Manajemen Jalan Napas Fix.docx

  • Uploaded by: Fitrah Ardillah
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manajemen Jalan Napas Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,673
  • Pages: 24
B. Manajemen Jalan Napas (Airway and Breathing Management) Manajemen jalan napas selalu menjadi prioritas pertama ketika merawat pasien dalam keadaan gawat darurat. Manajemen jalan napas dapat sesederhana memposisikan pasien untuk mengoptimalkan pertukaran udara atau memerlukan intervensi yang lebih kompleks seperti krikotiroidotomi.Kegagalan untuk mengantisipasi potensi terjadinya penurunan jalan napas atau memberikan ventilasi dan oksigen pada pasien dapat menyebabkan hipoksia otak dan kematian (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 65) Metode yang disarankan untuk menjaga kepatenan jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau pasien penurunan kesadaran tanpa dicurigai memiliki cedera tulang belakang dan leher adalah head-tilt chin-tilt. Jika pasien dicurigai mengalami cedera tulang belakang dan leher, maka jalan napas dibuka dengan gerakan metode jaw trust sambil menjaga tulang belakang dan leher tetap stabil. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 68) 1. Pengkajian Mengkaji kepatenan jalan napas dan pernapasan spontan merupakan langkah pertama yang penting dalam perawatan pasien dengan kegawatdaruratan jalan napas. Observasi tingkat kesadaran dan kaji apakah terdapat henti napas. Jika terdapat pernapasan spontan, maka pengkajian meliputi hal-hal di bawah ini: (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 65) a. Kepatenan jalan napas  Pernapasan stridor, drooling dan snoring  Kemungkinan obstruksi jalan napas atas-terdapat benda asing, darah, muntahan  Kemampuan berbicara b. Frekuensi, kedalaman dan pola napas c. Usaha napas-retraksi, penggunaan otot bantu napas, napas cuping hidung d. Suara napas bilateral e. Posisi pasien

f. Warna kulit, kelembapan dan suhu g. Tanda-tanda vital termasuk saturasi oksigen (SpO2) Gangguan jalan napas seperti sesak atau perasaan sulit bernapas disebabkan karena adanya obstruksi dan tanda objektif : (Kimin, 2012). a. Look Lihat apakah penderita kesadaran berubah. Bila penderita gelisah, kemungkinan paling besar adalah hipoksia. b. Listen 

Sumbatan Parsial merupakan tersumbatnya sebagian jalan napas yang ditandai dengan adanya bunyi napas tambahan, seperti :



-

Stridor : sumbatan oleh benda padat (lidah jatuh kebelakang)

-

Gargling : sumbatan oleh benda cair (cairan, darah atau muntahan)

-

Crowing : Sumbatan oleh pembengkakan mukosa

Sumbatan Total merupakan tertutupnya seluruh jalan napas yang biasanya terjadi karena masuknya benda padat kedalam jalan napas.

c. Feel rasakan pergerakan udara ekspirasi dan tentukan apakah trakea terletak garis tengah

Riwayat Pengkajian riwayat harus meliputi : a. Lama dan deskripsi gejala (pada anak-anak, sangat penting untuk mengevaluasi aspirasi benda asing) b. Riwayat medis c. Riwayat merokok; tipe, jumlah dan lama penggunaan d. Riwayat pasien; dulu dan sekarang e. Riwayat bepergian f. Riwayat terpapar penyakit infeksi

2. Kegawatdaruratan Jalan Napas a. Pembengkakan Jaringan Lunak atau Edema Jalan Napas Obstruksi jalan napas atas yang disebabkan oleh edema atau pembengkakan jaringan lunak dapat menjadi pengalaman yang traumatis untuk pasien. Penyebab paling umum adalah reaksi alergi, proses infeksi atau massa, dan angioderma. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 65) 

Reaksi Alergi Reaksi alergi adalah respons hipersensitif system kekebalan tubuh terhadap paparan antigen sebelumnya. Ketika terpapar antigen pertama kalinya, system kekebalan tubuh menghasilkan antibody yang akan diaktifkan saat paparan berikutnya. Reaksi dapat bervariasi dari ringan sampai

berat.

Reaksi

paling berat,

anafilaksis,

terjadi

tiba-tiba

menyebabkan obstruksi jalan napas total. Pembengkakan saluran napas yang signifikan membutuhkan manajemen jalan napas segera. Tanda dan Gejala : Kulit memerah, gatal-gatal, urtikaria, batuk, bersin, sesak napas, edema wajah dan jalan napas atas, suara serak/parau, wheezing (mengi), stridor, mual, muntah dan diare Intervensi Terapeutik : 1) Jika pasien sadar, tempatkan pasien pada posisi nyaman untuk mengoptimalkan pertukaran udara 2) Bersihkan oksigen (O2) aliran tinggi 3) Pasang akses intravena 4) Terus pantau irama jantung dan saturasi oksigen 5) Siapkan alat napas darurat termasuk set krikotiroidotomi 6) Siapkan intubasi endotrakeal dini; jangan menunda intubasi jika gejala semakin berat 7) Antisipasi pemberian obat-obatan berikut ini :  Bronkodilator  Epinephrine, berikan subkutan untuk reaksi sedang, intravena untuk reaksi berat

 Antihistamin : diphenhydramine  Penghambat histamin (H2) : famotidine  Kortikosteroid 

Proses Infeksi atau Massa Infeksi seperti abses peritonsillar atau massa dari kanker tenggrorokan dapat menyebabkan edema dan menyebabkan gangguan pernapasan serta obstruksi jalan napas. Kejadian ini paling sering mengenai saluran napas bagian atas. Edema jalan napas juga dapat terjadi pada pasien dengan epiglottis atau trauma inhalasi atau luka bakar. Tanda dan Gejala : Drooling (suara napas penuh liur), sesak napas, stridor, suara muffled (parau atau serak) Intervensi Terapeutik : 1) Tempatkan pasien pada posisi nyaman 2) Berikan tambahan oksigen dengan metode pemberian apapun harus memperhatikan kenyamanan pasien 3) Pasang akses intravena 4) Terus pantau irama jantung dna saturasi oksigen 5) Siapkan alat napas darurat termasuk set krikotiroidotomi 6) Antisipasi pemberian kortikosteroid dan antibiotic



Angioedema Angioedema

adalah

pengembangan

bilur

yang

menyebabkan

pembengkakan di bawah permukaan kulit. Bilur utamanya terdapat di sekitar mata dan bibir, tetapi juga terdapat pada tenggorokan, tangan dan kaki. Kondisi ini mungkin diturunkan secara genetic atau dapat dipicu oleh paparan allergen atau stress. Meskipun gejalanya mirip dengan reaksi alergi, angioderma bukan merupakan respons antigen-antibodi, sehingga pengobatan dengan antihistamin dan kortikosteroid tidak efektif. Angioedema yang tidak mempengaruhi pernapasan akan tetap terasa tidak nyaman bagi pasien

tetapi umumnya dapat sembuh dalam beberapa hari. Pasien dengan gangguan jalan napas memerlukan manajemen jalan napas agresif karena angioedema dapat menyebabkan obstruksi jalan napas yang mengancam nyawa. Tanda dan Gejala : Edema wajah (bibir, hidung, kuping,kelopak mata), Wheals (bentol pada kulit), urtikaria, stridor, nyeri abdomen, mual dan muntah Intervensi Terapeutik : 1) Berikan tambahan oksigen dengan alat apapun yang digunakan oleh pasien secara nyaman 2) Pasang akses intravena 3) Terus pantau irama jantung dan saturasi oksigen 4) Siapkan alat napas darurat termasuk sel krikotiroidotomi 5) Siapkan intubasi endotrakeal dini; jangan menunda intubasi jika gejala semakin berat 6) Lanjutkan ke penatalaksanaan pembedahan pada jalan napas jika intubasi tidak berhasil/tidak mungkin dilakukan 7) Pertimbangan pemberian fresh frozen plasma untuk angioedema herediter.

b. Aspirasi Benda Asing Aspirasi benda asing paling sering terjadi pada anak di bawah usia 9 tahun. Gejalanya sangat bervariasi dan muncul terlambat tergantung pada sejauh mana obstruksi dan kestabilan benda asing tersebut. Pasien awalnya mungkin tidak menunjukkan gejala apapun atau mungkin langsung menunjukkan gejala obstruksi jalan napas akut. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 66) Tanda dan Gejala : Tiba-tiba tersedak atau tersumbat, stridor, wheezing, batuk, suara napas penuh liur, sesak napas, suara napas menurun (bilateral atau unilateral), sianosis, perasaan kuat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Intervensi Terapeutik :

1) Kaji kepatenan jalan napas dan pernapasan spontan segera 2) Lakukan intubasi endotrakeal segera jika pasien tidak sadar dan tidak bernapas 3) Jika tidak ada aliran udara (pasien tidak mampu bersuara) : lakukan abdominal thoraks (chest thrusts pada bayi) untuk mengeluarkan benda asing, visualisasi langsung saluran napas bagian atas dengan laringoskop dapat membantu mengeluarkan benda asing, jika tidak dapat mengeluarakan benda asing, lakukan intubasi oral. Jika tidak dapat intubasi, segera lanjutkan ke tata laksana bedah jalan napas. 4) Jika ada aliran udara (pasien mampu mengeluarkan suara) : minta pasien untuk batuk, membungkuk ke depan untuk mendorong benda asing keluar, keluarkan benda asing di mulut jika terlihat (dengan jari, penghisap, atau forsep Magill). Jangan lakukan sapuan jari jika benda asing terlihat, berikan tambahan oksigen dengan metode apapun yang digunakan harus memperhatikan kenyamanan pasien, terus pantau irama jantung dan saturasi oksigen, siapkan alat napas darurat termasuk set krikotiroidotomi, rontgen dada dan jaringan lunak leher lateral dapat digunakan untuk melokalisasi benda asing akan tetapi prosedur diagnostic ini tidak boleh menunda perawatan.

3. Alat Bantu Kepatenan Jalan Napas a. Oksigen Pemberian oksigen adalah terapi dasar yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi. Terapi oksigen dapat diberikan dengan berbagai metode mulai dari oksigen aliran rendah sampai tinggi. Efek samping yang ditimbulkan termasuk jalan napas kering dan iritasi hidung, wajah atau telinga karena alat yang digunakan. Adapun macam-macam alat yang digunakan untuk terapi oksigen , sebagai berikut: (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 67) Jenis

Alat Rerata

Bantu Napas

Aliran Oksigen

Konsentrasi Keuntungan Oksigen

Kerugian

Nasal Kanul

2-6

24%-44%

L/menit

Tidak

dapat Hanya

dapat

menghirup kembali digunakan pada pasien udara

yang

telah dengan napas spontan;

dikeluarkan

jumlah actual oksigen yang diinspirasi sangat bervariasi

Masker

5-10

wajah

L/menit

40%-60%

Konsentrasi oksigen Tidak dapat digunakan lebih

tinggi

dari oleh pasien dengan

nasal kanul

sesak

napas

berat;

dapat digunakan hanya pada pasien dengan napas spontan Partial

8-12

rebreather

L/menit

50%-80%

Konsentrasi oksigen Sisi lenih

mask

tinggi

masker

harus

dari tertutup ketat; dapat

nasal kanula atau digunakan hanya pada masker

pasien yang bernapas spontan; jumlah actual oksigen yang dihirup sangat bervariasi

Nonbreather

12-15

mask

L/menit

85%-100%

Konsentrasi oksigen Sisi

masker

harus

paling tinggi yang tertutup ketat; jangan dapat diberikan oleh sampai

kantung

jenis masker

kempes;

reservoir

dapat digunakan hanya pada

pasien

yang

bernapas spontan Masker

2-12

venturi

L/menit

24%-50%

Konsentrasi oksigen Hanya dapat disesuaikan

dapat

digunakan pada pasien dengan spontan

bernapas

Pocket mask

10 L/min

50%

Hindari

kontak Penolong kelelahan

langsung

dengan

mulut pasien; dapat menambahkan sumber

oksigen;

dapat

digunakan

pada pasien dengan henti napas; dapat digunakan

untuk

anak-anak;

dapat

memberikan volume tidal yang sangat baik Bag mask

Udara

21%

Cepat,

ruangan

40%-90%

oksigen

konsentrasi Udara masuk ke perut, dapat volume tidal rendah,

12

ditingkatkan,

L/menit

penolong

ksulitan memposisikan dapat masker

agar

udara

melihat pergerakan tidak keluar mencegah dinding dada, dapat kebocoran udara digunakan

pada

pasien henti napas dan spontan Alat

bantu 100

napas

100%

L/menit

mekanik

Aliran

oksigen Distensi

lambung;

tinggi,

tekanan pengembangan

paru

positif,

berlebih; tidak dapat

meningkatkan

digunakan pada anak-

pengembangan

anak

paru-paru

khusus; membutuhkan

tanpa

adaptor

sumber oksigen

b. Oropharyngeal Airways

Oropharyngeal airway (OPA) adalah alat yang terbuat dari plastic berbentuk lengkungan yang dimasukkan melalui mulut, diatas lidah, ke dalam faring posterior. OPA ini digunakan untuk mencegah lidah atau epiglottis jatuh mengenai faring posterior dan menutup jalan napas pada pasien tidak sadar atau dalam pengaruh obat penenang. OPA dapat memfasilitasi penghisapan lender melalui faring dan mencegah pasien menggigit lidah atau menggertak-gertakan gigi mereka sendiri. Pada pasien yang diintubasi OPA juga dapat berfungsi untuk mencegah pasien menggigit pipa endotrakeal. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, pp. 67-68) Perangkat ini tidak boleh digunakan pada pasien yang masih memiliki reflek muntah. Hal ini dapat menyebabkan pasien tersedak dan aspirasi. OPA memiliki berbagai ukuran. Untuk memilih ukuran yang benar, ukur panjang OPA dari sudut mulut pasien ke ujung daun telinga dan pastikan ukuran yang digunakan sesuai. Jika OPA terlalu pendek, maka akan mendorong lidah ke bawah dan menutup jalan napas. Jika OPA terlalu panjang, maka dapat merangsang gag reflek dan muntah. Ada dua metode yang digunakan untuk memasang OPA. Pertama, masukkan OPA terbalik (sisi lengkung menghadap ke atas) sampai menyentuh pallatum mole, kemudian putar OPA 180o dan tempatkan di atas lidah, jangan gunakan metode ini pada anak-anak. Cara lain adalah dengan menggunakan tongue blade untuk menekan lidah dan masukkan OPA (sisi lengkung menghadap ke bawah) ke daerah faring posterior. Ketika dimasukkan secara benar ujung OPA akan tepat berada pada permukaan luar gigi pasien.

c. Nasopharyngeal Airway Nasopharyngeal airway (NPA) terbuat dari karet dan dimasukkan melalui lubang hidung yang tidak mengalami obstruksi untuk memberikan saluran udara antara hidung dan nasofaring. Alat ini direkomendasikan untuk pasien sadar karena lebih nyaman dan tidak merangsang gag reflex. Pilih ukuran yang sesuai panjangnya dari lubang hidung sampai ke ujung daun telinga. Jika NPA terlalu panjang, maka ujung NPA dapat merangsang spasme laring. Pastikan NPA dilumasi dengan baik menggunakan pelumas

larut air atau anestesi topical (lidokain jelly 2%). MAsukkan ke lubang hidung dengan bovel mengarah pada septum dan dorong hingga mencapai faring posterior. NPA juga berfungsi untuk penghisapan lender pada endotrakeal untuk pasien yang tidak diintubasi dan dapat meningkatkan ventilasi bila digunakan bersama dengan ventilasi bag mask. Komplikasi yang dapat terjadi seperti epitaksis, spasme laring, atau muntah. Adapun kontraindikasi pemasangan NPA adalah pada pasien dengan terapi antikoagulan, dicurigai atau telah terkonfirmasi mengalami patah tulang wajah atau patah basis cranii, atau memiliki cacat hidung. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 68)

d. Ventilasi Bag Mask Indikasi dilakukan bantuan ventilasi manual yaitu jika pasien henti napas, jika napas spontan tidak efektif, untuk mengurangi usaha napas, dan jika pasien hipoksia. Keberhasilan ventilasi bag mask tergantung tindakan yaitu menjaga jalan napas tetatp terbuka, menutup celah antara wajah pasien dan mask serta memberikan volume tidal adekuat. Selain itu, adapun hal yang perlu diingat ketika memberikan ventilasi manual pada pasien sebagai berikut : (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 68) 1) Berikan 100% oksigen dengan mempertahankan laju aliran O2 15L/menit pada reservoir. 2) Berikan ventilasi 8-10 kali per menit, amati naik turun dinding dada 3) Volume tidal atau tekanan udara yang berlebihan atau dapat menyebabkan distensi lambung atau pneumotoraks 4) Jiak terdapat pernapasan spontan, saat ventilasi harus disinkronisasikan dengan upaya inspirasi pasien. Jika tidak dicurigai terdapat cedera tulang belakang dan leher, gunakan prosedur ini untuk memberikan ventilasi bag mask : 

OPA atau NPA tetap dapat dipasang untuk membantu menjaga kepatenan jalan napas pasien



Berdiri di belakang kepala pasien dan tempatkan masker sesuai ukuran wajah pasien



Letakkan ujung yang menyepit pada masker di hidung, hati-hati jangan sampai menekan mata. Ujung masker lainnya harus diletakkan dengan benar di ujung dagu pasien.



Letakkan tangan kiri di pada masker, dengan ibu jari tangan dan jari telunjuk membentuk “C” dan ketiga jari lainnya membentuk “E” pada mandibular sambil melakukan teknik chin-lift. Teknik ini disebut teknik “CE-Clamp”.



Kempa/pompa kantong resusitasi dengan tangan kanan amati adanya naik turun dinding dada Jika dicurigai terdapat cedera tulang belakang dan leher atau jika pasien

memiliki wajah lebar atau janggut dan sulit untuk mempertahankan masker maka : 

Teknik dua tangan lebih direkomendasikan. Penempatan masker dan posisi perawat sama seperti diatas



Pegang masker dengan kedua tangan. Tempatkan masker di wajah dan pegang setiap sisi masker dengan kedua tangan membentuk “C” tanpa melakukan teknik chin-lift.



Perawat

kedua

mengempa/memompa

kantong

resusitasi

dan

mengobservasi naik turunnya dinding dada.

e. Intubasi Endotrakeal Intubasi endotrakeal adalah metode yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan jalan napas pada pasien henti napas. Prosedur ini membutuhkan latihan, persiapan, dan keterampilan. Intubasi endotrakeal adalah prosedur dua tangan di mana perawat memegang laringoskop dengan tangan kiri dan memposisikan kepala pasien dengan tangan kanan, setelah kepala ditengadahkan ke belakang dan posisi trakea terlihat maka pipa endotrakeal (ETT) dimasukkan melalui sisi kanan mulut yang menyebabkan pembukaan glotis melalui pita suara. Ada beberapa keadaan dimana intubasi nasotrakeal lebuh direkomendasikan. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 68)

Indikasi intubasi endotrakeal meliputi: 

Melindungi jalan napas



Menghilangkan obstruksi



Rute untuk ventilasi mekanik dan pemberian oksigen



Gagal napas



Syok



Hipertensi intrakranial



Mengurangi usaha napas



Memfasilitasi pengisapan jalan napas Peran asisiten intubasi:



Memberikan peralatan pada tenaga kesehatan yang akan melakukan prosedur intubasi



Memegang kepala pasien pada posisi intubasi



Menahan susdut kanan mulut tetap terbuka selama intubasi

American Heart Association (AHA) tidak lagi merekomendasikan penekanan pada krikoid sebagai prosedur untuk melakukan intubasi pada henti jantung. Pengkajian Letak Pipa Endotrakeal Setelah

pipa

endotrakeal

terpasang,

sangat

penting

untuk

mengkonfirmasi ketepatan penempatan di trakea. Metode yang paling umum adalah dengan memasang colometric capnometer pada ujung ETT untuk mendeteksi karbon dioksida yang dikeluarkan (ECO2) Colonometric capnometer akan berubah warna dengan cepat dari ungu (tidak ada) menjadi kuning (ada) ketika terdapat karbon dioksida. Perubahan warna sering terjadi pada dua napas pertama yang dikeluarkan, tetapi mungkin dapat tertunda sampai enam napas. Jika warna tidak berubah menjadi kuning, kuning mengkonfirmasikan adanya ECO2, maka ETT tidak benar ditempatkan di trakea. Jika berubah warna menjadi kecoklatan, warna ini menunjukkan penempatan yang salah. Jika penempatan ETT tidak benar, maka ETT harus dicabut dan dimasukkan

kembali. Pemantauan caphnography secara terus menerus selama jumlah karbon dioksida dapat dipantau. Auskultas napas bilateral pada paru kanan dan kiri serta ketiak dan di atas epigastrium, serta observasi naik turunnya dinding dada, harus dilakukan untuk mengkonfirmasi penempatan ETT. Rontgen dada akan meverifikasi posisi pipa endotrakeal dan menyingkirkan kekhawatiran pipa ETT masuk ke bronkus kanan.ETT harus diamankan setelah konfirmasi letak pipa ETT dan letak harus diperiksa secara berkala. Di Indonesia, konfirmasi letak pipa endotrakeal hanya dilakukan dengan auskultasi napas bilateral dan rontgen dada tanpa menggunakan colometric capnometer. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, p. 69) f. Intubasi Cepat Intubasi cepat dimulai dengan preoksigenasi dan dilanjut dengan pemberian obat sedasi kuat dan pelemas otot kerja cepat untuk memfasilitasi intubasi cepat endotrakeal. Tujuan dari intubasi cepat adalah untuk mebuat pasien tidak sadar dan lumpuh sehingga intubasi trakea tidak memerlukan ventilasi bag-mask, yang dapat menyebabkan distensi lambung dan risiko aspirasi. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, pp. 69-70) 

Intubasi cepat mebutuhkan pengetahuan yang terperinci tentang tahapan prosedur yang dilakukan serta perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk setiap prosedur agar berhasil.



Intubasi cepat adalah metode persiapan yang direkomendasikan sebelum melakukan intubasi pada pasien sadar.



Proses ini tidak digunakan pada pasien henti napas.



Intubasi cepat dimulai dengan preoksigenasi dan diikuti dengan pemberian serangkaian obat- obatan termasuk pemberian agen induksi yang dilanjutkan dengan pemberian agen pelemas otot kerja cepat



Urutan langkah intubasi cepat sering disingkat “tujuh P”: preparation (persiapan),

preoxygenation

(preoksigenasi),

pretreatment

(premedikasi), paralysis (paralisi), placement (penempatan ETT), placement verification (posisi ETT teryakinkan), and post intubation management (penatalaksanaan pasca intubasi). 

Pemberian agen sedasi sebelum memberikan obat pelemas otot sangat penting.

INTUBASI CEPAT WAKTU

LANGKAH

5-10 menit

Persiapan Pasang akses intavena Siapkan peralatan yang diperlukan (bag-mask, alat isap, pipa endotrakeal,

stylet/mandrain,

laringoskop,

pipa

fiksasi

endotrakeal atau plester, ventilator).

0- 5 menit

Preoksigenasi Preoksigenasi dengan oksigen 100% (dengan nonbreather mask atau bag-mask). (Level PaO2 yang tinggi akan memberikan wajtu hingga 8 menit meski napas pasien terhenti sebelum terjadi destaturasi)

0- 3 Menit

Premedikasi Memberikan agen sedasi yang sesuai (midazolam, fentanyl, etomidate, thiopental, ketamine) Memberikan obat yang meminimalkan efek intubasi seperti peningkatan tekanan intrakranial (lidokain), bradikardia (atropin), dan fasikulasi otot (dosis rendah dengan agen pelumpuh defasikulasi seperti vekuronium, pancuronium, rocuronium).

Paralisis 0 menit

Menyuntikkan agen pelumpuh otot kerja cepat (suksinilkolin, vekuronium, rocuronium, pancuronium). Mulai (atau lanjutkan) ventilasi manual.

0- 45 detik

Pemasangan Lakukan Sellick manuver (kompresi laring ke arah esofagus) untuk mencegah aspirasi. Jangan melepaskan tekanan sampai cuff ETT telah dikembangkan. Intubasi pasien dan kembangkan cuff. Verifikasi Pemasangan Konfirmasi lokasi ETT dengan auskultasi, pergerakan naik dan turun dinding dada, dan alat pendeteksi karbon dioksida/ kapnometer, fiksasi pipa. Manajemaen Pasca Intubasi Memberikan sedasi tambahan

yang diperlukan untuk

manajemen ventilator. 4. Jalan Napas Invasif Lain  Intubasi endotrakeal adalah “gold standart” untuk memberikan ventilasi efektif, oksigenasi, dan melindungi jalan napas dari aspirasi. Namun, agar intubasi berhasil maka, dibutuhkan keterampilan dan pelatihan.  Kegagalan dalam melakukan intubasi kepada pasien, dan menjaga ventilasi serta oksigenasi dapat menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Selama dua tahun terakhir, beberapa alat telah dikembangkan untuk menjaga jalan napas. Namun, alat ini tidak boleh digunakan pada pasien yang memiliki gag reflek. Adapun alat-alat yang umum digunakan, sebagai berikut : (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, pp. 69-71) a. Laryngeal Mask Airway (LMA) 

Ada beberapa LMA tipe yang tersedia. LMA ini memiliki berbagai ukuran yang dapat digunakan untuk anak-anak maupun orang dewasa.



Meskipun diperlukan pelatihan namun, alat ini mudah untuk digunakan.



LMA tidak mencegah aspirasi lambung tetapi, memfasilitasi pemberian oksigenasi dan ventilasi yang efektif untuk pasien sampai jalan napas denitif dapat dipasang.



LMA dimasukkan melalui mulut melewati lidah sampai ke laring.



Setelah masuk, collar disambungkan dengan udara untuk memfasilitasi LMA.



Beberapa LMA merupakan alat sekali pakai dan jenis LMA yang lain dirancang untuk memfasilitasi intubasi dengan pipa endotrakeal melalui LMA.

b. Combitube 

Combitube terbuat dari lateks dengan dua lumen, dua cuff jalan napas yang dirancang untuk dapat dimasukkan ke dalam esophagus, tetapi dapat berfungsi sementara sebagai ETT jika ditempatkan ke dalam trakea.



Seperti LMA, combitube dimasukkan dengan tangan ke dalam mulut sambil menjaga kepala dan leher dalam posisi netral.



Combitube memiliki dua balon yang harus dikembangkan jika pipa sudah terpasang.



Kontraindikasi penggunaan alat ini:

1) Pasien dengan tinggi di bawah 150 cm (combitube) atau 120 cm (combitube SA) 2) Pasien dengan penyakit esophagus atau pasien yang menelan zat kausatik. c. King Laryngeal Tube (King LT) Airway King LT adalah alat sekali pakai , bebas lateks dengan lumen tunggal dan dua cuff. Satu cuff merupakan oropharingeal dan cuff lainnya adalah esophangeal dengan

ruang ventilasi antara keduanya. Hanya satu balon yang digunakan untuk mengembangkan kedua cuff. 

King LT memiliki berbagai ukuran yang dapat digunakan pada pasien dengan tinggi 90 cm atau lebih.



King LT-D memiliki lumen yang dapat dipasang pipa nasogastric untuk dekompresi lambung.



Pasien dengan terapi vemtilasi mekanik sementara dapat menggunakan King.



Pipa endotrakeal dapat ditempatkan melalui King dengan menggunakan kateter tambahan yang dimasukkan melalui saluran ventilasi King LTS-D. Sesudah pipa endotrakeal terpasang , King LT dapat dilepas.

5. Tata Laksana Kegawatdaruratan Jalan Napas Penatalaksanaan kegawatdaruratan jalan napas secara garis besar terbagi atas 2, yaitu : (Kimin, 2012) a. Tanpa alat (manual) 1) Membersihkan jalan napas -

Sapuan jari (Finger sweep) : Jalan napas yang tersumbat karena

benda asing dalam rongga mulut bagian belakang 2) Membuka jalan napas -

Head tilt : letakkan 1 telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke

bawah -

Chin lift : tindakan mengangkat dagu

-

Jaw thrust : Tindakan mengangkat sudut rahang bawah

-

Orofaringeal airway : sebelum digunakan sebaiknya diukur,

memasukkan alat sampai palatum mole, lalu diputar 180 derajat dan diletakkan dibelakang lidah. Alat tidak boleh dipakai pada penderita sadar karena akan menyebabkan muntah dan kemudian aspirasi. 3) Mengatasi sumbatan jalan napas pada pasien tersedak (Chocking) -

Korban sadar dengan posisi berdiri atau duduk

Rangkul

korban

dari

belakang

ke

dua

lengan

dengan

mempergunakan kepalan ke dua tangan, hentakkan mendadak pada ulu hati (abdominal trust). Ulangi hingga jalan napas bebas atau hentikan bila korban jatuh tidak sadar, ulangi tindakan tersebut dengan posisi korban terlentang. -

Korban yang tidak sadar (tergeletak) Tidurkan penderita terlentang, lakukan back blow atau Heimlich

maneuver – abdominal trust.

b. Menggunakan alat 1) Pengisapan benda cair (suctioning) 

Sumbatan jalan napas karena benda cair, pada saat pengkajian akan didapatkan suara napas gurgling.



Pengisapan tidak boleh lebih dari 15 detik



Perhatikan untuk cedera kepala karena akan terjadi peningkatan TIK.



Alat suction ada 2, yaitu : suction soft/flexible tip dan suction rigid

2) Mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka dengan memasang Naso Pharingeal Airway Digunakan untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka dengan menahan pangkal lidah tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas terutama untuk pasien tidak sadar dan dimasukkan sedikit demi sedikit. 3) Membuka jalan napas dengan Krikotiroidotomi 

Krikotiroidotomi menggunakan jarum besar No. 14-16



Krikotiroidotomi dengan pembedahan menggunakan pisau



Indikasi Untuk penatalaksanaan jalan napas segera pada pasien dengan intubasi oral atau intubasi nasal yang dikontraindikasi atau tidak dapat terlaksana. Tindakan tersebut dapat dibutuhkan untuk trauma maksilofasial atau trauma laring, obstruksi jalan napas atas (edema,

benda asing, lesi massa), atau tindakan kewaspadaan terhadap vertebra servikalis. 

Kontraindikasi Untuk anak-anak berusia kurang dari 8 tahun yang membutuhkan

pembedahan

jalan

napas,

sebaiknya

dilakukan

krikotiroidotomi dengan jarum. Hanya dokter atau perawat gawat darurat tingkat ahli yang diperbolehkan melakukan tata laksana kegawatdaruratan jalan napas. Tata laksana tersebut bersifat sementara samapai jalan napas definitive terpasang. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, pp. 71-72) a. Ventilasi Percutaneous Transtracheal Dapat pula disebut sebagai “ needle cricothyrotomy” atau “jet insufflation”.  Membutuhkan kateter intravena berdiameter besar ( 14 gauge atau lebih besar) ke dalam trakea melalui membrane krikotiroid di bawah pita suara.  Ketika telah terpasang, konektor dari pipa endotrakeal 3.0 dimasukkan ke dalam kateter intravena dan kemudian disambungkan pada bagmask untuk ventilasi pasien.  Oksigen tekanan tinggi atau jet insufflator dapat digunakan untuk ventilasi pasien. Sistem jet ventilation transtrakeal terdiri dari sumber oksigen tekanan tinggi, pipa oksigen bertenaga tinggi dihubungkan dengan regulator untuk mengontrol tekanan, dan katup on-off untuk mengontrol waktu inspirasi.  Kaji naik turunnya dinding dada dengan melihat inspirasi danfasilitasi waktu ekspirasi yang sesuai untuk mencegah akumulasi karbon dioksida saat melakukan prosedur ini. b. Krikotirotomi bedah  Krikotirotomi dilakukan untuk menjaga jalan napas ketika usaha intubasi gagal atau ketika intubasi endotrakeal diketahui tidak memungkinkan. Contohnya, trauma berat pada wajah, onstruksi jalan

napas akibat edeme, dan massa atau benda asing yang menutup jalan napas.  Sayatan dilakukan pada trakea melalui membrane krikotiroid. Alat yang digunakan dapat berupa pisau bedah. Beberapa tekni krikotiotomi dapat diguanakan untuk menjaga jalan napas. Ketika akses terbuka , pipa endotrakeal atau pipa trakeostomi dapat dimasukkan untuk menjaga jalan napas dan memberikan bantuan napas ke pasien. c. Pengisapan Untuk mempertahankan kepatenan jalan napas, pengisapan dari orofaring, nasofaring, dan trakea diperlukan.  Pasien dengan saluran napas buatan, terutama pipa endotrakeal, tidak dapat batuk efektif dan mengeluarkan secret, sehingga membutuhkan pengisapan berkala dari sekresi paru tersebut.  Jika penumpukan secret banyak dan tebal di orofaring biasanya diperlukan tonsillar tip.  Pengisapan tidak harus dilakukan secara rutin tetapi hanya jika ada indikasi klinis.  Hiperoksigenasi dengan oksigen 100% harus selalu dilakukan sebelum melakukan pengisapan.  Pengisapaan pipa endotrakeal menggunakan prosedur steril untuk mencegah infeksi nosocomial dan pneumonia akibat pemasangan ventilator.  Pengisapan tidak boleh melibihi 10 detik per kali isap untuk mencegah hipoksia. Pengisapan dapat dilakukan dengan dua metode, yakni : 

Pengisapan terbuka dilakukan dengan menggunakan kateter isap steril sekali pakai. Teknik dapat digunakan untuk pengisapan orofaring, nasofaring, dan endotrakeal.



Pengisapan tertutup, juga dikenal sebagai in-line suctioning, digunakan pada pasien dengan ventilasi mekanik. Kateter isap berkalikali pakai ini yang dibungkus oleh plastic steril dipasang pada ujung pipa endotrakeal atau trakeostomi. Penggunaan teknik ini dapat menjaa oksigenasi dan memberikan bantuan ventilasi selama pengisapan. Hal ini menguntungkan bagi pasien yang membutuhkan bantun tekanan tinggi atau positive end expiratory pressure (PEEP) dan mengurangi risiko terbentuknya aerosol dari sekresi. Teknik ini direkomendasikan untuk pasien yang tidak stabil atau mengalami desaturasi oksigen yang cepat dengan teknik pengisapan terbuka. Indikasi dan Komplikasi Pengisapan Endotrakeal

Indikasi

Komplikasi

Membersihkan sekresi, benda asing,

Hipoksemia

muntah, atau darah pada jalan napas Diduga aspirasi isi gaster atau sekresi

Spasme laring

Auskultasi suara napas kasar atau

Kerusakan

gargling Peningkatan usaha napas atau distress

mukosa,

menyebabkan

pendarahan Spasme bronkus

pernapasan Untuk meghilangkan sekresi melalui pipa endotrakeal atau trakeostomi Meningkatkan frekuensi pernapasan, sering batuk, atau keduanya Penurunan satu rasi oksigen bertahap

Hipertensi atau hipotensi Peningkatan tekanan intra kranial Stimulasi vegal yang menyebabkan bradikardia dan hipotensi, terutama pada bayi dan anak-anak

atau mendadak

4) Ventilasi Pasien Gawat Darurat a. Noninvasive Positive Pressure Ventilation Keuntungan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NPPV) meliputi :

 Menjaga kemampuan pasien untuk berbicara, menelan, dan mekanisme pertahanan jalan napas fisiologis  Mengurangi risiko cidera saluran napas  Mengurangi risiko infeksi nosocomial  Mengurangi lama tinggal di unit perawatan intensif NPPV memberikan bantuan ventilasi sementara . NPPV memiliki dua metode ventilasi yakni CPAP dan BiPAP. (Kurniati, Trisyani, Ikaristi, & Theresia, 2018, pp. 73-74)  Continuous ositive airway pressure (CPAP) memberikan tekanan tetap pada jalan napas selama siklus napas.  Bilevel atau biphasic positive airway pressure (BiPAP) memberikan tekanan pada jalan napas antara siklus inspiratory airway pressure (IPAP) dan endexpiratory airway pressure (EPAP). NPPV diberikan kepada pasien melalui berbagai alat seperti masker yang hanya menutupi hiding, masker yang menutupi hidung dan mulut, atau masker yang menutupi seluruh wajah. Pasien yang akan mendapatkan keuntungan dari NPPV adalah pasien yang bernapas spontan, sadar dan pasien sadar tapi tidak mampu mengontrol pernapasannya. Pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), gagal jantung dekompensasi, pneumonia berat, atau status asmatika merupakan indikasi pemasangan NPPV sedangkan kontraindikasinya digunakan pada pasien dengan henti napas, tidak kooperatif, atau tidak dapat menjaga jalan napas. b. Ventilasi Mekanik Tujuan dari pemasangan ventilasi mekanik adalah untuk memberikan ventilasi tekanan positif, mempertahankan pertukaran gas alveolar, menurunkan kerja pernapasan, dan memberikan konsentrasi oksigen dalam jumlah tertentu. Ventilasi mekanik dapat diberikan melalui pipa endotrakeal, krikotirotomi, atau trakeostomi. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan terkait ventilasi mekanik :

 Pastikan lokasi pipa endotrakeal sudah tepat terpasang sebelum disambungkan dengan ventilator.  Dapat menambah kerusakan atau merusak paru-paru yang sehat.  Dapat menyebabkan pneumothorax atau tension pneumothorax  Pemahaman terkait perbedaan ventilator-associated pneumonia dan cara mengatasi troubleshooting sangat penting Perawatan pasien dengan ventilasi mekanik :  Kaji pasien yang terpasang terkait keadekuatan ventilasi dan kemungkinan terjadinya komplikasi seperti pneumothorax dan tension pneumothorax  Pasien yang terpasang ventilator sering merasa cemas, hal ini dapat mengganggu ventilasi mekanik. Pemberian obat penenang atau narkotika daapt membantu pasien rileks, yang akan menurunkan usaha napas dan menurunkan kebutuhan oksigen.  Beberapa pasien mungkin memerlukan agen pelemas otot. Selalu berikan sedasi yang cukup dan anti nyeri sebelum pemberian obat pelemas otot.  Membantu oksimetri terus-menerus.  Jika ventilator menunjukkan tanda adanya peningkatan tekanan di jalan napas pasien, kaji pasien terkait kebutuhan pengisapan. Jika setelah pengisapan, pasien mengalami tekanan yang tinggi, kaji tanda-tanda pneumothorax.

References

Kimin, A. K. (2012). Pelatihan Emergency Nursing Intermediate Level. Jakarta: Hipgabi. Kurniati, A., Trisyani, Y., Ikaristi, S., & Theresia, M. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Singapore: Elseiver.

Related Documents


More Documents from ""