Managemen Hati

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Managemen Hati as PDF for free.

More details

  • Words: 947
  • Pages: 4
Managemen Hati Bagikan 14 November 2009 jam 5:56 Akhir-akhir ini muncul kosakata baru terkait dengan istilah manajemen, yaitu manajemen qolbu. Tambahan kata qolbu di belakang kata manajemen, menggambarkan adanya makna yang lebih halus, sejuk atau teduh. Rasa-rasanya, sebutan manajemen qolbu berbeda dengan manajemen pada umumnya. Manajemen qolbu dengan ciri-cirinya tersebut, menjadikan manajemen lainnya, atau manajemen yang tidak diikuti kata qolbu, seolah-olah memiliki arti berbeda, yaitu memanage yang hanya mendasarkan akal atau rasio, atau selanjutnya disebut manajemen rasional atau manajemen professional. Jika managemen rational dikembangkan dengan menggunakan piranti akal, maka manajemen qolbu dikembangkan dengan menggunakan dasar penglihatan mata hati atau qolb. Saya lebih menyukai menggunakan istilah hati daripada kata qolb. Memang, kedua-duanya memiliki arti sama. Bedanya, qolb diambil dari Bahasa Arab, sedang hati dari bahasa Indonesia. Bagi saya, kata manajemen lebih tepat dirangkai dengan kata hati. Pilihan ini sesungguhnya hanya terkait dengan rasa. Secara subyektif, ketika berbicara dengan Bahasa Indonesia, saya lebih memilih istilah hati daripada kata qolb. Tatkala berbicara manajemen rasional dan manajemen hati, maka muncul pertanyaan, apa yang membedakan antara keduanya. Manajemen rasional adalah cara mengatur orang dengan mendasarkan pada pertimbangan rasio, untuk mendapatkan hasil yang lebih efisien dan efektif. Semua hasil itu bisa diukur menurut perhitungan rasio atau akal sehat. Dengan cara seperti itu maka semua pihak harus mau menerimanya, karena hasilnya bisa dipertanggung-jawabkan secara jelas. Namun apakah semua itu menghasilkan rasa adil dan ikhlas, jawabnya belum tentu. Lalu bagaimana dengan manajemen hati. Manajemen hati, dalam pengertian hati yang bersih, maka dalam mengatur segala sesuatu mendasarkan pada pertimbangan hati. Semua hal yang terkait dengan

kegiatan mengatur, menata dan mengurus orang selalu mendasarkan pada pertimbangan hati nurani. Kata nurani menggambarkan hati sehat, sehingga membedakan dengan hati yang sakit, apalagi juga hati yang mati. Manajemen hati tidak cukup hanya dengan menggunakan pertimbangan rasio belaka. Sebab dengan pertimbangan rasio, sesuatu yang disebut adil dan jujur, seringkali juga memiliki makna ganda, tergantung dari siapa yang melihatnya. Sesuatu keputusan jika hanya diambil dengan pertimbangan rasio, maka akan mendapatkan hasil yang kadang kurang memenuhi rasa adil dan jujur. Suatu keputusan disebut rasional selalu terkait dengan siapa yang memandangnya. Seseorang menganggap sesuatu sebagai telah rasional hanya karena yang bersangkutan telah mendapatkan keuntungan. Sebaliknya, pihak lain menganggap tidak demikian, karena melihat dari sisi kepentingannya. Seorang pegawai rendahan harus menerima gaji berapapun, karena oleh atasannya dipandang telah sesuai dengan jenis pekerjaannya. Besar atau kecilnya gaji, jika mendasarkan pada pertimbangan rasio atau akal, maka pihak yang mengatur akan mendapatkan untung yang terbanyak. Mereka yang diatur harus puas dengan bagian yang ditentukan. Cara ini dianggap rasional dan masuk akal. Sebaliknya, manajemen hati nurani tidak demikian, selalu mempertimbangkan keadilan, kejujuran, kebersamaan, dan keikhlasan. Sebagai contoh sederhana tentang manajemen rasional dan profesional, dapat kita lihat misalnya dalam penggajian beberapa jenis jabatan di negeri ini. Seorang anggota DPR, ------kabarnya, digaji tidak kurang 60 juta setiap bulan. Sementara seorang guru atau pegawai biasa, yang sehari-hari harus sama-sama banting tulang hanya digaji sekitar 3 juta sebulan. Hal itu hampir sama dengan dosen dan bahkan guru besar di perguruan tinggi. Penentuan imbalan seperti ini dianggap rasional. Hal itu karena dosen dan bahkan Guru Besar tidak menentukan anggaran Negara. Hal itu berbeda dengan posisi DPR. Anggaran Negara tidak bisa disahkan tanpa persetujuan para wakil rakyat itu. Sedangkan guru, pegawai, termasuk Guru Besar sekalipun harus bekerja sehari-hari, membimbing mahasiswa di ruang kuliah dan di laboratorium, dengan gaji sebesar itu harus diterimanya. Penentuan gaji yang timpang seperti itu dipandang telah mendasarkan pada prinsip-prinsip rasional dan professional.

Perbandingan yang timpang itu tidak saja terjadi antara anggota DPR, guru, atau pegawai biasa, melainkan juga terhadap sama-sama pegawai negeri yang bertugas di tempat yang berbeda. Gaji pegawai negeri yang bekerja sebagai guru, atau pegawai kantor di pemerintah daerah akan berbeda dengan pegawai di departemen keuangan misalnya. Apalagi bagi mereka yang bekerja di KPK. Saya pernah mendengar, pimpinan KPK setiap bulannya menerima gaji puluhan juta, sedangkan pimpinan lembaga pendidikan, misalnya hanya menerima tidak lebih dari 5 % saja dari tunjangan pimpinan KPK. Perbedaan itu dirasakan sangat menyolok, tetapi itulah yang sementara ini disebut sebagai telah memenuhi ukuran-ukuran rasional dan professional. Selanjutnya, bagaimana halnya dengan manajemen yang menggunakan ukuran-ukuran hati nurani, apakah juga seperti itu. Hati yang bersih dan sehat selalu cenderung mengajak pada terwujudnya keadilan, kejujuran, kebersamaan, peduli, tenggang rasa, apresiatif dan sejenisnya. Hati ingin selalu mengajak pada kebersamaan, kepantasan, dan kesetaraan. Hati yang bersih dan sehat mengajak untuk saling membagi kasih sayang, menghargai, tolong menolong dan bekerja sama. Hati nurani tidak mau melihat kesengsaraan orang lain, sementara dirinya berlebih. Hati yang bersih dan sehat juga tidak mau melihat orang lain sengsara dan menderita, sementara dirinya berlebih dan bahagia. Sebaliknya, hati nurani selalu menghendaki agar orang lain beruntung, bergembira, tertawa dan bahagia. Manajemen rasional, karena menggunakan akal, ------seringkali disengaja atau tidak, lalu kata itu diplesetkan menjadi akal-akalan. Artinya, keputusan itu hanya masuk diakal orang yang mengatur dan menentukan. Sebaliknya, bisa jadi sangat sulit diterima oleh mereka yang diatur atau yang menggantungkan diri kepada pihak yang mengaturnya itu. Berbeda dengan manajemen hati yang sehat, maka pengambil keputusan harus hati-hati, agar jangan sampai keputusannya menjadikan banyak orang merasa tidak diberlakukan secara adil dan jujur. Akhirnya, manajemen hati dapat diartikan sebagai sebuah cara dalam mengatur orang dengan selalu menggunakan pertimbangan hati yang sehat, sehingga diperoleh rasa keadilan, kejujuran, kebersamaan, sehingga dihasilkan suasana ikhlas dan damai bagi semua pihak.

Penggunaan hati dalam mengambil keputusan tidak berarti sama sekali mengabaikan akal. Dengan menyebut kata hati, maka secara otomatis sudah melibatkan akal atau rasio. Berbeda hal itu jika hanya menggunakan akal, maka belum tentu suara hati didengarkan. Kerja akal atau rasio harus dibimbing oleh hati yang sehat. Akal yang selalu dibimbing oleh hati yang sehat, -------hati yang selalu mengacu pada petunjuk kitab suci, maka itulah yang dalam tulisan ini disebut sebagai manajemen hati. Wallahu a’lam.

Related Documents

Managemen Hati
June 2020 22
Hati-hati
June 2020 43
Managemen Keperawatan.pptx
November 2019 38
Hati
May 2020 43
Managemen Waktu
May 2020 26
Managemen Terapi.docx
May 2020 20

More Documents from "Mayrani Sholihania"