BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sistem saraf adalah suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan serta mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan. Sistem tubuh yang penting ini juga mengatur aktivitas sistem-sistem lainnya di dalam tubuh, sehingga terjalinlah komunikasi antar berbagai sistem tubuh sehingga tubuh dapat berfungsi sebagai unit yang harmonis. Seluruh aktivitas didalam tubuh manusia diatur oleh sistem saraf. Dengan kata lain, sistem saraf berperan dalam pengontrolan tubuh manusia. Denyut jantung, pernafasan, pencernaan, dan urinaria dikontrol oleh sistem saraf. Sistem saraf juga mengatur aliran darah, dan konsentrasi osmotik darah. Sistem koordinasi merupakan suatu sistem yang mengatur kerja semua sistem organ agar dapat bekerja secara serasi. Sistem koordinasi itu bekerja untuk menerima rangsangan, mengolahnya dan kemudian meneruskannya untuk menaggapi rangsangan. Setiap rangsangan-rangsangan yang kita terima melalui indera kita, akan diolah di otak. Kemudian otak akan meneruskan rangsangan tersebut ke organ yang bersangkutan.
BAB II ISI
2.1 Hidrosefalus Hidrosefalus adalah penumpukan cairan pada rongga otak atau yang disebut dengan ventrikel. yang mengakibatkan ventrikel-ventrikel di dalamnya membesar dan menekan organ tersebut. Cairan ini akan terus bertambah sehingga ventrikel di dalam otak membesar dan menekan struktur dan jaringan otak di sekitarnya. Jika tidak segera ditangani, tekanan ini dapat merusak jaringan dan melemahkan fungsi otak.
Hidrosefalus dapat diderita oleh segala usia, namun kasus ini sebagian besar terjadi pada bayi dan lansia. Berdasarkan gejalanya, penyakit hidrosefalus dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Hidrosefalus kongenital atau bawaan. Kondisi ini terjadi sejak bayi baru dilahirkan. Bayi yang mengalami hidrosefalus bawaan, kepalanya akan terlihat sangat besar. Ubun-ubun atau fontanel mereka akan tampak menggelembung dan menegang. Dikarenakan kulit kepala bayi masih tipis, maka penggelembungan tersebut membuat urat-urat kepala menjadi terlihat dengan jelas. Bayi-bayi dengan hidrosefalus, memiliki mata yang terlihat seperti memandang ke bawah dan otot-otot kaki terlihat kaku, serta rentan
mengalami kejang. Gejala-gejala hidrosefalus bawaan lainnya adalah mudah mengantuk, mual, rewel, dan susah makan.
Hidrosefalus yang didapat atau acquired. Kondisi ini diderita oleh anakanak dan orang dewasa. Selain penderita akan mengalami mual dan nyeri leher, nyeri kepala juga akan muncul. Nyeri kepala ini biasanya sangat terasa di pagi hari, setelah bangun tidur. Gejala lain dari hidrosefalus tipe ini adalah mengantuk, penglihatan buram, bingung, sulit menahan kemih atau menahan buang air besar, dan sulit berjalan. Jika tidak segera diobati, kondisi ini dapat menyebabkan koma, bahkan kematian.
Hidrosefalus dengan tekanan normal. Kondisi ini umumnya dialami oleh lansia (di atas 60 tahun). Penderita akan kesulitan menggerakkan kaki, sehingga beberapa dari mereka terpaksa menyeret kaki agar dapat berjalan. Gejala lainnya adalah kacaunya kendali kemih yang ditandai dengan sulit menahan buang air kecil atau sering merasa ingin buang air kecil. Selain fisik, hidrosefalus tekanan normal juga berdampak kepada kemampuan berpikir penderita. Mereka akan sulit mencerna informasi dan lambat dalam menanggapi situasi atau pertanyaan. Segera periksakan bayi, anak, atau diri Anda sendiri ke dokter jika melihat
atau merasakan gejala-gejala hidrosefalus. Terutama pada bayi yang menderita hidrosefalus bawaan, jika tidak ditangani dengan tepat, dalam jangka panjang kondisi tersebut dapat mengakibatkan komplikasi seperti:
Gangguan koordinasi.
Epilepsi.
Gangguan penglihatan.
Penurunan daya ingat.
Kesulitan belajar.
Gangguan bicara.
Sulit berkonsentrasi dan perhatian mudah teralih.
Tanda dan Gejala Hidrosefalus Gejala hidrosefalus tekanan normal biasanya mulai secara perlahan dan bertahap. Gejalanya meliputi:
Masalah jalan. Sebagian besar pasien memiliki gaya berjalan yang lambat, kaki gemetar dan langkah-langkah yang lebar.
Hilang ingatan (demensia), selain itu kemampuan untuk berpikir menjadi lambat, pelupa, memiliki masalah dengan konsentrasi dan berkurangnya kemampuan untuk fokus ke suatu ahl
Inkontinensia merupakan gejala awal dari hidrosefalus, Anda akan merasakan dorongan untuk sering buang air kecil atau sering memiliki gejala tiba-tiba dan kemudian mengalami inkontinensia. Masalah inkontinensia seperti sering buang air kecil, namun beberapa orang mungkin mengalami inkontinensia pada usus. Kemungkinan ada tanda-tanda dan gejala yang tidak disebutkan di atas. Bila
Anda memiliki kekhawatiran akan sebuah gejala tertentu, konsultasikanlah dengan dokter Anda.
Penyebab Hidrosefalus Di dalam otak kita terdapat cairan yang disebut sebagai serebrospinal. Cairan ini berfungsi untuk membersihkan limbah yang berasal dari metabolisme otak, melindungi otak dari cedera, menjaga agar otak tetap mengapung pada posisinya, dan mencegah terjadinya perubahan tekanan pada otak. Tiap harinya jaringan pelapis otak secara rutin memproduksi cairan serebrospinal. Cairan yang sudah tidak terpakai kemudian dibuang dari tubuh setelah diserap oleh pembuluh darah. Meski bermanfaat bagi kesehatan otak, cairan serebrospinal bisa menjadi bumerang dan berbalik merugikan otak ketika jumlah cairan yang diproduksi lebih
besar dibandingkan dengan yang dibuang. Inilah yang disebut sebagai hidrosefalus, yaitu meningkatnya volume cairan serebrospinal di dalam otak. Beberapa pemicu terjadinya hidrosefalus di antaranya adalah :
Buruknya mekanisme penyerapan cairan akibat radang atau cedera pada otak.
Terhambatnya aliran cairan serebrospinal akibat kelainan pada sistem saraf.
Infeksi janin saat masih di dalam kandungan yang menyebabkan radang pada jaringan otak janin.
Perdarahan di dalam otak.
Tumor otak.
Cedera parah di kepala.
Penyakit stroke.
Diagnosis Hidrosefalus Beberapa jenis pemeriksaan akan dilakukan oleh dokter ahli saraf guna mendiagnosis hidrosefalus, seperti pemeriksaan tanda-tanda fisik, pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan, pemeriksaan sensorik (kemampuan melihat, mendengar, atau meraba), dan pemeriksaan kondisi otot (tonus, kekuatan, dan refleks). Selain itu, kondisi psikologis pasien juga kemungkinan akan diperiksa jika diperlukan. Untuk memastikan adanya penumpukan cairan serebrospinal di dalam otak atau memastikan apakah ada kondisi lain yang menyebabkan gejala serupa dengan hidrosefalus, dokter kemungkinan akan melakukan pemindaian otak melalui:
CT scan. Biasanya digunakan sebagai pemeriksaan darurat terhadap penyakit hidrosefalus. Melalui CT scan, gambar otak secara potong lintang dapat dihasilkan dengan teknologi X-ray.
MRI scan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambar otak secara rinci dengan menggunakan medan magnetik dan gelombang radio.
USG. Pemeriksaan ini relatif aman dan rendah risiko. Karena itu, USG sering dijadikan sebagai pemeriksaan awal untuk mendeteksi hidrosefalus pada janin di dalam kandungan atau bayi yang sudah lahir.
Pengobatan Hidrosefalus Pengobatan utama hidrosefalus adalah melalui operasi. Tujuannya adalah untuk membuang kelebihan cairan serebrospinal di dalam otak. Salah satu jenis operasi yang biasanya diterapkan pada kasus hidrosefalus adalah operasi pemasangan shunt. Shunt merupakan alat khusus berbentuk selang yang dipasangkan oleh ahli bedah ke dalam kepala guna mengalirkan cairan otak ke bagian tubuh lain dan diserap oleh pembuluh darah. Bagian tubuh yang sering dipilih sebagai rute aliran cairan serebrospinal adalah rongga perut. Shunt dilengkapi dengan katup yang berfungsi untuk mengendalikan aliran cairan sehingga keberadaan serebrospinal di dalam otak tidak surut terlalu cepat. Shunt yang dipasangkan pada bayi dan anak-anak umumnya perlu diganti seiring pertumbuhan agar sesuai dengan fisik mereka yang makin besar. Diperkirakan sebanyak dua kali prosedur pemasangan shunt akan dilakukan pada anak-anak sebelum mereka menginjak usia 10 tahun. Jenis operasi penanganan hidrosefalus lainnya adalah endoscopic third ventriculostomy (ETV). Berbeda dengan operasi pemasangan shunt, pada prosedur ETV, cairan serebrospinal dibuang dengan cara menciptakan lubang penyerapan baru di permukaan otak. Prosedur ini biasanya diterapkan pada kasus hidrosefalus yang dipicu oleh penyumbatan ventrikel otak. Berikut adalah gaya hidup dan pengobatan rumahan yang dapat mem bantu Anda mengatasi hidrosefalus (hydrocephalus):
Periksakan kembali diri Anda ke dokter untuk pemantauan gejala serta kesehatan Anda.
Hindari merokok.
Jagalah berat badan agar tetap sehat.
Lakukan olahraga secara teratur. Bila ada pertanyaan, konsultasikanlah dengan dokter untuk solusi terbaik
masalah Anda.
Efek Samping Pengobatan Hidrosefalus Operasi terbukti efektif dalam menangani hidrosefalus. Meski demikian, bukan tidak mungkin prosedur ini dapat menyebabkan efek samping di kemudian hari. Pada operasi pemasangan shunt, efek samping yang timbul biasanya disebabkan oleh kerusakan atau penyumbatan pada alat itu sendiri. Ini merupakan hal yang wajar karena shunt merupakan alat yang terbuat dari materi berbahan lembut yang rentan terhadap kendala. Berikut ini adalah beberapa efek samping yang dapat muncul setelah menjalani prosedur pemasangan shunt, di antaranya:
Infeksi. Hal ini relatif umum terjadi, terutama pada beberapa bulan setelah operasi. Gejala infeksi pasca pemasangan shunt meliputi mual, sakit kepala, leher kaku, demam, dan nyeri di sekitar jalur shunt. Pada anak-anak, mereka akan sering mengantuk atau rewel. Jika infeksi tidak terlalu parah, dokter biasanya hanya akan meresepkan antibiotik. Namun jika mengkhawatirkan, operasi penggantian shunt kemungkinan akan diperlukan.
Penyumbatan shunt. Jika shunt tersumbat, maka cairan serebrospinal dapat menumpuk kembali di dalam otak. Kondisi ini harus segera ditangani karena dapat menyebabkan kerusakan otak. Pada bayi, efek samping akan mudah dikenali dari ciri fisik berupa kepala yang kembali membesar. Selain pembesaran kepala, gejala penyumbatan shunt lainnya adalah mual, sakit kepala, mengantuk, bingung, dan yang terburuk adalah koma. Operasi penggantian shunt yang rusak biasanya akan dilakukan sebagai solusi.
Kadang-kadang shunt yang dipasang tidak berada di posisi yang tepat dan tentu saja hal ini dapat menimbulkan masalah. Pada anak-anak, terutama bayi, pemosisian shunt yang salah dapat membuat cairan serebrospinal merembes ke bagian sisi selang tersebut. Apabila mereka memiliki luka di kulit, cairan itu akan keluar melalui luka tersebut. Pemosisian shunt di dalam kepala harus dilakukan secara hati-hati. Jika tidak, dapat menimbulkan efek samping, seperti perdarahan, gangguan saraf, atau kejang. Selain pada operasi pemasangan shunt, efek samping juga bisa terjadi pasca operasi endoscopic third ventriculostomy (ETV). Beberapa efek samping tersebut di antaranya adalah:
Masalah saraf yang meliputi penurunan fungsi salah satu sisi tubuh, ketidakseimbangan hormon, penglihatan ganda, atau bahkan epilepsi.
Perdarahan di dalam otak.
Kerusakan pembuluh otak.
Infeksi.
Kegagalan otak untuk menyerap cairan serebrospinal.
Menutupnya kembali lubang penyerapan cairan serebrospinal. Pada kasus menutupnya kembali lubang penyerapan cairan serebrospinal
yang pernah dibuat, dokter dapat menanganinya dengan melakukan operasi ETV ulang. Namun jika operasi ETV tetap tidak berhasil mengobati hidrosefalus, kemungkinan dokter akan beralih ke operasi pemasangan shunt.
2.2 Kenjang Demam (Febrile Seizure) Kejang demam adalah kejang-kejang yang terjadi pada anak-anak akibat kenaikan suhu tubuh secara drastis dan mendadak. Kondisi ini biasanya terjadi ketika anak menderita sebuah infeksi. Kejang demam umumnya terjadi pada anak usia enam bulan hingga tiga tahun. Kejang demam merupakan respon dari otak anak terhadap demam, dan biasanya terjadi di hari pertama demam. Namun setelah demam mencapai tingkat suhu yang tinggi, risiko kejang biasanya akan menurun. Kejang demam memang terlihat mengerikan, namun umumnya tidak berbahaya bagi anak yang mengalaminya. Beberapa faktor yang dapat memperbesar risiko terjadinya kejang demam adalah:
Keturunan. Risiko seorang anak mengalami kejang demam akan lebih besar jika ada anggota keluarganya yang juga mengalami hal sama.
Usia. Anak usia enam bulan hingga lima tahun lebih berisiko terkena kejang demam dibandingkan anak yang berusia di luar itu.
Gejala Kejang Demam Gejala kejang demam berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahannya. Dalam tingkatan yang masih tergolong ringan hingga menengah, gejala yang
muncul biasanya berupa mata yang tampak terbuka lebar (terbelalak). Sedangkan pada tingkat keparahan yang lebih tinggi, gejala bisa berupa tubuh yang mengejang atau otot-otot menegang. Kejang demam seringkali terjadi dalam kurun 24 jam setelah terjadinya infeksi pada tubuh anak. Saat mengalami kejang demam, anak juga bisa menunjukkan beberapa gejala lain, seperti:
Lengan dan kaki bergerak tidak terkontrol.
Bola mata tampak menatap ke atas.
Kehilangan kesadaran.
Muntah
Mulut berbusa. Kejang demam dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu kejang
demam seederhana dan kejang demam kompleks. Pada kasus kejang demam sederhana, kejang biasanya hanya berdurasi beberapa detik hingga 15 menit. Meskipun terjadi pada seluruh tubuh, kejang tidak akan berulang dalam waktu 24 jam. Sedangkan pada kejang demam kompleks, durasi kejang berlangsung lebih dari 15 menit, serta bisa terjadi lebih dari satu kali dalam sehari. Kejang demam kompleks bisa terjadi pada sebagian tubuh anak saja.
Penyebab Kejang Demam Kejang demam terjadi akibat lonjakan atau kenaikan suhu tubuh anak secara drastis ketika mengalami demam. Ada dua hal yang bisa menjadi pemicunya, yaitu:
Imunisasi. Pada beberapa anak, pemberian imunisasi dapat menimbulkan demam yang bisa memicu kejang demam.
Infeksi, baik itu akibat virus atau bakteri. Bisa juga kejang demam dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau virus,
terutama herpesvirus-6. Selain itu, kondisi tertentu yang dapat menyebabkan kejang adalah:
Penyakit Alzheimer atau demensia
Masalah jantung, seperti stroke atau serangan jantung
Cedera kepala atau cedera otak, termasuk cedera sebelum kelahiran
Lupus
Meningitis
Penggunaan vaksin
Diagnosis Kejang Demam Langkah pertama yang dilakukan dokter pada pasien yang mengalami kejang demam sederhana adalah mendiagnosis penyebab infeksi. Hal tersebut bisa dilakukan melalui pemeriksaan darah, urine, atau pungsi lumbal (spinal tap). Sedangkan untuk penderita kejang demam kompleks, dokter biasanya akan menambahkan metode pemeriksaan melalui elektroensefalografi (EEG). Cara ini dapat memberikan informasi pada dokter seputar aktivitas otak penderita. Jika kejang demam hanya terjadi pada sebagian tubuh saja, dokter juga akan merekomendasikan untuk dilakukannya pemindaian otak dengan MRI.
Faktor Resiko Kejang Demam Ada banyak faktor yang meningkatkan risiko seseorang mengalami kejang demam, seperti:
Perkembangan abnormal sebelum kejang demam
Kejang demam yang kompleks
Riwayat keluarga kejang tanpa demam
Riwayat keluarga kejang demam
Sejarah infeksi otak atau cedera
Memiliki tumor otak
Sejarah stroke
Sejarah kejang demam kompleks
Menggunakan narkoba tertentu atau obat tertentu
Kelebihan dosis obat
Terpapar zat beracun
Pengobatan dan Pencegahan Kejang Demam Pada banyak kasus, kejang demam akan berhenti dengan sendirinya setelah beberapa menit. Namun untuk melindungi anak dari cedera selama mengalami kejang, orang tua dapat melakukan beberapa hal berikut:
Baringkan anak di lantai. Pada bayi, rebahkan di pangkuan dengan posisi wajah bayi menghadap ke bawah. Jangan menahan tubuh anak.
Miringkan posisi tubuh anak agar muntah atau air liur dapat keluar dari rongga mulut, serta agar mencegah lidah menyumbat saluran pernapasan.
Longgarkan pakaian anak.
Jangan menaruh apa pun pada mulut anak untuk mencegah tergigitnya lidah.
Hitunglah durasi terjadinya kejang demam dan perhatikan tingkah laku anak saat kejang-kejang. Beritahukan kedua hal ini saat berkonsultasi ke dokter. Jika kejang demam sudah mereda dan anak dirasa tidak perlu dibawa ke
dokter, tidurkan anak dalam ruangan yang sejuk. Mengantuk adalah hal yang wajar terjadi pada anak setelah mengalami kejang demam. Jika anak mengalami kesulitan bernapas, rebahkan anak dan miringkan tubuh dan kepala. Kemudian bersihkan rongga mulut dari bekas muntah atau air liur dengan perlahan menggunakan jari. Segera temui dokter jika kejang demam berlangsung selama lebih dari 10 menit atau terjadi berulang kali. Dokter akan meresepkan obat untuk menghentikan kejang-kejang jika kejang demam berlangsung lebih dari 15 menit. Pemberian paracetamol atau ibuprofen ketika anak baru saja demam tidak dapat mencegah kejang. Dokter dapat meresepkan obat antikejang (antikonvulsan) untuk mencegah kejang demam. Namun hal ini jarang dilakukan karena risiko efek sampingnya lebih besar daripada manfaatnya.
Komplikasi Kejang Demam Kejang demam sederhana tidak mengakibatkan kerusakan otak ataupun kecacatan mental. Kondisi ini juga bukan merupakan tanda-tanda epilepsi. Pada anak yang pernah mengalami kejang demam, risiko untuk mengalami kejang demam lagi akan lebih besar jika:
Jeda antara awal demam dengan terjadinya kejang demam cukup singkat.
Kejang demam pertama terjadi akibat demam ringan.
Usia penderita di bawah 15 bulan ketika mengalami kejang demam pertama.
Salah satu anggota keluarga pernah mengalami kejang demam.
BAB III KESIMPULAN
Hidrosefalus adalah penumpukan cairan pada rongga otak atau yang disebut dengan ventrikel. yang mengakibatkan ventrikel-ventrikel di dalamnya membesar dan menekan organ tersebut. Cairan ini akan terus bertambah sehingga ventrikel di dalam otak membesar dan menekan struktur dan jaringan otak di sekitarnya. Jika tidak segera ditangani, tekanan ini dapat merusak jaringan dan melemahkan fungsi otak.
Kejang demam adalah kejang-kejang yang terjadi pada anak-anak akibat kenaikan suhu tubuh secara drastis dan mendadak. Kondisi ini biasanya terjadi ketika anak menderita sebuah infeksi. Kejang demam umumnya terjadi pada anak usia enam bulan hingga tiga tahun.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
https://www.alodokter.com/hidrosefalus.html Ditinjau oleh: dr. Marianti Referensi Kahle, et al. (2016). Hydrocephalus in Children. Lancet, 387(10020), pp. 788-799. Rekate, HL. (2008). The Definition and Classification of Hydrocephalus: A Personal Recommendation to Stimulate Debate. Cerebrospinal Fluid Research, doi:10.1186/17438454-5-2. American Association of Neurological Surgeons. Hydrocephalus. NHS Choices UK (2017). Health A-Z. Hydrocephalus. Mayo Clinic (2017). Diseases & Conditions. Hydrocephalus.
https://hellosehat.com/penyakit/hidrosefalus-hydrocephalus/ Sumber Ferri, Fred. Ferri’s Netter Patient Advisor. Philadelphia, PA: Saunders / Elsevier, 2012. D ownload Version. Porter, R. S., Kaplan, J. L., Homeier, B. P., & Albert, R. K. (2009). The Merck manual ho me health handbook. Whitehouse Station, NJ, Merck Research Laboratories. Print. Page 6 99 U.S. National Library of Medicine. Normal Pressure Hydrocephalus. 2016. https://www.nlm .nih.gov/medlineplus/ency/article/000752.htm Accessed December 12th, 2015 https://www.webmd.com/brain/normal-pressure-hydrocephalus#1
https://www.alodokter.com/kejang-demam.html Ditinjau oleh: dr. Marianti Referensi Khair, AM, Elmagrabi, D. (2015). Febrile Seizures and Febrile Seizure Syndromes: An Updated Overview of Old and Current Knowledge. Neurology Research International (italic). 2015. pp. 849341 Chung, S. (2014). Febrile seizures. Korean Journal of Pediatrics (italic). 57(9). pp. 384– 395. Mayo Clinic (2018). Diseases and Conditions. Febrile Seizure. The Nemours Foundation. KidsHealth. (2018). For Parents. Febrile Seizures. WebMD (2017). What Are Febrile (Fever) Seizures?
https://hellosehat.com/penyakit/kejang-demam-febrile-seizure/