusahaan dengan tujuan agar Perusahaan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 4. Pemeriksaan
adalah
kegiatan
untuk
menilai
Perusahaan
dengan
cara
membandingkan antara keadaan yang sebenarnya dengan keadaan yang seharusnya dilakukan, baik dalam bidang keuangan dan atau bidang teknis operasional. 5. Kepengurusan adalah kegiatan pengelolaan Perusahaan dalam upaya mencapai tujuan Perusahaan, sesuai dengan kebijakan pengembangan usaha dan pedoman kegiatan operasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 6. Menteri Keuangan adalah Menteri yang mewakili Pemerintah dalam setiap penyertaan kekayaan Negara yang dipisahkan untuk dimasukkan ke dalam Perusahaan
dan
yang
bertanggungjawab
dalam
pembinaan
sehari-hari
Perusahaan. 7. Direksi adalah organ Perusahaan yang bertanggung jawab atas kepengurusan Perusahaan
untuk
kepentingan
dan
tujuan
Perusahaan
serta
mewakili
Perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan. 8. Dewan Pengawas adalah organ Perusahaan yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan kegiatan kepengurusan Perusahaan.
BAB II PENDIRIAN PERUSAHAAN Pasal 2 Perusahaan yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 sebagai PERJAN Pegadaian sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990, dilanjutkan berdirinya dan meneruskan usaha-usaha selanjutnya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. BAB III ANGGARAN DASAR PERUSAHAAN Bagian Pertama Umum Pasal 3 (1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Badan Usaha Milik Negara yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan usaha menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. (2) Perusahaan melakukan usaha-usaha berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, terhadap Perusahaan berlaku Hukum Indonesia. Bagian Kedua Tempat Kedudukan dan Jangka Waktu Pasal 4 Perusahaan berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta. Pasal 5 Perusahaan didirikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Bagian Ketiga Sifat, Maksud dan Tujuan Pasal 6
Sifat usaha dari Perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan. Pasal 7 Maksud dan tujuan Perusahaan adalah : a. turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar lainnya. Bagian Keempat Kegiatan dan Pengembangan Usaha Pasal 8 Untuk mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Perusahaan menyelenggarakan usaha : a. penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai; b. penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko emas, dan industri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan. Pasal 9 Untuk mendukung pembiayaan kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan Perusahaan dapat : a. melakukan kerjasama usaha dengan badan usaha lain; b. membentuk anak Perusahaan; c. melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.
Bagian Kelima Modal Pasal 10 (1) Modal Perusahaan merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan tidak terbagi atas saham-saham. (2) Besarnya modal Perusahaan pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan adalah sebesar seluruh nilai penyertaan modal Negara yang tertanam dalam Perusahaan, berdasarkan penetapan Menteri Keuangan. Pasal 11 Setiap penambahan dan pengurangan penyertaan modal Negara yang tertanam dalam Perusahaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 (1) Penerbitan obligasi dalam rangka pengerahan dana masyarakat oleh Perusahaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Rencana penerbitan obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberitahukan oleh Perusahaan kepada para kreditor tertentu. Pasal 13 (1) Dalam hal Perusahaan menerbitkan obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Negara melakukan pengurangan penyertaan modal pada Perusahaan, maka rencana pengurangan modal Negara tersebut harus diberitahukan kepada kreditur sebelum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pengurangan penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh merugikan kepentingan pihak ketiga. Pasal 14 Semua alat-alat likuid yang tidak segera diperlukan oleh Perusahaan disimpan dalam bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam Pembinaan Pasal 15 (1) Pembinaan dan pelaksanaan pembinaan sehari-hari Perusahaan dilakukan oleh Menteri Keuangan. (2) Pembinaan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan menetapkan kebijakan pengembangan usaha. (3) Kebijakan pengembangan usaha
merupakan arah
dalam mencapai tujuan
Perusahaan, baik menyangkut kebijakan investasi, pembiayaan usaha, sumber pembiayaannya, penggunaan hasil usaha Perusahaan dan kebijakan pengembangan lainnya. (4) Pembinaan sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memberikan pedoman bagi Direksi dan Dewan Pengawas dalam menjalankan kegiatan operasional Perusahaan. (5) Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disusun berdasarkan kebijakan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (6) Dalam rangka memantapkan pembinaan dan pengawasan Perusahaan, Menteri Keuangan sewaktu-waktu apabila diperlukan dapat meminta keterangan dari Direksi dan Dewan Pengawas. Pasal 16 Menteri Keuangan tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dilakukan Perusahaan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan melebihi nilai kekayaan Negara yang telah dipisahkan ke dalam Perusahaan, kecuali apabila : a. Menteri Keuangan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perusahaan semata-mata untuk kepentingan pribadi; b. Menteri Keuangan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan Perusahaan; atau c.
Menteri Keuangan langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perusahaan.
Bagian Ketujuh Direksi Perusahaan Pasal 17 (1) Kepengurusan Perusahaan dilakukan oleh Direksi. (2) Jumlah anggota Direksi paling banyak 5 (lima) orang, dan seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. (3) Penambahan jumlah anggota Direksi melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan dengan persetujuan Presiden. Pasal 18 Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perorangan yang : a. memenuhi
kriteria
keahlian,
integritas,
kepemimpinan,
pengalaman
dan
berkelakuan baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan Perusahaan; b. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau PERUM dinyatakan pailit; dan c.
berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 19
(1) Antara anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk hubungan yang timbul karena perkawinan. (2) Jika hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terjadi sesudah pengangkatan anggota Direksi, maka anggota Direksi tersebut harus mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk dapat melanjutkan jabatannya. (3) Permohonan kepada Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya hubungan keluarga.
(4) Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat melanjutkan jabatannya sampai dikeluarkannya keputusan Menteri Keuangan bagi anggota Direksi tersebut mengenai dapat atau tidak dapat melanjutkan jabatan. (5) Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diberikan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan. (6) Dalam hal keputusan Menteri Keuangan belum dikeluarkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Menteri Keuangan dianggap memberikan keputusan bahwa anggota Direksi dapat melanjutkan jabatannya. Pasal 20 Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap : a. Direktur Utama atau Direktur pada Badan Usaha Milik Negara, Daerah dan Swasta atau jabatan lain yang berhubungan dengan kepengurusan perusahaan; b. jabatan struktural dan fungsional lainnya dalam instansi/lembaga Pemerintah Pusat atau Daerah; c.
jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21
(1) Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan. (2) Anggota Direksi diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun, dan dapat diangkat kembali. Pasal 22 (1) Anggota Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh Menteri Keuangan apabila berdasarkan kenyataan anggota Direksi : a. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik; b. tidak
melaksanakan
ketentuan peraturan
perundang-undangan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini; c.
terlibat dalam tindakan yang merugikan Perusahaan;
dan atau
d. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana kejahatan dan atau kesalahan yang bersangkutan dengan kepengurusan perusahaan. (2) Keputusan pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri. (3) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak anggota Direksi yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri Keuangan tentang rencana pemberhentian tersebut. (4) Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam proses, maka anggota Direksi yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya. (5) Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak memberikan keputusan pemberhentian anggota Direksi tersebut, maka rencana pemberhentian tersebut menjadi batal. (6) Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, merupakan pemberhentian tidak dengan hormat. (7) Kedudukan sebagai anggota Direksi berakhir dengan dikeluarkannya keputusan pemberhentian oleh Menteri Keuangan. Pasal 23 (1) Direksi diberi tugas dan mempunyai wewenang untuk : a. memimpin, mengurus dan mengelola Perusahaan sesuai dengan tujuan Perusahaan dengan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil guna Perusahaan; b. menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan Perusahaan; c.
mewakili Perusahaan di dalam dan di luar pengadilan;
d. melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengurus Perusahaan yang telah digariskan Menteri Keuangan; e. menetapkan kebijakan Perusahaan sesuai dengan pedoman kegiatan operasional yang ditetapkan Menteri Keuangan;
f.
menyiapkan Rencana Jangka Panjang dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan;
g. mengadakan dan memelihara pembukuan dan administrasi Perusahaan sesuai dengan kelaziman yang berlaku bagi suatu perusahaan; h. menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja Perusahaan lengkap dengan perincian tugasnya; i.
melakukan kerjasama usaha, membentuk anak Perusahaan dan melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain dengan persetujuan Menteri Keuangan;
j.
mengangkat dan memberhentikan pegawai Perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
k.
menetapkan gaji, pensiun/jaminan hari tua dan penghasilan lain bagi para pegawai Perusahaan serta mengatur semua hal kepegawaian lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
l.
menyiapkan Laporan Tahunan dan laporan berkala.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direksi berwenang menetapkan kebijaksanaan teknis dan non teknis sesuai dengan kebijakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e. Pasal 24 (1) Dalam menjalankan tugas-tugas Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 : a. Direktur Utama dapat bertindak atas nama Direksi berdasarkan persetujuan para anggota Direksi lainnya; b. para Direktur berhak dan berwenang bertindak atas nama Direksi, masing-masing untuk bidang yang menjadi tugas dan wewenangnya. (2) Apabila salah satu atau beberapa anggota Direksi berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan penggantinya belum diangkat atau belum memangku jabatannya, maka jabatan tersebut dipangku oleh anggota Direksi lainnya yang ditunjuk sementara oleh Menteri Keuangan. (3) Dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak terjadinya keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri Keuangan menunjuk anggota Direksi yang baru untuk memangku jabatan yang terluang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Apabila semua anggota Direksi berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau jabatan Direksi terluang seluruhnya dan belum diangkat, maka sementara waktu pengurusan Perusahaan dijalankan oleh Dewan Pengawas. (5) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, Direksi dapat melaksanakan sendiri atau menyerahkan kekuasaan tersebut kepada : a. seorang atau beberapa orang anggota Direksi; atau b. seorang atau beberapa orang pegawai Perusahaan baik sendiri maupun bersamasama; atau c. orang atau badan lain; yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut. Pasal 25 Dalam melaksanakan tugasnya Direksi wajib mencurahkan perhatian dan pengabdiannya secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan Perusahaan. Pasal 26 Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) huruf a tidak berwenang mewakili Perusahaan apabila : a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Perusahaan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Perusahaan. Pasal 27 Besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 28 (1) Rapat Direksi diselenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali.
(2) Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajibannya. (3) Keputusan rapat Direksi diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat. (4) Dalam hal tidak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. (5) Untuk setiap rapat dibuatkan risalah rapat. Pasal 29 (1) Rencana Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf f, sekurang-kurangnya memuat : a. evaluasi pelaksanaan Rencana Jangka Panjang sebelumnya; b. posisi Perusahaan pada saat penyusunan Rencana Jangka Panjang; c.
asumsi-asumsi yang dipakai dalam penyusunan Rencana Jangka Panjang;
d. penetapan sasaran, strategi, kebijakan dan program kerja Rencana Jangka Panjang beserta keterkaitan antara unsur-unsur tersebut. (2) Rancangan Rencana Jangka Panjang yang telah ditandatangani bersama dengan Dewan Pengawas disampaikan kepada Menteri Keuangan, untuk disahkan. Pasal 30 (1) Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf f sekurang-kurangnya memuat : a. Rencana Kerja Perusahaan; b. Anggaran Perusahaan;. c. Proyeksi Keuangan Pokok Perusahaan; d. hal-hal lain memerlukan pengesahan oleh Menteri Keuangan. (2) Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Menteri Keuangan, paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran dimulai, untuk memperoleh pengesahan.
(3) Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tahun anggaran berjalan. (4) Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan belum disahkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan tersebut dianggap sah untuk dilaksanakan sepanjang telah memenuhi ketentuan tata cara penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan. Bagian Kedelapan Dewan Pengawas Pasal 31 (1) Pada Perusahaan dibentuk Dewan Pengawas. (2) Jumlah anggota Dewan Pengawas disesuaikan dengan kebutuhan Perusahaan paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 5 (lima) orang, seorang diantaranya diangkat sebagai Ketua Dewan Pengawas. (3) Dewan Pengawas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan tujuan Perusahaan. Pasal 32 Yang dapat diangkat sebagai Dewan Pengawas adalah orang perorangan yang : a. memiliki dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya; dan b. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi, Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau PERUM dinyatakan pailit. Pasal 33 Anggota Dewan Pengawas tidak dibenarkan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan atau mengganggu kepentingan Perusahaan. Pasal 34
Dewan Pengawas terdiri dari unsur-unsur pejabat Departemen Keuangan dan departemen/instansi lain yang kegiatannya berhubungan dengan Perusahaan, atau pejabat lain yang ditetapkan Menteri Keuangan. Pasal 35 (1) Anggota Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan. (2) Anggota Dewan Pengawas diangkat untuk masa jabatan yang sama dengan anggota Direksi dan dapat diangkat kembali. (3) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas tidak bersamaan waktunya dengan pengangkatan anggota Direksi. Pasal 36 (1) Anggota Dewan Pengawas dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh Menteri Keuangan, apabila berdasarkan kenyataan anggota Dewan Pengawas : a. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik; b. tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan atau ketentuan Peraturan Pemerintah ini; c.
terlibat dalam tindakan yang merugikan Perusahaan; atau
d. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana kejahatan dan atau kesalahan yang berkaitan dengan tugasnya melaksanakan pengawasan dalam perusahaan. (2) Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri. (3) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri Keuangan tentang rencana pemberhentian tersebut. (4) Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam proses, maka anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya.
(5) Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak memberikan keputusan pemberhentian anggota Dewan Pengawas tersebut, maka rencana pemberhentian tersebut menjadi batal; (6) Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, merupakan pemberhentian tidak dengan hormat. (7) Kedudukan sebagai anggota Dewan Pengawas berakhir dengan dikeluarkannya keputusan pemberhentian oleh Menteri Keuangan. Pasal 37 (1) Dewan Pengawas bertugas untuk : a. melaksanakan pengawasan terhadap pengurusan Perusahaan yang dilakukan oleh Direksi; b. memberi nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan kegiatan pengurusan Perusahaan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a termasuk pengawasan terhadap pelaksanaan : a. Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan; b. ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; c. kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; d. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 38 (1) Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban : a. memberikan pendapat dan saran kepada Menteri Keuangan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang diusulkan Direksi; b. mengikuti perkembangan kegiatan Perusahaan, memberikan pendapat dan saran kepada Menteri Keuangan mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengurusan Perusahaan;
c.
melaporkan dengan segera kepada Menteri Keuangan apabila terjadi gejala menurunnya kinerja Perusahaan;
d. memberikan
nasihat
kepada
Direksi
dalam
melaksanakan
pengurusan
Perusahaan. (2) Dewan Pengawas melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri Keuangan secara berkala dan sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 39 Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Dewan Pengawas mempunyai wewenang sebagai berikut : a. melihat buku-buku, surat-surat serta dokumen-dokumen lainnya, memeriksa kas untuk keperluan verifikasi dan memeriksa kekayaan Perusahaan; b. memasuki pekarangan, gedung dan kantor yang dipergunakan oleh Perusahaan; c.
meminta penjelasan dari Direksi dan atau pejabat lainnya mengenai segala persoalan yang menyangkut pengelolaan Perusahaan;
d. meminta Direksi dan atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan Direksi untuk menghadiri rapat Dewan Pengawas; e. menghadiri rapat Direksi dan memberikan pandangan-pandangan terhadap halhal yang dibicarakan; f.
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini, memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu;
g. berdasarkan
ketentuan
Peraturan
Pemerintah
ini
atau
keputusan
rapat
pembahasan bersama, melakukan tindakan pengurusan Perusahaan dalam hal Direksi tidak ada; dan h. memberhentikan sementara Direksi, dengan menyebutkan alasannya. Pasal 40 Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Pengawas, Menteri Keuangan dapat mengangkat seorang Sekretaris Dewan Pengawas atas beban Perusahaan. Pasal 41 Jika dianggap perlu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya dapat memperoleh bantuan tenaga ahli yang diikat dengan kontrak untuk waktu tertentu atas beban Perusahaan.
Pasal 42 Semua biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas Dewan Pengawas dibebankan kepada Perusahaan dan secara jelas dimuat dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan. Pasal 43 (1) Rapat Dewan Pengawas diselenggarakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali. (2) Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajiban Dewan Pengawas. (3) Keputusan rapat Dewan Pengawas diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat. (4) Dalam hal tak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. (5) Untuk setiap rapat dibuat risalah rapat. Bagian Kesembilan Satuan Pengawasan Intern Pasal 44 (1) Satuan Pengawasan Intern melaksanakan pengawasan intern keuangan dan operasional Perusahaan. (2) Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama. Pasal 45 Satuan Pengawasan Intern bertugas : a. membantu Direktur Utama dalam melaksanakan pemeriksaan intern keuangan dan
operasional
Perusahaan,
menilai
pengendalian,
pengelolaan
dan
pelaksanaannya pada Perusahaan serta memberikan saran-saran perbaikannya;
b. memberikan keterangan tentang hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Direksi. Pasal 46 Direksi wajib memperhatikan dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Satuan Pengawasan Intern. Pasal 47 Atas permintaan tertulis Dewan Pengawas, Direksi memberikan keterangan hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 huruf b. Pasal 48 Dalam pelaksanaan tugasnya, Satuan Pengawasan Intern wajib menjaga kelancaran pelaksanaan tugas satuan organisasi lainnya dalam Perusahaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Bagian Kesepuluh Sistem Akuntansi dan Pelaporan Pasal 49 Tahun buku Perusahaan adalah tahun takwim, kecuali jika ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Pasal 50 Perhitungan Tahunan dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Pasal 51 Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Perusahaan ditutup, Direksi wajib menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf l kepada Menteri Keuangan, yang memuat sekurang-kurangnya :
a. Perhitungan Tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut; b. laporan mengenai keadaan dan jalannya Perusahaan serta hasil yang telah dicapai; c.
kegiatan utama Perusahaan dan perubahan selama tahun buku;
d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan Perusahaan; e. nama anggota Direksi dan Dewan Pengawas; dan f.
gaji dan tunjangan lain bagi anggota Direksi dan Dewan Pengawas. Pasal 52
(1) Laporan Tahunan ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan Dewan Pengawas serta disampaikan kepada Menteri Keuangan. (2) Dalam hal ada anggota Direksi atau Dewan Pengawas tidak menandatangani Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disebutkan alasannya secara tertulis. Pasal 53 (1) Perhitungan Tahunan disampaikan oleh Direksi kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk diperiksa. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dengan ketentuan bahwa hasil pemeriksaannya disetujui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (3) Apabila Perusahaan mengerahkan dana masyarakat, pemeriksaan Perhitungan Tahunan dilakukan oleh Akuntan Publik. (4) Laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis oleh Direksi kepada Menteri Keuangan untuk disahkan. (5) Perhitungan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diumumkan dalam surat kabar harian.
Pasal 54 (1) Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) membebaskan Direksi dari tanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang termuat dalam Perhitungan Tahunan tersebut. (2) Dalam hal dokumen Perhitungan Tahunan yang diajukan dan disahkan tersebut ternyata tidak benar dan atau menyesatkan maka anggota Direksi dan Dewan Pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yang dirugikan. (3) Anggota Direksi dan Dewan Pengawas dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya. Pasal 55 (1) Laporan berkala baik laporan triwulan, laporan semester maupun laporan lainnya tentang kinerja Perusahaan disampaikan kepada Dewan Pengawas. (2) Tembusan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan. Pasal 56 Laporan
tahunan,
Perhitungan
Tahunan,
laporan
berkala
dan
laporan
lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Bagian ini, disampaikan dengan bentuk, isi dan tata cara penyusunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kesebelas Pegawai Perusahaan Pasal 57 Pengadaan, pengangkatan, penempatan, pemberhentian, kedudukan, kepangkatan, jabatan, gaji/upah, kesejahteraan dan penghargaan kepada pegawai Perusahaan diatur dan ditetapkan oleh Direksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 58
(1) Segala ketentuan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri tidak berlaku bagi pegawai Perusahaan. (2) Direksi dapat mengatur dan menetapkan ketentuan eselonisasi jabatan tersendiri bagi pegawai Perusahaan. Bagian Keduabelas Penggunaan Laba Pasal 59 (1) Setiap tahun buku, Perusahaan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih untuk cadangan tujuan, penyusutan dan pengurangan lainnya yang wajar. (2) Empat puluh lima persen (45%) dari sisa penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipakai untuk : a. cadangan umum yang dilakukan sampai cadangan mencapai sekurangkurangnya 2 (dua) kali lipat dari modal yang ditempatkan; b. sosial dan pendidikan; c.
jasa produksi;
d. sumbangan dana pensiun; dan e. sokongan dan sumbangan ganti rugi. (3) Penetapan persentase pembagian laba bersih Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Pasal 60 (1) Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 disetorkan sebagai Dana Pembangunan Semesta. (2) Dana Pembangunan Semesta yang menjadi hak Negara wajib disetorkan ke Bendahara Umum Negara segera setelah Laporan Tahunan disahkan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Bagian Ketigabelas Ketentuan lain-lain Pasal 61
Tata cara penjualan, pemindahtanganan atau pembebanan atas aktiva tetap Perusahaan serta penerimaan pinjaman jangka menengah/panjang dan pemberian pinjaman dalam bentuk dan cara apapun serta tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan piutang dan persediaan barang oleh Perusahaan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pasal 62 Pengadaan barang dan jasa Perusahaan yang menggunakan dana langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 63 (1) Selain organ Perusahaan, pihak lain manapun dilarang turut mencampuri pengurusan Perusahaan. (2) Organ Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Direksi dan Dewan Pengawas. (3) Departemen/instansi Pemerintah tidak dibenarkan membebani Perusahaan dengan segala bentuk pengeluaran. (4) Perusahaan tidak dibenarkan membiayai keperluan pengeluaran Departemen/instansi Pemerintah. Pasal 64 (1) Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar Perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan. (2) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perusahaan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (3) Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Pasal 65
(1) Anggota Direksi dan semua pegawai Perusahaan yang karena tindakan-tindakan melawan hukum menimbulkan kerugian bagi Perusahaan, diwajibkan mengganti kerugian tersebut. (2) Ketentuan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap anggota Direksi diatur oleh Menteri Keuangan, sedangkan terhadap pegawai Perusahaan diatur oleh Direksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 66 Semua surat dan surat berharga yang termasuk kelompok pembukuan dan administrasi Perusahaan disimpan di tempat Perusahaan atau tempat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 67 (1) Pembubaran Perusahaan dan penunjukan likuidaturnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Semua kekayaan Perusahaan setelah diadakan likuidasi, menjadi milik Negara. (3) Likuidatur mempertanggungjawabkan likuidasi kepada Menteri Keuangan. (4) Menteri Keuangan memberi pembebasan tanggung jawab tentang pekerjaan yang telah diselesaikan likuidatur. Pasal 68 Pimpinan
satuan
organisasi
dalam
Perusahaan
bertanggung
jawab
melakukan
pengawasan melekat dalam lingkungan tugasnya masing-masing. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 69 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan pelaksanaan yang telah ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1990, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan ketentuan baru yang ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 70 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1990 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 71 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1November 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 200
FATWA DSN 25/DSN-MUI/III/2002: RAHN Pertama: Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut. Kedua: Ketentuan Umum 1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua hutang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin. 4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan Marhun
Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya.
Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Ketiga: Ketentuan Penutup 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di: Jakarta Tanggal: 15 Rabi’ul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M
Qs. Al Baqarah ayat 282
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu ber mu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulistannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan jangan lah penulis enggan menulisnyasebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan jangan lah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika orang yang berhutang itu lemah akalnya atau lemah (keadaanya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lakilaki diantaramu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apa bila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil meupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah Mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah yang mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H.Veithzal Rivai, M.B.A; Andria Permata Veithzal, S.Acct., M.B.A; Ferry N. Idroes, S.E., M.M.. 2007. Bank and Financial Institution Management. Edisi 1. Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada. Abdul Ghofur Anshori. 2007. Gadai Syariah di Indonesia. Jakarta: Gadjah Mada Univercity Press. Ruslan Abdul Ghafur. Konsep Gadai Syariah (Ar-Rahn) Dalam Fiqih.01 Maret 2008. MSI-UII. Ari Agung Nugraha. Gambaran Umum Usaha Pegadaian Syariah. Perum Pegadaian Cabang Batam. Vibisnews.com. Konsep, Operasionalisasi, dan Prospek Pegadaian Syariah di Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya.