MAKALAH KEPERAWATAN MATERNITAS I ADAPTASI FISIOLOGI DAN PSIKOLOGI POST PARTUM
OLEH FG 3 : Triana Ferdianingsih (NPM 1806270192) Tika Muthia (NPM 1806270186) Yenni Maryati (NPM 1806270234)
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2019
1
2.1 Pengertian Masa Nifas Post partum atau masa nifas adalah masa sesudahnya persalinan terhitung dari saat selesai persalinan sampai pulihnya kembali alat kandungan ke keadaan sebelum hamil dan lamanya masa nifas kurang lebih 6 minggu (Rahayu,2016). Masa post partum sering juga disebut sebagai masa nifas (puerperium) yang didefinisikan sebagai masa setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat reproduksi kembali seperti keadaan sebelum hamil dan berlangsung selama kurang lebih enam minggu (Pillitteri, Adele, 2007). Pengertian post partum menurut Durham R.F. & Chapman L (2010) yaitu masa 6 minggu setelah bayi lahir dengan perubahan fisiologis kembali ke keadaan sebelum hamil. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa periode post partum adalah enam minggu setelah bayi lahir yang diikuti dengan perubahan fisiologis tubuh kembali ke keadaan sebelum hamil.
2.2 Periode Masa Nifas Periode post partum adalah masa 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini disebut puerperium atau masa trimester keempat kehamilan. Peristiwa fisiologis penting yang terjadi selama masa nifas meliputi kembalinya organ reproduksi dan kadar hormon wanita ke sekitar keadaan sebelum hamil (Bobak, I.M., Lowdermilk D.L., & Jensen M.D., 2005). Periode
postpartum
memiliki
tiga
fase
yang
berbeda
tetapi
berkelanjutan. Periode awal atau akut terjadi pada 6-12 jam pertama postpartum. Ini adalah masa perubahan yang cepat dengan potensi krisis seperti perdarahan postpartum, inversi uterus, emboli cairan ketuban, dan eklampsia. Fase kedua adalah periode postpartum subakut, yang berlangsung 2-6 minggu. Selama fase ini, tubuh mengalami perubahan besar dalam hal hemodinamik, pemulihan genitourinari, metabolisme, dan status emosional. Meskipun demikian, perubahannya tidak terlalu cepat dibandingkan fase fase
2
postpartum akut dan pasien umumnya mampu mengidentifikasi masalah. Fase ketiga adalah periode postpartum yang tertunda, bisa bertahan hingga 6 bulan. Perubahan selama fase ini sangat bertahap, dan jarang terjadi patologi. Ini adalah waktu pemulihan tonus otot dan jaringan ikat ke keadaan sebelum hamil (Romano, 2010). Hal ini juga dikemukakan oleh Lowdermilk (2016) bahwa periode masa nifas antara lain: a.
Immadiately Postpartum: masa kepulihan dalam 24 jam.
b.
Early postpartum: terjadi di minggu pertama
c.
Late postpartum: terjadi di minggu kedua sampai ke enam
2.3 Perubahan Fisiologis 2.3.1 Sistem Reproduksi A. Uterus I.
Involusi Menurut Rahayu (2016) proses involusi merupakan proses kembalinya uterus ke kondisi sebelum kehamilan akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Proses ini dimulai setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Pada periode post partum terjadi penurunan kadar estrogen dan progesteron yang menyebabkan terjadinya autolisis atau perusakan
secara
langsung
jaringan
hipertrofi
yang
berlebihan, dan sel-sel tambahan menetap selama masa hamil. Inilah yang merupakan penyebab dari ukuran uterus sedikit lebih besar setelah hamil. Perubahan-perubahan normal pada uterus selama postpartum adalah sebagai berikut (Bobak, I.M., Lowdermilk D.L., & Jensen M.D., 2005)
Involusi uteri Plasenta lahir
Tinggi fundus uteri Setinggi pusat
Berat uterus 1000 gram
Diameter uterus 12,5 cm
3
7 hari (minggu
Pertengahan pusat
500 gram
7,5 cm
pertama)
dan simpisis
14 hari (minggu
Tidak teraba
350 gram
5 cm
Normal
60 gram
2,5 cm
kedua) 6 minggu
Sumber: Klossner, N.J & Hatfield, N.T. (2010). Introductory Maternitiy & Pediatric Nursing 2th Ed. Secara bertahap, desidua mengelupas, bentuk jaringan endometrium baru, dan daerah plasenta sembuh tanpa meninggalkan
jaringan
parut
fibrosa.
Sehari
setelah
melahirkan, fundus ditemukan 1 cm di bawah umbilikus. Proses normal dari involusi setelahnya adalah uterus turun sekitar 1 keping (1 cm) per hari sampai telah turun di bawah tingkat tulang kemaluan dan tidak lagi bisa dipalpasi. Ini terjadi pada hari ke 10 pascapersalinan (Klossner, 2010).
4
Faktor yang mendorong kontraksi dan involusi uterus seperti menyusui dapat merangsang pelepasan oksitosin dari kelenjar hipofisis posterior wanita sedangkan oksitosin merangsang rahim untuk berkontraksi. Ambulasi dini dan nutrisi yang tepat juga dapat menumbuhkan involusi normal. Faktor yang dapat menghambat atau menunda involusi uterus. - Kandung kemih yang penuh menghambat kontraksi uterus dengan mendorong rahim ke atas dan menggesernya. Contohnya
termasuk
kehamilan
multifetal
dan
hidramnion. - Kelelahan ibu, analgesik berlebihan, dan penggunaan oksitosin selama persalinan dan melahirkan juga dapat menghambat kontraksi efektif rahim. - Fragmen plasenta yang tertahan, infeksi, dan multiparitas besar, lima kehamilan atau lebih. II. Kontraksi uterus Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterine yang sangat besar. Hormon estrogen yang dilepas oleh kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu homeostasis. Selama 1-2 jam pertama intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi tidak teratur (Bobak, I.M., Lowdermilk D.L., & Jensen M.D., 2005). Pada intinya jika teraba bulat dan keras berarti kontraksi uterus baik dan kuat. Sebaliknya jika teraba lunak maka uterus lemah atau tidak baik. III. Afterpains
5
Pada primigravida dan paragravida, tonus uterus akan meningkat sehingga fundus pada umumnya akan tetap kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami multigravida dan paragravida dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang awal masa nifas (Bobak, I.M., Lowdermilk D.L., & Jensen M.D., 2005). Rasa mules/nyeri abdomen
merupakan
Menyusui
merangsang
fisiologis nyeri,
1-3
hari
menyebabkan
postpartum. pelepasan
oksitosin, IV. Involusi Plasenta Segera setelah plasenta & selaput amnion keluar terjadi vasokontriksi
&
trombosis
untuk
mencegah
tempat
perlekatan plasenta melebar. Pertumbuhan endometrium menyebabkan terlepasnya jaringan nekrotik & mencegah timbulnya jaringan scar. Regenerasi endometrium akan selesai pada minggu ke 3 post partum sedangkan pada tempat plasenta akan pulih pada minggu ke 6 (Rahayu, 2016). V. Lochia Menurut Rahayu (2016) lochia terbagi atas: - Rubra: 1-2 hari PP, darah, sel desidua, sel trofoblastik - Serosa: 3-4 hari, darah lama, serum, leukosit, sisa jaringan, darah menyembur, warna merah muda/cokelat - Sanguolenta: antara 5-9 hari, warna cokelat sampai kuning - Alba: 10 hari keatas, leukosit, desidua, sel epitel, mukus, serum dan bakteri warna kuning sampai putih - Purulenta: pus Menurut Klossner (2010) rahim harus melepaskan lapisannya yang membantu menyehatkan kehamilan. Darah, lendir, jaringan, dan sel darah putih menyusun keluarnya uterus, yang dikenal sebagai lochia. Lochia terbagi atas:
6
Jenis lochea
Ciri-ciri
Waktu
- Lochia rubra: Terjadi selama 3 sampai 4 hari pertama; dari jumlah kecil hingga sedang; sebagian besar terdiri dari darah; berwarna merah gelap; dan memiliki bau busuk. - Lochia serosa: Terjadi selama hari 4 hingga 10; berkurang menjadi sedikit; dan mengambil warna kecoklatan atau merah muda. - Lochia alba: Terjadi setelah hari ke 10; dan menjadi putih atau kuning pucat karena pendarahan telah berhenti dan debit sekarang sebagian besar terdiri dari sel darah putih Menurut Lowdermilk (2016) lochia terbagi menjadi: Jenis lochea
Ciri-ciri
Waktu
rubra
Darah, tropoblastik debris, pink atau coklat
3-4 hari
serosa
Darah tua, serum,leukosit, jaringan debris
22-27 hari
Alba
Kuning atau putih, leukosit, sel desidua, sel Hari ke 10 setelah epitel, mukus, serum, bakteri
PP-6minggu setelah PP
B. Ovarium & Serviks Segera setelah melahirkan, serviks akan menjadi lembek, kendor, terkulai, dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan oleh korpus uteri yang terus berkontraksi sedangkan serviks tidak berkontraksi. Sehingga perbatasan antara korpus dan serviks uteri akan berbentuk seperti cincin. Warna serviks menjadi merah kehitaman, karena daerah ini penuh dengan pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa msih dapat dimasukkan 2-3 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk. (Rahayu, 2016). Oleh karena hiperplasi dan retraksi
7
serviks, maka robekan serviks dapat sembuh. Selesai masa involusi, ostium eksternum akan tampak lebih besar, tetapi akan tampak retakan dan robekan pada pinggirnya (Bobak, I.M., Lowdermilk D.L., & Jensen M.D., 2005). Menurut Klossner (2010) ovulasi dapat terjadi segera setelah 3 minggu setelah melahirkan. Menstruasi biasanya dimulai dalam 6 hingga 8 minggu untuk wanita yang tidak menyusui. Namun, wanita menyusui mungkin tidak melanjutkan haid selama 18 bulan setelah melahirkan. Meskipun laktasi dapat menekan ovulasi, tetapi KB dapat diandalkan. Bagi wanita dianjurkan untuk menggunakan beberapa jenis alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. C. Vulva, Vagina & Perineum Estrogen pascapartum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat regang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum hamil, enam sampai delapan minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu keempat, walaupun tidak akan semenonjol pada wanita nulipara. Disparaeunia (nyeri saat coitus) sampai fungsi ovarium kembali normal. Himen akan ruptur lalu menjadi karunkulae mirtiformis. Segera setelah melahirkan, dinding vagina halus. Rugae mulai kembali ke dinding vagina setelah sekitar 3 minggu. Diameter introitus secara bertahap menjadi lebih kecil oleh kontraksi, tetapi jarang kembali ke ukuran sebelum hamil (Berens, 2007 dalam Rahayu, 2016) Labia dan perineum mungkin edema setelah melahirkan dan mungkin tampak memar, terutama setelah persalinan yang sulit. Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi
8
tertentu. Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir masa nifas dengan berlatih terus menerus (Bobak,Lowdermilk,Jensen, 2005) D. Payudara Menurut Rahayu (2010) payudara mencapai maturitas penuh selama masa nifas kecuali jika laktasi disupresi. Payudara menjadi lebih besar, lebih kencang dan mula-mula nyeri tekan sebagai reaksi terhadap eprubahan status hormonal dan dimulainya laktasi. Perubahan-perubahan payudara (laktasi) pada masa hamil: - Proliferasi jaringan untuk kelenjar-kelenjar dan alveolus mamma, lemak. - Pada ductus lactiferus terdapat cairan yang kadang-kadang dapat dikeluarkan berwarna kuning (kolostrum) - Hipervaskularisasi terdapat pada permukaan dan bagian dalam mamma. - Kolostrum, sekresi payudara yang kaya antibodi yang merupakan awal dari ASI, biasanya diekskresikan oleh payudara pada minggu-minggu terakhir kehamilan dan terus diekskresikan dalam beberapa hari pertama pasca persalinan. Kadar prolaktin meningkat ketika kadar estrogen dan progesteron turun setelah melahirkan plasenta. ASI biasanya masuk pada hari ketiga. (Klossner, 2016)
2.3.2 Sistem Perkemihan Perubahan hormonal pada saat hamil (kadar steroid yang tinggi) menyebabkan peningkatan fungsi ginjal, sebaliknya penurunan kadar steroid saat setelah melahirkan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan
9
setelah melahirkan. Diperlukan 2-8 minggu agar hipotonia pada kehamilan serta dilatasi ureter dan pelvis ginjal normal. Urine dalam jumlah besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam sesudah melahirkan. (Cunningham, dkk; 1993 dalam Bobak, 2005). Perubahan sistem perkemihan meliputi: A. Komponen Urin Pada masa kehamilan normal, glukosa dan asam amino tidak diserap secara efisien karenanya menimbulkan glikosuria (hingga 300 mg/ hari) (Datta, 2010). Saat setelah melahirkan, glikosuria ginjal yang diinduksi oleh kehamilan akan menghilang. BUN (Blood Urea Nitrogen) akan meningkat akibat otolisis uterus yang berinvolusi. Pada sekitar 50 % wanita, pemecahan kelebihan protein didalam sel otot uterus juga menyebabkan proteinuria ringan (+1) selama satu sampai dua hari setelah melahirkan. B. Diuresis Post Partum Dalam 12 jam post partum Ibu mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun dijaringan selama ia hamil. Salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang teretensi selama masa hamil ialah diaphoresis selama dua sampai tiga hari setelah melahirkan. Kehilangan cairan melalui keringat dan peningkatan jumlah urine menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5 kg selama masa post partum. C. Uretra dan Kandung Kemih Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses melahirkan, dinding kandung kemih juga dapat mengalami hiperemis dan edema. Kombinasi trauma akibat melahirkan dan efek konduksi anestesia menyebabkan keinginan untuk berkemih menurun. Penurunan keinginan berkemih, seiring diuresis post partum, bisa menyebabkan distensi kandung kemih. Distensi kandung kemih ini dapat menyebabkan perdarahan berlebih karena menghambat kontraksi uterus. Apabila terjadi distensi kandung
10
kemih dalam waktu lama, dinding kandung kemih dapat mengalami kerusakan lebih lanjut (atoni). Dengan mengosongkan kandung kemih secara adekuat, tonus kandung kemih akan pulih kembali dalam lima sampai tujuh hari setelah bayi lahir (Bobak,Lowdermilk,Jensen, 2005). 2.3.3 Sistem Gastrointestinal A. Motilitas Penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan anesthesia juga bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas kembali ke keadaan normal. B. Defekasi Buang air besar spontan bisa tertunda selama dua sampai tiga hari post partum. Keadaan ini disebabkan oleh penurunan tonus otot setelah melahirkan, kurang asupan makan atau dehidrasi. Ibu juga merasa takut untuk buang air besar karena nyeri di perineum akibat episiotomy, laserasi atau hemoroid. Kebiasaan buang air akan kembali teratur setelah tonus dan motilitas otot traktus cerna kembali normal (Bobak,Lowdermilk,Jensen, 2005). 2.3.4 Sistem Kardiovaskular A. Volume Darah Kehilangan darah merupakan akibat penurunan volume darah yang cepat. Selain itu, perpindahan normal cairan tubuh juga menyebabkan volume darah menurun dengan lambat. Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume sebelum hamil. Tiga perubahan fisiologis post partum yang melindungi wanita diantaranya : I.
Hilangnya sirkulasi uteroplasenta yang mengurangi ukuran pembuluh darah maternal 10-15 %
11
II.
Hilangnya fungsi endokrin plasenta yang menghilangkan stimulus vasodilatasi
III.
Terjadinya mobilisasi cairan ekstravaskular yang disimpan selama wanita hamil. Oleh karena itu, syok hipovolemik biasanya tidak terjadi pada kehilangan darah normal.
B. Curah Jantung Denyut jantung, volume sekuncup, dan curah jantung meningkat sepanjang masa hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini akan meningkat lebih tinggi lagi selama 30 sampai 60 menit karena darah yang biasanya melintasi sirkuit uteroplasenta tibatiba kembali ke sirkulasi umum. Nilai ini meningkat pada semua jenis kelahiran atau semua pemakaian konduksi anesthesia. Nilai curah jantung kembali normal 8 sampai 10 minggu setelah wanita melahirkan (Bowes, 1991 dalam Bobak, 2005) C. Tanda-Tanda Vital Beberapa perubahan pada tanda-tanda vital bisa terlihat, jika wanita dalam keadaan normal, peningkatan kecil sementara, baik peningkatan tekanan darah sistol atau diastole dapat timbul dan berlangsung selama sekitar empat hari setelah wanita melahirkan (Bowes, 1991 dalam Bobak, 2005). Fungsi pernapasan kembali ke fungsi saat wanita tidak hamil pada bulan keenam setelah wanita melahirkan. D. Komponen Darah I.
Hematrokrit dan hemoglobin Selama 72 jam pertama setelah bayi lahir, volume plasma yang hilang lebih besar daripada sel darah yang hilang. Penurunan volume plasma dan peningkatan sel darah merah dikaitkan dengan peningkatan hematokrit pada hari ketiga sampai hari ketujuh post partum. Waktu yang pasti kapan volume sel darah merah kembali ke nilai sebelum hamil tidak di ketahui, tetapi volume ini sudah berada dalam batas
12
normal saat dikaji 8 minggu setelah melahirkan (Bowes, 1991 dalam Bobak, 2005). II. Nilai Leukosit Leukositosis umum terjadi 10-12 hari pertama setelah melahirkan. Neutrofil merupakan sel darah putih yang paling banyak. III. Faktor Koagulasi Faktor-faktor pembekuan dan fibrinogen biasanya meningkat selama masa kehamilan dan tetap meningkat pada awal puerperium.
Keadaan
hiperkoagulasi
dan
imobilitas
meningkatkan resiko terjadinya tromboembolisme. Faktor I, II, VIII, IX, X baru akan menurun dalam beberapa hari post partum sampai mencapai nilai sebelum hamil. 2.3.5 Sistem Endokrin A. Hormon Plasenta Selama periode post partum, terjadi perubahan hormon yang besar. Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormonhormon yang diproduksi organ tersebut. Penurunan hormon Human Placental Lactogen (HPL), estrogen, kortisol serta placental enzyme insulin membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar gula darah menurun selama masa puerperium. Kadar estrogen dan progesterone menurun drastis setelah plasenta keluar, kadar terendahnya dicapai kira-kira satu minggu post partum. Pada wanita yang tidak menyusui kadar estrogen mulai meningkat pada minggu kedua setelah melahirkan dan lebih tinggi daripada wanita yang menyusui pada post partum hari ke-17 (Bowes, 1991 dalam Bobak, 2005). B. Hormon Hipofisis dan Fungsi Ovarium Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan tidak menyusui berbeda-beda.Kadar prolactin serum yang tinggi pada wanita menyusui berperan dalam menekan ovulasi.
13
Karena kadar Follicle Stimulating Hormone (FSH) terbukti sama pada wanita menyusui dan tidak menyusui, maka disimpulkan bahwa ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin mengkat. Pada wanita menyusui, kadar prolactin tetap tinggi sampai minggu keenam setelah melahirkan. Pada wanita tidak menyusui, ovulasi terjadi lebih dini, yakni 27 hari setelah melahirkan. Pada wanita menyusui, waktu rata-rata terjadinya ovulasi sekitar 190 hari setelah melahirkan. 2.3.6 Sistem Muskuloskeletal Apabila
wanita
berdiri
dihari
pertama
setelah
melahirkan,
abdomennya akan menonjol dan membuat wanita tersebut seperti masih hamil. Diperlukan waktu sekitar enam minggu untuk dinding abdomen kembali kekeadaan sebelum hamil. Pada keadaan tertentu, otot-otot dinding abdomen memisah, suatu keadaan yang dinamakan Diastasis Recti. Diastasis recti adalah kondisi di mana otot-otot pada perut ibu mengalami pemisahan yang disebabkan oleh tekanan yang terjadi dalam perut. Seiring berjalannya waktu, tekanan rahim ini akan semakin kuat dan menyebabkan otot-otot rektus abdominis melebar dan menghasilkan jarak di antaranya. Kondisi ini dapat terjadi pada trimester ketiga maupun setelah persalinan. Setelah melahirkan, hormon dalam tubuh akan kembali ke kondisi sebelum hamil, namun jaringan pada perut telah kehilangan elastisitasnya. Jika ibu mengalami diastasis recti, perut ibu tak lagi punya kemampuan untuk kembali pada posisinya semula, dikarenakan pelebaran yang berlebihan selama kehamilan. Diyakini 70 % ibu hamil pasti mengalami pembesaran perut ini dengan derajat keparahan yang beraneka ragam. Terjadinya pembesaran perut ini didukung oleh beragam faktor yang memicu risiko, di antaranya: Sebelum hamil I. II.
Memiliki riwayat kehamilan dengan diaktasis recti sebelumnya Kegemukan
14
III.
Sudah beberapa kali hamil
IV.
Memiliki otot perut yang lemah
Saat hamil I.
Ibu sering kali melakukan aktivitas fisik yang salah seperti situp, push-up, dan kegiatan lain yang menyertakan tangan, lutut dan otot perut
II. III.
Memiliki jarak kehamilan yang dekat Mengandung bayi kembar
Beberapa terapi fisik dan gerakan yoga dapat membantu memperbaiki kondisi perut. Pada kondisi yang parah, tindakan medis operasi dapat dilakukan. Pada sendi stabilisasi sendi lengkap pada minggu keenam sampai kedelapan setelah wanita melahirkan. Sedangkan panggul kembali normal setelah 4 hingga 12 minggu post partum. 2.3.7 Sistem Integumen Kloasma yang muncul pada masa kehamilan biasanya menghilang saat kehamilan berakhir. Hiperpigmentasi di areola dan linea nigra tidak menghilang seluruhnya. Pada beberapa wanita, pigmentasi pada daerah tersebut akan menetap. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha dan panggul mungkin memudar tetapi juga tidak hilang seluruhnya. Kelainan pembuluh darah seperti spider angioma (nevi), eritema palmar biasanya berkurang sebagai respon terhadap penurunan kadar estrogen setelah kehamilan berakhir tetapi pada beberapa wanita spider nevi menetap (Bobak,Lowdermilk,Jensen, 2005) 2.3.8 Sistem imun Pada wanita postpartum mempunyai perubahan suhu, peningkatan suhu terjadi selama 24 jam pertama setelah melahirkan yang berhubungan dengan pengerahan tenaga melalui otot, kelelahan, dehidrasi atau perubahan hormon. Wanita juga dapat dilakukan atau menerima vaksinasi seperti tetanus, difteria, pertusis, hepatitis B,
15
varicela dan influenza jika diperlukan. Vaksinasi rubella diperlukan dengan pertimbangan seperti: I.
Wanita yang kontak dengan rubella selama kehamilan trimester pertama mempunyai 90% kemungkinan menularkan virus kepada janinnya
II.
Janin yang terpapar rubella selama kehamilan trimester pertama akan mempunyai risiko kelainan/kecacatan lahir meliputi tuli dan bisu, kebutaan, kelainan jantung dan retardasi mental
III.
Wanita yang sudah mendapat imunisasi akan melindungi kehamilannya untuk 4 minggu, walaupun masih ada risiko untuk pertumbuhan janin yang akan berkembang menjadi kelainan karena vaksin yang lambat
Pencegahan isoimunisasi Rh yaitu Rh isoimumisasi yang terjadi ketika Rh negatif dalam antibodi menjadi Rh positif yang biasanya berhubungan dengan pemberian transfusi darah selama kehamilan dengan Rh posistif janin. Wanita yang mempunyai sensitif pada produk IgG antibodi akan mengalami persilangan pada plasenta dan menyerang sel darah merah janin yang menyebabkan hemolisis. Pencegahan isoimunisasi Rh (Durham & Chapman, 2014) : I.
Pemberian injeksi Rho globulin imun untuk wanita dengan Rh negatif pada gestasi 28 minggu
II.
Wanita dengan Rh negatif yang mempunyai bayi Rh positif dapat dilakukan pemeriksaan anti Rh antibodi (Coombs’ test)
III.
Pemberian injeksi Rho globulin imun kedua diberikan jika pada pemeriksaan Coombs didapat hasil negatif pada ibu
2.4 Perubahan Psikologis 2.4.1 Adaptasi Ibu Seorang wanita mengalami banyak pengalaman baru sebagai respon untuk
menyesuaikan
perannya
menyambut
keluarga
baru,
ketidaknyamanan saat postpartum, perubahan citra tubuhnya dan kenyataan hidup yang berubah. Menurut Lois, Gena dan Wendy
16
(2011), perubahan psikososial ibu yang terjadi pada masa postpartum dibedakan menjadi dua, yaitu perubahan yang diharapkan dan perubahan yang tidak diharapkan. A. Perubahan yang diharapkan Perubahan
emosional
yang
diharapkan/perubahan
perilaku
termasuk fase restoratif/adaptif dideskripsikan oleh Reva Rubin, postpartum blues, dan hal-hal yang berkaitan dengan kelahiran caesar. I.
Fase Adaptasi/ Fase Restoratif Rubin Rubin (1961) mendeskripsikan tiga fase restorasi/ adaptasi maternal, yaitu: Taking in, taking hold, dan letting go.
Sumber : Ward.S. L, Hisley.S.M. 2009.Maternal-child nursing care: optimizing outcomes for mothers, children, and Families
Phase 1: Taking-In (Fase Mengambil) First 1–2 days Sang ibu pulih dari kelelahan. Dia relatif tergantung pada orang lain. Karakteristik perilakunya meliputi: a) Kelelahan fisik b) Kegembiraan, kegembiraan, dan / atau kecemasan dan kebingungan. c) Menghidupkan kembali, secara verbal dan mental, peristiwa persalinan dan melahirkan
Phase 2: Taking-Hold ( Fase Bertahan ) Second and/or third day Sang ibu mulai melakukan tindakan dan mulai melakukan beberapa tugas keibuan. Seperti a) Minta bantuan perawatan diri b) Mulailah merawat bayi c) Cemas akan kemampuan perannya sebagai ibu
Phase 3: Letting-Go ( Fase Melepaskan ) First 2–6 weeks postpartum Ini adalah waktu di mana sang ibu mendefinisikan kembali peran barunya. Dia: a) Bergerak melampaui simbiosis ibu-bayi kehamilan dan postpartum dini dan dimulai untuk melihat bayinya sebagai individu yang utuh b) Mulai fokus pada masalah yang lebih besar dari itu dikaitkan langsung dengan. (Dia mulai fokus pada pasangannya,anak-anak lain, dan masalah keluarga.)
17
Sumber:Chapman.L,Durham.R.F.201 0.Maternal newborn nursing : the critical components of nursing care.
TAKING–IN PHASE, Fase pengambilan, periode perilaku tergantung, terjadi selama 24-48 jam pertama setelah kelahiran dan prilaku ibu antara lain: ■ Wanita itu fokus pada pribadinya kenyamanan dan perubahan fisik ■ Wanita itu mengenang dan berbicara tentang pengalaman kelahiran ■ Wanita itu menyesuaikan diri dengan psikologis perubahan. ■ Wanita itu tergantung pada orang lain untuknya dan bayinya dalam memenuhu kebutuhan ■ Wanita itu memiliki kemampuan yang menurun untuk membuat keputusan. ■ Wanita itu berkonsentrasi pada penyembuhan fisik pribadi (Rubin, 1963, 1967).
TAKING-HOLD PHASE, Fase penahanan, gerakan antara tergantung dan mandiri perilaku, mengikuti fase penerimaan dan dapat bertahan hingga minggu dan termasuk perilaku keibuan berikut: ■ Fokus berpindah dari diri sendiri ke bayi. ■ Wanita itu mulai mandiri.memiliki kemampuan yang meningkat untuk membuat keputusan. ■ Wanita itu tertarik pada isyarat dan kebutuhan. bayi yang baru lahir ■ Wanita itu mengambil peran peran ibu. ■ Wanita itu ingin sekali belajar; ini adalah sebuah waktu yang tepat untuk memulai pengajaran postpartum ■ Wanita itu mungkin memiliki perasaan ketidakcukupan dan kewalahan. ■ Wanita itu membutuhkan jaminan verbal bahwa dia mampu memenuhi kebutuhan bayinya ■ Wanita itu dapat menunjukkan tanda-tanda dan gejala baby blues dan kelelahan. ■ Wanita itu mulai lebih banyak berada di dalam ruangan. (Rubin, 1963, 1967)
LETTING-GO PHASE Dalam fase melepaskan, gerakan dari independensi ke peran baru ibu itu cair dan dapat dipertukarkan dengan fase take-hold. Keibuan karakteristik selama fase ini adalah: ■ Bersedih dan melepaskan hubungan lama perilaku yang mendukung baru yang ■ Memasukkan bayi yang baru lahir ke dalam kehidupan dirinya dimana bayi menjadi entitas yang terpisah darinya ■ Menerima bayi yang baru lahir apa adanya ■ Kemandirian kembali; kembali bekerja ■ Mungkin memiliki perasaan sedih, bersalah, atau kegelisahan ■ membangun hubungan kembali dengan pasangan (Rubin, 1963, 1967)
18
II.
Postpartum blues Postpartum blues atau baby blues adalah kondisi emosional yang labil dan menangis untuk alasan yang tidak jelas yang menyerang ibu yang baru saja melahirkan bayinya dan berlangsung selama hampir 2 minggu. Gejala lainnya termasuk ansietas, lelah, perasaan tertekan, sakit kepala, dan kesedihan. Etiologinya belum jelas. Ini adalah situasi yang dimulai sejak hari ketiga, puncaknya pada hari kelima, dan hilang kira-kira hari ke-sepuluh setelah kelahiran. 80% wanita postpartum mengalami perasaan sedih yang tidak mengetahui alasan mengapa sedih. Ibu sering menangis dan lebih sensitif. Kejadian ini dapat disebabkan karena penurunan kadar estrogen dan progesteron. Pada beberapa wanita dapat disebabkan karena respon dari ketergantugan pada orang lain akibat kelelahan, jauh dari rumah dan ketidaknyamanan fisik. Jika hal ini berlanjut maka ibu perlu dikonsulkan ke psikiatri agar tidak berlanjut ke depresi.
III.
Kelahiran Caesar Ketika kelahiran cesar bersifat darurat (tidak direncanakan), fase taking-in bisa berlangsung lebih lama karena ibu juga butuh untuk menerima dan memahami kejadian yang membuat persalinan cesar harus dilakukan. Penting bagi perawat untuk memahami bahwa ibu tersebut adalah klien bedah yang membutuhkan
perawatan
fisik
dengan
segera
untuk
mengembalikan atau menjaga kesehatan fisiologisnya. Ketika nyeri, perdarahan, dan insisi berada dibawah kendali, perawat dapat membantu ibu memahami kelahiran dan menggabungkan pengalaman menjadi realita. Beberapa ibu memiliki perasaan frustasi, marah, harga diri rendah, atau kekecewaan karena mereka tidak bisa melahirkan
19
bayinya dengan cara yang normal melalui vagina. Pada saat yang sama, mereka merasa lega, bahagia, dan dipenuhi dengan perasaan bersyukur karena bayinya lahir dengan aman dan sehat. Perawat juga memberikan dorongan semangat dan mendukung klien dan keluarganya. Perawat membantu perawat memahami bahwa ia tidak gagal hanya karena kelahiran bayinya tidak berjalan sesuai dengan rencana. Klien perlu berbicara tentang kelahirannya lagi dan lagi untuk membantu didapatkannya pemahaman yang lebih baik. Perawat
mendemonstrasikan
kesabaran
dan
mencoba
membantu klien mencapai level nyaman dari situasi tersebut. B. Perubahan yang Tidak Diharapkan Perubahan emosi/perilaku yang tidak diharapkan mencakup depresi postpartum, postpartum psikosis, dan reaksi terhadap bayi dengan masalah. I. Depresi postpartum / Postpartum Depression (PPD) PPD adalah sama dengan postpartum blues, tetapi lebih serius, intens dan persisten. Sekitar 12% ibu baru mengalami sindrom yang lebih serius dari postpartum blues (Lowdermilk, 2005). Tingkat keparahan PPD bisa ringan, sedang, atau parah, dengan gejala yang lebih banyak dan intens seiring dengan naiknya tingkat keparahan. Ibu dengan PPD ringan merawat bayinya dengan cinta, tetapi tidak
dapat
merasakan
cintanya
tersebut.
Ia
bisa
mengekspresikan perasaan lekas marah, bersalah, malu, tidak berharga, dan rasa kehilangan harga diri. Gejala tersebut bertahan melewati minggu-minggu pertama setelah kelahiran bayi. PPD sedang dikarakteristikkan dengan menangis secara spontan, insomnia atau hipersomnia, kelelahan, penurunan konsentrasi, dan terkadang mengidam makanan tertentu.Pada
20
PPD yang parah, lekas marahnya ibu bisa menjadi kasar dan sering ditujukan terhadap orang lain. Ia sering tidak mengungkapkan gejalanya tentang perasaan negatif tersebut kepada bayinya, yang bisa termasuk tidak tertarik, terganggun dengan kebutuhan perawatan bayi, atau bahkan berpikir untuk membahayakan bayinya. Intervensi psikoterapi dan intervensi pada umumnya dibutuhkan. Kadang, perawatan di rumah dibutuhkan. II.
Postpartum psikosis Postpartum psikosis adalah bentuk depresi yang paling serius yang dialami ibu baru. Postpartum psikosis terjadi pada 1 sampai 2 dari 1000 kelahiran dalam 2-4 minggu pasca kelahiran, tetapi dapat terjadi pada 2 sampai 3 hari pasca kelahiran. Psikosis ini ditandai dengan paranoid, naik turunnya suasana hati, kebingungan, delusi, perilaku yang tidak terorganisir. Postpartum psikosis adalah kedaruratan medis. Banyak ibu membutuhkan evaluasi psikiatrik dan pada banyak kasus perlu dirawat dirumah sakit sampai ia tidak menjadi ancaman baik bagi dirinya atau orang lain. Evaluasi medis di awal mencakup pengkajian riwayat secara menyeluruh, pengkajian fisik, dan pemeriksaan laboraturium.Sangat penting bagi perawat untuk mengedukasi ibu baru dan keluarganya mengenai tanda dan gejala depresi postpartum sehingga bisa dideteksi dan ditangani secara dini.
2.5 Perawatan Pasca Persalinan Perawatan nifas dimulai segera setelah melahirkan. Pada periode ini, perawat membantu ibu baru dalam belajar cara merawat dirinya dan bayinya. Periode selama 6 minggu ini juga dikenal sebagai masa nifas yang diisi dengan segudang perubahan yang membutuhkan asuhan keperawatan yang cermat
21
untuk ibu, bayi baru lahir, dan keluarga. Beberapa tujuan yang mencakup periode waktu awal masa nifas yaitu mengurangi angka kematian ibu hingga tidak lebih dari 3,3 / 100.000 kelahiran hidup dari baseline 7,1 / 100.000, mengurangi proporsi kelahiran yang terjadi di dalam 24 bulan dari kelahiran sebelumnya menjadi 6% dari awal dari 11%, meningkatkan setidaknya 75% proporsi ibu yang menyusui bayinya di awal pascapersalinan periode dari baseline 64% (DHHS, 2000) 2.5.1 Mengedukasi Pemulihan Post Partum I.
Aktivitas Dan Istirahat Pada periode postpartum, penting bagi ibu mulai ambulasi segera setelah
kondisinya
memungkinkan.
Ambulasi
dini
pasca
persalinan adalah kunci dalam mencegah tromboemboli. Ibu harus diajarkan untuk memulai dengan latihan ringan,seperti latihan Kegel, untuk memperkuat lantai panggu otot. Semua metode latihan harus ditingkatkan secara bertahap.Banyak wanita pasca persalinan kelelahan karena ketidaknyamanan selam kehamilan dan kurang tidur yang cukup terkait dengan trimester ketiga. Panjangnya tenaga kerja dan tuntutan peran pengasuhan baru semakin meningkatkan perasaan kelelahan. Selama di rumah sakit dan nanti di rumah, semuanya pasien harus didorong untuk mendapatkan tidur dan periode istirahat yang cukup untuk membantu memfasilitasi pemulihan yang optimal. II. Makanan Penurunan berat badan sekitar 4,5 hingga 5,5 kg terjadi segera setelah melahirkan,jumlah ini terkait dengan bobot kolektif bayi, plasenta, dan cairan ketuban yang dikeluarkan. Kemudian sekitar 2,3 kg hilang selama seminggu berikutnya sebagai akibat dari nifas diuresis dan involusi uterus. Seberapa cepat wanita kembali ke beratnya sebelum hamil tergantung pada tingkat aktivitas fisik, kebiasaan makan, dan gaya hidupnya. Karena pembatasan makanan selama persalinan, kebanyakan pasien menunjukkan
22
nafsu makan yang tinggi setelah melahirkan. Semua wanita yang melahirkan harus didorong untuk makan seimbang, diet bergizi dengan suplemen multivitamin. Zat besi dianjurkan hanya jika hemoglobin pasien rendah. III. Eliminasi Pengosongan harus terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan. Pasien harus didorong untuk mengosongkan kandung kemih setiap 4 sampai 6 jam dan diharapkan mengeluarkan banyak urin. Selain pergeseran cairan intravaskular ke ekstra sel, setelah melahirkann juga ada penurunan produksi hormon adrenal aldosteron. Tingkat penurunan aldosteron dikaitkan dengan penurunan natrium retensi dan peningkatan output urin. Catatan asupan dan keluaran harus dipertahankan untuk memonitor volume urin yang dikeluarkan saat 24 jam pertama. Wanita yang baru saja melahirkan rentan untuk retensi urin. Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau retensi urin dapat terjadi akibat trauma hingga uretr jaringan dipertahankan selama "fase mendorong" kelahiran pervaginam. Juga, pasien yang diberi kateter atau yang menerima anestesi lokal saat persalinan terkadang tidak merasakan sensasi berkemih. Perawat penilaian meliputi palpasi hati-hati dari perut bagian bawah untuk mengidentifikasi uterus yang buncit atau tergeser. Perawat juga mencatat meningkatkan jumlah lochia karena rahim tidak mampu untuk kontrak secara efektif. Jika ambulasi tidak memungkinkan, perawat dapat menuangkan air hangat ke atas vulva dan area perineum untuk membantu merilekskan sfingter uretra. Karena risiko infeksi saluran kemih terkait stasis urin, kateterisasi mungkin diperlukan. Sembelit umumnya terjadi karena peristaltik yang melambat terkait dengan hormon kehamilan dan persalinan anestesi. Selain itu, ketidaknyamanan perineum, takut dijahit pemisahan di situs episiotomi, dan nyeri insisional (setelah
23
kelahiran sesar) dapat berkontribusi terhadap penurunan frekuensi dibuang air besar. Untuk mencegah sembelit, perawat harus mendorong pasien untuk mengkonsumsi makanan tinggi serat. Asupan cairan yang cukup termasuk minum di setidaknya enam hingga delapan gelas air atau jus setiap hari adalah yang lain strategi penting untuk mencegah sembelit. Ambulasi dini juga didorong untuk meningkatkan peristaltik. IV. Perineal Care Perineum rentan terhadap infeksi karena gangguan integritas jaringan akibat memar, laserasi, atau episiotomi. Kedekatan perineum ke anus meningkatkan risiko sayatan terkontaminasi dengan bahan tinja; produksi darah berkelanjutan menciptakan media yang menguntungkan untuk proliferasi bakteri. Untuk meminimalkan infeksi, pasien harus diajarkan tentang kebersihan perineum.
Pendekatan
pengajaran
yang
menggabungkan
demonstrasi kembali, dorongan, dan penguatan positif. Pasien harus dididik tentang pentingnya membersihkan perineum setelah setiap buang air besar dan buang air besar. Mencuci tangan sebelum dan sesudah perawatan perineum (“pericare”) sangat penting untuk pencegahan infeksi. V. Kompres Es Untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri akibat perineum memar,kompres es dapat diterapkan setiap 2 hingga 4 jam. Suhu dingin bermanfaat membuat vasokonstriksi dan efek mati rasa. Paket es harus selalu ditutupi dan diterapkan dari depan ke belakang. Harus dibiarkan tidak lebih dari 20 menit untuk meminimalkan komplikasi yang terkait dengan vasokonstriksi berkepanjangan. Pasien mendapatkan paling banyak bantuan ketika paket es diterapkan dalam 24 jam pertama setelah melahirkan. VI. Ketidaknyamanan Terkait Dengan Nyeri Pasca Bedah
24
Rasa sakit setelah persalinan menggambarkan kontraksi uterus intermiten yang terjadi selama proses involusi. Secara umum, rasa sakit lebih terasa pada pasien dengan penurunan nada uterus karena terlalu banyak bicara. Overdistensi uterus dikaitkan dengan kehamilan multipel, multiparitas, makrosomia, dan hidramnion. Kepedihan juga cenderung lebih intens pada wanita menyusui karena menyusui bayi dan / atau memompa payudara memicu pelepasan endogen oksitosin, hormon yang memicu pengeluaran susu reflex. Oksitosin menyebabkan kontraksi uterus yang kuat. Rasa sakit setelah melahirkan mungkin parah selama 2 sampai 3 hari setelah melahirkan. Analgesik ringan bisa memberikan
kenyamanan.
Asuhan
keperawatan
pasien
postpartum pasca operasi adalah mirip dengan perawatan yang diberikan kepada semua pasien pasca operasi. VII. Manfaat Interaksi Ibu-Anak Beberapa yang pertama jam setelah melahirkan merupakan waktu yang kritis untuk inisiasi interaksi ibu-bayi yang sehat. Untuk kebanyakan ibu, kelahiran vagina yang sukses secara psikologis lebih baik ditoleransi dan menghindari perlunya pemulihan tambahan waktu yang diperlukan setelah kelahiran sesar. Sebagai tambahan, menyusui dini (bagi mereka yang ingin menyusui) adalah lebih mudah diimplementasikan setelah persalinan normal. Tantangan tambahan yang dihadapi oleh pasien selama pemulihan dari kelahiran sesar termasuk pemulihan dari anestesi, kebutuhan untuk mengatasi rasa sakit insisional dan ambulasi yang lambat. Ikatan ibu-bayi mungkin tertunda dengan pasien berisiko tinggi mengalami perdarahan, pembedahan infeksi luka, infeksi saluran kemih, dan DVT. VIII.
Perawatan Luka Insisional
Insisi bedah membutuhkan asesmen keperawatan yang sedang berlangsung setelah kelahiran sesar. Perawat harus menilai
25
aproksimasi dari tepi luka, dan catat adanya kemerahan, perubahan warna, kehangatan, edema, kelembutan yang tidak biasa, atau drainase. Jika pembalut steril kering telah diterapkan, jaringan di sekitarnya harus dievaluasi secara hati-hati untuk bukti dari reaksi terhadap pita yang digunakan untuk mengamankan balutan. Menilai dan mengobati nyeri insisional secara efektif juga sangat penting. IX. Pemulihan Dari Anestesia Ambulasi didorong segera setelah pasien vital tanda-tanda stabil. Jika anestesi spinal atau epidural terjadi digunakan, ambulasi tertunda sampai sensasi penuh kembali ke ekstremitas bawah. Efek samping umum anestesi termasuk parestesia (sensasi pin dan jarum di kaki) dan sakit kepala. Dibutuhkan bantuan ketika pasien bangun dari tempat tidur untuk pertama kalinya. Perawat harus memberikan obat penghilang rasa sakit 30 menit sebelum pasien mencoba ambulasi. Untuk meminimalkan pusing dari hipotensi ortostatik, perawat harus menginstruksikan sabar untuk duduk di sisi tempat tidurnya selama beberapa menit sebelum pindah ke posisi berdiri. X. Perawatan Pernafasan Nyeri insisional dan distensi abdomen sering menyebabkan pasien untuk melakukan pola pernapasan dangkal yang dapat menyebabkan untuk mengurangi pertukaran gas dan mengurangi volume tidal. Untuk memfasilitasi fungsi paru yang memadai, pasien harus diajarkan cara melakukan latihan pernafasan. Setelah pasien ditempatkan pada posisi semivowler, bantal diletakkan diatas luka opetasi dan pasien diminta melakukan napas dalam dan batuk. Terapis pernapasan sering termasuk dalam pendekatan tim untuk merawat pasien pasca operasi. Pengeluaran sekresi dan pernapasan dalam membantu mencegah komplikasi umum termasuk atelektasis dan pneumonia. Perawat harus memberikan
26
obat penghilang rasa sakit 15 hingga 30 menit sebelum pasien memulai latihan pernapasan. Distensi perut dan nyeri gas sering terjadi setelah operasi karena hasil dari peristaltik yang tertunda. Rincian makanan yang dicerna di usus besar menghasilkan a penumpukan
gas
yang
menghasilkan
distensi
dan
ketidaknyamanan. Anestesi juga menyebabkan keterlambatan pengembalian peristaltik dan biasanya butuh beberapa hari untuk mengembalikan fungsi usus.
2.6 Perawatan Payudara Manfaat menyusui untuk ibu antara lain mengurangi risiko kanker payudara, amenore laktasi (LAM) (walaupun menyusui tidak dipertimbangkan bentuk kontrasepsi yang efektif), peningkatan involusi (karena kontraksi uterus yang dipicu oleh pelepasan oksitosin) dan penurunan risiko perdarahan postpartum, penurunan berat badan pasca persalinan, peningkatnya kepadatan tulang, meningkatkan ikatan dengan bayi. Sedangkan manfaat untuk bayi antara lain peningkatan kekebalan melalui transfer antibodi ibu; penurunan insiden infeksi termasuk otitis media, pneumonia,infeksi saluran kemih, bakteremia dan meningitis bakteri, peningkatan pematangan saluran pencernaan, berkurangnya kemungkinan mengembangkan diabetes yang bergantung pada insulin (tipe 1), mengurangi risiko obesitas di masa kecil, peningkatan perkembangan rahang, efek perlindungan terhadap kanker anak-anak tertentu. 2.6.1 Merawat payudara selama laktasi Perawat harus mengajar ibu menyusui untuk mencuci puting dengan air hangat. Sabun, yang bisa dikeringkan efek dan menyebabkan puting pecah-pecah, harus dihindari. Payudara krim juga harus dihindari. Mereka dapat menghalangi alam minyak yang dikeluarkan oleh tuberkel Montgomery di areola; yang lain mengandung alkohol, zat pengering. Krim atau minyak itu mengandung vitamin E juga harus dihindari karena bayi dapat menyerap jumlah toksik dari vitamin yang larut dalam lemak.
27
2.6.2 Memulai Feeding Waktu optimal untuk menyusui adalah ketika bayi berada di kondisi tenang. Menangis biasanya merupakan pertanda rasa lapar dan terlambat mencapai latch-on. Latch-on adalah perlekatan bayi pada payudara untuk makan. Neonatus paling waspada saat pertama kali 2 jam setelah kelahiran tanpa pengobatan, dan ini adalah waktu yang ideal untuk meletakkan bayi ke payudara. Memandikan neonatus sebelum menyusui pertama harus dihindari. Bau cairan amnion pada bayi cocok dengan bau ibu dan berfungsi sebagai “alat pelacak” untuk bayi.Untuk membantu ibu menyusui, perawat harus memahami bahwa bayi yang menempel pada payudara tidak harus untuk menyusui. Seorang bayi yang menunjukkan kesiapan untuk menyusui, adalah dalam posisi makan yang baik, latches-on (menempel) dalam dipayudara, dan memindahkan ASI dari payudara ke dalam mulut. Ketika bayi terkunci dengan benar pada payudara, ujung hidung, pipi dan dagu semuanya menyentuh payudara. Jika memungkinkan, mother-baby rooming-in menciptakan situasi yang optimal untuk menyusui. Ketika bayi berada di kamar ibu disetiap saat, ia dapat mengamati “isyarat kesiapan makan”yang menandakan kesiapan bayi untuk menyusu. Isyarat Kesiapan Pemberian Makan Bayi antara lain ketika bayi mulai bergerak, mengibaskan kepala ke kasur atau leher / bahu ibu, melakukan gerakan tangan-ke-mulut atau tangan-ke-tangan, menunjukkan
gerak
mengisap
atau
menjilat,
menunjukkan
peningkatan aktivitas; lengan dan kaki dihentakkan 2.6.3 Masalah Yang Menyebabkan Menyusui Menjadi Tidak Efektif Puting yang sakit berhubungan dengan kait dan posisi bayi yang salah di payudara. Jika seorang ibu mengeluh rasa sakit ketika menyusui bayi, penting untuk diamati apakah bayi sudah menyusu dengan benar. Perawat perlu mengamati saat bayi berada di payudara: apakah posisi ibu-bayi sudah optimal untuk menyusui. Menempatkan bayi dengan tepat sangat penting untuk mencegah trauma pada puting susu.
28
Bentuk puting susu pada akhir menyusui jug memberikan indikator yang baik untuk mengunci yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, Lowdermilk, dan Jensen. alih bahasa Maria A. Wijayarini. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4 halaman 493. Jakarta: EGC
29
Durham, R & Chapman, L (2014). Maternal-newborn nursing : The critical components of nursing care. Second Edition. Philadelphia : F.A Davis Company Klossner, N.J & Hatfield, N.T. (2010). Introductory Maternitiy & Pediatric Nursing 2th Ed. Philadephia: Lippincott William & Wilkins Lowdermilk, D.L, Shanon E.P, Kitty. C. (2016). Maternity Nursing
8th
Ed.
USA:Mosby Elsevier Lowdermilk, D.L. Perry, S.E & Cashion, K (2013). Keperawatan maternitas buku 1 & 2. Edisi 8. Singapura : Mosby Elsevier Pillitteri, Adele. (2007). Maternal and Child Health Nursing: Care of The Childrearing Family. 6th ed. China: Lippincott Williams & Wilkins. Rahayu,A.P. (2016). Panduan Praktikum Keperawatan Maternitas Edisi1. Yogyakarta: Deepublish Ward.S. L, Hisley.S.M. (2009). Maternal-Child Nursing Care: Optimizing Outcomes For Mothers, Children, And Families. F.A. Davis Company. Philadelphia
30