TUGAS KELOMPOK
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN DISASTER “TRAUMA URETRA”
Oleh Kelompok 2 (Urinary Tract)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena berkat, rahmat, taufik, dan hidayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dan semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada kita nantinya. Makalah yang berjudul “TRAUMA URETRA” ini mengandung beberapa pokok bahasan yang akan membahas tentang poin-poin penting yang terdiri dari landasan teori terkait dengan trauma uretra. Terima kasih kepada kakak pembimbing dan teman-teman kami, atas dorongan yang telah diberikan kepada kami sehingga makalah ini dapat terbentuk. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami bersedia menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan di kemudian hari.
Cirebon, Oktober 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan BAB II LANDASAN TEORI A. Anatomi Fisiologi B. Defenisi C. Jenis-jenis D. Etiologi E. Tanda Dan Gejala F. Penatalaksanaan BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. Diagnosa Keperawata B. Intervensi BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera uretra merupakan cedera yang jarang dan paling sering terjadi pada lakilaki, biasanya bersamaan dengan terjadinya fraktur pelvis atau “straddle injury”. Cedera uretra jarang terjadi pada wanita. Beberapa bagian dari uretra dapat mengalami laserasi, terpotong, atau memar. Penatalaksaannya bermacam-macam tergantung pada derajat cedera. Menurut anatomisnya, uretra dibedakan menjadi dua, uretra posterior terdiri atas pars prostatika dan pars membranasea dan uretra anterior yang terdiri atas pars bulbosa dan pars pendulosa. Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan serta prognosisnya. B. Tujuan 1. untuk mengetahui anatomi fisiologi uretra 2. untuk mengetahui defenisi trauma uretra 3. untuk mengetahui jenis-jenis trauma uretra 4. untuk mengetahui etiologi trauma uretra 5. untuk mengetahui tanda dan gejala trauma uretra 6. untuk mengetahui penatalaksaan trauma uretra
BAB II LANDASAN TEORI A. Anatomi Fisiologi Uretra Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari kandung kemih melalui proses miksi. Secara anatomis uretra di bagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra di lengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra eksternal yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang di persyarafi oleh sistemik simpatis sehingga pada saat kandung kemih penuh, sfingter ini terbuka. Singter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris di persarafi oleh system somatic yang dapat di perintahkan sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat BAK, sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan urine. Panjang uretra wanita kurang lebih dari 3-5 cm, Panjang uretra laki-laki dewasa sekitar 18 cm, dengan perbandingan uretra posterior 3 cm dan uretra anterior 15 cm, titik baginya berada antara 2 lokasi pada membran perineal. Uretra dapat dibedakan ke dalam 5 segmen yaitu : Uretra posterior : 1. Uretra pars prostatika 2. Uretra pars membranasea Uretra anterior : 1. Uretra pars bulbosa 2. Uretra pars pendulosa 3. Fossa naviculare
B. Defenisi Trauma Uretra Trauma uretra adalah trauma yang terjadi akibat cedera yang berasal dari luar dan cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. (Nursalam. 2006) C. Jenis Secara klinis terdapat dua jenis trauma uretra, yaitu anterior dan posterior. 1. Trauma uretra anterior Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle injury dapat menyebabkan laserasi atau contusion dari uretra. Instrumentasi atau iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial. Cedera uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan uretra. Secara klasik, cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle injury atau tendangan atau pukulan pada daerah perineum, dimana uretra pars bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul. Cedera tembus uretra (luka tembak atau luka tusuk) dapat juga menyebabkan cedera uretra anterior. Penyebab lain dari cedera uretra anterior adalah trauma penis yang berat, trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuk benda asing.
2. Trauma uretra posterior Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan
pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial.
D. Etiologi 1. Trauma uretra terjadii akibat cedera yang berasal dari luar dan cedera iatrogenik akibat intrumentasi pada uretra. 2. Trauma tumpil yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkang atau staddle injury dapat menyebabkan ruptur uretra pada bulbosa. 3. Pemasangan kateter pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena salah jalan (false route). 4. Intervensi operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra iotrogenik.
E. Tanda Dan Gejala 1. Pendarahan dari uretra 2. Hematom perineal; mungkin hanya di sebabkan trauma bulbus kavernosus. 3. Retensi urin, jika hanya terjadi memar mukosa uretra, penderita masih dapat kencing meskipun nyeri, tetapi jika ruptur, terjadi spasme m. spinchter urethrae externum sehingga timbul retensi urin. bila kandung kemih terlalu penuh, terjadi ekstravasasi sehingga timbul nyeri hebat dan kedalam umum penderita memburuk.
Pemeriksaan pembantu: a. Rectal toucher/ pemeriksaan colok dubur Bila ruptur terjadi di pars membranacea, maka prostat tak akan teraba; sebaliknya akan teraba hematom berupa masa lunak dan kenyal.
b. Uretrogam Adalah pemeriksaan untuk menentukan lokasi ruptur.
F. Penatalaksanaan 1. Jika penderita dapat kencing dengan mudah, cukup observasi saja. 2. Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogam usahakan memasukkan kateter foley sampai kandung kemih; hati-hati akan terjadinya kekeliruan yaitu kateter tergulung saja diantara kandung kemih dan diafragma urogenital setelah kateter berhasil masuk kandung kemih, tinggalkan selama 14-20 hari. 3. Jika kateter gagal dipasang, lakukan pembedahan. Dalam keadaan darurat cukup dibuat sitostomi untuk menjamin aliran urin, caranya: Setelah dilakukan anestesi (lokal/umum) dan atau antisepsis daerah operasi, lakukan syatan vertikal secukupnya (3-4 cm) didaerah suprapubik. Setelah otototot dipisahkan akan tampak dinding kandung kemih. dinding kandung kemih ditembus
sedistal
mungkin.
Dimasukkan
kateter
Foley,
balonnya
dikembangkan. Luka dinding kandung kemih dijahit sedemikan sehingga kateter terjepit erat. Luka operasi ditutup lapis demi lapis. 4. Pasca Bedah: a. Kandung kemih dibilas dengan larutan antiseptik (KMNO4 encer) setiap hari. Berikan antibiotika dosis tinggi (PP 1,5 juta U/hari). b. Setelah keadaan umum membaik, dapat dipikirkan operasi untuk menyambung kembali uretra. c. Setiap penderita dengan trauma uretra harus diperiksa atau diawasi secara teratur selama sekurang-kurangnya 3-4 tahun untuk diagnosa dini striktur uretra. Hal ini dapat dilakukan ulangan pemeriksaan untuk tahun pertama tiap bulan ke 1,3,6,9 dan 12 sedangkan untuk tahun berikutnya setiap 6 bulan.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Diagnosis Keperawatan 1.
Aktual/Risiko syok hipovolemik b.d pendarahan dalam, sepsi peritoneum sekunder dari robekan arteri dalam panggul.
2.
Nyeri b.d spasme otot perivesika, peregangan dari terminal saraf sekunder dari adanya cedera tulang pelvis.
3.
Gangguan pemenuhan eliminasi urine b.d retensi urin, efek sekunder dari ruftur eretra.
B. Intervensi 1. Diagnosa 1: Aktual/Risiko syok hipovolemik b.d pendarahan dalam, sepsi peritoneum sekunder dari robekan arteri dalam panggul. Intervensi : a. Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST Rx : sebagai parameter penting pengkajian yang menjadi dasar dalam memberi intervensi. b. Lakukan manajemen nyeri keperawatan ; 1) pengaturan posisi fisiologisRx : posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang mengalami iskemia yang mengalami penyumbatan pembuluh darah. 2) kompres dingin suprapubis Rx : pemberian kompres dingin dapat merangsang aktivitas saraf pada suprapubis untuk memperbaiki aliran darah ke pembuluh darah. c. Manajemen lingkungan; 1) ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri Rx : distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi enderfin dan
enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri. 2) ajarkan tehnik relaksasi pernapasan dalam. Rx : meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia jaringan. d. Kolaborasi pemberian analgetik Rx : penggunakan agen agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.
2. Diagnosa 2: Nyeri b.d spasme otot perivesika, peregangan dari terminal saraf sekunder dari adanya cedera tulang pelvis. Intervensi : a. monitoring TTV b. monitoring perfusi perifer ( CRT dan akral) c. pemberian terapi cairan d. monitoring hasil laboratorium e. Rx : mendeteksi adanya syok
3. Diagnosa 3: Gangguan pemenuhan eliminasi urine b.d retensi urin, efek sekunder dari ruftur eretra. Intervensi : a. Kaji pola berkemih dan catat produksi urine tiap 6 jam Rx : mengetahui pengaruh trauma uretra dengan frekuensi miksi. b. Monitoring adanya keluhan subjektif, pada saat melakukan eliminasi urin. Rx : parameter penting dalam mengevaluasi intervensi yang telah dilakukan. c. Kolaborasi; 1) Lakukan pemasangan kateter sitotomi 2) Pembedahan ekplorasi pada ruptur uretra
Rx : mengatasi masalah gangguan pemenuhan eliminasi urine, pemilihan jenis pembedahan di lakukan sesuai derajat pengempitan dan tingkat toleransi individu
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Cedera uretra merupakan cedera yang jarang dan paling sering terjadi pada lakilaki, biasanya bersamaan dengan terjadinya fraktur pelvis atau “straddle injury”. Cedera uretra jarang terjadi pada wanita. Beberapa bagian dari uretra dapat mengalami laserasi, terpotong, atau memar, sehingga perlunya penanganan yang tepat. Penatalaksanannya bermacam-macam tergantung pada derajat cedera.
B. Saran Untuk meningkatkan
kualitas pelayanan
keperawatan maka penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Pada pengkajian perawat perlu melakukan pengkajian dengan teliti melihat kondisi klien serta senantiasa mengembangkan teknik terapeutik dalam berkomunikasi dengan klien. 2. Agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap profesional dalam menetapkan diagnosa keperawatan. 3. Sebagai perawat disarankan untuk memberi dukungan kepada pasien untuk bertahan hidup, dan menganjurkan pasien maupun keluarga untuk tidak putus asa terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi, serta menganjurkan pasien untuk mengikuti terapi pemberian obat yang dianjurkan. 4. Selain itu juga perawat harus memperhatikan personal hygiene untuk mengurangi dampak yang terjadi pada saat memberikan pelayanan kesehatan pada penderita trauma uretra.
DAFTAR PUSTAKA
Iriyanto, Koes. 2013. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Mahasiswa. Bandung : Alfabeta.
Muttaqin Arif, Sari Kumala. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.
Purwadianto Agus, Sampurna Budi. 2008. Kedaruratan Medik. Jakarta : Binapupa Aksara
Wilkinson, Judith M & Ahern, Nancy R. 2014. Buku Saku Diagnosa Keperawatan NANDA, NIC NOC. Edisi 9. Jakarta ; EGC.