Manajemen Nyeri.docx

  • Uploaded by: I gusti ayu sulastri
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manajemen Nyeri.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,092
  • Pages: 40
MANAJEMEN NYERI A. DEFINISI Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979, nyeri didefinisikan sebagai suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu: A. Persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut. B. Perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.

B.

KLASIFIKASI Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Menurut Jenisnya a. Nyeri nosiseptif Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

Gambar 1. Mekanisme nyeri nosiseptif6 b. Nyeri neurogenik Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.

Gambar 2. Mekanisme nyeri neurogenik6

c. Nyeri psikogenik Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Gambar 3. Mekanisme nyeri psikogenik6

2.

Menurut timbulnya nyeri

a. Nyeri akut Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah. b. Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau

keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena kanker. Tabel 1. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik Nyeri akut

Nyeri kronik

- Lamanya dalam hitungan menit

- Lamannya sampai > 3 bulan

- Sensasi tajam menusuk

- Sensasi terbakar, tumpul, pegal

- Dibawa oleh serat A-delta

- Dibawa oleh serat C

-

Ditandai peningkatan BP, nadi, dan- Fungsi fisiologi bersifat normal respirasi

- Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi- Kausanya mungkin jelas mungkin tidak secara biologis -

- Tidak ada keluhan nyeri, depresi dan

Respon pasien : Fokus pada nyeri, kelelahan menangis dan mengerang, cemas

- Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon

- Tingkah laku menggosok bagian yang terhadap nyeri nyeri -

Respon

terhadap

analgesik

Respon terhadap analgesik : sering

: kurang meredakan nyeri

meredakan nyeri secara efektif

3.

Menurut penyebabnya

a. Nyeri kanker Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut, intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase yang jauh. Selain

itu, terapi kanker dengan tindakan bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan mukositis, gastroenteritis, iritasi kulit, dan nyeri lain yang berakitan. b. Nyeri non kanker Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu nyeri neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda waktu tertentu. Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti tersengat listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh yang telah diamputasi). Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau jaringan ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi otot misalnya polimyositis (penyakit jaringan ikat yang ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan dermatitis dan juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya arthritis. 4.

Menurut derajat nyeri

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menjelang tidur. b. Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur. 5.

Menurut sumber nyeri

a. Nyeri somatik luar Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi. b. Nyeri somatik dalam Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat. c. Nyeri visceral Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

C. MEKANISME NYERI Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:

1.

Serabut A delta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/detik) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. Serabut A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serabut C.

2.

Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5-5 m/detik) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang secara koolektif disebut sebagai nosiseptif (nociception). Mekanisme timbulnya nyeri terdiri dari 4 proses, antara lain:6,7

1.

Transduksi Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujungujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

2.

Transmisi Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang menyusul proses tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta dan C, impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel-sel neuron di medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri

akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serabut aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medula spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya. 3.

Modulasi Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

4.

Persepsi Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

Gambar 4. Mekanisme nyeri6

D. SISTEM INHIBISI NYERI Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornu dorsalis medula spinalis. Ini dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti:2 1.

Stimulasi serabut aferen yang mempunyai diameter besar Stimulasi serabut aferen ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serabut A betha atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.

2.

Serabut inhibisi desendens Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornu dorsalis medula spinalis, yaitu:

a. Lintasan

I

: Berawal dari nukleus raphe magnus.

b. Lintasan II

: Berawal dari nukleus lokus seruleus

c. Lintasan III

: Berawal dari nucleus Edinger Wesphal

Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin. Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres. 3.

Betha endorphin Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor, zat ini dibawa ke medula spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.

4.

Opioid PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornu dorsalis medula spinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.

E.

RESPON TUBUH TERHADAP NYERI Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tubuh. Impuls nyeri oleh serabut aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medula spinalis.1 Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serabut saraf aferen diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis dan

juga diteruskan melalui sel-sel di kornu anterolateral dan kornu anterior medula spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.7,8 Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti: a.

Sistem respirasi Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.

b.

Sistem kardiovaskuler Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal, cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien

dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial. c.

Sistem gastrointestinal Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction.

d.

Sistem urogenital Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.

e.

Sistem metabolisme dan endokrin Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler.

f.

Sistem hematologi

Nyeri

menyebabkan

peningkatan

adhesi

platelet,

meningkatkan

fibrinolisis,

dan

hiperkoagulopati. g.

Sistem imunitas Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.

h.

Efek psikologis Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.

i.

Homeostasis cairan dan elektrolit Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.

Gambar 5. Respon tubuh terhadap nyeri9

F.

PENILAIAN INTENSITAS NYERI Terdapat beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain:1,3,10 Self reported Self reported berarti pasien memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya. Beberapa metode yang digunakan antara lain:

1. Verbal Rating Scale (VRSs) Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:  Tidak nyeri (none)  Nyeri ringan (mild)  Nyeri sedang (moderate)  Nyeri berat (severe)  Nyeri sangat berat (very severe) 2. Numerical Rating Scale (NRSs) Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 6. Numeric pain intensity scale3 3. Visual Analogue Scale (VASs) Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 7. Visual analog scale3 4. McGill Pain Questionnare (MPQ) Metode ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”. Non-self reported

Non-self reported biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin ventilator.3,10,11 1. Wong-Baker Faces Pain Scale Metode ini digunakan dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak dengan kesulitan atau keterbatasan verbal.

Gambar 8. Wong Baker Pain Scale3 2. Skala FLACC Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10. Tabel 2. FLACC Pain Scale11 KATEGORI Face (Wajah)

SKORING 0

1

2

Tidak ada

Kadang meringis atau

Sering cemberut

ekspresi

mengerutkan kening,

konstan, rahang

tertentu atau

menarik diri, tidak

terkatup, dagu bergetar,

senyum,

tertarik, wajah terlihat

kerutan yang dalam di

kontak mata

cemas, alis diturunkan,

dahi, mata tertutup,

dan bunga di

mata sebagian tertutup,

mulut terbuka, garis

lingkungan

pipi terangkat, mulut

yang dalam di sekitar

mengerucut

hidung/bibir

Posisi normal

Tidak nyaman, gelisah,

Menendang atau kaki

atau santai

tegang, tonus

disusun, hipertonisitas

meningkat, kaku,

fleksi/ekstensi anggota

fleksi/ekstensi anggota

badan secara

badan intermiten

berlebihan, tremor

Berbaring

Menggeliat, menggeser

Melengkung, kaku,

dengan tenang,

maju mundur, tegang,

atau menyentak, posisi

posisi normal,

ragu-ragu untuk

tetap, goyang, gerakan

bergerak

bergerak, menjaga,

kepala dari sisi ke sisi,

dengan mudah

tekanan pada bagian

menggosok bagian

dan bebas

tubuh

tubuh

Cry

Tidak ada

Erangan atau rengekan,

Terus-menerus

(Menangis)

teriakan /

sesekali menangis,

menangis, menjerit,

erangan

mendesah, sesekali

isak tangis, mengerang,

(terjaga atau

mengeluh

menggeram, sering

Leg (Kaki)

Activity (Aktivitas)

tertidur) Consolability Tenang, santai,

mengeluh Perlu keyakinan dengan

Sulit untuk dibujuk

tidak

sesekali menyentuh,

atau dibuat nyaman

memerlukan

memeluk, atau

hiburan

‘berbicara’. Perhatian mudah beralih

3. Behavioral Pain Scale Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang tidak responsif, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS terbagi menjadi 2 jenis, yaitu BPS dengan ventilator dan BPS tanpa

ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable pain). Tabel 3. Behavioral pain score (BPS) dengan ventilator11 KATEGORI Ekspresi wajah

PENILAIAN

SKOR

Tenang/relaks

1

Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis)

2

Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan

3

kelopak mata) Meringis

4

Anggota badan Tidak ada pergerakkan

1

sebelah atas

Sebagian ditekuk

2

Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari

3

Retraksi permanen

4

Kepatuhan

Pergerakkan yang dapat ditoleransi

1

dengan ventilasi

Batuk dengan pergerakkan

2

Melawan ventilator

3

Tidak dapat mengontrol ventilasi

4

Tabel 4. Behavioral pain score (BPS) tanpa ventilator11 KATEGORI Ekspresi wajah

PENILAIAN

SKOR

Tenang/relaks

1

Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis)

2

Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan

3

kelopak mata) Meringis

4

Anggota badan Tidak ada pergerakkan

1

sebelah atas

Sebagian ditekuk

2

Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari

3

Vokalisasi

Retraksi permanen

4

Kurangnya vokalisasi

1

Mendengus

kecil,

sering,

dan

tidak

2

memperpanjang Mendengus sering atau memperpanjang

3

Berteriak atau keluhan lisan

4

4. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS) CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal. Skala CBNPS dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of Health Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian, Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat. Tabel 5. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale11

5. Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) Skala ini digunakan untuk menilai nyeri pada bayi usia kurang dari 12 bulan. Tabel 6. Neonatal Infant Pain Scale11 PENGKAJIAN NYERI Ekspresi Wajah

0 – Otot-otot relaks

Wajah tenang, ekspresi netral

1 – Meringis

Otot wajah tegang, alis berkerut, dagu dan rahang tegang (ekspresi wajah (-) – hidung, mulut dan alis)

Menangis 0 – Tidak menangis

Tenang, tidak menangis

1 – Mengerang

Merengek ringan, kadang-kadang

2 – Menangis keras

Berteriak kencang, menaik, melengking, terus-menerus (catatan: menangis lirih mungkin dinilai jika bayi diintubasi yang dibuktikan melalui gerakan mulut dan wajah yang jelas)

Pola Pernafasan 0 – Bernafas relaks

Pola bernafas bayi yang normal

1 – Perubahan pola Tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, tersedak, nafas pernafasan

tertahan

Lengan 0 – Relaks/terikat

Tidak ada kekakuan otot, gerakan tangan acak sekalisekali

1 – Fleksi/ekstensi

Tegang, lengan lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat Ekstensi, fleksi

Kaki 0 – Relaks/terikat

Tidak ada kekakuan otot, gerakan kaki acak sekali-sekali

1 – Fleksi/ekstensi

Tegang, kaki lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat Ekstensi, fleksi

Keadaan kesadaran 0 – Tidur/terjaga

Tenang, tidur damai atau gerakan kaki acak yang terjaga

1 – Rewel

Tejaga, gelisah, dan meronta-ronta

G. PENATALAKSANAAN NYERI Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping yang paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologis dan non farmakologis.

Pendekatan Farmakologis Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder. Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat pada 4 prinsip, yaitu:12 1.

“By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan, bahkan untuk opiat.

2.

“By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan interval obat tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau “on demand”.

3.

“By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri, antara lain: Langkah 1:

 Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik non opioid dan tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum yang direkomendasikan.  Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika dibutuhkan.  Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati langkah 1. Langkah 2:  Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opioid lemah, misalnya kodein.  Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat. Langkah 3:  Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah terakhir, disarankan untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin.  Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat. 4.

“For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.

Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu:12 1.

Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.

2.

Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

Gambar 9. Three Step Analgesic Ladder WHO12 Namun, berdasarkan guidlines WHO tahun 2012, WHO Three Step Analgesic Ladder for Cancer Pain Relief tidak lagi digunakan untuk manajemen nyeri pada anak. Untuk manajemen nyeri pada anak telah digunakan strategi “two-step approach”. Pada strategi ini, digunakan opioid kuat dengan dosis rendah untuk nyeri sedang. Hal ini berbeda dengan strategi sebelumnya yang merekomendasikan penggunaan kodein atau tramadol (opioid lemah) untuk terapi nyeri sedang. Strategi “two-step approach” ini terdiri dari:13 

Langkah 1: untuk nyeri ringan Parasetamol dan ibupeofen sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada anak lebih dari 3 bulan dan yang dapat mengkonsumsi obat secara oral. Parasetamol merupakan satu-satunya pilihan untuk anak dibawah 3 bulan.



Langkah 2: untuk nyeri sedang sampai berat Penggunaan opioid kuat dengan dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan pada anak dengan nyeri sedang sampai berat. Morfin merupakan obat pilihan pada langkah ini.

Tatalaksana nyeri juga dapat diberikan secara terpadu, yaitu memberikan obat-obatan yang bekerja sesuai dengan proses terjadinya nyeri. Dimana pada proses trasduksi dapat diberikan OAINS atau obat anti-inflamasi non-steroid maupun anestesi lokal. Proses transmisi dapat diberikan anestesi lokal. Proses modulasi dapat diberikan anestesi lokal, opioid, maupun alfa-2 agonis. Sedangkan untuk proses persepsi dapat diberikan opioid, alfa-2 agonis maupun obat yang bekerja pada respetor NMDA atau N-metil-D-aspartat (misalnya ketamin) yang menghasilkan efek anestesi disosiatif.14

Gambar 10. Mekanisme kerja obat analgesik14

1.

Analgesik Non-Opioid Langkah pertama yang sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang adalah menggunakan analgesik non-opioid, terutama asetaminofen (paracetamol) dan OAINS. Keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesik, tetapi asetaminofen tidak memiliki efek antiinflamasi seperti OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis prostaglandin. OAINS berkerja menghasilkan anlgesia melalui inhibisi pembentukan prostglandin oleh enzim siklooksigenase (COX) dari prekursor asam arakidonat. Siklooksigenase berada di retikulum endoplasma yang bertanggung jawab membentuk prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan dari asam arakidonat. OAINS merupakan inhibitor enzim COX yang reversibel. Enzim COX terdiri ada dua jenis, yaitu:  COX-1 Bersifat konstitutif yang mana selalu ada dan aktif. COX-1 berkontribusi dalam fungsi fisiologi oragan. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang tidak diinginkan, seperti cedera mukosa, kerusakan ginjal, perubahan hemodinamik, dan gangguan fungsi uterus.  COX-2 Bersifat induksif oleh proses inflamasi dan memproduksi prostaglandin yang sensitif terhadap nosiseptor, menimbulkan demam, dan membantu inflamasi dengan menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Namun, pada beberapa organ, COX-2 juga bekerja secara konstitutif (ginjal, endotel vaskuler, uterus dan SSP). Enzim ini diinduksi (upregulated) oleh adanya asam arakidonat dan beberapa sitokin dan dihambat oleh glukokortikoid.14,15 Saat ini, sudah terdapat obat-obatan yang bekerja sebagai inhibitor selektif COX-2 (Coxib). Keuntungan dari obat-obatan ini yaitu mengurangi kerusakan atau cedera pada mukosa. Coxib yang saat ini tersedia, yaitu cecoxib (dosis harian 200-400 mg), valdecoxib (10-20 mg) (tidak lagi tersedia di Amerika) dan prodrugnya yaitu parecoxib (40 mg iv). Kontraindikasi dari obat ini yaitu gagal jantung kongestif, penyakit hati dan ginjal, inflammatory bowel diseases, dan astma.15

Gambar 11. Mekanisme kerja OAINS16

Gambar 11. Konsep tentang COX-1 dan COX-214 Kontraindikasi dari OAINS, antara lain:  Riwayat tukak peptik

 Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS  Insufisiensi ginjal atau oliguria  Hiperkalemia  Transplantasi ginjal  Antikoagulasi atau koagulopati lain  Disfungsi hati berat  Dehidrasi atau hipovolemia  Terapi dengan frusemide

Gambar 12. Efek samping dari OAINS15 Tabel 7. Beberapa contoh obat analgesik non-opioid NAMA

DOSIS

SEDIAAN

OBAT Paracetamol

Tablet  Dewasa : 3-4 x 500 mg sehari, Anak 6- Tablet 12 th : 3-4 x sehari 250-500 mg

500

mg,

sirup 120mg/5ml

Sirup  Anak 0-1th: 2,5ml; 1-2th: 5ml; 2-6th: 510ml; 6-9th: 10-15ml; 9-12th: 15-20ml. Ibuprofen

Dewasa & >12 tahun: 3-4x200mg tab

Tablet 400mg &

Anak2 6-12 tahun : 3-4x100mg tab

200mg Sirup 100mg/5ml

Asam

Dewasa & anak2 > 14 tahun  Dosis awal: Kaplet

500mg,

Mefenamat

500mg selanjutnya 250 mg tiap 6 jam sesuai Kapsul

250mg,

kebutuhan Ketorolac

Sirup 50mg/5ml

Dewasa: 10mg diikuti dgn pe↑ dosis 10-30mg IV:

10

atau

setiap 4-6 jam bila diperlukan (Dosis max 30mg/ml 90mg/ml). 2.

Analgesik Opioid Opiat adalah alkaloid alami yang diambil dari ekstrak bunga poppy (Papaver somniverum), seperrti morfin, papaverin, heroin dan kodein. Opioid adalah obat-obatan yang memiliki sifat seperti opiat. Jenisnya lebih banyak dan beragam, juga potensi analgesianya. Baku emas untuk potensi analgesia adalah morfin. Semua opioid akan dibandingkan dengan morfin untuk menyatakan kekuatan analgesianya.17

Gambar 13. Mekanisme kerja opioid14 Gambar A menunjukkan jalur nosiseptif yang akan teraktivasi ketika impuls nyeri pada traktus spinotalamikus mencapai batang otak dan talamus. Dimana Periaquaductal Gray Matter (PAG) dan nukleus raphe magnus akan mengeluarkan endorfin dan enkefalin untuk menginhibisi transmisi nyeri di medulla spinalis. Gambar B menunjukkan bahwa sebanyak 70% reseptor endorfin dan enkefalin berada di nosiseptor membran presinaptik sehingga banyak sinyal nyeri yang berhenti sebelum mencapai kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal ini lebih lanjut akan dilemahkan oleh aktifitas dinorfin di medulla spinalis. Sedangkan gambar C menunjukkan bahwa aktivasi dari dinorfin pada reseptor alfa di interneuron

inhibitor dapat menyebabkan pelepasan GABA (gamma amino butirat acid), sehingga akan terjadi hiperpolarisasi dari sel kornu dorsalis dan selanjutnya akan menginhibisi transmisi dari sinyal nyeri. Berdasarkan mekanisme inilah sehingga dibuat obat opioid yang mirip kerjanya dengan opioid endogen (endorfin, enkefalin, dinorfin, dan lain-lain).14

Gambar 14. Efek samping dari opioid15 Klasifikasi reseptor opioid17 Reseptor opioid diklasifikasikan sebagai reseptor mu (µ), delta dan kappa (k), berdasarkan prpototipe agonisnya, yaitu: a. Reseptor µ (agonis morfin) Reseptor mu (µ) yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap morfin. Reseptor mu (µ) terdistribusi secara luas pada otak dan medulla spinalis termaksud lamina 1 dan 2 serta kornu dorsalis medulla spinalis, striatum, traktus optikus dan lokus coeruleus, pada batang otak dan medial thalamus. Reseptor ini bertangguing jawab atas analgesia supra spinal dan spinal. Subtipenya yaitu: mu (µ) 1 dan mu (µ) 2. Aktifasi reseptor mu (µ) 1 diperkirakan yang memerantarai analgesia, euphoria dan rasa tenang, reseptor mu (µ) 2 menyebabkan hipoventilasi, bradikardia, pruritus, pelepasan prolaktin dan ketergantungan fisis. Rerseptorreseptor ini disebut juga OP 3 atau MOR (Morphine Opioid Receptor). Morfin, meperidin, fentanyl, subfentanil, alfentanil adalah termaksud dalam agonis mu (µ) eksogen. Nalokson merupakan antagonis reseptor mu (µ) yang spesifik melekat pada reseptor tetapi tidak mengaktivasi reseptor tersebut. b. Reseptor k (agonis ketocyclazocine)

Reseptor k ditemukan pada sistem limbik dan area di ensefalik lainya, batang otak dan medulla

spinalis.

Reseptor

ini

bertanggung

jawab

sebagai

mediator

efek

dari

preprodinorphyn dan prepronkephalin terhadap analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, disforia dan depresi napas. Berlokasi pada pasca sinap, mereka juga dikenal sebagai OP 2 atau KOR (Kappa Opioid Receptors). c.

Reseptor delta (agonis delta-alanin-leusin-enkefalin)

Reseptor delta berlokasi di pasca sinap pada neuron feedback pallidostriatal. Reseptor ini memodulasi nosisepsi prasinap pada periaquaductal grey matter. Reseptor ini juga berlokasi pada lapisan luar pleksiform dari bulbus olfaktorius, nukcleus accumbens, beberapa lapis dari korteks cerebri dan beberapa nukleus dari amigdala. Kemungkinan bertanggung jawab terhadap sikomimetik dan efek disfori. Disebut juga OP 1 dan DOR (Delta Opioid receptors). Aktifasi reseptor delta menghasilkan efek analgesia, meskipun lebih lemah dapi pada efek yang ditimbulkan pada reseptor mu. Banyak agonis delta (meski tidak semua) dapat menimbulkan kejang pada dosis yang tinggi. Kedua agonis delta golongan peptida dan agonis delta non-peptida menstimulasi fungsi respirasi dan memblokade efek depresi pernapasan dari agonis reseptor mu tanpa mempengaruhi efek analgesianya. Dapat disimpulkan opioid agonis delta pada dosis yang sangat tinggi dapat menghasilkan depresi pernapasan, sedangakan pada dosis rendah dapat menghasilkan efek yang sebaliknya. Penggunaan secara bersamaan agonis delta dengan agonis mu membuat pemakaian agonis mu lebih aman. d. Reseptor sigma (agonis N-allylnormetazocine) Reseptor sigma adalah reseptor tambahan yang berperan pada aksi antitusif beberapa obat opioid. Contoh opioid yang berkerja pada reseptor ini adalah allylnormetazocine. Reseptor ini berbeda struktur dan fungsinya dibandingkan dengan reseptor opiod lainya dan tidak diaktifkan oleh peptida opioid endogen. Tabel 8. Klasifikasi reseptor opioid17

Reseptor µ

µ2

Analgesia

Respirasi

Perifer

Supraspinal

Gastrointestinal

Endokrin

Lain-lain

Memperlambat

Gatal, rigiditas

pengosongan

otot

lambung, antidiare

retensi urin

Pelepasan prolaktin

Efek

rangka,

kardiovaskular µ3

Spinal

Depresi

Memperlambat pengosongan lambung

K

Perifer

Menurunkan

Sedasi

pelepasan ADH K1

Spinal

K2

?

K3

Supraspinal

Delta

Delta1

Perifer

Depresi

Spinal

Memperlambat

Melepas

pengosongan

hormon

lambung

pertumbuhan

Antidiare

Retensi urin

Perubahan dopamin

Delta2

Supraspinal

Supraspinal

Jenis tak

Miosis,

diketahui

mual,muntah

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, maka obat-obatan yang tergolong opioid dibagi menjadi:17 a. Agonis opiod, yang menyerupai morfin, yaitu yang berkerja sebagai agonis terutama pada reseptor mu dan mungkin pada reseptor k. b. Antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain.

c. Opioid dengan kerja campur 

Agonis-antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor yang lain.

 Agonis parsial. Agonis opioid Obat agonis adalah obat yang menginsisi efek farmakologik setelah bergabung dengan reseptor, mempunyai efisiensi dan afinitas yang tinggi terhadap reseptor. Setelah bergabung dengan reseptor obat ini menyebabkan efek stimulasi atau inhibisi yang menyerupai agonisnya. Contoh opioid agonis adalah morfin, morfin 6-glukuronida, meperidin, fentanyl, sufentanil, alfentanil, remifentanil, kodein, hidromorfon, oksimorfon, oksikodon, hidrokodon, metadon, propoksifen, tramadol, heroin. Antagonis opioid Perubahan kecil pada struktur opioid agonis dapat menjadikannya opioid antagonis pada satu atau beberapa reseptor opioid. Perubahan yang paling umum adalah substitusi grup alkali dengan grup metil. Obat antagonis mencegah reseptor agonis termediasi dengan memepati reseptor agonis. Dapat juga mempunyai afinitas yang sama seperti agonis terhadap reseptor, namun mempunyai efektifitas yang lemah. Antagonis dapat menginhibisi efek agonis dengan inhibisi kompetitif atau inhibisi nonkompetitif. Sebuah obat dengan afinitas yang sesuai atau kurang dari agonis namun memiliki efek yang kurang disebut agonis parsial. Beberapa obat menghasilkan respon dibawah batas pengukuran. Obat ini kemudian dinamakan inverse agonis atau superantagonis. Contoh opioid antagonis pada peseptor mu adalah nalokson, naltreakson, nalmefen, metilnaltrekson. Agonis-antagonis reseptor opioid

Termaksud golongan ini adalah pentazosin, nalbufin, buprenorfin, nalorfin, bremasozin dan desozin. Obat-obat ini berikatan dengan reseptor mu, menghasilkan respon yang terbatas (agonis parsial) atau tanpa efek (antagonis kompetitif). Obat golongan ini juga bersifat agonis pada reseptor yang lain, yaitu reseptor k dan delta. Sifat antagonisnya dapat melemahkan sifat agonisnya. Efek samping dari obat ini menyerupai efek samping dari opioid antagonis. Sebagai tambahan, obat ini dapat menyebabkan reaksi disforia. Keuntungan penggunaan obat ini adalah kemampuanya untuk menghasilkan efek analgesia dengan sedikit efek depresi pernapasan dan kurang berpotensi menyebabkan ketergantungan.

Tramadol Tramadol merupakan obat sintetik, yang bekerja sebagai analgetik sentral dan digunakan secara parenteral maupun oral sebagi terapi untuk nyeri sedang sampai berat. Potensiasinya seperti petidin tetapi untuk nyeri berat, morfin tetap lebih baik. Efek samping berupa depresi napas dan konstipasi lebih sedikit dengan penggunaan tramadol. Dalam suatu percobaan klinis, efek samping yang sering terjadi pada penggunaan tramadol adalah mual, muntah, dizziness, fatigue, mulut kering, dan hipotensi postural. Metabolit utama yaitu O-desmethyl tramadol (M1) memiliki afinitas yang lemah sebagai agonis reseptor µ dan juga bekerja sebagai agonis pada reseptor α2. Selain itu, tramadol juga meningkatkan inhibisi nyeri dengan menghambat re-uptake dari serotonin (5-HT) dan noradrenalin. Sehingga tidak seperti opioid lain, tramadol hanya diinhibisi sebagian oleh antagonis opioid (naloxone). Dosis tramadol yaitu 50-100 mg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.18

Gambar 15. Efek samping dari Tramadol18 3.

Anestesi Lokal15 Anestesi lokal secara reversibel menginhibisi impuls yang dihasilkan pada saraf. Konduksi impuls aksonal berasal dari pembentukan suatu potensial aksi. Perubahan potensial melibatkan influks cepat dari Na+ melalui kanal protein membran yang teraktivasi (terbuka). Anestesi lokal berfungsi untuk menghambat influks cepat dari Na+ serta menghambat inisiasi dan perambatan dari eksitasi. Kebanyakan anestesi lokal berada pada bagian dari bentuk ampifilik kationik. Sifat fisikokemikal ini menyebabkan penyatuan ke dalam membran interfase antara daerah polar dan apolar. Dapat ditemukan di membran fosfolipid dan juga di kanal protein ion. Beberapa bukti menunjukkan bahwa blokade kanal Na+ dihasilkan dari ikatan antara anestesi lokal terhadap kanal protein. Aktifitas anestesi lokal juga ditunjukka oleh substansi tidak bebas, menunjukkan tempat ikatan pada daerah apolar dari kanal protein atau disekitar membran lipid.

Anestesi lokal tidak hanya memblokade influks Na+ pada saraf sensorik tetapi juga pada jaringan eksitasi lainnya, sehingga obat-obatan ini hanya diberi secara lokal. Depresi dari proses eksitasi pada jantung dapat menyebabkan aritmia jantung sampai cardiac arrest. Anestesi lokal diberikan lewat berbagai rute, termasuk infiltrasi jaringan (anestesia infiltrasi) atau diinjeksikan didekat percabangan saraf yang membawa serabut saraf dari daerah yang akan dianestesi (anestesia konduksi dari saraf, anestesi spinal secara segmental), atau dengan mengaplikasikannya pada permukaan kulit atau mukosa (anestesia superfisial).

Gambar 14. Mekanisme kerja dan efek samping anestesi lokal15

4.

Adjuvan atau Koanalgesik19 Adjuvan berdasarkan WHO berarti obat-obatan yang diberikan untuk menangani efek samping dari penggunaan opioid atau untuk meningkatkan efek analgetik dari opioid. Misalnya diberikan obat-obatan pencahar untuk mengatasi konstipasi yang merupakan salah satu efek samping dari opioid. Obat adjuvan atau koanalgetik merupakan obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon terhadap opioid. Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf. Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan. Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.

Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis

alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang

disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid. Pendekatan Non Farmakologis Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Untuk itu, berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai berikut:19 a.

Modalitas fisik Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.

b.

Modalitas kognitif-behavioral Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasien, dan pendekatan spiritual.

c.

Modalitas invasif Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.

d.

Modalitas Psikoterapi Dilakukan secara terstruktur dan ternecana, khususnya bagi mereka yang mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri. Analgesia Balans

Analgesia balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan OAINS, proses transmisi dengan obat anestesi lokal, dan proses modulasi dengan opioid. Pendekatan ini, memberikan penderita menggunakan beberapa macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda disebut balans anlgesia atau pendekatan polifarmasi. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kualitas analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat dapat dihindari.20 Analgesia Preemptif Ketika seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap stimulus yang masuk. Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan dari sensari nyeri diketahui.20 PCA (Patient Controlled Analgesia) Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan lebih dari 24 jam. PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi

intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien. Bisa menghasilkan

manajemen

nyeri

berkualitas

tinggi.

PCA

memungkinkan

pasien

mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada:20 

Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.



Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat



Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.



Dana : pompa infus PCA mahal. Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih dalam batasan terapi). Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus.20

DAFTAR PUSTAKA

1.

Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Stamford: Appleton and Lange; 1996.

2.

Hamill RJ. The Assesment of Pain. In: Handbook of Critical Care Pain Management. New York: McGraw-Hill Inc; 1994.

3.

Benzon, et al. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia. 2nd ed. Philadelphia; 2005.

4.

Rospond. Pemeriksaan dan Penilaian Nyeri. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from: URL: http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pemeriksan-dan-penilaian-nyeri.pdf

5.

Brunner, Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2001.

6.

Brenner GJ, Woolf CJ. Mechanisms of chronic pain. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. New York: McGrawl- Hill; 2008.

7.

Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI: Jakarta; 2001.

8.

Nicholls AJ, Wilson IH. Manajemen nyeri akut. Dalam: Kedokteran Perioperatif. Farmedia: Jakarta; 2001.

9.

Avidan M. Pain Managemnet. In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain Management and Intensive Care. London; 2003.

10. Silaen EL. Perbandingan Propofol 2 mg/KgBB-Ketamin 0,5 mg/KgBB Intravena dan Propofol 2 mg/KgBB-Fentanil 1 µg/KgBB Intravena dalam Hal Efek Analgetik pada Tindakan Kuretase dengan Anestesi Total Intravena. [Online]. 2012 [cited on 2015 March 13]. Available from: URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/31956/4/Chapter%20II.pdf

11. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Buku Saku Quality and Safety. Makassar; 2012. 12. World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7. Available from: URL: http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documents/WHOladder.pdf 13. World Health Organization. WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment of Persisting Pain in Children with Medical Illness. [Online]. 2012 [cited on 2015 March 7]. Available from: URL: http://www.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidelines.pdf 14. Ikawati Z. Pain Management. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from: URL: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/uploads/pain-management.pdf 15. Lullmann H, Mohr K, Hein L, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 3rd edition. New york: Thieme; 2005. 16. Michael NJ. Medical Pharmacology at a glance. 4th edition. London: Blackwell Science Ltd; 2002. 17. Soenarto RF, Puspitasari R, Pryambodho. Farmakologi opioid. Dalam: Gunawan SG, Stiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. 18. Schug SA. Tramadol. [Online]. 2000 October [cited on 2015 March 14]. Available from: URL: http://www.medsafe.govt.nz/profs/puarticles/tramadol.html 19. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Cetakan 1. Jakarta: Indeks Jakarta; 2010. 20. Hasanul A. Pengelolaan Nyeri Akut. Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan; 2002.

Related Documents

Manajemen
June 2020 37
Manajemen
May 2020 39
Manajemen
May 2020 44
Manajemen
June 2020 41
Manajemen
December 2019 62
Manajemen
June 2020 41

More Documents from "Susi "