Maklak Teori Pddk Klp

  • Uploaded by: Rudi Hartono
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Maklak Teori Pddk Klp as PDF for free.

More details

  • Words: 5,528
  • Pages: 19
PEMBELAJARAN DAN MASALAHNYA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA

A. LATAR BELAKANG MASALAH Secara kuantitatif pembangunan pendidikan di Indonesia, terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjukkan keberhasilan. Hal ini ditandai dengan banyaknya gedung sekolah baru yang dibangun pada dekade 70-an, namun secara kualitatif terlihat mutu pendidikan nasional justru semakin merosot karena pembelajaran di sekolah masih saja terpaku pada paradigms penerusan informasi dari guru ke siswa yang hanya melibatkan kemampuan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills) yaitu menghafal. Dari

berbagai

pemberitaan

yang

sempat

mengapung

kepermukaan,

tampaknya mutu pendidikan nasional semakin terpuruk. Data tentang hal ini antara lain terlihat dalam peringkat HDI (Human Development Index) yang dipantau oleh UNDP tahun 1996, Indonesia berada pada peringkat 102 dari 174 negara; tahun 1999 peringkat 105 dari 174 negara; tahun 2000. peringkat 109 dad 174 negara.. Hasil pantauan IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di bidang kemampuan membaca siswa SD, Indonesia berada di urutan ke 26 dari 27 negara; kemampuan Matematika siswa SLTP ada di urutan ke 34 dad 38 negara; kemampuan di bidang IPA untuk siswa SLTP ada di urutan ke 32 dari 38 negara. Data di atas menunjukkan bahwa kinerja sistem pendidikan belum maksimal, walaupun sudah didukung oleh segudang UU Pendidikan, mutai tahun 1950-an, 1954, dan didukung disetiap GBHN sampai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 1998, dan 2003. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan yang dicitacitakan nampaknya belum juga menunjukkan tanda-tanda akan iebih baik, karena praksis di lapangan masih saja tetap tergelar sebagai penerusan informasi, bahkan tidak jarang lebih merosot lagi menjadii tidak lebih dari pemberitaan isi buku teks (content transmission) (Raka Joni, 2000). Menurut Raka Joni, alasan mendasar penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah akibat terjadinya stagnasi berpikir yang tersemaikan sengaja atau tidak sengaja sejak pemberlakuan Kurikulum 1975 yang mewariskan kerangka pikir Selanjutnya 1

penerusan informasi yang tampil sebagai hidden curriculum (Raka Joni, 1993a). dengan menunjuk penggunaan pendekatan tujuan berbentuk perilaku (behavioral objectives, Mager, 1975) yang memiliki konsep perubahan perilaku harus teramati sebagai bentuk ketercapaian tujuan pendidikan. Pada tataran implementasinya, tujuan prubahan perilaku ini nampaknya menghasilkan malapetaka yang pada waktu itu teraktualisasi melalui Pengembangan Program Sistem Instruksional dan hasil belajar dilihat meialui prates-postes yang dilakukan pada setiap jam pertemuan. Akibatnya perubahan perilaku yang dapat diamati berupa hafalan potongan-potongan informasi yang hampa makna. Pendekatan pembelajaran seperti ini masih bertahan sampai sekarang karena terus dipelihara melalui ujian-ujian yang cenderung hanya menagih hafalan. Ini suatu bukti bahwa pembelajaran tetap saja berlangsung sebagai penerusan informasi. Memang diakui telah ada berbagai inovasi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas, antara lain dengan penerapan CBSA, namun dalam implementasinya terdistorsi ke dalam pendekatan ketrampilan proses (process skills) yang merupakan metodologi berpikir (ways of Knowing) bidang IPA untuk semua mata pelajaran (Semiawan dkk, 1985). Bentuk lain dari inovasi yang telah dilakukan seperti kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada hakekatnya, kurikulum ini juga menuntut perubahan kerangka pikir, sehingga akan menghasilkan

penguasaan

kompetensi

yang

ditargetkan.

Namun

dalam

kenyataannya, kerangka pikir penerusan informasi masih saja tetap melekat karena setelah kompetensi sasaran ditetapkan, langkah berikutnya bukan penetapan proses pembelajaran yang patut diduga akan berujung kepada terbentuknya kompetensi (experiential curriculum, Raka Joni; 2000), melainkan disusul dengan penetapan materi pokok, yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan indikator penguasaan kompetensi (Pusat Pengembangan Kurikulum, 2002). Seperti kebijakan penerapan model Pembelajaran Kontekstual, pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan, dan pembelajaran konstruktivistik di SD dan SMP. Penerapan model ini sebenamya juga menawarkan perbaikan proses pembelajaran dalam arti format kegiatan pembelajaran yang memfasiiitasi pebelajar untuk mencapai tujuan

pendidikan,

namun

dengan

artikulasi

kerangka

pikir

yang

belum

terintegrasikan sehingga yang masih tampil sepotong-sepotong (Nurhadi dan Senduk, 2

2003), sehingga kembali lagi kepada kerangka pikir penerusan informasi. Semua contoh-contoh buruk penerapan kebijakan perbaikan yang dikemukakan di atas berarti bahwa perbaikan pendidikan temasuk perbaikan kurikulum, mempersyaratkan perubahan cara berpikir serta cara memperlakukan kurikulum itu setidiri (paradigma), mulai dari para pengambil keputusan di tingkat pusat sampai kepada jajaran pendidik yang merupakan ujung tombak petaksana di lapangan (changing curriculum means changing your mind, Costa 1999, halaman 25). Pada sisi lain, persoalan juga muncul pada pola pikir sentralistik, monolitik, uniformistik yang sangat kental mewarnai berbagai bidang kehidupan. Dunia pendidikan paling kentara diwarnai oleh upaya ini. Asumsi-asumsi yang melandasi program-program pendidikan sering kali tidak sejalan dengan hakikat belajar, hakekat orang yang belajar, dan hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan, lebih khusus dunia belajar, didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakikat belajar

dan

pembelajaran

secara

komprehensif.

Praktek-praktek

pendidikan/pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan teoretik dan konseptual yang tidak akurat. Pendididkan/Pembelajaran masa kini mengagungkan pada pembentukan peritaku yang serba sama, serba seragam, dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan, dan kepastian. Pembentukan perilaku ini dilakukan dengan kebijakan penyeragaman berbagai hal di sekolah. Paradigma pendidikan yang mengagungkan keseragaman ini temyata telah berhasil membelajarkan anak-anak untuk mengabaikan keragaman/perbedaan. Degeng (2000) menyebut persoalan ini dengan virus keseragaman, la mengidentifikasi beberapa virus yang ada di dunia pendidikan yang bersumber dari paradigma keseragaman (sentralisasi), seperti penggunaan pakaian seragam, penggunaan kurikutum yang seragam, penggunaan strategi pembelajaran yang seragam, penggunaan buku sumber yang seragam, dan penggunaan strategi evaluasi yang seragam. Penyeragaman ini sudah pasti dimaksudkan untuk memberangus keragaman. Semua bentuk penyeragaman tni; ternyata telah berhasil membentuk anakanak Indonesia yang sangat menghargai kesamaan, dan tanpa sadar temyata juga telah berhasit membentuk anak anak yang mengabaikan penghargaan pada keragaman. Ternyata anakanak sulit menerima sesuatu yang berbeda atau menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda dalam oandangan mereka patut dihukum. Inilah fenomena pembelajaran masa lalu dan mungkiri dapat disebut sebagai paradigma pembelajaran yang tidak 3

mendidik. B. MASALAH YANG DIBAHAS Berdasarkan latar belakang masatah seperti yang dipaparkan pada bagian depan, perlu diidentifikasi beberapa butir masatah yang dibahas dalam tulisan ini yaitu: (1) Seperti apa landasan konseptual pembelajaran yang diharapkan? (2) Bagaimana implementasi pembelajaran yang diharapkan di Indonesia? (3) Bagamana penggunaan Media Pembelajaran

berkualitas?dan (4) Apakah Homeschooling sebagai sebuah

pendidikan aternatif? 1. Landasan Konseptual Pembelajaran yang Diharapkan Pertama: Teori Perkembangan Kognitif Anak oleh Jean Piaget. Ia adalah salah seorang yang memiliki perhatian terhadap perkembangan kognitif anak yang disebut dengan teori perkembangan (developmentally appropriate practice, DAP). Ada dua teori Piaget yang terkait dengan topik ini yaitu (a) tingkat perkembangan kognitif manusia mulai dari balita sampai dengan usia remaja yaitu tingkat sensari motorik (sejak fahir s/d 2 tahun), tahap pra-operasional (27 tahun), tahap operasi konkret (7-11 tahun), tahap operasi formal (11-15 tahun)

yang

merupakan

rujukan

penting

yang harus

diindalkan

dalam

pembelajaran khusunya di jenjang TK, SD, dan (b) keseimbangan kognitif {cognitive equilibrium) selalu diupayakan oleh individu yang juga berlaku untuk orang dewasa melalu asimilasi dan akomodasi (Pulanski, 1971; Ausubel, 1968). Dalam asimilasi, individu menerima dan memasukkan pengetahuan baru ke daiam struktur kognitif yang telah dimilikinya (dalam bahasa psikologi kognitif mutakhir acquiring and integrating knowledge, sedangkan dalam akomodasi, individu mengubah struktur kognitifnya karena pengetahuan yang baru ditemukannya itu tidak langsung dapat ditampung dalam struktur kognitif yang lama (refining and expanding knowledge (Marzano,1992). Kedua: Teori Inteligensi Majemuk oleh Gardner. la merasa terpanggil untuk mengkaji lebih dalam tentang terjadinya kesenjangan pembelajaran (learning gap) akibat diterapkannya jalur tunggal perolehan pemahaman dalam praksis pembelajaran atau unitary way of knowing (Gardner 1991), mendorong Gardner untuk menuangkan kerangka pikir yang lebih produktif dengan mendefinisikan inteligensi

4

sebagai kemampuan memecahkan masalah dan/atau menghasilkan produk; yang dihargai oleh budaya setempat. Dengan menerapkan 8 kriteria yang ditemukannya, Howard Gardner mencetuskan gagasan pembelajaran multi jalur (multiple ways of knowing) yang dikenal sebagai Teori Inteligensi Majemuk (Multiple Intelligences, Gardner, 1993). Pada waktu pertama kali dicetuskan pada tahun 1983 dikenali adanya 7 jenis inteligensi yaitu di bidang kebahasaan (/inguistic), musikat, logikal-matematik, keruangan atau spasial (spatial}, kinestetika ragawi (bodily kinesthetic), dan personal yang dirind menjadi sub-inteligensi intra-personal dan sub-inteligensi inter-personal (Gardner, 1993). Sebagaimana diketahui, inteligensi personal itu belakangan dikenal populer sebagai kecerdasan emosional (Emotional Intelligence, Goleman, 1995). Belakangan ditambahkan juga inteligensi naturalistik (Gardner, 1999b). Bertolak dari ajarannya itu, Howard Gardner menekankan pentingnya pembelajaran dirancang untuk melibatkan sebanyak mungkin jenis inteligensi yang merupakan mekanisme dasar pengolahan informasi yang masing-masing hanya mengolah jenis informasi yang unik yang dapat dilacak kepada jaringan syaraf yang berbeda sebagai warisan bio-psikologikal manusia. Namun Kenya taan menunjukkan, sejak zaman bahaula pembelajaran hanya memanfaatkan kapasitas dasar pengolahan informasi di bidang kebahasaan khususnya semantik dan bidang logikal-matematik (kedua kemampuan itu juga dikenal sebagai kemampuan skofastik karena berkaitan dengan tugas-tugas khas dalam sistem persekolahan), akan tetapi itu pun hanya pada tingkatan yang seadanya saja. Ketiga. Teori Inteligensi Emosional oleh Daniel Goleman yang berawal dari mengamati banyaknya permasalahan dalam berbagai sisi kehidupan dalam rumah tangga, di sekolah dan di tempat kerja. la menyimpulkan bahwa akar permasalahan terletak tidak di sisi kecerdasan kognitif yang dikenal sebagai IQ melainkan akibat ketumpulan emosional, sehingga Goleman mencetuskan gagasan mengenai pentingnya peranan kecakapan emosionai (Emotional. Intelligence, Goleman, 1995 ) yang menjanjikan sebagai pendamping dari kecerdasan kognitif. Dengan kata lain, dalam gagasannya itu Goleman menge-. depankan sisi kemampuan lain yang juga sangat penting dalam menentukan tingkat keberhasilan hidup seseorang. Pada dasarnya, kecakapan emosional ini berkenaan dengan kemampuan seseorang untuk memahami serta 5

mengeridalikan perasaannya sendiri, memahami serta menanggapi secara tepat perasaan orang lain, serta dalam memelihara hubungan baik dengan orang lain, yang secara keseluruhan juga dinamakannya seni bergaul (social arts) Goleman, 1995 halaman 127). Ke-empat: Teori Zona Perkembangan Proximal oleh Vigotsky. Ia menekan pentingnya konteks sosial sebagai ajang pembelajaran. Dengan ajarannya mengenai Zone of proximal development, dalam rentangan kemampuan seseorang atau sekelompok orang, Vygotsky mengidentifikasi adanya wilayah garapan pembelajaran di mana pebelajar yang bersangkutan hanya mampu memecahkan masalah dengan bantuan orang lain (pendidik atau teman sebaya yang lebih mampu), sedangkan di bawahnya terletak wilayah di mana pebelajar yang bersangkutan tidak mampu memecahkan masalah meskipun telah diberikan bantuan, karena yang bersangkutan itu belum siap untuk di tempatkan di kelompoknya yang sekarang. Selanjutnya, di atas zona perkembangan proxsimai terletak wilayah di mana pebelajar yang bersangkutan telah dapat memecahkan masatah secara mandiri sehingga tidak ada gunanya dibantu mefalui intervensi pembetajaran (Vygotsky, 1962; Mo11,1990). Selain menawarkan pintu masuk bagi intervensi pembelajaran untuk membantu pebelajar dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, penerapan strategi pembelajaran dalam kelompok dengan kerangka pikir Vygotsky ini juga membuka peluang bagi pembentukan berbagai kemampuan inter-personal sebagai dampak pengiring. Keli m a

Pembelajaran Berbasis Belajar (Leaming-Centered Instruction).

Apabita artikulasi konseptual sebelumnya mengacu kepada proses kognitif yang terjadi dalam diri pebelajar, artikufasi konseptual selanjutnya adalah mengacu kepada terapan konseptual dari artikulasi konseptual terdahutu itu. Demikianlah, dengan bertolak dari keyakinan bahwa pengajaran harus dikemas bertolak dan proses yang tergelar dalam pembelajaran. Dalam salah satu artikulasi konseptual ini, Marzano menawarkan suatu kerangka pikir pembelajaran yang mengacu kepada 5 dimensi yang saling berhubungan yang teramati dalarn kegiatan belajar (Marzano; 1992) yaitu (a) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar yang tertampilkan sebagai motivasi dan ketekunan dalam belajar, (b) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan ke daiam bahasa psikologi kognitif dinamakan asimitasi (memasukkan 6

pengfetahuan yang baru diperoleh ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki), (c) peningkatan kecermatan dan perluasan pengetahuan atau akomodasi melalui proses konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan, (d) penerapan pengetahuan secara bermakna dalam rangka pemecahan masalah, baik dalam konteks tugas-tugas sekolah maupun kegiatan di luar sekolah, dan (e) pembentukan kebiasaan berpikir yang produktif yang ditumbuhkan melalui (1) penyadaran serta pengendalian atas proses berpikir sendiri yang tengah dijalankan (metakognis)i, (2) pembuatan rencana kerja, (3) pengetahuan tentang di mana bisa memperoleh sumber, (4) kewaspadaan terhadap balikan, dan (5) kemampuan menitai efektivitas proses kerja yang tengah dilaksanakan. Pada dasarnya, lima dimensi belajar tersebut tentu saja bukan untuk diajarkan sebagai topik secara tersendiri, melainkan diramu ke dalam rancangan dan implementasi kegiatan pembelajaran bidang studi dan diperlakukan sebagai konteks. Keenam: Modifikasi Taksonomi Bloom. Di kalangan pendidikan, taksonomi Bloom yang memetakan hasil belajar menjadi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik tentu tidak asing lagi (Bloom, dkk., 1956), kendatipun nampaknya nya tidak bermuara kepada peningkatan mutu pembeiajaran, karena dalam merumuskan gagasannya itu Bloom, dkk hanya bermaksud memetakan hasil belajar, bukan menawarkan tuntunan datam pengelolaan proses pembentukannya.

,

Oleh karena itu, agar dapat digunakan sebagai panduan dalam pengelo4aan pembe(ajaran, maka sebagai artikulasi konseptual berikutnya dilakukan modifikasi terhadap Taksnomi Bloom di mana pilahan hasil belajar secara eksplisit dikaitkan dengan . proses keterbentukannya (Raka Joni, 1993a). Dalam Taksonomi Bloom yang dimodifikasi itu, juga dikenat 3 ranah, namun isinya berbeda dan taksanomi Bloom yang asti, yaitu

menjadi (a) pengetahuan

dan pemahaman yang

penguasaannya mempersyaratkan pengkajian dengan mengarahkan sebanyak mungkin alat indra serta sebanyak mungkin jenis mekanisme dasar pemrosesan informasi sebagaimana diajukan dalarn Teori Inteligensi Majemuk, (b) ketrampilan baik kognitif

maupun

personal-sosial

dan

emosional

serta

psikomotorik

yang

pembentukannya mempersyaratkan latihan-latihan baik yang diselenggarakan secara langsung, mdupun yang penguasaannya terbentuk sebagai dampak pengiring dan akumulasi pengalaman belajar yang sengaja dirancang untuk menerapkan keterampilan yang dimaksud, dan (c) sikap dan nilai yang ditumbuhkan metatui ketertibatan langsung pebelajar secara aktif dalam berbagai kegiatan daniatau secara 7

pasif melalui penghayatan terhadap berbagai peristiwa yang sarat nilai, sehingga dapat digunakan sebagai rujukan operasional dalam merancang serta mengimplementasikan program pembelajaran yang lebih berpeluang memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pendidikan. . Ke-Tujuh. Model-model Pembelajaran. Apabila acuan konseptual yang pertama sampai dengan keenam memusatkan kajian kepada bagaimana individu belajar, berpikir dan berbuat, dan acuan konseptual ke-tujuh ini menyoroti kaitan antara hasit dan proses kognitifemosional dalam pembelajaran, maka artikulasi konseptual berikutnya ini memusatkan perhatian kepada perancangan lingkungan yang memfasititasi pembelajaran. Gagasan perancangan lingkungan belajar tersebut dapat ditemukan dalam karya Joyce and Well (1972) yang berjudul Models of Teaching (Model-model Pembelajaran). buku ini menawarkan 4 model lingkungan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan baik secara sendirisendiri maupun dengan dikombinasikan oleh pendidik sesuai dengan kebutuhan betajar yang hendak dilayani. Ke-empat model tersebut adalah (1) model pengolahan informasi yang belakangan telah sangat banyak diteliti oteh ahli-ahti psikologi kognitif yang antara lain menghasilkan kerangka pikir pembefajaran konstruktivistik, (2) model interaksi sosial yang memanfaatkan interaksi sosiat sebagai bingkai lingkungan belajar, (3) model personal yang memusatkan perhatian kepada pengembangan pribadi yang relevan dengan perkembangan inteligensi intrapersonal inter-personal yang dikemukakan oleh Gardner (Gardner, 1993) dan belakangan diajukan sebagai kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Coleman (Goleman, 1995) di samping metakognisi yang banyak dikaji oleh ahli-ahli psikologi kognitif, dan (4) model pengubahan perilaku yang banyak menggunakan asas-asas psikologi behavioristik. Sebagaimana telah diisyaratkan, keempat Model Pembelajaran tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah namun tebih sebagai sejumlah alternatif yang dapat dikombinasikan, sesuai dengan kebutuhan belajar yang hendak dilayani dalam suatu episode pembelajaran. Sebuah gagasan penting dari Joyce dan Well yang sangat menjanjikan produktivitas pembelajaran adalah tentang hasil langsung pembelajaran atau direct inslructron yang dinamakannya insiructiona/-ehects

dan dampak pengiring

(nurlurant effects) yang terbentuk bukan karena diajarkan secara langsung, melainkan

merupakan

dampak

akumulatif

dari

sejumlah

kegiatan/peristiwa

pembelajaran yang memang sengaja dirancang. Selain berupa kemahiran dalam 8

berbagai bidang, dampak pengiring juga dapat berbentuk kebiasaan, keterandalan, serta sikap dan nilai (Joyce dan Well, 1972; Raka Joni, 1993a). 2. Implementasi Pembelajaran yang diharapkan Untuk pembelajaran yang mendidik, perancangan pembelajaran adalah perancangan lingkungan belajar (designed environment to facilitate learning) yang secara bersamaan mengarah kepada dampak pembelajaran sesuai dengan sasaran kurikuler serta dampak pengiring yang mengarah kepada tujuan pendidikan yang dicitacitakan. Guru harus selalu secara sadar merancang serta berupaya menerjadikan dampak pengiring di samping memprogramkan keterwujudan dampak instruksional, sejalan dengan upaya pencapaian tujuan materieel dan tujuan.formeel yang pemah dikenal di waktu yang lampau, namun terabaikan meiatui PPSI sebagaimana telah dikemukakan. Dimulai dari tujuan pembelajaran serta materi kurikuler yang direncanakan baik substansi maupun metodologi berpikimya, pendidik memetakan perolehan belajar yang dibingkai dengan Taksonomi Bloom yang dimodifikasi (Joni, 1993a). Selanjutnya, dari peta hasil serta proses pembelajaran yang teridentifikasi berdasarkan Taksonomi Bloom yang dimodikasi itu, pendidik dapat memanfaatkan salah satu atau lebih model pembelajaran yang dikemukakan oleh Joyce dan Well (Joyce dan Well, 1972), misatnya Model Pemrosesan Informasi, Model Sosial dan Model Pengubahan Perilaku. Untuk merancang pembentukan pengetahuan dan pemahaman sebagai dampak instruksional, dapat dimanfaatkan berbagai asas yang telah dikemukakan seperti (1) asas Developmentally Appropriate Practice dari Piaget khususnya dalam pembe[ajaran untuk jenjang SD (Pulanski, 1971), di samping asas (2) Zona Perkembangan Proxsimal dari Vygotsky dalam rangka menyatakan kesiapan pebelajar (dari seluruh rentangan usia) dengan intervensi pembelajaran yang dirancang sehingga dapat berdampak sebagai penyangga kognitif (cognitive scalfolding) yang tepat (Ausubel, 1968), tidak kurang dan tidak lebih (Vygotsky, 1962; Moll, 1990), (3) asas konstruktivistik dalam perolehan dan pengintegrasian pengetahuan (asimilasi kognitif), peningkatan kecermatan serta perluasan pengetahuan (akomodasi kognitif), dan penerapan pengetahuan secara bermakna atau kontekstual yang juga berdampak kepada pembentukan kemampuan metakognisi, yang terkandung dalam lima dimensi belajar dari Marzano (Marzano, 1992), (4) asas penyebab penggunaan beragam cara untuk memahami realitas (multiple ways of knowing) sesuai dengan teori inteligensi majemuk dari Gardner

9

(Gardner 1993; 1999b; Campbell dan Campbell, 1999), (5) menggunakan peluanguntuk pembentukan kemampuan berpikir kreatif sesual dengan Teori Inteligensi, dan sebagainya. Untuk merancang pembentukan dampak pengiring dapat dilakukan melalui pemanfaatan berbagai ragam format kegiatan seperti penugasan proyek yang memicu kerja kelompok sehingga berpeluang memberikan kontribusi dalam pembentukan kemampuan interpersonal serta kecerdasan emosional (Goleman, 1985), kepemimpinan dan kebiasaan bertanggung jawab serta keterandalan (Elias, W7, dkk, 1997), pengasahan ketrampilan menemukan, menilai serta memanfaatkan informasi termasuk

dengan pemanfaatan

teknotogi informasi, kemampuan

berkomunikasi baik secara tertutis maupun lisan, yang kesemuanya itu merupakan bagian dan perangkat kecakapan hidup (soft skills, life skills)(Kendall dan Marzano, 1997; Raka Joni 2000). Akhirnya, periu juga diingat bahwa semua kerja keras untuk menerapkan asas-asas pembeiajaran yang produktif sebagaimana diutarakan di atas, tentu saja akan mengalami kegagalan apabila sistem penitaian masih saja terpaku kepada tagihan kemampuan menghafal dengan tes pilihan (multiple choice). Dengan perkataan lain, reformasi dalam kerangka pikir serta praksis pembelajaran seperti digambarkan di atas, perlu dikawal oleh reformasi dalam strategi asesmen hasil belajar sehingga mencakup bukan saja perolehan serta penerapan pengetahuan, melainkan juga penguasaan ketrampilan baik kognitif termasuk metakognisi maupun personalsosial di samping sikap dan kebiasaan kerja serta kebiasaan hidup yang mampu menjawab tantangan kebutuhan hidup masyarakat masa depan. Untuk itu, asesmen tidak lagi hanya cukup mengandalkan ujian tertulis apalagi yang hanya berbentuk tes pilihan, melainkan harus mengerahkan keberbagai sarana yang beragam yang dikenal sebagai authentic assessment termasuk penggunaan portofolio. (Marzano, dkk. 1993). Lalu bagaimana kaitan semua ini dengan demokrasi belajar yang merupakan safah satu bentuk dari perwujudan pembelajaran yang mendidik, untuk itu, anak-anak perlu menyiapkan diri untuk memasuki era demokratisasi, suatu era yang ditandai dengan keragaman peritaku, dengan cara terlibat dan mengalami secara tangsung pendemokrasian ini ketika mereka sedang berada di setting belajar (sekolah). Penghargaan

terhadap

ketidakpastian,

ketidak

menentuan,

perbedaan

atau

keragaman perlu ditumbuhkan sedini mungkin. Keterlambatan hanya akan

10

memunculkan peluang terjadinya peristiwa kekerasan sebagaimana kita amati akhirakhir ini. Kita perlu melakukan kajiulang, atau dengan ungkapan yang lebih memasyarakat akhir-akhir ini, kita perlu melakukan reformasi, redefinisi, dan reorientasi terhadap landasan teoretik dan konseptual belajar dan pembelajaran yang selama ini digunakan, mampu menumbuhkembangkan anak-anak bangsa lebih menghargai keragaman. Apakah demokratisasi pendidikan, lebih khusus lagi belajar, dapat menjawab tantangan ini? Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar. Suatu proses pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas prakarsa anak. Demokrasi belajar berisi pengakuan hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai dengan karakteristiknya. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat belajar yang demokratis adalah adanya pengemasan pembelajaran yang beragam dengan cara menghapuskan penyeragaman kurikulum, strategi pembelajaran, bahan ajar, dan evaluasi. ”kebebasan" unsur penting dalam lirx3kungan belajar yang demokratis, oleh karena itu pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar anak mampu melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang demokratis memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan pilihan-pilihan tindakan belajar dan akan mendorong anak untuk terlibat secara fisik, emosional, dan mental dalam proses be(ajar, karena itu, akan dapat memunculkan kegiatan-kegiatan yang kreatif-produktif. Ini merupakan kaidah yang sangat penting dalam penataan lingkungan belajar. Setiap anak, satu-per-satu perlu diberi kebebasan untuk melakukan pilihanpitihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau di(akukannya. Prakarsa anak untuk belajar akan mati bila kepadanya dihadapkan pada berbagai macam aturan yang tak ada kaitannya dengan belajar. Banyaknya aturan yang seringkali dibuat oleh pengajar dan harus ditaati oleh anak akan menyebabkan anak selalu diliputi rasa takut. Lebih jauh lagi, anak kehilangan kebebasan berbuat dan melakukan kontrol diri. 3. Media Pembelajaran Pengertian media pembelajaran ialah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta perangsang peserta didik untuk belajar, contoh : buku, film, kaset. Menurut Asosiasi Teknoligi Komunikasi Pendidikan (AECT) , media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan.

Dengan

memperhatikan

11

definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan media pembelajaran secara umum adalah segala alat pengajaran yang digunakan untuk untuk membantu Dosen dalam menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar sehingga memudahkan pencapaian tujuan tujuan pembelajaran yang sudah dirumuskan. Media pembelajaran digunakan dengan tujuan antara lain sebagai berikut : 1) Memberikan kemudahan kepada peserta didik untuk lebih memahami konsep, prinsip, dan ketrampilan tertentu dengan menggunakan media yang paling tepat menurut sifat bahan ajar. 2) Memberikan pengalaman belajar yang berbeda dan bervariasi sehingga lebih merangsang minat dan motivasi peserta didik untuk belajar 3) Menumbuhkan sikap dan ketrampilan tertentu dalam teknologi karena peserta didik tertarik untuk menggunakan atau mengoperasikan media tertentu. 4) Menciptakan situasi belajar yang tidak dapat dilupakan peserta didik. 5) Memperjelas informasi atau pesan pembelajaran. 6) Meningkatkan kualitas belajar mengajar. Media pembelajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari pembelajaran di perguruan tinggi. Pemanfaatan media pembelajaran merupakan upaya kreatif dan sistematis untuk menciptakan pengalaman yang dapat membelajarkan mahasiswa, sehinggga pada akhirnya perguruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Pemanfaatan media pembelajaran yang optimal perlu didasarkan pada kebermaknaan dan nilai tambah yang dapat diberikan kepada mahasiswa melalui suatu pengalaman belajar di LPTK yang menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat membantu dosen di LPTK untuk memfasilitasi proses belajar mahasiswa. Media pembelajaran juga dapat membantu dosen untuk mempermudah proses belajar, memperjelas materi pembelajaran dengan beragam contoh yang konkret melalui media, memfasilitasi interaksi dengan mahasiswa, dan memberi kesempatan praktek kepada mahasiswa. Diharapkan, dengan segala kemudahan yang dijanjikan sebagai karakteristik intrinsik dari media pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran dapat membantu peningkatan kualitas pembelajaran di LPTK. Ada dua permasalahan yang berkenaan dengan media pembelajaran di perguruan tinggi berfokus pada isu ketersediaan dan pemanfaatan, sebagai berikut: a. Ketersediaan

12

Pada saat ini, ketersediaan media pembelajaran di berbagai LPTK masih belum merata. Ada LPTK yang mampu menyediakan beragam media pembelajaran dalam jumlah yang relatif banyak, ada juga LPTK yang masih belum memiliki ragam dan jumlah media pembelajaran yang diperlukan. Hal ini menyebabkan ragam dan jumlah media yang digunakan dosen pun beragam. Ada dosen yang menggunakan media yang beragam dan banyak secara maksimal, tetapi ada juga yang menggunakannya secara minimal. Media yang sering digunakan dosen adalah media cetak (diktat, modul, handout, buku teks, poster, majalah, surat kabar, dll.), sementara itu, media sederhana yang tetap banyak dimanfaatkan dosen adalah papan tulis. Media audio visual (overhead transparancy, video/film, kaset audio, siaran TV/Radio), dan media elektronik (komputer, internet) masih belum secara intensif dimanfaatkan. b. Pemanfaatan media Media cetak merupakan media pembelajaran yang sering digunakan oleh dosen, karena mudah untuk dikembangkan maupun dicari dari berbagai sumber. Namun, kebanyakan media cetak sangat tergantung pada verbal symbols (kata-kata) yang bersifat sangat abstrak, yang pada gilirannya menuntut kemampuan abstraksi yang sangat tinggi dari mahasiswa. Hal ini dapat menyulitkan mereka. Dalam hal pemanfaatan media, selain kreativitas dosen, pertimbangan instruksional juga menjadi salah satu faktor yang menentukan. Hasil penelitian menunjukkan seringkali dosen menggunakan media pembelajaran “seadanya” tanpa pertimbangan pembelajaran (instructional consideration). Ada kalanya dosen menggunakan media canggih, sematamata karena media tersebut tersedia di LPTK, walaupun sesungguhnya tidak diperlukan dalam pembelajaran. Ketidaktepatan (“mismatch”) pemanfaatan media pembelajaran banyak sekali terjadi di perguruan tinggi, antara lain karena hal-hal berikut. 1) Novelty Effect Banyak dosen mengasumsikan bahwa semakin canggih, semakin baru, semakin mutakhir media yang digunakan, akan semakin baik kualitas pembelajaran yang diperoleh. Kecanggihan, kebaruan, dan kemutakhiran media harus selalu dikaitkan pada tujuan pembelajaran. Dalam beberapa kasus, media yang “kuno” tetap diperlukan untuk beragam pengalaman belajar. 2) Biaya (murah versus mahal) Media pembelajaran yang murah atau yang mahal tidak harus selalu yang paling tepat untuk pembelajaran, jika tidak mengacu pada kompetensi mahasiswa yang harus dicapai. Biaya

13

harus menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan media pembelajaran, namun tujuan pembelajaran perlu menjadi pertimbangan yang paling penting dalam memilih media pembelajaran. 3) Keterampilan Dosen Efektivitas pemanfaatan media sangat tergantung pada kualitas dosennya. Dosen diharapkan memiliki kemampuan dan keterampilan khusus yang memang dipersyaratkan untuk dapat memanfaatkan media pembelajaran secara efektif, yaitu kreativitas, akses, wawasan tenaga pengajar tentang media pembelajaran, serta keterampilan teknis dan melek media (media and technology literacy). Selain itu, perlu ada sikap positif dari dosen terhadap media pembelajaran. Dosen perlu percaya bahwa perannya tidak akan tergantikan oleh media pembelajaran. Pemanfaatan media pembelajaran dikaitkan sangat erat dengan peningkatan kualitas pembelajaran yang diharapkan. Pemanfaatan media pembelajaran oleh dosen diharapkan dapat menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna, memfasilitasi proses interaksi antara mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan mahasiswa, dan mahasiswa dengan ahli bidang ilmu yang relevan di mana saja, serta memperkaya pengalaman belajar mahasiswa. Hal ini dipercaya mampu mengubah suasana belajar dari mahasiswa yang pasif menunggu, dan dosen sebagai sumber ilmu satu-satunya, menjadi mahasiswa aktif berdiskusi dan mencari melalui beragam sumber belajar yang tersedia, sementara dosen berperan menjadi fasilitator yang sama-sama terlibat dalam proses belajar dengan mahasiswa. Ketersediaan akan aneka ragam media dan teknologi pembelajaran bermakna bukan hanya bagi dosen, tetapi juga bagi mahasiswa, karena media dan teknologi pembelajaran dapat membantu mahasiswa secara luwes untuk mencapai tujuan belajarnya. Untuk menyiasati masalah ini, dosen dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Ketersediaan Jika tersedia ragam dan jumlah media yang banyak, pilihlah media pembelajaran berdasarkan kompetensi yang akan dicapai, karakteristik bidang ilmu, kondisi dosen dan mahasiswa, akses mahasiswa, biaya, proses pembelajaran yang akan dilaksanakan, organisasi, tingkat kemutakhiran, serta sistem pendukung. Di samping itu, beberapa media pembelajaran dapat dipilih untuk dimanfaatkan secara bersama-sama (lintas mata kuliah)

14

dalam proses pembelajaran sehingga saling memperkaya, dan efektivitas serta efisiensinya menjadi meningkat. Jika ragam dan jumlah media pembelajaran yang tersediaadalah minimal, maka perlu dilakukan pengembangan media pembelajaran secara bertahap oleh dosen sendiri, berkelompok, dan atau melibatkan pihak lain (internal dan eksternal) – mahasiswa, pengelola perguruan tinggi, industri, masyarakat, agen donor, dll., agar diperoleh efisiensi dan segala konsekuensi serta manfaatnya menjadi milik bersama. b. Pemanfaatan yang optimal Pemanfaatan media pembelajaran perlu dioptimalkan, tidak terbatas hanya sebagai alat penyajian informasi keilmuan dan alat bantu pengumpulan informasi, tapi juga terfokus pada alat bantu untuk berinteraksi, memproduksi sesuatu, dan berkomunikasi. Dosen perlu mencoba meningkatkan upaya pemanfaatan media dalam pembelajarannya, misalnya untuk meningkatkan interaksi antara dosen dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan mahasiswa, untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa menghasilkan karya – pemikiran (produksi) sebagai hasil belajarnya. Media pembelajaran akan memperkaya proses pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil pembelajaran yang berkualitas, namun sama sekali tidak akan menggantikan peran interaksi antara dosen dengan mahasiswa. Terutama bagi dosen LPTK, media pembelajaran yang dimanfaatkan dalam proses pembelajaran akan menjadi model bagi mahasiswanya untuk memanfaatkan media yang sama, jika mereka sudah lulus dan bertugas menjadi guru di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya Media pembelajaran dapat mempermudah mahasiswa belajar, namun sangatlah tidak mungkin mahasiswa mampu mencapai kompetensi dengan hanya diberikan setumpuk buku atau jurnal ilmiah untuk dibaca, atau setumpuk video, atau kaset audio. Kompetensi hanya dapat dicapai melalui beragam interaksi antara mahasiswa dengan dosen, dengan mahasiswa lain, serta dengan informasi keilmuan melalui berbagai media. Pengalaman belajar yang kaya hendaknya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berinteraksi dan menunjukkan kompetensi yang dicapainya melalui beragam media. Untuk dapat memanfaatkan media pembelajaran secara optimal, dosen diharapkan menguasai keterampilan pemanfaatan beragam media pembelajaran. Untuk itu, dosen dapat mengikuti pelatihan-pelatihan yang disediakan oleh LPTK, pemerintah atau institusi lain, atau juga melakukan pelatihan diri sendiri. Keterampilan dosen dalam hal ini amat penting,

15

mengingat peran media pembelajaran yang semakin meningkat baik dalam kehidupan akademik di LPTK maupun di dunia persekolahan.

4. Homeschooling sebagai sebuah pendidikan aternatif Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan. Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anakanaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan. Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat. Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (bdk. Sumardiono, 2007:4). Peran dan komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anakanaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan

16

homeschooling mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas, 13/3/2005). Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2). Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1). Berdasarkan definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

C. PENUTUP Merujuk paparan dari awal tulisan ini menunjukkan dengan jelas bahwa kelemahan dari paradigma yang dianut selama ini bermula clad penggunaan kerangka pikir penerusan informasi. Seyogianya kerangka pikir yang seperti itu sudah diganti

17

dengan paradigma pembelajaran yang mendidik. Namun demikan, kerangka pikir yang ditawarkan itu belum akan membuahkan hasii sebagaimana diharapkan, jika paradigma pembelajaran yang mendidik tidak mendapat dukungan clad praksis pendidikan/pembelajaran. Seperti yang ditegaskan Raka Joni (2000), bahwa keberhasilannya dalam meningkatkan mutu pendidikan banya dapat diwujudkan dengan penggantian sistem tagihan yang tidak lagi hanya terfokus kepada kemampuan menghafal, apalagi yang hanya diselenggarakan pada akhir program untuk menetapkan kelulusan sehingga hanya memicu bertumbuhnya budaya jalan pintas sebagaimana dapat diamati selama ini. Demikian juga dengan persoalan uji kompetensi guru yang semakin santer disuarakan akhir-akhir ini juga dengan maksud yang sangat baik. Mudah-mudahan saja tidak seperti managih pengetahuan hafalan dengan cara ujian tertulis. Artinya reformasi dalam sistem penilaian umumnya dan sistem ujian akhir khususnya di samping penilaian periodik terhadap kompetensi guru/pendidik, serta diikuti dengan penerapan mekanisme penjaminan mutu sepanjang rentang masa program tiap sekolah. Secara lebih spesifik, penjaminan mutu yang efektif itu seyogyanya tidak hanya terfokus kepada pengaturan masukan seperti persyaratan kompetensi guru, standar layanan serta ketersediaan fasilitas minimal dan yang sebangsanya lalu kemudian meloncat kepada tagihan kompetensi lulusan di muara program. Sebaliknya, sebagai mana mekanisme penjaminan mutu dipahami serta lazim diterapkan di kalangan dunia usaha serta pada lembaga-lembaga layanan pubfik, langkah penjaminan mutu mutlak juga diberlakukan sepanjang rentang masa program, antara lain berupa arahan kepada pendidik untuk selalu mengacu kepada standar kemampuan guru yang diharapkan.

Daftar Rujukan

18

AECT.The definition of Educational Technology, 1977.Edisi Indonesia diterbitkan CV.Rajawali dengan judul Definisi teknologi Pendidikan Bloom, BS, dikk. 1956. Taxonomy of Educational Objectives, Handboolc L Cognitive Domain. NeYork: David McKay. Campbell, L dan B. Campbell. 1999. Multiple Intclligences and Student Achievement.- Success Stories from Six Schools. Alexandria, VA: ASCD. Costa, AL. 1999. Chaning Curriculum Means Changing Your Mind, dalain Teaching for Intelligence. Arlington Heights, ittinois ,Skylight Training and Publishing, Inc, Hhalaznan 25 - 36. Elias, M7. 1997. Promoting Sosial and Emotional Learning. Guidelines for Educators. VA: ASCD. Gardner, H. 1993. Frame of Mind., The theory of multiple intel/igence.s~ NewYork: Basic Books. Goleman, D. 1995. EEmotional Tntefliyence; Why It Fan Platter More than IQ New York: Bantam Books. Joyce, B dan M. Well. 1972. Mod,-Is of Teaching. Englewood Cliffs, N.7.: PrenticeHall. Mager, R. 1975. Preparing Instructional Objectives. Edisi A. San Fransisco: Fearon Marzano, R7 dkk. 1988. Dimensions of Thinking: a framework for curriculum and instruction. Alexandria, VA.: ASCD. Nurhadi d<m Agus G. Senduk. 2003. Pembclajaran Kontekstual dan Pencrapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Pulanski, AS. 1971. Understanding Piaget. N.Y.: Harper and Row. Raka Joni, T. 1993a. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif, dalam Conny R Semiawan dan T. Raka Joni (Editor). Pendekatan Pembelajaran: acuan konseptua/ penge%laan kegiatan pembelajaran di sekolah. Jakarta: Konsorsium Ilmu Sadiman. Arif. Media Pendidikan: Pengertian, pengembangan dan Pemanfaatannay.2006. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada Semiawan, Cony, dkk. 1985. Pendekatan Ketrampi/an Proses bagaimana mengaktifkan siswa da/am belajar? Jakarta: PT Gramedia. Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, PT. Elex Media Komputindo: Jakarta, 2007 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Fokusmedia, Bandung 2003 Yusufhadi.Miarso.Media Instruksional.Pusat TKPK.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Vygotsky, LS. 1962. Thought and Language. Cambridge, Mssachusetts: The MIT Press.

19

Related Documents

Maklak Teori Pddk Klp
July 2020 20
Teori
October 2019 61
Teori
May 2020 46
Teori
June 2020 35
Teori
June 2020 40

More Documents from ""