BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Eliminasi produk pencernaan yang teratur merupakan aspek yang penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan sistem tubuh lainnya, karena fungsi usus bergantung pada keseimbangan beberapa faktor pola dan kebiasaan eliminasi berfariasi diantara individu namun telah terbukti bahwa pengeluaran feses yang sering dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus
dengan
rendahnya
insiden
kangker
kolesterol
(Robinson
dan
Weigley,1989). Untuk menangani masalah eliminasi perawat harus memahami eliminasi normal dan faktor-faktor yang meningkatkan atau menghambat eliminasi. Asuhan kaperawatan yang mendukung akan menghormati privasi dan kebutuhan emosional klien. Tindakan yang dirancang untuk meningkatkan eliminasi normal juga harus meminimalkan rasa ketidak nyamanan. Saluran gastrointestinal merupakan saluran betrlubang yang terdiri atas organ-organ muskular yang dilapisi ileh membran mukosa. Tujuan organ-organ tersebut adalah untuk absorpsi cairan dan nutrisi serta mempersiapkan makanan untuk proses absorpsi dan digunan dengan sel-sel tubuh. Volume cairan yang diabsorpsi oleh saluran gastrointestinal cukup banyak, oleh karena itu agar sistem pencernaan berfungsi dengan baik penting sekali untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. (potter perry, ) 1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari Eliminasi Urine dan Alvi? 2. Apa saja Anatomi dan Fisiologi dari Eliminasi? 3. Bagaimana Proses Eliminasi Urine dan Alvi? 4. Apa saja factor mempengaruhi proses dari Eliminasi urine dan Alvi? 5. Bagaimana ciri-ciri Eliminasi Urine dan Alvi normal? 6. Apa saja gangguan Eliminasi Urine dan Alvi pada seseorang?
1
7. Bagaimana fokus pengkajian Eliminasi Urine dan Alvi? 8. Bagaimana Diagnosa Keperawatan Eliminasi Alvi? I.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui Definisi dari Eliminasi Urine dan Alvi 2. Untuk mengetahui Proses Eliminasi Urine dan Alvi 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses dari Eliminasi Urine dan Alvi 4. Untuk mengetahui ciri-ciri dari Eliminasi Urine dan Alvi normal 5. Untuk mengetahui gangguan Eliminasi Urine dan Alvi pada seseorang 6. Untuk mengetahui fokus pengkajian Eliminasi Urine dan Alvi 7. Untuk mengetahui Diagnosa Keperawatan Eliminasi Urine dan Alvi
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1.
Pengertian Eliminasi Urine Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa
urine atau alvi (buang air besar). Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas dua, yakni eliminasi urine (kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar). Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi urine seperti ginjal,ureter,bladder,dan uretra.Ginjal memindahkan air dari darah dalam bentuk urine.Ureter mengalirkan urine ke bladder.Dalam bladder urine di tamping sampai mencapai batas yang kemudian dikeluarkan melalui uretra. 2.2.
Anatomi dan Fisiologi Eliminasi Urine
a. Ginjal Giinjal adalah organ berbentuk kacang berwarna merah tua, panjangnya 12,5 cm. Beratnya kurang lebih 125 sampai 175 gram pada laki-laki dan 115 sampai 155 gram pada wanita.
3
Ginjal terletak di bagian belakang rongga abdomen bagian atas setinggi vetebrata thorakal 11 ddan 12. Ginjal di lindungi oleh otot-otot abdomen, jaringan lemak atau kapsul adipose. Nefron merupakan unit struktur dan fungsional ginjal.Satu ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit pembentuk urine. Proses filtrasi absorpsi dan skresi dilakukan oleh nefron. Filtrasi terjadi di glomerulus yang merupakan gulungan kapiler dan dikelilingi kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsul Bawman.Filtrasi glomerular adalah perpindahan cairan dan zat terlarut dari kapiler glomerulel. Glomerulel Filtrasi Rate (GFR) adalah jumlah filtrate yang terbentuk per menit dari semua nefron pada ke dua ginjal.GFR merupakan indikasi jumlah filtrasi yang terjadi. Rata-rata GFR
normal pada
orang dewasa adalah 125 ml per menit atau 180 liter per 24 jam. Darah sampai di ginjal melalui arteri renal yang merupakan cabang dari aorta abdomen. Kira-kira darah akan masuk ke ginjal 20-25% dari kardiak output.Dalam glomerulus ginjal difiltrasi air dan zat-zat lain seperti glukosa, asam amino, urea, kretinin, dan elektrolit. Glomerulus akan memfiltrasi kira-kira 125 ml/menit. Tidak semua hasil filtrasi akan dikeluarkan sebagai urine, tetapi sebagai zat seperti glukosa, asam amino, uric acid, sodium dan potassium kembali ke plasma. Pengeluaran urine tergantung pada intake cairan. Pada orang dewasa normal pengeluaran urine antara 1,2 sampai 1,5 liter per hari selebihnya hasil filtrasi diabsorpsi kembali yang menjadi fungsi dari tubulus ginjal di antaranya adalah air, elektrolit, glukosa. Komposisi urine 95% air, 5% komponen lain seperti elektrolit, zat organic. Produksi urine 50 ml/jam. Sedangkan jumlah produksi urine tergantung dari factor sirkulasi, cairan yang masuk, penyaklit metabolic seperti diabetes, penyakit outimum seperti glomerolonefritis, penggunaan obat-obatan diurentik. Jika pengeluaran urine kurang dari 30 ml/menit kemungkinan bakal terjadi gagal ginjal. Ginjal menghasilkan hormone eritropoin yang berfungsi merangsang produksi eritropoitisetin yang merupakan bahan baku sel darh merah pada sumsum tulang. Hormon ini dirangsang oleh adanya kekurangan aliran darah (hypoksia) pada ginjal. Di samping eritropotin ginjal juga menghasilkan hormone rennin yang
4
berrfungsi sebagai pengatur aliran darah ginjal pada saat terjadi ischemia. Renin dihasilkan pada sel juxtaglomerulus pada apparatus kuxtaglomerulus di nefron. Renin berfungsi sebagai enzim yang berfungsi mengubah agiotensinogen (dihasilkan di hati) menjadi angiotensin II dan angiotesin III. Angiotesin II berefek pada vasokontraksi dan menstimulus aldosteron untuk menahan/meretensi air dan meninggalkan volume darah. Fungsi Utama Ginjal
Mengeluarkan sisa nitrogen, toksin, ion, dan obat-obatan.
Mengeluarkan jumlah zat-zat kimia dalam tubuh.
Mempertahankan keseimbangan antara air dan garam-garam serta asam dan basa.
Menghasilkan rennin, enzim untuk membantu pengaturan tekanan darah.
Menghasilkan hormone eritropoitin yang menstimulasi pembentukan selsel darah merah di suumsum tulang.
Membantu dalam pembentukan vitamin D.
b. Ureter Setelah ureter terbentuk kemudian akan terbentuk kemudian akan dialirkan ke pelvis ginjal lalu ke bladder melalui ureter. Panjang ureter pada orang dewasa antara 26 sampai 30 cm dengan diameter 4 sampai 6 mm. Setelah meninggalkanginjal ureter ke bawah di belakang peritoneum ke dinding bagian belakang kandung kemih. Lapisan tengah ureter terdiri atas otot-otot yang distimulus oleh transmisi implus elektrik berasal dari saraf otonom. Akibat gerakan peristaltic ureter maka urine didorong ke belakang kandung kemih. c. Kandung kemih Kandung kemih merupakan tempat penampungan urine. Terletak di dasar panggul pada daerah retroperitoneal dan terdiri atas otot-otot yang dapat mengecil. Kandung kemih terdiri atas 2 bagian yaitu bagian fondus atau body yang merupakan otot lingkar, tersusun dari otot detrusor dan bagian leher yang berhubungan langsung dengan uretra. Pada leher kandung kemih terdapat spiner
5
intera. Spiner ini dikontrol oleh system saraf otonom. Kandung kemih dapat menampung 300 sampai 400 ml urine. d. Uretra Merupakan saluran pembuangan urin yang langsung keluar dari tubuh. Kontrol pengeluaran urin terjadi karena adanya spinter kedua yanitu spinter external yang dapoatt dikontrol oleh kesadaran kita. Panjang uretra wanita lebih pendek yaitu 3,7 cm sedangkan peria panjangnya 20 cm. Sehinga pada wanita lebih beresiko terjadinya infeksi saluran kemih. Bagian paling luar dari urethra disebut meutus urinari. Pada wanita meutus urinary terletak antara labio minora, di bawah klitoris dan di atas vegina. 2.3.
Faktor yang Mempengaruhi Urine a) Diet dan asupan Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang memengaruhi
output urine (jumlah urine). Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk.selain itu, minum kopi juga dapat meningkatkan pembentukan urine. b) Respon keinginan awal untuk berkemih Kebiasaan
mengabaikan
keinginan
awal
utnuk
berkemih
dapat
menyebabkan urin banyak tertahan di vesika urinaria, sehingga memengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urine c) Gaya hidup Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi. Hal ini terkait dengan tersedianya fasilitas toilet. d) Stress psikologis Meningkatkan stres dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine yang diproduksi.
6
e) Tingkat aktivitas Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinearia yang baik untuk fungsi sphincter. Kemampuan tonus otot di dapatkan dengan beraktivitas. Hilangnya tonus otot vesika urinearia dapt menyebabkan. f) Tingkat perkembangan Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat memengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih mengalami mengalami kesulitan untuk mengontrol buang air kecil. Namun kemampuan dalam mengontrol buang air kecil meningkat dengan bertambahnya usia. g) Kondisi penyakit Kondisi penyakit dapat memengaruhi produksi urine, seperti diabetes mellitus. h) Sosiokultural Budaya dapat memegaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya kultur pada pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu. i) Kebiasaan seseorang Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemh di toilet, biasanya mengalami kesulitan untuk berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit. j) Tonus otot Tonus otot yang berperan penting dlam membantu proses berkemih adalah otot kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi sebagai pengontrolan pengeluaran urine
7
k) Pembedahan Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai dampak dari pemberian obat anestesi sehingga menyebabkan penurunan jumlah produksi urine. l) Pengobatan Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau penurunan proses perkemihan. m) Pemeriksaan diagnostik Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat memengaruhi kebutuhan eliminasi urine, khususnya prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti intra venus pyelogram (IVP). 2.4.
Perubahan Dalam Eliminasi Urine Frekuensi Meningkatnya frekuensi berkemih tanpa intake cairan yang meningkat,
biasanya terjadi pada cystitis, stres, dan wanita hamil. Urgency: Perasaan ingin segera berkemih dan biasanya terjadi pada anak-anak karena kemampuan spinter untuk mengontrol berkurang. Dysuria: Rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih misalnya pada infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur uretra. Polyuria (Diuresis): Produksi urine melebihi normal, tanpa peningkatan intake cairan misalnyapada pasien DM. Urinary Suppression: Keadaan di mana ginjal tidak memproduksi urine secara tiba-tiba. Anuria (urine kurang dari 100ml/24 jam), olyguria (urine berkisar 100-500ml/24 jam)
8
2.5.
Proses Keperawatan Masalah Urinarius
Pengkajian 1. Riwayat Keperawatan a. Pola berkemih. b. Gejala dari perubahan berkemih c. Faktor yang memengaruhi berkemih
2. Pemeriksaan Fisik a. Abdomen Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder, pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus. b. Genetalia wanita Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan antropi jaringan vagina. c. Genetalia laki-laki Kebersihan, adanya lesi, tenderness, adanya pembesaran skrotum.
3. Intake dan output cairan a) Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam). b) Kebiasaan minum di rumah. c) Intake: cairan infuse, oral, makanan, NGT. d) Kaji
perubahan
volume
urine
untuk
mengetahui
ketidakseimbangan cairan. e) Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy, sistostomi. f) Karakteristik urine: warna, kejernihan, bau, kepekatan.
4. Pemeriksaan diagnostic a. Pemeriksaan urine (urinalisis):
Warna (N: jernih kekuningan)
Penampilan (N:jernih)
9
Bau (N:beraroma)
pH (N:4,5-8,0)
Berat jenis (N:1,005-1,030)
Glukosa (N:negatif)
Keton (N:negatif)
b. Kultur urine (N: kuman patogen negattif) 2.6.Diagnosa Keperawatan dan Intervensi 1. Gangguan pola eliminasi urine: inkontinensia Definisi: Kondisi di mana seseorang tidak mampu mengendalikan pengeluaran urine. Kemungkinan berhubungan dengan: a) Gangguan neuromuskuler. b) Spasme bladder. c) Trauma pelvic. d) Infeksi saluran kemih. e) Trauma medulla spinaslis.
Kemungkinan data yang ditemukan: a) Inkontinensia. b) Keinginan berkemih yang segera. c) Sering ke toilet. d) Menghindari minum. e) Spasme bladder. f) Setiap berkemih kurang dari 100 ml atau lebih dari 550 ml.
Tujuan yang diharapkan: a) Klien dapat mengontrol pengeluaran urine setiap 4 jam. b) Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urine. c) Klien berkemih dalam keadaan rileks.
10
INTERVENSI
RASIONAL
1.Monitor keadaan bladder setiap 2 1.Membantu mencegah distensi atau jam komplikasi 2. Tingkatkan aktivitas kolaborasi dokter/ fisioterapi
dengan 2. Meningkatkan kekuatan otot ginjal dan fungsi bladder
3. Kolaborasi dalam bladder training
3. Menguatkan otot dasar pelvis
4. Hindari faktor pencetus 4. Mengurangi inkontinesia urine seperti cemas inkontinesia
/
menghindari
5. Kolaborasi dengan dokter dalam 5. Mengatasi faktor penyebab pengobatan dan kateterias 6. Meningkatkan pengetahuan dan 6. Jelaskan tentang: diharapkan pasien lebih kooperatif
Pengobatan
Karakter
Penyebab
Tindakan lainnya
2. Retensi Urine Definisi:Kondisi dimana seseorang tidak mampu mengosongkan bladder secara tuntas Kemungkinan berhubungan dengan : a. Obstruksi mekanik b. Pembesaran prostat c. Trauma d. Pembedahan e. Kehamilan Kemungkinan data yang ditemukan a. Tidak tuntasnya pengeluaran urine
11
b. Distensi urine c. Hippertropi urine d. Kanker e. Infeksi saluran kemih f. Pembedahan besar abdomen INTERVENSI
RASIONAL
1.Monitor keadaan setiap 2 jam
1. Menentukan masalah
2. Ukur intake dan output cairan 2. Memonitor keseimbangan cairan setiap 4 jam 3. Menjaga defisit cairan 3.Berikan cairaan 2.000 ml/hari 4. Mencegah nokturia dengan kolaborasi 4. Kurangi minum setelah jam 6 sore
5. Membantu keseimbangan cairan
memonitor
5. Kaji dan monitor analisis urine 6. Meningkatkan fungsi ginjal dan elektrolit dan berat badan bladder 6. Lakukan latihan pergerakan 7. Relaksasi pikiran dapat 7. Lakukan relaksasi ketika duduk dan meningkatkan kemampuan berkemih berkemih 8. Menguatkan otot pelvis 8. Ajarkan teknik latihan dengan 9. Mengeluarkan urine kolaborasi dokter/ fisioterapi 9.kolaborasi karakter
dalam
pemasangan
Tujuan yang diharapkan: a. Pasien dapt mengontrol pengeluaran bladder setiap 4 jam b. Tanda dan gejala retensi urine tidak ada Implementasi Pengumpulan Urine untuk Bahan Pemeriksaan
12
Mengingat tujuan pemeriksaan dengan bahan urine berbeda-beda, maka pengambilan atau pengumpulan urine juga dibedakan sesuai dengan tujuannya, Cara pengambilan urine tersebut antara lain: pengambilan urine biasa, pengambilan urine steril, dan pengumpulan selama 24 jam. 1. Pengambilan urine biasa merupakan pengambilan urine dengan cara mengeluarkan urine secara biasa, yaitu buang air kecil. Penngambilan urine biasa ini biasanya digunakan untuk memeriksa gula atau kehamilan. 2. Pengambilan urine steril merupakan pengambiilan urine dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan carra kateterisasi atau fungsi supra pubis. Pengambilan urine steril bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi pada uretra, ginjal, atau saluran kemihnya. 3. Pengambilan urine slama 24 jam merupakan penggambilan urine yang dikumpulkan dalam waktu 24jam, bertujuan untuk mengetahui jumlah urine selama 24 jam dan mengukur berat jenis, asupan dan pengeluaran, serta mengetahui fungsi ginjal. Menolong Buang Air Kecil dengan Menggunakan Urinal Menolong buang air kecil dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan membantu pasien yang tidak mampu buang air kecil sendiri di kamar kecil menggunakan alat penampung (urinal) dengan tujuan menampung urine (air kemih) dan mengetahui kelainan dari urine (warna & jumlah) Melakukan Kateterisasi Kateterisasi merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter kedalam kandungan kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan leminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan. Pelaksanaan kateterisasi dapat dilakukan melalui dua cara: intermiten (straight kateter) dan indwelling (foley kateter). Indikasi:
13
Tipe intermiten
Tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi.
Retensi akut setelah trauma uretra.
Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau analgesik.
Cedera pada tulang belakang.
Degenerasi neoromuskular secara progresif.
Pengeluran urine residual.
Tipe Indwelling
Obstruksi aliran urine.
Pascaoperasi uretra dan struktur di sekitarnya (TUR-P).
Obstruksi uretra.
Inkontinensia dan disorientasi berat.
Menggunakan Kondom Kateter Menggunakan kondom kateter merupakan tindakan keperawatan dengan cara memberikan kondom kateter pada pasien yang tidak mampu mengontrol berkemih. Cara ini bertujuan agar pasien dapat berkemih. Evaluasi 1. Miksi secara normal ditunjukkan dengan kemampuan pasien berkemih sesuai dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, komprresi pada kandung kemih, atau kateter. 2. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurangnya distensi, volume urin residu, dan lancarnya kepatenan drainase.
14
3. Mencegah infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya tanda infeksi, tidak ditemukan adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa terbakar. 4. Mempertahankan integritas kulit, ditunjukkan dengan adanya parineal kering tanpa inflamasi dan kulit sekitar ureterostomi kering. 5. Memberikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak ditemukan adanya distensi pada kkandung kemih, dan adanya ekspresi senang mengenai perasaan. Melakukan bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi inkontinensia dan mampu berkemih di saatt ingin berkemih. 2.7. Definisi Eliminasi Alvi Eliminasi alvi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. ( Tarwoto, 2004, 48). Eliminasi alvi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah padat yang berasal dari sistem pencernaan makhluk hidup. ( Wartonah, 2004). Menurut kamus bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran, penghilangan, penyingkiran, penyisihan. Dalam bidang kesehatan, Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses).
2.8. Anatomi Dan Fisiologi Eliminasi Fekal Organ saluran pencernaan di bagi menjadi dua bagian yaitu; organ saluran gastrointestinal bagian atas dan organ saluran gastrointestinal bagian bawah. 1.
Saluran gastrointestinal bagian atas.
Organ saluran ini terdiri atas mulut, faring, esophagus dan lambung. a.
Mulut Mulut merupakan jalan masuknya makanan yang pertama kali untuk system pencernaan. Rongga mulut dilengkapi dengan alat pencernaan (gigi dan lidah) serta kelenjar pencernaan untuk membantu pencernaan makanan, secara umum mulu terdiri atas dua bagian atas bagian luar (vestibula) yaitu ruangan yang di antara gusi, gigi, bibir dan
15
pipi. Dan rongga mulut bagian dalam yaitu rongga yang di batasi sisinya oleh tulang maksilaris, platum dan mandibularis di sebelah belakang dan bersambung ke faring. Platum terdiri atas platum durum (platum keras) yang tersusun tajuk-tajuk platum dari sebelah depan tulang maksilaris dan platum mole (platum lunak) terletak di belakang yang merupakan lipatan menggantung yang dapat bergerak, serta terdiri atas jaringan fibrosa dan selaput lendir. Rongga mulut berhubungan dengan orofaring yang di sebut dengan faucium yang terdapat dua lengkungan yaitu palatofaringeal dan palatoglossal. Diantara kedua lengkungan ini terdapat jaringan limfoid yang disebut tonsil. Di rongga mulut makanan yang masuk akan di cerna secara mekanik denagn cara di cabik-cabik dan kunyah, serta secara kimiawi melaui peran enzim dan saliva.
b.
Faring Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan esophagus. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfa yang terbanyak mengandung limfosit dan merupakan
pertahanan
terhadap
infeksi.
Di
sini
juga
terletak
persimapangan antara jalan nafas dan makanan letaknya di belakang rongga mulut di depan ruas tulang belakang. Ke atas bagian depan berhubungan dengan rongga mulut dengan perantara lubang yang di sebut ismus fausium. c.
Esofagus Merupakan bagian saluran pencernaan sepanjang 25 cm dan berdiameter 2 cm. Esofagus berbentuk separti tabung berotot yang menghubungkan rongga mulut dengan lambung, dengan bagian posterior berbatasan dengan faring setinggi kartilago cricoidea dan sebelah anterior berbatasan dengan corpus vertebrae. Ketika seseorang menelan, maka sfingter akan berelaksasi secra otomatis dan akan membiarkan makanan tau minuman masuk ke dalam lambung.
16
d.
Lambung Lambung merupakan organ pencernaan yang paling fleksibel karena dapat menampung makanan sebanyak 1-2 liter. Bentuknya seperti huruf J atau kubah dan terletak di kuadran kiri bawah abdomen. Lambung merupakan kelanjutan dari esophagus bagian superior dan bersambungan dengan usus halus dengan duodenum. Fungsi utama dari lambung dalah menyimpan makanan yang sudah bercampur cairan yang di hasilkan lambung. Lambung terdiri atas 4 bagian besar yaitu: kardiak (bagian atas berdekatan dengan sfingter gastroesofagus), fundus (bernbentuk kubah kontak langsung dengan diafragma), korpus (area yang paling besar) dan pylorus (bagian lambung yang berbentuk tabung yang mempunyai otot yang tebal membentuk sfingter pylorus). Mempunyai dua lapisan yaitu anterior dan posterior.
2.
Saluran gastrointestinal bagian bawah Saluran pencernaan bagian bawah meliputi usus halus, usus besar, rectum
dan
anus.
a.
Usus halus Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung yang terletak di antara sfingter pylorus lambung dengan katub ileosekal yan merupakan bagian awal usus besar, posisinya terletak di sentral bawah abdomen yang di dukung oleh lapisan mesenterika yang memungkinkan usus halus ini mengalami perubahan bentuk. Mesenterika ini di lapisi pembuluh darah, persarafan dan saluran limfa yang menyuplai kebutuhan dinding usus. Usus halus memiliki saluran paling panjang dari saluran pencernaan dengan panjang sekitar 3 meter dengan lebar 2,5 cm. walaupun setiap orang memiliki ukuran yang berbeda-beda. Usus halus sering di sebut denga usus kecil karena ukuran diameternya lebih kecil jika di bandingkan dengan usus besar. Usus halus ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu duodenum (25 cm) jejunum (2,5 cm) ileum (3,6 cm). Adapun fungsi dari usus halus adalah menerima sekresi hati dan pankreas, mengabsorbsi saripati makanan dan menyalurkan sisa hasil dari
17
metabolisme ke usus besar. Pada usus halus hanya terjadi pencernaan secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia yang di hasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar pancreas yang di lepaskan oleh usus halus. Senyawa yang di hasilakan oleh usus halus adalah:
Disakaridase.
Berfungsi
munguraikan
disakarida
menjadi
monosakarida.
Eripsinogen. Berfungsi eripsin yang yang belum aktif yang akan di ubah menjadi eripsin. Eripsin mengubah pepton menjadi asam amino.
Hormon sekretin. Berfungsi merangsang kelenjar pancreas mengeluarkan senyawa kimia yang di hasilkan ke usus halus.
Hormon CCK (kolesistokinin). Berfungsi merangsang hati untuk mengeluarkan cairan empedu kedalam usus halus. Usus menerima makanan dari lambung dalam bentuk kimus
(setengah padat) yang kemudian dengan bantuan peristaltic akan di dorong menuju usus besar. b.
Usus besar atau kolon Kolon merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus halus. Ia memiliki panjang 1,5 meter dalam bentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar terbagi menjadi 3 bagian yaitu: kolon asenden, kolon transversum dan kolon desenden. Fungsi dari kolon yaitu: 1. Menyerap air selama proses pencernaan. 2. Tempat di hasilakannya vitamin K dan vitamin H (biotin) sebagai hasil simbiosis dengan bakteri usus misalnya E, coli. 3. Membentuk massa fases. 4. Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (fases) keluara dari tubuh.
c.
Rektum Rectum merupakan lubang tempat pembuangan fases dari tubuh. sebelum dibuang lewat anus fases akan di tampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila fases sudah siap dibuang, maka otot sfingter
18
rectum mengatur pembukaaan dan penutupan anus. Otot sfingter yang menyusun rectum ada 2 yaitu: otot polos dan otot lurik. 2.9.
Proses Eliminasi Alvi Eliminasi Alvi bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sphincter
ani.Kedua faktor tersebut dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis . Gerakan kolon meliputi 3 gerakan yaitu gerakan mencampur , gerakan peristaltik , dan gerakan masa kolon. Gerakan masa kolon ini dengan cepat mendorong feses makanan yang tidak dicerna dari kolon ke rectum. Begitu ada feses yang sampai di rectum maka ujung saraf sensorik yang berada pada rectum menjadi regang dan terangsang . Kemudian inplus ini diteruskan ke medulla spinalis. Setelah itu, inplus dikirim ke dua bagian yaitu kortek serebri serta sakral dua dan empat. Inplus dikirim ke korteks serebri agar individu menyadari keinginan buang air besar. Inplus dikirim ke sakral dua dan empat yang selanjutnya dikirim pada sistem saraf simpatis untuk mengatur membuka sphincter ani internal. Terbukanya sphincter ani tersebut menyebabkan banyak feses yang masuk ke dalam rectum. Kemudian terjadi proses defekasi dengan mengendornya sphincter ani eksternal dan tekanan yang mendesak feses bergerak oleh kontraksi otot perut dan diafragma. Sphincter ani eksternal ini merupakan otot rangka , bukan otot polos yang diatur korteks serebri. Keberadaan otot rangka menyebabkan individu dapat mengatur kapan sphincter akan dibuka. Proses Defekasi Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengahpadat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009). Defekasi adalah proses pembuangan tau pengeluaran sisa metabolisme berupa fases dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Waktu defekasi dan jumlah feses bersifat individual . orang dalam keadaan
19
normal,frekuensi buang air besar 1x sehari. Tetapi ada pula yang buang air besar 3 - 4x seminggu. Pola defekasi individu juga bergantung pada bowel training yang dilakukan pada masa kanak-kanak.Umumnya jumlah feses bergantung pada jumlah intake makanan. Namun secara khusus,jumlah feses sangat bergantung pada kandungan serat dan cairan pada makanan yang dimakan. Pola defekasi akan berubah karna adanya konstipasi, fekal infaction, diare, dan inkontinensia. Kondisi ini berpengaruh terhadap konsistensi dan frekuensi BAB. Fisiologi Defekasi. Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kirakira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastrokolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).
Proses defekasi terbagi menjadi dua macam reflex yaitu: 1.
Reflex defekasi intrinsic Reflex ini berawal dari fases yang masuk ke rectum ehingga terjadi
distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltic. Setelah fases sampai anus, secara sistematis sfingter interna relaksasi, maka terjadilah defekasi.
2.
Reflex defekasi parasimpatis Fases yang masuk ke rectum akan merangsang saraf rectum yang
kemudian diteruskan ke jaras spinal. Dari jaras spinal kemudian di
20
kembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rektumyang menyebabkan intensifnya peristaltic, relaksasi sfingter internal, maka terjadilah defekasi. Dorongan fases juga di pengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diaragma, dan kontraksi ototelevator. Defekasi di permudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok. Gas yang di hasikan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24 jam. Jenis gas yang terbanyak adalah CO², metana, H²S, O² dan nitrogen. Fases terdiri atas 75% air dan 2,5% materi padat. Fases normal berwarna kuning kecoklatan karena pengaruh dari mikroorganisme. Konsistensinya lembek namun bebentuk.
2.10. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Alvi. a.
Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
b.
Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalananchyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari chime. c.
Tonus otot
21
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi. Aktivitasnya juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi. Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise), imobilitas atau gangguan fungsi syaraf. d.
Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakitpenyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi e.
Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras f.
Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah
defekasi.
Obat-obatan
tertentu
seperti
dicyclomine
hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang- kadang digunakan untuk mengobati diare g.
Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi
22
proses pengosongan lambung. Di antaranya adalahatony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi. h.
Penyakit
Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor. Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkterani. i.
Gaya hidup
Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara. Pelathan buang air besar pada waktu dini dapat memupuk kebiasaan defekasi pada waktu yang teratur, seperti setiap hari setelah sarapan, atau bisa juga digunakan pada pola defekasi yang ireguler. Ketersediaan dari fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan kebutuhan akan privacy juga mempengaruhi pola eliminasi feses. Klien yang berbagi satu ruangan dengan orang lain pada suatu rumah sakit mungkin tidak ingin menggunakan bedpan karena privacy dan kegelisahan akan baunya. j.
Nyeri
Adanya
nyeri
dapat
mempengarihi
kemampuan/keinginan
untuk
berdefekasi seperti nyeri pada kasus hemoroid dan episiotomi. k.
Kerusakan motorik dan sensorik
Kerusakan pada sistem sensoris dan metoris dapat mempengaruhi proses defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi.hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang belakang ataukerusakan saraf lainnya.
23
No Keadaan 1. Warna
Normal Abnormal Penyebab Bayi : Kuning Putih, hitam / Kurangnya kadar empedu, tar, atau merah perdarahan saluran cerna bagian atas, atau perdarahan saluran cerna bagian bawah. Dewasa : Pucat berlemak Malabsorpsi lemak. coklat Khas fases dan Amis dan Darah dan infeksi. dipengaruhi perubahan bau oleh makanan Lunak dan Cair Diare dan absorpsi kurang. berbentuk.
2.
Bau
3.
Konsistensi
4.
Bentuk
Sesuai diameter rectum
5.
Konstituen
Makanan yang Darah, tidak dicerna, benda bakteri yang mukus, mati, lemak, cacing. pigmen empedu, mukosa usus, air.
2.11.
Kecil, Obstruksi dan peristaltik yang bentuknya cepat. seperti pensil. pus, Internal bleeding, infeksi, asing, tertelan benda, iritasi, atau atau inflamasi.
Ciri-Ciri Alvi Normal
Perhatikan tabel berikut : KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu kecoklatan (obstruksi empedu); pemeriksaan diagnostik menggunakan barium Bayi : kekuningan Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA (lambung, usus halus); diet tinggi buah merah dan sayur hijau tua (spt. Bayam) Merah PSPB (spt. Rektum), beberapa makanan spt bit. Pucat Malabsorbsi lemak; diet tinggi susu dan produk susu dan rendah daging.
24
Konsistensi
Bentuk
Jumlah
Bau
Unsur pokok
Orange atau Infeksi usus hijau Berbentuk, lunak, Keras, kering Dehidrasi, penurunan agak cair / motilitas usus akibat lembek, basah. kurangnya serat, kurang latihan, gangguan emosi dan laksantif abuse. Diare Peningkatan motilitas usus (mis. akibat iritasi kolon oleh bakteri). Silinder (bentuk Mengecil, Kondisi obstruksi rektum rektum) dgn bentuk pensil 2,5 cm u/ orang atau seperti dewasa benang Tergantung diet (100 – 400 gr/hari) Aromatik : Tajam, pedas Infeksi, perdarahan dipenga-ruhi oleh makanan yang dimakan dan flora bakteri. Sejumlah kecil Pus Infeksi bakteri bagian kasar makanan yg tdk Mukus Konsidi peradangan dicerna, potongan bak-teri yang Parasit Perdarahan mati, sel epitel, gastrointestinal lemak, protein, Darah unsur-unsur Malabsorbsi kering cairan Lemak dalam pencernaan jumlah besar Salah makan (pigmen empedu dll) Benda asing
a) Karakteristik feses normal 1) Konsistensi Secara normal feses memiliki bentuk , tetapi lembek karena mengandung 75% air dan 25% sisa nya berupa zat ampas. 2) Permukaan feses Permukaan feses yang normal sesuai dengan permukaan rectum. Abnormalitas permukaan feses menunjukkan adanya kelainan pada rectum.
25
3) Bau Karakteristik bau feses tidak menyenangkan. Bau cenderung berfariasi tergantung dari makanan yang di konsumsi. 4) Lemak dan protein Secara normal terdapat dalam jumlah sedikit dalam feses jumla ini bergantung pada kandungan zat tersebut dalam makanan yang di konsumsi.
b) Karakteristik feses abnormal 1) Konsistensi Feses dikatakan abnormal bila bentuknya cair atau keras. Feses yang encer mengandung air lebih dari 75% yang disebabkan karena sedikit air dan zat makanan yang di absorbsi sepanjang kolon oleh karena chime terlalu cepat bergerak di kolon. Feses yang keras mengandung sedikit air dan biasanya sulit untuk dikeluarkan sehingga menimbulkan nyeri saat defekasi. 2) warna Warna feses yang tidak normal merupakan indikasi adanya gangguan pada system
pencernaan. Feses yang warnanya sangat
pucat mungkin karena adanya penyakit pada organ empedu. Feses berwarna merah dapat diakibatkan oleh adanya pendarahan pada rectum dan anus. Feses berwarna kehitaman menunjukkan terjadinya pendarahan pada saluran pencernaan. Perubahan warna feses dapat pula akibat pengaruh makanan ataupun obat-obatan tertentu. 3) Kandungan Feses mengandung mucus atau lemak yang berlebihan, darah feses, organisme pathogen, dan atau parasit. 2.12.
Gangguan Eliminasi Alvi
1. Konstipasi Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan
26
mengejang. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap. A.Tanda klinis a. Adanya feses yang keras b. Defekasi yang kurang dari 3 kali seminggu c. Menurunnya bising usus d. Adanya keluhan dari rektum e. Nyeri saat mengejan dan defikasi f. Adanya perasaan masih da sisa feses
B. Kemungkinan penyebab a. Defekpersarafan: cedera
kelemahan
pelvis,
imobilitas
karena
serebrospinalis, CVA, dll.
b. Pola defekasi yang tidak teratur c. Nyeri saat defekasi karena hemeroid d. Menurunnya peristaltik karena stres psikologis e. Mengguna obat seperti antasida f. Proses menua Penyebabnya : b.
Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain-lain.
c.
Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang.
d.
Meningkatnya stress psikologik. Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama.
e.
Obat-obatan : kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks BAB hilang.
f.
Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga menimbulkan konstipasi.
27
g.
Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor.
h.
Impaction Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar, konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya : tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan nyeri rektum.
2. Diare Diare merupakan buang air besar (BAB) sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan buang air besar (BAB). A. Tanda klinis a. adanya pengeluaran feses cair b. frekuensi lebih dari 3 kali c. nyeri/kram abdomen d. bising usus meningkat B. Kemungkinan penyebab a. mengabsorbsi atau inflamansi proses infeksi b. peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme c. efek tindakan pembedahan usus d. efek penggunaan obat e. stres psikologis 3. Inkontinensia fecal
28
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
A. Tanda klinis Penguaran feses yang tidak di kehendaki B. Kemungkinan penyebab a. gangguan sfingter rektal akibat cedera anus,pembedahan,dll b. disfensi rektum berlebihan c. kurangnya kontrol sfingter akibat cedera medula spinalis,dll d. kerusakan kognitif 4. Flatulens Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol. 5. Hemoroid Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadangkadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi. 29
6. Impaksi fekal Massa feses yang keras di lipatan rektun yang di akibatkan oleh retensi dan akumulasi material feses yang berkepanjangan.
2.13.
Fokus pengkajian Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kalainan,
perawat melakukan pengkajian riwayat keparawatan, pengkajian fisik abdomen, menginfeksi karakteristik feses, dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang berhubungan. RIWAYAT KEPERAWATAN. Riwayat keperawatan memfasilitasi peninjauan ulang pola dan kebiasaan defekasi klien. Gambaran yang klien katakan sebagai “ normal “ atau “ tidak normal “ mungkin berbeda dari faktor dan kondisi yang cenderung meningkatkan eliminasi normal. Dengan mengidentifikasi pola normal dan abnormal, kebiasaan, dan persepsi klien tentang eliminasi fekal memungkinkan perawat menentukan masalah klien. Banyak riwayat
30
keperawatan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor – faktor yang mempengaruhi eliminasi. 1. Penentuan pola eliminasi klien yang biasa. Termasuk frekuensi dan waktu defekasi dalam sehari. Pengkajian terkini tentang pola defekasi klien yang akurat dapat ditingkatkan dengan meminta klien atau tenaga kesehatan melingkapi lembar pencatatan eliminasi fekal atau defekasi (Doughty, 1992). Seperti pada penyuluhan klien, perawat harus memastikan bahwa individu yang melengkapi lembaran pencatatan memahami informasi yang harus ia tulis. 2. Identifikasi rutinitas yang dilakukan untuk meningkatkan eliminasi normal. Contoh rutinitas tersebut adalah konsumsi cairan panas, penggunaan laksatif, pengkonsumsian makanan tertentu, atau mengambil waktu untuk defekasi selama kurun waktu tertentu dalam satu hari. 3. Gambaran setiap perubahan terbaru dalam pola eliminasi. Informasi ini mungkin merupakan informasi yang paling penting karena pola eliminasi bervariasi dan klien dapat dengan sangat mudah mendeteksi adanya perubahan. 4. Deskripsi klien tentang karakteristik feses. Perawat menentukan warna khas feses, konsistensi feses yang biasanya encer atau padat atau lunak atau keras. 5. Riwayat diet. Perawat menetapkan jenis makanan yang klien inginkan dalam sehari. Perawat menghitung penyajian buah – buahan, sayur –sayuran, sereal, dan roti. 6. Gambaran asupan cairan setiap hari. Hal ini meliputi tipe dan jumlah cairan. Klien mungkin harus memperkirakan jumlah cairan dengan menggunakan cara pengukuran yang biasa digunakan dirumah. 7. Riwayat olahraga. Perawat meminta klien menjelaskan tipe dan jumlah olahraga yang dilakukannya setiap hari secara spesifik.
31
8. Pengkajian penggunaan alat bantuan buatan dirumah. Perawat mengkaji apakah klien menggunakan enema, laksatif atau makanan khusus sebelum defekasi 9. Riwayat pembedahan atau penyakit yang mempengaruhi saluran GL. Informasi ini seringkali dapat membantu menjelaskan gejalagejala yang muncul. 10. Keberadaan dan status diversi usus. Apabila klien memilki ostomi, perawat mengkaji frekuensi drainase feses, karakter feses, penampilan dan kondisi stoma (warna, pembengkakan, dan iritasi), tipe peralatan yang digunakan, dan metode yang digunakan untuk mempertahankan fungsi ostomi. 11. Riwayat pengobatan. Perawat menanyakan apakah klien mengonsumsi obat-obatan (seperti laksatif, antasid, suplemen zat besi dan analgesik) yang mungkin mengubah defekasi atau karakteristik feses 12. Status emosional. Emosi klien dapat mengubah frekuensi defekasi secara bermakna. Selama pengkajian, observasi emosi klien, nada suara, dan sikap yang dapat menunjukkan perilaku penting yang mengindikasikan adanya stres. 13. Riwayat sosial. Klien mungkin memiliki banyak aturan dalam kehidupannya. Tempat klien tinggal dapat mempengaruhi kebiasaan klien dalam defekasi dan berkemih. Apabila klien tinggal didalam rumah yang ditempati oleh beberapa orang, berapa banyak kamar mandi yang tersedia? Apakah klien memilki kamar mandi sendiri atau apakah mereka perlu menggunakan kamar
mandi
menyesuaikan
bersama-sama waktu
dalam
yang
menyebabkan
menggunakan
kamar
mereka
harus
mandi
untuk
mengakomodasi kebutuhan orang lain yang tinggal bersama mereka? Apakah klien tinggal sendiri, apakah mereka mampu berjalan ke toilet dengan aman? Apakah klien tidak dapat defekasi secara mandiri, perawat menentukan orang yang akan membantu klien dan menentukan caranya. 14. Mobilitas dan ketangkasan.
32
Mobilitas dan ketangkasan klien perlu di evaluasi untuk menentukan perlu tidaknya peralatan atau personel tambahan untuk membantu klien. PENGKAJIAN FISIK. Perawat melakukan pengkajian fisik sistem dan fungsi tubuh yang kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eliminasi. Pemeriksaan fisik yang terfokus pada evaluasi. PARAMETER STRATEGI PENGKAJIAN. Mobilitas Pada klien yang dapat berjalan. Observasi cara klien berjalan; tetapakan adanya kebutuhan penggunaan peralatan bantuan atau seseorang untuk membantu klien. Pada klien yang menggunakan kursi roda. Catat tingkat kebutuhan klien akan bantuan untuk berpindah dari kursi ke commode
atau
ke
kamar
mandi
Ketangkasan Minta klien mendemonstrasikan pergerakan tangan yang akan dibutuhkan untuk memasukan supositoria atau melakukan stimulasi secara manual ( mis, memegang sebuah pensil, memutar jari telunjuk. Sensasi anorektal Pada klien yang mengalami rembesan feses tanpa merasa ingin defekasi. Masukan kateter urine dengan balon berukuran 30 cc ke dalam rektum; gembungkan balon dengan perlahan dan instruksikan klien dengan memberitahu Anda jika ia merasakan distensi rektum. Kegagalan klien untuk berespon terhadap balon kateter berukuran 30 cc ini mengindikasikan adanya kerusakan fungsi. Fungsi sfingter anus Inspeksi anus saat beristirahat. Kemudian lakukan pemeriksaan secara manual sambil meminta klien mengontraksi dan merelaksasikan
sfingternya
yang
diikuti
dengan
valsalva
manuver.
Ketidakmampuan untuk merasakan distensi rektum, mengontraksikan anus secara sadar atau mengedan merupakan indikasi terjadinya kerusakan fungsi. Kontraktilitas otot abdomen Instruksikan klien untuk mengedan (atau meminta klien mendorong tangan pemeriksa) sementara mempalpasi
33
dinding abdomen dengan perlahan. Periksa keberadaan, volume dan konsistesi feses di dalam rektum. Keberadaan feses dalam jumlah besar merupakan indikasi penurunan sensasi dan atau gangguan pada proses pengosongan usus. Mulut. Pengkajian meliputi inspeksi gigi, lidah, gusi klien. Gigi yang buruk atau struktur gigi yang buruk mempengeruhi kemampuan mengunyah. Abdomen. Perawat menginspeksi keempat kuadran abdomen untuk melihat warna, bentuk, kesimetrisan, dan warna kulit. Inspeksi juga mencakup memeriksa adanya masa, gelombang peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh darah vena, stoma dan lesi. Dalam kondisi normal, gelombang peristaltis tidak terlihat. Namun, gelombangperistaltik yang terlihat dapat merupakan tanda adanya obstruksi usus. Distensi abdomen terlihat sebagai suatu tonjolan abdomen ke arah luar yang menyeluruh. Gas di dalam usus, tumor berukuran besar, atau cairan berada dalam rongga peritonium dapat menyebabkan distensi. Distensi abdomen terasa kencang dan kulit tampak tegang, seakan direnggangkan. Perawat mengauskultasi abdomen dengan menggunakan stetoskop untuk mengkaji bising usus disetiap kuadran. Bising usus normal terjadi setiap 5-15 detik dan berlangsung selama ½ sampai beberapa detik. Sambil mengauskultasi, perawat memeperhatikan karakter dan frekuensi bising usus. Peningkatan nada hentakan pada bising usus atau bunyi “tinkling” (bunyi gemerincing) dapat terdengar, jika terjadi distensi. Tidak adanya bising usus atau bising usus yang hipoaktif (bising usus kkurang dari lima kali per menit) terjadi pada obstruksi usus dan gangguan inflamasi. Perawat mempalpasi abdomen untuk melihat adanya masa atau area nyeri tekan. Penting bagi klien untuk rileks. Ketegangan otot-otot abdomen mengganggu hasil palpasi organ atau masa yang berada dibawah abdomen
tersebut.
Perkusi mendeteksi lesi, cairan, atau gas didalam abdomen. Pemahaman
34
tentang lima bunyi perkusi juga memungkinkan identifikasi struktur abdominal yang berada dibawah abdomen. Gas atau flatulen menghasilkan bunyi timpani. Masa, tumor dan cairan menghasilkan bunyi tumpul dalam perkusi. Rektum. Perawat menginspeksi daerah disekitar anus untuk melihat adanya lesi, perubahan warna, inflamasi dan hemoroid. Kelainan harus dicatat dengan cermat. Untuk memeriksa rektum, perawat melakukan palpasi dengan hati-hati. Setelah mengenakan sarung tangan sekali pakai, perawat mengoleskan lubrikan ke jari telunjuk. Kemudian perawat meminta klien mengedan dan saat klien melakukannya, perawat memasukan jari telunjuknya ke dalam sfingter anus yang sedang relaksasi menuju umbilikus klien. Sfingter biasanya berkonstriksi mengelilingi jari perawat. Perawat harus mempalpasi semua sisi dinding rektum klien dengan metode tertentu untuk mengetahui adanya nodul atau tekstur yang tidak teratur. Mukosa rektum normalnya lunak dan halus. Mendorong jari telunjuk dengan paksa ke dinding rektum atau memasukan jari telunjuk yang terlalu jauh dapat menyebabkan ketidaknyamanan. 2.14.
Diagnosa keperawatan
Label diagnostik masalah eliminasi alvi menurut NANDA meliputi :
Inkontinensia alvi
Konstipasi
Resiko terjadi konstipasi
Konstipasi yang dirasakan
Diare
(aplikasi klinis dari diagnosa ini lihat pada pedoman diagnosa NANDA yang meliputi tujuan dan intervensi) Masalah eliminasi alvi dapat mempengaruhi banyak area fungsi manusia dan dapat menjadi etiologi diagnosa NANDA yang lain, seperti :
35
Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan a. Diare berkepanjangan b. Hilangnya cairan abnormal melalui ostomy Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan a. Diare berkepanjangan b. Inkontinensia alvi Harga diri rendah berhubungan dengan a. Ostomy b. Inkontinensia usus c. Perlunya bantuan untuk toileting Defisit
pengetahuan
tentang bowel
training,
berhubungan dengan kurangnya pengalaman Ansietas berhubungan dengan a. Hilangnya kontrol eliminasi alvi akibat ostomy b. Respon lain terhadap ostomy
36
manajemen
ostomy
BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan Eliminasi alvi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. ( Tarwoto, 2004, 48). Defekasi adalah proses pembuangan tau pengeluaran sisa metabolisme berupa fases dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengahpadat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi: usia, aktivitas, obat-obatan, gaya hidup, tonus otot, cairan, pola diet, penyakit, nyeri, kerusakan sensorik dll. Gangguan eliminasi alvi: hemoroid, diare, impaksi fekal, flatulens, inkontinansial fecal.
37
DAFTAR PUSTAKA Perry potter.2009.Fundamental Keperawatan.Edisi 7.Jakarta:Salemba Medika. Tim Penulis Poltekkes Jakarta 3.2009.Panduan Pratikum KDM 1.Jakarta:Salemba Medika. Asmadi.2008.Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.Jakarta:Salemba Medika. http://id.pdfcoke.com/doc/91801070/jurnal http://spink-master.blogspot.com/2011/09/makalah-eliminasialvibab.html?zx=24e0811fd2deea63 http://www.pdfcoke.com/doc/29388064/LP-ELIMINASI http://nursing-academy.blogspot.com/2011/09/eliminasi-alvi.html http://perawatsupri.wordpress.com/2008/07/07/asuhan-keperawatan-denganmasalah-eliminasi-alvi/ http://id.pdfcoke.com/doc/75341615/Gangguan-eliminasi-fekal
38