MAKALAH GANGGUAN KONSEP DIRI DAN DISTRESS SOSIAL
Fasilitator : Rizki Fitryasari, S.Kep.Ns., M.Kep.
Oleh : Kelompok 10 (A2 -2017) Enggar Qur’ani Ayu
131711133091
Cindy Triand Sofie
131711133051
Setya Indah Hikmawati
131711133072
Asroful Hulam Zamroni
131711133109
Fradhika Al Habib
131711133035
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Semester Genap 2018/2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur hadirat Allah SWT. atas limpahan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “GANGGUAN KONSEP DIRI DAN DISTRESS SOSIAL” ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa disampaikan terima kasih atas bantuan dosen pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dengan baik secara materi ataupun lisan. Harapan untuk kedepannya, semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi, pengalaman, dan ilmu yang lebih bagi pembaca tentang pemahaman cara terhindar dari penyakit asma dan akibatnya gangguan keseimbangan asam basa. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca diharapkan mampu mengevaluasi lebih lanjut demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat meningkatkan usaha dalam mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
Surabaya, 12 Maret 2018
Penulis
2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2 DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3 BAB I .............................................................................................................................................. 4 PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4 1.1.
Latar Belakang ............................................................................................................... 4
1.1.
Rumusan Masalah .......................................................................................................... 5
1.2.
Tujuan ............................................................................................................................. 5
BAB II ............................................................................................................................................ 6 PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 6 2.1
GANGGUAN KONSEP DIRI ....................................................................................... 6
2.1.1
Konsep diri ................................................................................................................ 6
2.1.2
Konsep harga diri ...................................................................................................... 9
2.1.3
Asuhan keperawatan gangguan konsep diri ............................................................ 25
2.2
DISTRESS SPIRITUAL .............................................................................................. 51
3.2.1
Definisi .................................................................................................................... 51
3.2.2
Etiologi .................................................................................................................... 52
3.2.3
Patofisiologi ............................................................................................................ 53
3.2.4
Pohon masalah ........................................................................................................ 54
3.2.5
Penatalaksanaan ...................................................................................................... 54
3.2.6
Manifestasi klinis .................................................................................................... 55
3.2.7
Asuhan keperawatan distress social ........................................................................ 57
BAB III......................................................................................................................................... 68 PENUTUP .................................................................................................................................... 68 3.1
Kesimpulan ................................................................................................................... 68
3.2
Saran.............................................................................................................................. 68
Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 69
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemahaman akan jiwa yang sehat tidak lepas dari pemahaman mengenai sehat dan sakit secara fisik. Berbagai penelitian telah mengungkapkan adanya hubungan antara kesehatan fisik dan jiwa individu, dimana para individu dengan kelihan medis menunjukkan adanya masalah psikis hingga taraf gangguan mental. Sebaliknya, individu dengan gangguan mental juga menunjukkan adanya gangguan fungsi fisiknya. Menurut Karl Menninger (Dewi, 2012), individu yang sehat jiwanya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan meneggang orang lain, serta memiliki sikap hidup yang bahagia. Sedangkan menurut Lowenthal (2006 dalam Dewi, 2012), individu yang sehat jiwanya dapat didefinisikan dalam dua sisi, secara negatif dengan absennya gangguan jiwa dan secara positif yaitu ketika hadirnya karakterstik individu berjiwa sehat. Berdasarkan data perkiraan WHO, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada tahun 2012 adalah 10.000. Tren angka tersebut meningkat dibandingkan jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada tahun 2010 yang hanya setengahnya, yakni sebesar 5.000, dipastikan bahwa semakin tinggi tuntutan hidup seseorang di suatu tempat, maka kemungkinan seseorang menjadi depresi meningkat pula. Kemudian, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2013, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai angka sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 jiwa. Sedangkan, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun keatas mencapai sekitar 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2016 data WHO (dalam Kemenkes RI) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Meski keadaanya sedemikian rupa, meningkatkan kesehatan jiwa adalah peran bersama, bukan hanya tanggung jawab profesi tertentu ataupun instansi terkait. Upaya preventif sangat perlu dilakukan, salah satunya adalah bermula dari diri sendiri. Dalam 4
menanggapi masalah ini, pemerintah telah memperbanyak rumah sakit jiwa dan tenaga kesehatan yang bersangkutan guna meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup penderita gangguan jiwa. Tenaga kesehatan khususnya perawat juga harus memiliki keterampilan dan pengetahuan terkait asuhan keperawatan dengan gangguan jiwa. 1.1. Rumusan Masalah 1) Bagaimanakah konsep diri? 2) Bagaimanakah konsep harga diri? 3) Bagaimanakah penyebab, tanda dan gejala klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah? 4) Bagaimanakah WOC klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah? 5) Bagaimanakah terapi pada klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah? 6) Bagaimanakah asuhan keperawatan klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah?
1.2. Tujuan 1) Menjelaskan yang dimaksud dengan konsep diri 2) Menjelaskan yang dimaksud dengan konsep harga diri 3) Menjelaskan penyebab, tanda dan gejala klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah 4) Menjelaskan WOC klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah 5) Menjelaskan terapi yang diberikan pada klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah 6) Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah
5
BAB II PEMBAHASAN 2.1 GANGGUAN KONSEP DIRI 2.1.1 Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung adaptif dan ujung maladaptif, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, harga diri rendah, kekacauan identitas, dan depersonalisasi.
Komponen Konsep Diri
a. Citra Tubuh Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari maupun tidak terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran, fungsi, keterbatasan, makna, dan objek yang kontak secara terus-menerus (anting, make up, pakaian, kursi roda, dan sebagainya) baik masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh merupakan hal pokok dalam konsep
6
diri. Citra tubuh harus realistis karena semakin seseorang dapat menerima dan menyukai tubuhnya ia akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan sehingga harga dirinya akan meningkat. Sikap individu terhadap tubuhnya mencerminkan aspek penting dalam dirinya misalnya perasaan menarik atau tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya. b. Ideal Diri Persepsi individu tentang seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai yang diyakininya. Penetapan ideal diri dipengaruhi oleh kebudayaan, keluarga, ambisi, keinginan, dan kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan norma serta prestasi masyarakat setempat. Individu cenderung menyusun tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas, serta inferiority. Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut, serta samar-samar atau kabur. Ideal diri akan melahirkan harapan individu terhadap dirinya saat berada di tengah masyarakat dengan norma tertentu. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal
dan
membantu
individu
mempertahankan
kemampuannya
menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental. c. Harga Diri Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan menganalisis seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan. Sebaliknya, individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai, atau tidak diterima lingkungan. Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas.
7
d. Peran Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat sesuai posisinya di masyarakat/kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. Hal-hal yang memengaruhi penyesuaian individu terhadap pera antara lain sebagai berikut. 1. Kejelasan perilaku yang sesuai dengan peran dan pengetahuannya tentang peran yang diharapkan. 2. Respons/tanggapan yang konsisten dari orang yang berarti terhadap perannya. 3. Kesesuaian norma budaya dan harapannya dengan perannya. 4. Perbedaan situasi yang dapat menimbulkan penampilan peran yang tidak sesuai.
e. Identitas Diri Identitas adalah kesadaran tentang “diri sendiri” yang dapat diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, serta menyadari individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesis dari semua gambaran utuh dirinya, serta tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan, dan peran. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, hormat terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri, dan menerima diri. Ciri individu dengan identitas diri yang positif adalah sebagai berikut. 1. Mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang lain. 2. Mengakui jenis kelamin sendiri. 3. Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan. 4. Menilai diri sesuai penilaian masyarakat. 5. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang. 6. Mempunyai tujuan dan nilai yang disadari 8
2.1.2 Konsep harga diri 1. Definisi Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan
individu
terhadap
kemampuan,
keberartian,
kesuksesan dan keberhargaan (Coopersmith, 2002). Harga diri meningkat bila diperhatikan atau dicintai dan dihargai atau dibanggakan. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Harag diri tinggi atau positif ditandai dengan ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman sedangkan individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebaga ancaman (Yosep, 2009). Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan. Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah dan dapat terjadi secara : 1) Situasional, yaitu sebagai trauma yang tiba-tiba, misalny harus operasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi (korban pemerkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba), dan 2) Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum sakit/dirawat klien telah mempunyai cara berpikir yang negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. 2. Tanda dan gejala Keliat (2009) mengemukakan beberapa tanda dan gejala harga diri rendah adalah : a. Mengkritik diri sendiri 9
b. Perasaan tidak mampu c. Pandangan hidup yang pesimis d. Penurunan produktivitas e. Penolakan terhadap kemampuan diri Selain tanda dan gejala tersebut, penampilan seseorang dengan harga diri rendah juga tampak kurang memperhartikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan turun, tidak berani menatap lawan bicara, tidak banyak menunduk, dan bicara lambat dengan nada suara lemah. Tanda dan gejala gangguan harga diri menurut Abdul Muhith (2015) : 1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap penyakit. Misalnya malu dan sedih karena rambut jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker. 2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya ini tidak akan terjadi jika saya segera ke rumah sakit, menyalahgunakan/mengejek dan mengkritik diri sendiri. 3) Merendahkan martabat. Misalnya saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa. 4) Gangguan hubungan social, seperti menarik diri. Klien tidak ingin bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri. 5) Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya tentang memilih alternative tindakan. 6) Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang suram mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan. Perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang dengan harga diri rendah : 1. Mengkritik diri sendiri/orang lain. 2. Produktivitas menurun. 3. Gangguan berhubungan. 4. Merasa diri paling penting. 10
5. Destruktif pada orang lain. 6. Merasa tidak mampu. 7. Merasa bersalah dan khawatir. 8. Mudah tersinggung/marah. 9. Perasaan negatif terhadap tubuh. 10. Ketegangan peran. 11. Pesimis menghadapi hidup. 12. Keluhan fsik. 13. Penolakan kemampuan diri. 14. Pandangan hidup bertentangan. 15. Destruktif terhadap diri. 16. Menarik diri secara sosial. 17. Penyalahgunaan zat. Menarik diri dari realitas 3. Penyebab Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya sistem pendukung, kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif, disfungsi sistem keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal (Townsend, 2005). a. Faktor predisposisi Factor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orangtua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis. b. Faktor presipitasi Faktor persipitasi terjadinya harga diri rndah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan atau bentuk tubuh, kegagalan atau produktivitas menurun. Selain itu, faktor presipitasi dapat pula berupa : 11
1) Ketegangan peran Stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami dalam peran atau posisi. 2) Konflik peran Ketidaksesuaian peran dengan apa yang diinginkan. 3) Peran yang tidak jelas Kurangnya pengetahuan individu tentang peran. 4) Peran yang berlebihan Menampilkan seperangkat peran yang kompleks. 5) Perkembangan transisi Perubahan norma dengan nilai yang tak sesuai dengan diri. 6) Situasi transisi peran Bertambah atau berkurangnya orang penting dalam kehidupan individu. 4. Pohon masalah
12
5. Terapi A. Terapi Modalitas Terapi modalitas adalah berbagai macam alternatif terapi yang dapat diberikan pada pasien gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dengan penyebab pasti belum jelas. Oleh karenanya, diperlukan pengkajian secara mendalam untuk mendapatkan faktor pencetus dan pemicu terjadinya gangguan jiwa. Maramis mengidentifikasi penyebab gangguan dapat berasal dari masalah fisik, kondisi kejiwaan (psikologis), dan masalah sosial (lingkungan). Apabila gangguan jiwa disebabkan karena masalah fisik, yaitu terjadinya gangguan keseimbangan neurotransmiter yang mengendalikan perilaku manusia, maka pilihan pengobatan pada farmakologi. Apabila penyebab gangguan jiwa karena masalah psikologis, maka dapat diselesaikan secara psikologis. Apabila penyebab gangguan karena masalah lingkungan sosial, maka pilihan terapi difokuskan pada manipulasi lingkungan. Dengan demikian, berbagai macam terapi dalam keperawatan kesehatan jiwa dapat berupa somatoterapi, psikoterapi, dan terapi lingkungan (Maramis, 1998). Konsep terapi modalitas dalam keperawatan kesehatan jiwa selalu mengalami perkembangan disesuaikan dengan masalah yang dialami klien, sehingga dibutuhkan penyesuaian intervensi keperawatan dengan penyebab terjadinya masalah keperawatan.
Bentuk Terapi Modalitas
13
Pada pemberian somatoterapi (terapi somatik), peran perawat difokuskan pada pengenalan jenis farmakoterapi yang diberikan, mengidentifikasi efek samping, dan kolaborasi penanganan efek samping obat. Pada pemberian terapi kejang listrik (electroconvulsive therapy— ECT) peran perawat adalah menyiapkan pasien dan mengevaluasi kondisi pasien setelah mendapatkan terapi kejang listrik. Pada kelompok psikoterapi, perawat dapat memberikan kepada klien berbagai upaya pencegahan dan penanganan perilaku agresif, intervensi krisis, serta mengembangkan terapi kognitif, perilaku, dan berbagai terapi aktivitas kelompok. Berikut adalah gambaran sinkronisasi berbagai alternatif terapi medis dan keperawatan yang disebut dengan istilah terapi modalitas
14
Somatoterapi
Psikoterapi
Farmakoterapi
Suportif
ECT
Dinamika genetik
Manipulasi lingkungan dan sosioterapi
Pembedahan Psikofarmakologi
Peran perawat Farmakokinetik Antiansietas Antidepresan Obat antimanik Antipsikotik
Mencegah dan Menangani Perilaku Agresif
Terapi Perilaku
Somatoterapi
ECT Fototerapi Terapi kurang tidur
Teori tentang agresi Intervensi keperawatan Teknik manajemen kritis
Pengondisian klasik Pengondisian operant Strategi perawatan Peran perawat
Intervensi Keluarga
Fungsi keluarga Intervensi nonklinis Terapi keluarga struktural Terapi keluarga strategis Terapi milleu (terapi lingkungan) Okupasi dan rehabilitasi
Terapi Kelompok
Komponen kelompok kecil Perkembangan kelompok Perawat sebagai pemimpin kelompok
Pemilahan terapi yang akan dilakukan oleh tenaga medis, bergantung pada kondisi klien dengan berbagai macam lattar belakang kejadian kasusnya. Pilihan salah satu terapi dapat dikombinasikan dengan terapi lain. Jarang sekali klien dengan gangguan jiwa dapat dilakukan dengan satu terapi. B. Terapi psikofarmaka Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat. Efek utama pada jenis obat psikofarmaka terjadi pada aktivitas mental dan perilaku, biasanya digunakan untuk pengobatan pada gangguan jiwa. Golongan dan jenis psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat mengembangkan upaya kolaborasi 15
pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta memadukan dengan berbagai alternatif terapi lainnya. Pemberian terapi medis pada kasus harga diri rendah juga tidak digolongkan sendiri dan lebih mengarah kepada pemberian obat golongan antidepresan, karena fungsi dari obat anti depresan adalah memblok pengambilan kembali neurotransmitter norepineprin dan serotonin, meningkatkan konsentrasinya pada sinaps dan mengkoreksi defisit yang diperkirakan menyebabkan alam perasaan melankolis. Hal ini sesuai dengan masalah neurotransmitter yang dihadapi oleh klien dengan harga diri rendah yaitu adanya penurunan neurotransmitter seperti serotonin, norepineprin. Terdapat banyak jenis antidepresan tetapi pada kasus harga diri rendah kali ini pemberian obat yang dapat diberikan lebih banyak dalam jenis Tricyclic Anti Depresan (TCA) : Amitriptiline, Imipramine, desipramine, notriptilin, sesuai dengan fungsi dari obatnya yaitu untuk meningkatkan reuptake seorotonin dan norepinefrin sehingga meningkatkan motivasi klien dan sesuai dengan indikasinya yaitu pengobatan yang diberikan pada klien dengan depresi tetapi juga mengalami skizofrenia sehingga mempunyai efek pengobatan yang saling meningkatkan. C. Terapi kognitif Terapi kognitif adalah terapi jangka pendek dan dilakukan secara teratur, yang memberikan dasar berpikir pada pasien untuk mengekspresikan perasaan negatifnya, memahami masalahnya, mampu mengatasi perasaan negatifnya, serta mampu memecahkan masalah tersebut. Peran perawat dalam pelaksanaan terapi kognitif diharapkan mampu menerapkan terapi kognitif ini serta mendampingi pasien untuk memodifikasi cara pikir, sikap, dan keyakinan untuk memutuskan perilaku yang tepat dalam menghadapi pengobatan yang sedang dijalaninya. Adapun beberapa tujuan dari terapi kognitif: 1. Mengubah perilaku dari tidak logis dan negatif menjadi objektif, rasional, dan positif 2. Meningkatkan aktivitas 3. Menurunkan perilaku yang tidak diinginkan 4. Meningkatkan keterampilan sosial 16
Pelaksanaan Terapi Kognitif Terapi kognitif terdiri atas sembilan sesi, yang masing-masing sesi dilaksanakan secara terpisah. Setiap sesi berlangsung selama 30–40 menit dan membutuhkan konsentrasi tinggi. 1. Sesi I: Ungkap pikiran otomatis Jelaskan tujuan terapi kognitif. a. Identifikasi masalah dengan apa, di mana, kapan, siapa (what, where, when, who). b. Diskusikan sumber masalah. c. Diskusikan pikiran dan perasaan. d. Catat pikiran otomatis dan klasifikasikan dalam distorsi kognitif. 2. Sesi II: Alasan a. Review kembali sesi I. b. Diskusikan pikiran otomatis. c. Tanyakan penyebabnya. d. Beri respons atau tanggapan. e. Tanyakan tindakan pasien. f. Anjurkan menulis perasaan. g. Beri rencana tindak lanjut, yaitu hasil tulisan pasien dibahas pada pertemuan berikutnya. 3. Sesi III: Tanggapan a. Diskusikan hasil tulisan pasien. b. Dorong pasien untuk memberi pendapat. c. Berikan umpan balik. d. Dorong pasien untuk ungkapkan keinginan. e. Beri persepsi/pandangan perawat terhadap keinginan tersebut. f. Beri penguatan (reinforcement) positif. g. Jelaskan metode tiga kolom. h. Diskusikan cara menggunakan metode tiga kolom.
17
i. Rencana tindak lanjut, yaitu anjurkan menuliskan pikiran otomatis dan cara penyelesaiannya. 4. Sesi IV: Menuliskan a. Tanyakan persaan pasien saat menuliskan rencana tindak lanjut pada sesi III. b. Dorong pasien untuk mengomentari tulisan. c. Beri respons/tanggapan dan umpan balik. d. Anjurkan untuk menuliskan buku harian. e. Rencana tindak lanjut, yaitu hasil tulisan pasien akan dibahas. 5. Sesi V: Penyelesaian masalah. a. Diskusikan kembali prinsip teknik tiga kolom. b. Tanyakan stresor/masalah baru dan cara penyelesaiannya. c. Tanyakan kemampuan menanggapi pikiran otomatis negatif. d. Berikan penguatan (reinforcement) positif. e. Anjurkan menulis pikiran otomatis dan tanggapan rasional saat menghadapi masalah. 6. Sesi VI: Manfaat tanggapan. a. Diskusikan perasaan setelah menggunakan tanggapan rasional. b. Berikan umpan balik. c. Diskusikan manfaat tanggapan rasional. d. Tanyakan apakah dapat menyelesaikan masalah. e. Tanyakan hambatan yang dialami. f. Berikan persepsi/tanggapan perawat. g. Anjurkan mengatasi sesuai kemampuan. h. Berikan penguatan (reinforcement) positif. 7. Sesi VII: Ungkap hasil. a. Diskusikan perasaan setelah menggunakan terapi kognitif. b. Beri reinforcement positif dan pendapat perawat. c. Diskusikan manfaat yang dirasakan. d. Tanyakan apakah dapat menyelesaikan masalah. e. Beri persepsi terhadap hambatan yang dihadapi. f. Diskusikan hambatan yang dialami dan cara mengatasinya. 18
g. Anjurkan untuk mengatasi sesuai kemampuan. h. Berikan penguatan (reinforcement) positif. 8. Sesi VIII: Catatan harian. a. Tanyakan apakah selalu mengisi buku harian. b. Berikan penguatan (reinforcement) positif. c. Diskusikan manfaat buku harian. d. Anjurkan membuka buku harian bila menghadapi masalah yang sama. e. Tanyakan kesulitan dan diskusikan cara penggunaan yang efektif. 9. Sesi IX: Sistem dukungan a. Jelaskan keluarga tentang terapi kognitif. b. Libatkan keluarga dalam pelaksanaannya. c. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang telah dimiliki pasien. d. Anjurkan keluarga untuk siap mendengarkan dan menagggapi masalah pasien. D. Terapi keluarga Terapi keluarga adalah suatu cara untuk menggali masalah emosi yang timbul kemudian dibahas atau diselesaikan bersama dengan anggota keluarga, dalam hal ini setiap anggota keluarga diberi kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam menyelesaikan masalah (Keliat, 1996; Gladding, 2002). Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah kelompok kecil yang terdiri atas beberapa individu yang mempunyai hubungan erat satu sama lain dan saling bergantung, serta diorganisasi dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sejarah keluarga sudah ada sejak tahun oleh... berdasarkan sejarah perkembangan terapi keluarga, terdapat enam model terapi keluarga yang pernah dikembangkan (Gladding, 2002), yaitu: 1. Model psikodinamik 2. Model eksperiensial 3. Model kognitif dan perilaku 4. Model struktur keluarga 5. Model strategi dan sistem keluarga 19
6. Model penyelesaian masalah Dari keseluruhan model di atas, dalam pelaksanaannya harus menyesuaikan kondisi keluarga dengan masalah yang dihadapi.
Aplikasi terapi keluarga 1. Pengkajian Dilakukan pengkajian keluarga secara menyeluruh terutama pola komunikasi dalam keluarga, hubungan interpersonal antaranggota keluarga, sistem pendukung yang tersedia, mekanisme koping keluarga, dan persepsi keluarga terhadap masalah. 2. Diagnosis Diagnosis yang umum dan sering adalah konflik (gangguan hubungan interpersonal anak dan keluarga) berhubungan dengan koping keluarga tidak efektif. 3. Tujuan Jangka Panjang Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah mengacu pada problem atau masalah yaitu konflik menurun atau dapat diatasi dan hubungan interpersonal anak dan keluarga dapat ditingkatkan. 4. Tujuan Jangka Pendek Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai mengacu pada etiologi, yaitu koping keluarga efektif. 5. Tindakan Keperawatan Tindakan keperawatan yang direncanakan dapat berupa hal sebagai berikut. a. Memanipulasi lingkungan. b. Sistem pendukung. c. Pendekatan umum untuk semua anggota keluarga. d. Pendekatan individu, meliputi:
Teknik aberasi yaitu menurunkan stres dengan ekspresi perasaan,
Penggunaan penguatan,
Penggunaan teknik klarifikasi, dan lain-lain.
20
Manfaat Terapi Keluarga 1. Pasien a. Mempercepat proses penyembuhan pasien yang berdampak positif bagi dinamika keluarga. b. Memperbaiki hubungan interpersonal. c. Menurunkan angka kekambuhan. 2. Keluarga a. Memperbaiki fungsi dan struktur keluarga. b. Keluarga mampu meningkatkan pengertian terhadap pasien sehingga lebih dapat menerima, lebih bertoleransi, dan lebih menghargai pasien sebagai manusia. c. Keluarga dapat meningkatkan kemampuan dalam membantu pasien dalam proses rehabilitasi. E. Terapi lingkungan Terapi lingkungan adalah lingkungan fisik dan sosial yang ditata agar dapat membantu penyembuhan dan atau pemulihan pasien. Milleu berasal dari Bahasa Prancis, yang dalam Bahasa Inggris diartikan surronding atau environment, sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti suasana. Jadi, terapi lingkungan adalah sama dengan terapi suasana lingkungan yang dirancang untuk tujuan terapeutik. Konsep lingkungan yang terapeutik berkembang karena adanya efek negatif perawatan di rumah sakit berupa penurunan kemampuan berpikir, adopsi nilai-nilai dan kondisi rumah sakit yang tidak baik atau kurang sesuai, serta pasien akan kehilangan kontak dengan dunia luar. Adapun tujuan dari terapi lingkungan itu sendiri adalah untuk mengembangkan keterampilan emosional dan sosial yang akan menguntungkan kehidupan setiap hari, dengan cara memanipulasi lingkungan atau suasana lingkungan sebagai tempat klien untuk mendapatkan perawatan.
Karakteristik umum terapi lingkungan 1. Distibusi Kekuatan
21
Proses penyembuhan pasien sangat bergantung pada kemampuan pasien dalam membuat keputusan bagi dirinya sendiri (otonomi). Oleh karena itu, perawat, tenaga kesehatan, dan pasien yang terlibat di dalamnya diharapkan dapat bekerja sama dalam melengkapi data yang dibutuhkan untuk menentukan masalah pasien, berbagi tanggung jawab, dan bekerja sama untuk mengarahkan pasien dalam membuat keputusan bagi proses penyembuhannya. 2. Komunikasi Terbuka Komunikasi terbuka merupakan komunikasi dua arah yang kedua belah pihak saling mengerti pesan yang dimaksudkan tanpa adanya hal yang disembunyikan. Komunikasi terbuka yang dilandasi saling percaya dan kejujuran di antara perawat dengan tenaga kesehatan lain merupakan hal yang sangat penting dalam pelayanan keperawatan. Setiap data yang diperoleh mengenai pasien dan keluarganya harus segera dikomunikasikan bersama sehingga dapat memberi arahan dalam pembuatan keputusan yang hanya ditujukan untuk kesembuhan pasien. 3. Struktur Interaksi Interaksi terapeutik bukan hanya sekadar berinteraksi biasa, melainkan membutuhkan strategi tersendiri seperti halnya struktur yang tepat sehingga apa yang diinginkan dalam interaksi tersebut tercapai. Perawat sebagai ujung tombak utama yang berhadapan langsung dengan pasien selama 24 jam diharapkan mampu memfasilitasi interaksi terapeutik dengan memperlihatkan sikap bersahabat, bertutur kata lembut, jelas tapi tegas, tidak defensif, penuh perhatian, peka terhadap kebutuhan pasien, mampu memotivasi pasien untuk berinteraksi dengan pasien lain, serta saling berbagi rasa dan pengalaman. Hal tersebut akan sangat membantu pasien untuk dapat menerima perawatan dan pengobatan yang diberikan. 4. Aktivitas Kerja Pasien yang dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu tidak sebentar sering mempunyai
perasaan
kesepian,
tidak
berarti,
ditolak/dikucilkan,
tidak
mandiri/bergantung, dan keterbatasan hubungan dengan dunia luar. Oleh karenanya, perawat diharapkan mampu mengisi waktu luang pasien dengan memotivasi pasien ikut serta dalam aktivitas lingkungan yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan tingkat perkembangannya. Sebelum menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan 22
pasien, perawat bersama pasien mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan yang dapat dilakukan pasien sebagai pengisi waktu luang. Misalnya membaca majalah, buku pelajaran bagi siswa/pelajar/mahasiswa, jalan-jalan pagi, menyulam, melakukan kegiatan sehari-hari, serta berbagi pikiran dan perasaan dengan sesama pasien yang dilakukan bersama perawat. 5. Peran Serta Keluarga dan Masyarakat dalam Proses Terapi Keluarga merupakan orang-orang terdekat yang sangat memengaruhi kehidupan pasien. Oleh karena itu, peran serta keluarga dalam penyembuhan pasien juga menjadi hal yang utama karena setelah selesai menjalani perawatan di rumah sakit pasien akan kembali ke keluarga dan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Kesiapan keluarga dan masyarakat dalam menerima kembali kehadiran pasien merupakan hal yang harus ditata sedini mungkin. Pelibatan keluarga dalam penyusunan perencanaan perawatan, pengobatan, dan persiapan pulang pasien merupakan solusi yang harus dilakukan oleh perawat dan tenaga kesehatan secara komprehensif. Penyiapan lingkungan masyarakat dapat dilakukan dengan penyuluhan dan penyebaran selebaran tentang kesehatan jiwa, penyakit jiwa, dan solusinya. Hal ini membutuhkan kerja sama yang solid antarpihak, yaitu tenaga kesehatan dan kebijakan pemerintah setempat. 6. Lingkungan yang Mendukung Untuk mendukung fase tumbuh kembangnya maka lingkungan diatur sedemikian rupa, seperti ruang anak-anak terdapat mainan yang disesuaikan dengan usianya, ruang remaja banyak alat informasi, majalah, buku, film, sedangkan untuk lansia ruang yang terang, aman, dan sederhana.
Strategi dalam terapi lingkungan 1. Aspek fisik Dengan menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman. Struktur dan tatanan dalam gedung sebaiknya dirancang sesuai dengan kondisi dan jenis penyakit, serta tingkat perkembangan klien
23
2. Aspek intelektual Tingkat intelektual pasien dapat ditentukan melalui kejelasan stimulus dari lingkungan dan sikap perawat. Oleh karena itu, perawat harus dapat memberikan stimulus ekstrenal yang positif dalam arti perawat harus berkemampuan merangsang daya pikir pasien sehingga pasien dapat memperluas kesadaran dirinya sehingga pasien dapat menerima keadaan dan peran sakitnya. 3. Aspek sosial Perawat harus mampu mengembangkan pola interaksi yang positif, baik perawat dengan perawat, perawat dengan klien, dan perawat dengan keluarga klien. Karena hubungan yang interpersonal yang positif dan menyenangkan dapat mengurangi konflik intrapsikis yang akan menguatkan fungsi ego klien dan mendukung kesembuhan klien. 4. Aspek emosional Iklim emosional yang positif harus diciptakan oleh perawat dan tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses penyembuhan klien 5. Aspek spiritual Spiritual merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dielakkan pemenuhannya. Meningkatkan aspek spiritual dari lingkungan dalam proses penyembuhan ditujukan untuk memaksimalkan manfaat dari pengalaman, pengobatan, dan perasaan damai bagi pasien. Cara pemenuhan yang paling mudah adalah dengan penyediaan sarana ibadah seperti tempat ibadah, kitab suci, dan ahli agama. Pemberian penguatan terhadap perilaku positif yang telah dilakukan pasien dalam hal spritual akan memotivasi pasien melakukannya lebih baik sebagai dampak dari peningkatan harga diri pasien.
24
2.1.3 Asuhan keperawatan gangguan konsep diri Faktor predisposisi a. Citra tubuh 1. Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi) 2. Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat tumbuh kembang atau penyakit) 3. Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh 4. Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi b. Harga diri 1. Penolakan 2. Kurang penghargaan 3. Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu dituntut 4. Persaingan antara keluarga 5. Kesalahan dan kegagalan berulang 6. Tidak mampu mencapai standar c. Ideal diri 1. Cita-cita yang terlalu tinggi 2. Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan 3. Ideal diri samar atau tidak jelas. 4. Peran a. Stereotipe peran seks. 1. Tuntutan peran kerja. 2. Harapan peran kultural. 3. Identitas diri 4. Ketidakpercayaan orang tua. 5. Tekanan dari teman sebaya. 6. Perubahan struktur sosial.
25
Faktor presipitasi 1. Trauma 2. Ketegangan peran 3. Transisi peran perkembangan 4. Transisi peran situasi 5. Transisi peran sehat-sakit
Perilaku 1. Citra tubuh a. Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu. b. Menolak bercermin. c. Tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh. d. Menolak usaha rehabilitasi. e. Usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat. f. Menyangkal cacat tubuh.
2. Harga diri rendah a. Mengkritik diri sendiri/orang lain. b. Produktivitas menurun. c. Gangguan berhubungan. d. Merasa diri paling penting. e. Destruktif pada orang lain. f. Merasa tidak mampu. g. Merasa bersalah dan khawatir. h. Mudah tersinggung/marah. i. Perasaan negatif terhadap tubuh. j. Ketegangan peran. k. Pesimis menghadapi hidup. l. Keluhan fisik. m. Penolakan kemampuan diri. n. Pandangan hidup bertentangan. 26
o. Destruktif terhadap diri. p. Menarik diri secara sosial. q. Penyalahgunaan zat. r. Menarik diri dari realitas. 3. Kerancuan identitas a. Tidak ada kode moral. b. Kepribadian yang bertentangan. c. Hubungan interpersonal yang eksploitatif. d. Perasaan hampa. e. Perasaan mengambang tentang diri. f. Kerancuan gender. g. Tingkat ansietas tinggi. h. Tidak mampu empati terhadap orang lain. i. Masalah estimasi. 4. Depersonalisasi a. Afektif 1) Kehilangan identitas 2) Perasaan terpisah dari diri 3) Perasaan tidak realistis 4) Rasa terisolasi yang kuat 5) Kurang rasa berkesinambungan 6) Tidak mampu mencari kesenangan b. Perseptual 1) Halusiansi dengar dan lihat 2) Bingung tentang seksualitas diri 3) Sulit membedakan diri dari orang lain 4) Gangguan citra tubuh 5) Dunia seperti dalam mimpi c. Kognitif 1) Bingung 2) Disorientasi waktu 27
3) Gangguan berpikir 4) Gangguan daya ingat 5) Gangguan penilaian 6) Kepribadian ganda d. Perilaku 1) Pasif 2) Komunikasi tidak sesuai 3) Kurang spontanitas 4) Kehilangan kendali terhadap impuls 5) Tidak mampu memutuskan 6) Menarik diri secara sosial
Mekanisme koping 1. Pertahanan jangka pendek a. Aktivitas yang dapat memeberikan pelarian sememntara dari krsis, seperti kerja keras, nonton, dan lain-lain. b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, seperti ikut kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain. c. Aktivitas sementara yang dapat menguatkan perasaan diri, seperti kompetisi pencapaian akademik. d. Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti penyalahgunaan obat. 2. Pertahanan jangka panjang a. Penutupan identitas Adopsi identitas prematur yang digunakan oleh orang yang penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi, dan potensi diri individu. b. Identitas negatif Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-nilai harapan. 28
3. Mekanisme pertahanan ego a. Fantasi b. Disosiasi c. Isolasi d. Proyeksi e. Displaement f. Marah/amuk pada diri sendiri DIAGNOSIS Pohon masalah Risiko isolasi sosial: menarik diri
Risiko perilaku kekerasan
Gangguan konsep diri:
Harga diri rendah: kronis Gangguan citra tubuh Penampilan peran
Koping keluarga kurang efektif
Daftar diagnosis 1. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah. 2. Risiko perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah. 3. Gangguan konsep diri: citra tubuh berhubungan dengan koping keluarga interaktif. 4. Gangguan konsep diri: identitas personal berhubungan dengan perubahan penampilan peran.
29
RENCANA INTERVENSI Rencana intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang diteukan. Paa rencana intervensi berikut memberikan gambaran pada gangguan konsep diri, yaitu harga diri rendah.
Tindakan Kperawatan pada Pasien NO. 1.
DIAGNOSIS
NOC
NIC
Gangguan konsep
Setelah dilakukan tindakan
diri harga diri
keperawatan selama 3x24
kemampuan dan aspek
rendah
jam, pasien dapat mengatasi
positif yang dimiliki
gangguan konsep diri harga
1) Mendiskusikan
a. Mengidentifikasi
diri rendah dengan kriteria
bahwa pasien masih
hasil:
memiliki sejumlah
a. Pasien dapat
kemampuan dan
mengidentifikasi
aspek positif seperti
kemampuan dan aspek
kegiatan pasien di
positif yang dimiliki.
rumah, serta adanya
b. Pasien dapat menilai
keluarga dan
kemampuan yang dapat
lingkungan terdekat
digunakan.
pasien.
c. Pasien dapat
2) Beri pujian yang
menetapkan/memilih
realistik/nyata dan
kegiatan yang sesuai
hindarkan setiap kali
kemampuan.
bertemu dengan
d. Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah
pasien penilaian yang negatif.
dipilih, sesuai
b. Membantu pasien dapat
kemampuan.
menilai kemampuan
e. Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.
yang dapat digunakan 1) Mendiskusikan dengan pasien 30
kemampuan yang masih dapat digunakan saat ini setelah mengalami bencana. 2) Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap kemampuan diri yang diungkapkan pasien. 3) Perlihatkan respons yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif. c. Membantu pasien dapat memilihi/menetapkan kegiatan sesuai dengan kemampuan 1) Mendiskusikan dengan pasien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan sehari-hari. 2) Bantu pasien menetapkan aktivitas yang dapat pasien lakukan secara 31
mandiri, aktivitas yang memerlukan bantuan minimal dari keluarga, dan aktivitas yang perlu bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat pasien. Berikan contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan pasien. Susun bersama pasien dan buat daftar aktivitas atau kegiatan seharihari pasien. d. Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan 1) Mendiskusikan dengan pasien untuk menetapkan urutan kegiatan (yang sudah dipilih pasien) yang akan dilatihkan. 2) Bersama pasien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan
32
yang akan dilakukan pasien. 3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang diperlihatkan pasien. e. Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya 1) Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah dilatihkan. 2) Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari. 3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan setiap aktivitas. 4) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan keluarga. 5) Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan kegiatan.
33
6) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan pasien.
Tindakan Keperawatan pada Keluarga NO. 1.
DIAGNOSIS
NOC
Gangguan Konsep
Setelah dilakukan tindakan
Diri : Harga Diri
keperawatan selama 3x24
Rendah
jam, keluarga dapat
NIC a. Juhu
a. Diskusi dengan keluarga
mengatasi gangguan konsep
kemampuan yang dimiliki
diri harga diri rendah pada
pasien.
pasien dengan kriteria hasil : a. Keluarga dapat
b. Anjurkan memotivasi pasien agar menunjukkan
membantu pasien
kemampuan yang
mengidentifikasi
dimiliki.
kemampuan yang dimiliki. b. Keluarga memfasilitasi
c. Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam melakukan kegiatan yang
aktivitas pasien yang
sudah dilatihkan pasien
sesuai kemampuan.
dengan perawat.
c. Keluarga memotivasi
b. Ajarkan keluarga cara
pasien untuk melakukan
mengamati
kegiatan sesuai dengan
perkembangan perubahan
latihan yang dilakukan.
perilaku pasien.
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan pasien.
EVALUASI 1. Kemampuan yang diharapkan dari pasien: 34
a. Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien. b. Pasien dapat membuat rencana kegiatan harian. c. Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki. 2. Kemampuan yang diharapkan dari keluarga: a. Keluarga membantu pasien dalam melakukan aktivitas. b. Keluarga memberikan pujian pada pasien terhadap kemampuannya melakukan aktivitas.
35
KASUS Tn. A berusia 35 tahun bertempat tinggal di Sutorejo Surabaya merupakan klien RSJ Menur Surabaya. Beliau dirawat di RSJ Menur sejak tanggal 10 Desember 2017 di ruangan teratai. Adapun alasan Tn. A menjalani perawatan tersebut adalah klien sering menyendiri, membakar barang pribadi, sedikit berbicara, sulit berkomunikasi dengan masyarakat, sering berbicara sendiri, sulit tidur dan Tn. A pernah mengalami gangguan jiwa ± 3 tahun yang lalu, pernah menjalani rawat jalan di RSJ. Menur Surabaya. Namun Tn.A tidak rutin control, sehingga pengobatan kurang berhasil didapat. Klien pernah mengalami penolakan sosial di lingkungan masyarakat pada masa lalu yang tidak menyenangkan dan pernah mengalami amputasi bagian tubuh. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik diperoleh data TD: 130/80 mmHg, N: 84 x/menit, S: 36,5 ºC P: 26 x/menit, TB: 179 cm BB: 62 kg. Dari keluarga Tn. A tidak ada yang menderita gangguan jiwa sebelumnya.
A. Pengkajian Keperawatan Ruang Rawat
: Teratai
Tanggal Masuk
:10 Desember 2017
I.
II.
IDENTITAS KLIEN Nama
: Tn. A (L/P)
Umur
: 35 Tahun
Informan
: Saudara
Tanggal Pengkajian
: 12 Desember 2019
RM No
: 12190114
ALASAN MASUK Klien 2 bulan sebelum masuk RSJ klien sering menyendiri, membakar barang pribadi, sedikit bicara, sulit berkomunikasi, sering berbicara sendiri dan sulit tidur.
36
III.
FAKTOR PREDISPOSISI 1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu?
(Ya/Tidak)
2. Pengobatan sebelumnya (Berhasil, Kurang berhasil, tidak berhasil) 3. Aniaya fisik Aniaya seksual
: :
Penolakan
:
Kekerasan dalam keluarga
:
Tindakan criminal
:
Penjelasan No 1, 2, 3 : 1) Klien pernah mengalami gangguan jiwa ± 3 tahun yang lalu, pernah menjalani rawat jalan di RSJ. Menur Surabaya. 2) Klien tidak rutin control, sehingga pengobatan kurang berhasil. 3) Klien pernah mengalami penolakan sosial di lingkungan masyarakat pada masa lalu yang tidak menyenangkan dan pernah mengalami amputasi bagian tubuh. Masalah keperawatan : Harga diri rendah 4. Adakah anggota keluarga gangguan jiwa? Tidak Masalah keperawatan
: tidak ada
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan : Klien mempunyai pengalaman masalalu yang tidak menyenangkan yaitu jatuh dari sepeda motor sehingga tangan lengan kanan diamputasi. Masalah Keperawatan : resimen terapi.
IV.
FISIK 1. Tanda vital: TD: 130/80 mmHg N: 84 x/menit S: 36,5 ºC P: 26 x/menit 37
2.
Ukur: TB: 179 cm BB: 62 kg
3. Keluhan fisik
: Tidak ada
Jelaskan
: klien tidak mengeluh kesakitan dan ada kelainan fisik.
Masalah Keperawatan : mobilitas fisik.
V.
PSIKOSOSIAL 1. Genogram Keterangan : 1
2
= laki-laki = perempuan
3
= menikah
4
= meninggal = mengalami harga diri
4
Jelaskan
5
6
rendah
: Klien adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia belum menikah.
Keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat gangguan jiwa. Saat ini klien serumah dengan keluarganya. Masalah Keperawatan : tidak ada
2. Konsep diri a. Gambaran diri : klien mengatakan bagian tubuh yang paling disukai adalah mata karena dapat melihat, sedangkan yang tidak disukai adalah lengan kanannya. b. Identitas : klien mengatakan anak ke-2 dari 3 bersaudara c. Peran : klien mengatakan di dalam keluargannya atau dirumah sebagai anak. d. Ideal diri : klien mengatakan malu berhadapan langsung dengan orang lain selain ibu dan adiknya, serta merasa tidak pantas jika berada di antara orang lain, dan kurang interaksi sosial. 38
Masalah keperawatan : Gangguan konsep diri: harga diri rendah
3. Hubungan sosial a. Orang yang terdekat : ibu dan adik b. Peran serta kegiatan kelompok/masyarakat : sebelum klien sakit sering mengikuti gotong royong di desanya. c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain : selama klien rawat jalan temannya berkurang karena klien malu untuk berkomunikasi. Masalah Keperawatan : Kerusakan interaksi sosial
4. Spiritual
VI.
a. Nilai dan keyakinan
: klien beragama Islam
b. Kegiatan ibadah
: klien mengatakan jarang sholat dalam 5x sehari
Masalah Keperawatan
: Tidak ada masalah keperawatan
STATUS MENTAL 1. Penampilan Jelaskan : Penampilan klien kurang rapi, rambut jarang disisir, klien menggunakan baju yang disediakan di RSJ. Masalah keperawatan
: Defisit perawatan diri
2. Pembicaraan Jelaskan : Klien berbicara lambat tetapi dapat tercapai dan dapat dipahami Masalah keperawatan : 3. Aktivitas motoric Jelaskan
: Klien tampak tegang dan
lebih banyak menunduk, aktifitas klien
menyesuaikan. Masalah keperawatan : Aktivitas intolerans atau intoleransi aktivitas 4. Alam perasaan Jelaskan : Klien mengatakan bosan di RSJ ingin cepat sembuh dan pulang, klien sedih belum bisa bertemu ibunya. Masalah keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan 39
5. Afek Jelaskan : Afek klien tidak sesuai dalam keadaan Masalah keperawatan 6. Interaksi selama wawancara Jelaskan : selama wawancara klien kurang dalam interaksi kontak mata karena menunduk, sesekali klien menenggadah, selalu menjawab jika ditanya. Masalah Keperawatan : 7. Persepsi Jelaskan : Halusinasi saat pengkajian tidak ditemukan Masalah keperawatan : 8. Tingkat kesadaran o Bingung Sedasi Stupor o Disorientasi o Waktu Tempat Orang o Jelaskan : klien tampak bingung. Orientasi terhadap hari, waktu, dan tanggal baik 9. Memori Jelaskan : klien sangat malu atas kehadirannya dimasyarakat, serta tidak mampu mengingat kejadian yang terjadi dalam jangka panjang. 10. Tingkat konsentrasi dalam berhitung Jelaskan : Klien mampu berkooperatif serta dapat berhitung lancar, contoh 20-15=5 11. Kemampuan penilaian Jelaskan : klien mampu mengambil keputusan dengan baik. 12. Daya Tarik diri Jelaskan : klien mengetahui dan sadar bahwa dirinya dirawat di RSJ Menur Surabaya serta klien mengetahui tujuan dirinya dirawat.
VII.
Kebutuhan Persiapan Pulang 1. Makan : klien dapat menghabiskan porsi makanan yang sudah disiapkan serta dapat membersihkan alat makan secara mandiri. 40
2. BAB/BAK
: klien mengatakan pola BAB/BAK baik, tidak mengalami
gangguan, serta klien dapat BAB/BAK secara mandiri. 3. Mandi
: Klien mandi 2x sehari, pagi dan sore secara mandiri.
4. Berpakaian/berhias
: klien memakai baju yang disiapkan oleh rumah
sakit jiwa dengan bantuan petugas. 5. Istirahat dan tidur
: Klien lebih banyak tidur siang pukul 12.30-15.00,
tidur malam pukul 20.00-04.30 WIB. 6. Penggunaan obat
: klien minum obat secara teratur secara mandiri.
7. Pemeliharaan kesehatan : klien tetap mendapatkan perawatan lanjutan oleh keluarganya dirumah dan tetap mengonsumsi obat sesuai resep dokter . 8. Kegiatan di dalam rumah
: klien dapat melakukan kegiatan di dalam rumah
secara mandiri. 9. Kegiatan di luar rumah : Klien dapat melakukan kegiatan diluar rumah, misalnya dalam bermasyarakat.
VIII.
IX.
Mekanisme Koping 1. Adaptif
: klien berinteraksi hanya dengan ibu dan adiknya saja
2. Maladaptife
: menghindar dan berusaha selalu menyendiri
Masalah Psikososial dan Lingkungan 1. Masalah dengan dukungan kelompok, spesifiknya tidak ada, klien kadang ikut kegiatan kelompok yang di adakan warga. 2. Masalah berhubungan dengan lingkungan, spesifiknya klien menarik diri dari lingkungan.
X.
Pengetahuan Harga diri rendah, karena klien merasa dirinya tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat.
41
DIAGNOSIS KEPERAWATAN 1. Harga diri rendah kronik berhubungan dengan kurang respek dari orang lain (Domain 6, Kelas 2, 00119) Definisi: evaluasi diri/perasaan negative tentang diri sendiri atau kemampuan diri yang berlangsung minimal tiga bulan. 2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan Trauma (Domain 6. Presepsi Diri. Kelas 3. Citra Tubuh (00118) Definisi: Konfunsi dalam gambaran mental tentang diri dan fisik individu 3. Defisit perawatan diri : berpakaian berhubungan dengan kendala lingkungan. Kelas 5. Perawatan Diri (00109) Definisi : Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian secara mandiri.
INTERVENSI KEPERAWATAN No
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Keperawatan 1.
Harga diri rendah Setelah dilakukan tindakan Latihan Asertif (4340) kronik berhubungan keperawatan selama 7x24 1. Tentukan apa hambatan untuk dengan kurang respek jam diharapkan klien dapat
bisa asertif.
dari orang lain.
mengatasi harga diri rendah
Rasional: untuk memudahkan
(Domain 6, Kelas 2, kronik dengan kriteria hasil:
perawat dalam problem solving
00119)
klien. 2. Bantu klien mengenali hak,
Harga Diri (1205) Definisi:
evaluasi
1. Penerimaan
terhadap
diri/perasaan negative
keterbatasan
diri
tentang diri sendiri
(120502)
atau kemampuan diri yang
berlangsung
minimal tiga bulan.
2. Gambaran kembali (120506)
tanggung jawab dan normanorma yang bertentangan. Rasional:
diri
klien positif
meningkatkan
pengetahuan keluarga dalam merawat klien bersama. 3. Puji
upaya
klien
untuk
mengekspresikan perasaan dan ide. 42
3. Klien dapat melakukan komunikasi
secara
terbuka (120507) 4. Tingkat diri
mendorong
pengulangan
perilaku
yang
positif dan meingkatkan harga
kepercayaan
klien
Rasional:
diri klien.
kembali 4. Monitor tingkat kecemasan dan
normal (120511)
ketidaknyamanan
yang
berhubungan dengan perubahan Keterlibatan Sosial (1503)
perilaku.
1. Klien dapat berinteraksi dengan
teman
dekat Peningkatan Harga Diri (5400)
(150301)
1. Monitor
2. Klien dapat berinteraksi dengan
tetangga
(150302)
klien
mengenai harga diri. Rasional: dengan melakukan hal tersebut guna memantau
3. Klien ikut berpartisipasi dalam aktivitas yang terorganisir (150307) 4. Klien
pernyataan
berpartisipasi
kondisi
klien
tentang
kepercayan diri. 2. Tentukan
kepercayaan diri
klien dalam hal penilaian diri.
dalam aktivitas waktu
Rasional:
meningkatkan
luang dengan orang lain
kepercayan diri klien dengan
(150311)
efektif
dapat
meningkatkan
harga diri. 3. Melakukan kontak mata pada saat
berkomunikasi
dengan
orang lain. Rasional: melakukan kontak mata saat berkomunikasi dapat meningkatkan kepercayaan diri. 4. Fasilitasi aktifitas
lingkungan yang
dan akan
meningkatkan harga diri klien. 43
Rasional: agar klien dapat melakukan
aktivitas
dengan
efektif.
Dukungan Emosional (5270) 1. Diskusi dengan klien mengenai pengalaman emosinya. Rasional: agar dapat memonitor tingat emosi klien dengan baik. 2. Eksplorasi apa yang memicu emosi klien. Rasional: dengan mengetahui faktor pemicu emosi klien, perawat dapat meminimalkan tingkat emosi klien. 3. Sentuh klien dengan penuh dukungan. Rasional:
menyentuh klien
dapat memberikan kepercayaan pada klien. 4. Dorong
klien
untuk
mengekspresikan
perasaan
cemas, marah atau sedih. Rasional:
klien
dapat
mengekspresikan dengan
perasaan
tepat
untuk
meningkatkan koping. 2.
Gangguan
citra Setelah dilakukan tindakan Peningkatan Koping (5230)
tubuh berhubungan selama 7x24 jam diharapkan 1. Dukung dengan Trauma.
klien dapat mencapai kriteria
pasien
untuk
mengidentifikasi deskripsi yang
hasil: 44
(Domain 6. Presepsi Diri. Kelas 3, 00118)
Definisi:
Konfunsi
dalam
gambaran
mental
tentang
diri+fisik individu.
realistik
terhadap
adanya
Tingkat Rasa takut ( 1210)
perubahan dalam peran.
1. Tidak
Rasional: untuk mengetahui
kekurangan
kepercayaan diri. 2. Tidak
merasa
mampu
realistik tidak
terhadap
dalam peran yang dialami klien.
membangun 2. Gunakan
hubungan interpersonal.
tenang jaminan.
4. Tidak
Rasional:
menghindar.
pendekatan dan
3. Tidak menarik diri. berperilaku
perubahan
yang
memberikan
membantu klien
untuk bersikap positif menerima perubahan tentang diri sendiri. 3. Berikan suasana penerimaan.
Harga Diri (1205) 1. Penerimaan
terhadap
keterbatasan diri.
Rasional: Suasana penerimaan dapat meningkatkan harga diri
2. Komunikasi terbuka.
klien.
3. Pemenuhan peran yang 4. Dukung sikap (pasien) terkait signifikan
secara
pribadi. 4. Tingkat diri.
dengan harapan yang realistis sebagai upaya untuk mengatasi
kepercayaan
perasaan Ketidakberdayaan. Rasional: klien
Untuk dalam
membantu menyadari
perasaannya yang tidak biasa. 5. Dukung verbalisasi, perasaan, presepsi dan rasa takut. Rasional: terkait
Memotivasi
verbalisasi,
klien
perasaan,
presepsi dan rasa takut. 6. Dukung
pasien
untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kemampuan diri. 45
Rasional:
Memotivasi
klien
untuk melakukan kegiatan yang biasa dilakukan.
Peningkatan Harga Diri (5400) 1. Monitor
pernyataan pasien
mengenai harga diri. Rasional:
untuk
mngetahui
klien
mengenai
pasien
untuk
pernyataan harga diri. 2. Bantu
mengidentifikasi respon positif dari orang lain. Rasional:
Meningkatkan
pemahaman klien berhubungan dengan orang lain. 3. Sampaikan/ungkapan kepercayaan diri pasien dalam mengatasi situasi. Rasional:
Meningkatkan
semangat klien untuk menolong dirinya dan mencoba bangkit dari masalah. 4. Bantu klien untuk memeriksa presepsi negatif terhadap diri. Rasional: Untuk mengetahui persepsi negatif klien terhadap dirinya. 5. Berikan hadiah atau pujian terkait dengan kemajuan pasien dalam mencapai tujuan. 46
Rasional: Hadiah atau pujian dapat meningkatkan harga diri klien. 6. Fasilitasi
lingkungan
dan
aktivitas-aktivitas yang akan meningkatkan harga diri. Rasional:
Agar klien dapat
melakukann
aktivitas
yang
meningkatkan harga diri.
3.
Defisit
perawatan Tujuan: Setelah dilakukan Intervensi:
diri : berpakaian tindakan selama 3x24 jam Berpakaian (1630) berhubungan dengan diharapkan kendala lingkungan. (Domain
klien
dapat
mencapai kriteria hasil
Identifikasi area dimana pasien membutuhkan bantuan dalam
4.
berpakaian
Aktivitas/istirahat
Adaptasi
Kelas 5, 00109)
Disabilitas fisik (1308)
dalam mengenakan pakaian
yang tepat
Definisi:
Hambatan
kemampuan melakukan
aktivitas
lisan terhadap
atau
(130802)
berpakaian
secara mandiri.
Rasional: memudahkan klien
Menyampaikan secara
untuk
menyelesaikan
terhadap
penyesuaian disabilitas
untuk berpakaian sendiri
Beradaptasi
terhadap
keterbatasan
secara
Rasional:
Menggunakan
dengan
pakaian
strategi
untuk mengurangi stress yang
meninjau
perkembangan klien memakai
fungsional (130803)
Monitor kemampuan pasien
berhubungan disabilitas
Dukung [pasien untuk ber] partisipasi
dalam pemilihan
pakaian
(130806)
Rasional: klien merasa senang
Mengidentifikasi cara-
dengan pilihan pakaian yang
cara untuk beradaptasi
dikenakan 47
dengan
perubahan
hidup (130808)
Menggunakan dukungan
system
perawatan diri dengan tepat
personal
Rasional: Memudahkan pasien
(130824)
dalam perawatan diri
Tingkat Kecemasan (1211)
Dukung penggunaan perangkat
Berikan bantuan sampai pasien
Tidak dapat beristirahat
sepenuhnya mampu memikul
(121101)
tanggung
Masalah
jawab
untuk
berpakaian sendiri
perilaku
(121111)
Rasional:
Menarik Diri (121128)
pasien
Gangguan
berpakaian
tidur
Memandirikan dalam
kegiatan
(121129) Bantuan Perawatan Diri (1800) Status
Kenyamanan:
Suplai
dan
kemampuan
perawatan diri secara mandiri
Lingkungan (2009)
Monitor
Rasional:
peralatan
meninjau
yang dibutuhkan berada
perkembangan
dalam
perawatan diri secara mandiri
jangkauan
klien
dalam
(200901)
Privasi (200910)
Monitor
kebutuhan
pasien
Lingkungan yang damai
terkait
dengan
(200915)
kebersihan diri, alat bantu
alat-alat
untuk berpakaian, berdandan, Motivasi (1209)
eliminasi, dan makan
Memperoleh dukungan
Rasional: meninjau kebutuhan
yang
klien terkait dengan perawatan
(120904)
diperlukan
diri
48
Memulai
perilaku
Berikan bantuan sampai pasien
mencapai target yang
mampu melakukan perawatan
diarahkan
diri sendiri
dari
diri
sendiri (120905)
Rasional:
Mempertahankan harga
kemandirian
diri positif (120907)
melakukan perawatan diri
meningkatkan klien
dalam
Lakukan pengulangan konsisten
terhadap
yang
rutinitas
kesehatan yang dimaksudkan untuk membangun [perawatan diri] Rasional: Melatih pasien dalam kegiatan
berpakaian
dengan kemampuan
49
sesuai
PEMBAHASAN Tn. A berusia 35 tahun bertempat tinggal di Sutorejo Surabaya merupakan klien RSJ Menur Surabaya. Beliau dirawat di RSJ Menur sejak tanggal 10 Desember 2017 di ruangan teratai. Adapun alasan Tn. A menjalani perawatan tersebut adalah klien sering menyendiri, membakar barang pribadi, sedikit berbicara, sulit berkomunikasi dengan masyarakat, sering berbicara sendiri, sulit tidur dan Tn. A pernah mengalami gangguan jiwa ± 3 tahun yang lalu, pernah menjalani rawat jalan di RSJ. Menur Surabaya. Namun Tn.A tidak rutin control, sehingga pengobatan kurang berhasil didapat. Klien pernah mengalami penolakan sosial di lingkungan masyarakat pada masa lalu yang tidak menyenangkan dan pernah mengalami amputasi bagian tubuh. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik diperoleh data TD: 130/80 mmHg, N: 84 x/menit, S: 36,5 ºC P: 26 x/menit, TB: 179 cm BB: 62 kg. Dari keluarga Tn. A tidak ada yang menderita gangguan jiwa sebelumnya A. Pengkajian Pada pengkajian, proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan format pengkajian perawatan jiwa yang telah ditetapkan.Pengumpulan data yang dilakukan didapatkan dengan wawancara secara langsung dengan klien, observasi dan catatan keperawatan serta media diruangan. Dalam melakukan pengkajian juga diperoleh dari keluarga. Pengkajian berjalan lancer, namun pada saat proses awal pengkajian pasien tidak menjawab. Dengan membangun hubungan saling percaya, pasien akhirnya mau merespon pertanyaan-pertanyaan untuk proses pengkajian
B. Diagnosa Dari kasus yang kami ambil, diagnose keperawatan yang ada pada teori Konsep Diri: Harga diri rendah, kelompok kami menemukan ada 3 diagnosa keperawatan, yaitu : 1. Harga diri rendah kronik berhubungan dengan kurang respek dari orang lain
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan Trauma (Domain 6. Presepsi Diri. Kelas
50
C. Intervensi Intervensi merupakan suatu rencana tindakan yang disusun untuk mengatasi permasalahan yang dialami klien. Dari kasus yang kami ambil, intervensi yang kami lakukan pada kasuss disesuakian dengan Konsep Diri: Harga diri renda. Intervensi yang dilakukan juga melibatkan keluarga untuk mendukung setiap aktifitas yang dilakukan oleh klien selama dirawat. Contohnya pada SP 1 sampai SP 6. D. Implementasi Implementasi merupakan tahap dimana segala intervensi keperawatan dilaksanakan untuk memenuhi semua kebutuhan klien secara optimal. Kelompok telah melakukan asuhan keperawatan sesuai intervensi keperawatan yang telah dibuat sebelumnya. Dalam mengimplementasikan perencanaan yang telah dibuat juga berkolaborasi dengan keluarga untuk meningkatkan koping pasien dan berkolaborasi dengan dokter untuk terapi farmako. E. Evaluasi Proses evaluasi dilakukan dari awal sampai akhir, dari kegiatan interaksi yang dilakukan dengan metode analisis SOAP (Subjektif, Objektif, Analisis, Problem). Setelah dilakukan tindakan sesuai dengan intervensi, kelompok mengharapkan agar klien dapat menerima keterbatasan yang dimilikinya, Gambaran diri kembali positif, klien dapat melakukan komunikasi secara terbuka, dan tingkat kepercayaan diri klien kembali, klien dapat berinteraksi dengan orang lain dan dapat beraktivitas kembali.
2.2 DISTRESS SPIRITUAL 3.2.1 Definisi Menurut Lumongga (dalam Sukoco, 2014) jenis stres tersebut dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : distress dan eustress. Distress merupakan jenis stres negatif yang sifatnya mengganggu individu yang mengalaminya, sedangkan eustress adalah jenis stres yang sifatnya positif atau membangun. Istilah stres tidak dapat dipisahkan dari distress dan depresi, karena satu sama lainnya saling terkait. Stres merupakan reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan yang dialaminya dan apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu
51
dinamakan distress. Sedangkan depresi merupakan reaksi kejiwaan terhadap stressor yang dialaminya. Spritual menurut kamu besar bahasa indonesia adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan rohani, batin. Spiritual berkenaan dengan hati, jiwa, semangat, kepedulian antar sesama manusa, mahluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya.Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial. Dengan kata lain kita dapat katakan bahwa distres spiritual adalah kegagalan individudalam menemukan arti kehidupannya. 3.2.2 Etiologi 1. Faktor Predisposisi Gangguan pada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang sehingga akan mengganggu proses interaksi dimana dalam prosesinteraksi ini akan terjadi transfer pengalaman yang penting bagi perkembanganspiritual seseorang. Faktor predisposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan, pendapatan, okupasi, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial, tingkatan sosial. 2. Faktor Presipitasi a. Kejadian stresfull Mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang dapat terjadi karena perbedaan tujuan hidup, kehilangan hubungan dengan orang yang terdekatkarena kematian, kegagalan dalam menjalin hubungan baik dengan dirisendiri, orang lain, lingkungan dan zat yang maha tinggi. b. Ketegangan Hidup beberapa ketegangan hidup yang berkonstribusi terhadap terjadinyadistres spiritual adalah ketegangan dalam menjalankan ritual 52
keagamaan, perbedaan keyakinan dan ketidakmampuan menjalankan peran spiritual baik dalam keluarga, kelompok maupun komunitas. 3.2.3 Patofisiologi Berhubungan dengan tantangan pada sistem keyakinan atau perpisahandari ikatan spiritual sekunder akibat : kehilangan bagian atau fungsi tubuh, penyakit terminal, penyakit yang membuat kondisi lemah, nyeri, trauma,keguguran, kelahiran, dan mati. Berikut Patofisiologis :
Patofisiologi distress spiritual tidak bisa dilepaskan dari stress dan struktur serta fungsi otak.
Stress adalah realitas kehidupan manusia sehari-hari. Setiap orang tidak dapat dapat menghindari stres, namun setiap orang diharpakan melakukan penyesuaian terhadap perubahan akibat stres. Ketika kita mengalami stres, otak kita akan berespon untuk terjadi. Konsep ini sesuai dengan yang disampikan oleh Cannon, W.B. dalam Davis M, dan kawan-kawan (1988) yang menguraikan respon “melawan atau melarikan diri” sebagai suatu rangkaian perubahan biokimia didalam otak yang menyiapkan seseorang menghadapi ancaman yaitu stres.
Stres akan menyebabkan korteks serebri mengirimkan tanda bahaya ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian akan menstimuli saraf simpatis untuk melakukan perubahan. Sinyal dari hipotalamus ini kemudian ditangkap oleh sistem limbik dimana salah satu bagian pentingnya adalah amigdala yang bertangung jawab terhadap status emosional seseorang. Gangguan pada sistem limbik menyebabkan perubahan emosional, perilaku dan kepribadian. Gejalanya adalah perubahan status mental, masalah ingatan, kecemasan dan perubahan kepribadian termasuk halusinasi (Kaplan et all, 1996), depresi, nyeri dan lama gagguan (Blesch et al, 1991).
Kegagalan otak untuk melakukan fungsi kompensasi terhadap stresor akan menyebabkan seseorang mengalami perilaku maladaptif dan sering dihubungkan dengan munculnya gangguan jiwa. Kegagalan fungsi kompensasi dapat ditandai dengan munculnya gangguan pada perilaku sehari-hari baik secara fisik, psikologis, sosial termasuk spiritual. 53
Gangguan pada dimensi spritual atau distres spritual dapat dihubungkan dengan timbulnya depresi.
Ada beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya depresi antara lain faktor genetik, lingkungan dan neurobiologi.
Perilaku ini yang diperkirakan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya sehingga terjadi distres spritiual karena pada kasus depresi seseorang telah kehilangan motivasi dalam memenuhi kebutuhannya termasuk kebutuhan spritual.
3.2.4 Pohon masalah Distress masa lalu
Distress spiritual
Ketidakefektifan koping individu
Ketidakefektifan koping keluarga
Gangguan konsep diri
Penurunan aktifitas motorik
Isolasi sosial : menarik diri
Defisit perawatan diri
Kerusakan komunikasi verbal
Risiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
Risiko mencederai disi sendiri dan lingkungan
3.2.5 Penatalaksanaan 1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien. 2. Kaji faktor penyebab gangguan spiritual pada pasien. 3. Bantu pasien mengungkapkan perasaan dan pikiran akan terhadapspiritual yang diyakininya. 4. Bantu klien mengembangkan skill untuk mengatasi perubahan spiritualdalam kehidupan. 5. Fasilitasi pasien dengan alat-alat ibadah sesuai keyakinan atau agamayang dianut oleh pasien. 54
6. Fasilitasi klien untuk menjalankan ibadah sendiri atau dengan orang lain. 7. Bantu pasien untuk ikut serta dalam kegiatan keagamaan. 8. Bantu pasien mengevaluasi perasaan setelah melakukan kegiatan ibadahatau kegiatan spiritual lainnya. 3.2.6 Manifestasi klinis 1. Keluarga Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritual anak. Hal yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua pada anak tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan, diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. 2. Latar belakang etnik dan budaya Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk nilai moral dari hubungan keluarga. Akan tetapi perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual unik bagi setiap individu. 3. Pengalaman hidup sebelumnya Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi spiritual seseorang. Pengalaman hidup yang menyenangkan seperti pernikahan, kelulusan, atau kenaikan pangkat menimbulkan syukur pada Tuhan. Peristiwa buruk dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan pada manusia untuk menguji imannya.
4. Krisis dan perubahan Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian. Bila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang atau
55
berdoa lebih meningkat dibandingkan dengan pasien yang berpenyakit tidak terminal. 5. Terpisah dari ikatan spiritual Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu terpisah atau kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah antara lain tidak dapat menghadiri acara sosial, mengikuti kegiatan agama dan tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman yang biasa memberikan dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual beresiko terjadinya perubahan fungsi spiritual. 6. Isu moral terkait dengan terapi Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya walaupun ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medis seringkali dapat dipengaruhi oleh ajaran agama seperti sirkumsisi, transplantasi organ, sterilisasi,dll. Beberapa hal gejala yang timbul dalam spiritual : a. Pasien kesepian. Pasien dalam keadaan sepi dan tidak ada yang menemani akan membutuhkan bantuan spiritual karena mereka merasakan tidak ada kekuatan selain kekuatan Tuhan, tidak ada yang menyertainya selai Tuhan. b. Pasien ketakutan dan cemas. Adanya kektakutan atau kecemasan dapat menimbulkan perasaan kacau, yang dapat membuat pasien membutuhkan ketenangan pada dirinya, dan ketengan yang paling besar adalah bersama tuhan. c. Pasien menghadapi pembedahan. Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien selalu membutuhkan bantuan spiritual. d. Pasien yang harus mengubah gaya hidup. Perubahan gaya hidup dapat membuat seseorang lebih membutuhkan keberadaan Tuhan (kebutuhan spiritual). Pola gaya hidup dapat membuat kekacauan keyakinan bila kea
56
rah yang lebih buruk. Akan tetapi bila perubahan gaya hidup kea rah yang lebih baik, maka pasien akan lebih membutuhkan dukungan spiritual. 3.2.7 Asuhan keperawatan distress social Pengkajian Spiritual Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah Puchalski’s FICA Spritiual History Tool (Pulschalski, 1999) :
F : Faith atau keyakinan (apa keyakinan saudara?) Apakah saudara
memikirkan diri saudara menjadi sesorang yang spritual ata religius? Apa yang saudara pikirkan tentang keyakinan saudara dalam pemberian makna hidup?
I : Impotance dan influence. (apakah hal ini penting dalam kehidupan
saudara). Apa pengaruhnya terhadap bagaimana saudara melakukan perawatan terhadap diri sendiri? Dapatkah keyakinan saudara mempengaruhi perilaku selama sakit?
C : Community (Apakah saudara bagian dari sebuah komunitas spiritual
atau religius?) Apakah komunitas tersebut mendukung saudara dan bagaimana? Apakah ada seseorang didalam kelompok tersebut yang benar-benar saudara cintai atua begini penting bagi saudara?
A : Adress bagaimana saudara akan mencintai saya sebagai seorang
perawat, untuk membantu dalam asuhan keperawatan saudara? Pengkajian aktifitas sehari-hari pasian yang mengkarakteristikan distres spiritual, mendengarkan berbagai pernyataan penting seperti :
Perasaan ketika seseorang gagal
Perasaan tidak stabil
Perasaan ketidakmmapuan mengontrol diri
Pertanyaan tentang makna hidup dan hal-hal penting dalam kehidupan
Perasaan hampa
Faktor Predisposisi :
57
Gangguan pada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif
seseorang sehingga akan mengganggu proses interaksi dimana dalam proses interaksi ini akan terjadi transfer pengalaman yang pentingbagi perkembangan spiritual seseorang.
Faktor frediposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan,
pendapattan, okupasi, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial, tingkatan sosial.
Faktor Presipitasi :
Kejadian Stresful
Mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang dapat terjadi karena perbedaan tujuan hidup, kehilangan hubungan dengan orang yang terdekat karena kematian, kegagalan dalam menjalin hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan dan zat yang maha tinggi.
Ketegangan Hidup
Beberapa ketegangan hidup yang berkonstribusi terhadap terjadinya distres spiritual adalah ketegangan dalam menjalankan ritual keagamaan, perbedaan keyakinan dan ketidakmampuan menjalankan peran spiritual baik dalam keluarga, kelompok maupun komunitas.
Penilaian Terhadap Stressor :
Respon Kognitif
Respon Afektif
Respon Fisiologis
Respon Sosial
Respon Perilaku
Sumber Koping : Menurut Safarino (2002) terdapat lima tipe dasar dukungan sosial bagi distres spiritual : 58
1.
Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada
kepentingan orang lain. 2.
Tipe yang kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif
thingking, mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain. 3.
Dukungan yang ketiga adalah dukungan instrumental yaitu menyediakan
pelayanan langsung yang berkaitan dengan dimensi spiritual. 4.
Tipe keempat adalah dukungan informasi yaitu memberikan nasehat,
petunjuk dan umpan balik bagaimana seseorang harus berperilaku berdasarkan keyakinan spiritualnya. 5.
Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan network menyediakan
dukungan kelompok untuk berbagai tentang aktifitas spiritual. Taylor, dkk (2003) menambahkan dukungan apprasial yang membantu seseorang untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor spiritual dalam mencapai keterampilan koping yang efektif.
PSIKOFARMAKA :
Psikofarmaka pada distres spiritual tidak dijelaskan secara tersendiri.
Berdasarkan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia III aspek spiritual tidak digolongkan secara jelas apakah masuk kedalam aksis satu, dua, tiga, empat atau lima
Asuhan Keperawatan DIAGNOSA
NURSING OUTCOMES
NURSING INTERVENTION
KEPERAWATAN
CLASSIFICATION
CLASSIFICATION (NIC)
(NANDA)
(NOC)
59
Distress Spiritual b.d
Setelah dilakukan tindakan Fasilitasi
ansietas d.d harga diri
keperawatan selama 3x24
Spiritual
rendah
jam, pasien dapat
Aktifitas Keperawatan:
mengatasi distress spiritual
1)
dengan kriteria hasil: a.
b.
c.
e.
Tunjukkan
perhatian
melalui
aktifitas
Memiliki kualitas
menghadirkan
keyakinan yang jelas
dengan
Memiliki
waktu bersama pasien,
kemampuan berdoa
keluarga apsien, dan
Kemamouan
orang yang penting bagi
beribadah tidak
pasien
terganggu d.
Pengembangan
2)
diri
meluangkan
Ciptakan
model
Berpartisipasi dalam
hubungan yang sehat
bacaan spiritual
dan
Memiliki
berpikir
pengalaman spiritual
3)
keterampilan
Tawarkan
dukungan
untuk mendoakan baik individu
maupun
kelompok dengan tepat 4)
Bantu
pasien
untuk
mengeksplorasi terkait kepercayaan
dengan
penyembuhan
tubuh,
pikiran, dan jiwa
60
KASUS A. PENGKAJIAN I.
Data Demografi
a) Biodataklien 1. Nama
: Ny. B
2. Usia
: 35 tahun
3. Jenis Kelamin
: Perempuan
4. Bahasa Dominan
: Sunda
5. Status Perkawinan
: Menikah
6. Alamat
: TawangKulon, Tasikmalaya
7. Tanggal Masuk
: 10 Maret 2011
8. Tanggal Pengkajian
: 12 Maret 2011
9. Ruang Rawat
: R.3
10. Nomor Rekam Medik
: 130809
11. Diagnosa Medis
: Ca. Rahim
12. Riwayat Alergi
:-
13. Diet
: TKTP
b) Penanggungjawab 1.
Nama
: Tn. P
2.
Usia
: 40tahun
3.
JenisKelamin
: Laki-laki
4.
Pekerjaan
: Wiraswasta 61
5.
Hubungan dengan klien : Suami
II. Keluhan Utama Klien mengeluh pusing, karena semalaman tidak bisa tidur memikirkan perdarahan yang banyak dari vaginanya.
III. Penampilan Umum Dan Perilaku Motorik 1.
Fisik a. Berat Badan
: 47 kg
b. Tinggi badan
: 156 cm
c. Tanda-tanda vital
:
2.
TD
: 100/70mmhg,
RR
: 16x/menit,
N
: 40x/menit,
S
: 370C
Riwayat Pengobatan Fisik Klien sudah pernah berobat kePuskesmas dan Pengobatan Alternatif.
IV. Faktor Predisposisi Klien divonis menderita kanker rahim stadium IV B.
62
V. Faktor Presipitasi Klien mengatakan tidak cukup uang untuk berobat ke rumah Sakit. Klien mengatakan berat badannya cepat menurun dan tidak nafsu makan.
VI. Masalah Keperawatan Cemas kematian
VII. Tingkat Ansietas Tingkat ansietas klien berat ditandai dengan : a.
Klien tampak sedih yang mendalam
b.
Klien tampak cemas
c.
Klien tampak pucat
d.
Klienterusmenanyakan
e.
Klientampakmurung
VIII. Riwayat Keluarga Klien tinggal bersama suami dan seorang anak. Klien sudah berkeluargaselama 10 tahun. Menurut klien, keluarganya sangat harmonis dan belumpernah ada permasalahan besar dalam keluarganya. Selain itu, klienmengatakan bahwa keluargnya selalu malakukan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan bersama.
XI. Riwayat Sosial a. Pola sosial
63
b. Menurut suami klien, klien merupakan seorang pribadi yang terbuka dan ramah. Peran serta dalam kelompok baik selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh lingkungan setempat. Dalam melakukan hubungan dengan orang lain klien mengaku tidak mengalami kesulitan. c. Obat –obatan yang Dikonsumsi d. Klien mengaku pernah mengonsumsi obat-obatan herbal diluar resep dan saat ini klien juga mengkonsumsi vitamin yang sudah diresepkan oleh dokter. e. Klien mengatakan tidak pernah menggunakan obat-obatan dan alkohol untuk mengatasi kecemasannya. f. Status Mental dan Emosi
Penampilan - Klien tampak pucat, ekspresi wajah sedih dan murung.
Tingkah laku -Klien mengatakan tidak nafsu makan, karena memikirkan penyakit yang dideritanya. -Dan klien pun selalu menanyakan tentang kematiannya.
Pola komunikasi Dalam berkomunikasi, klien lebih sering diam.
Mood dan Afek Klien merasa cemas dengan penyakit yang dideritanya dan selalu mengeluhakan keadaannya.
64
Proses Pikir Dalam proses pikir klien selalu memikirkan tentang apa yang akan
dialaminya setelah
mengalami kematian.
Persepsi Klien mengalami penurunan perhatian
Kognitif (a) Orientatif realita (b) Memori Klien mampu mengingat pertanyaan yang diajukan oleh perawat dan segera menjawab pertanyaan tersebut dengan jelas B.
Diagnosa Keperawatan 1. Ansietas/ ketakutan (individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup. 2. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain. 3. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres ( tempat perawatan ). 4. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian. 65
DIAGNOSA
NURSING OUTCOMES
NURSING INTERVENTION
KEPERAWATAN
CLASSIFICATION
CLASSIFICATION (NIC)
(NANDA)
(NOC)
Risiko Distress Spiritual
Setelah dilakukan tindakan Fasilitasi
b.d ansietas d.d penyakit
keperawatan selama 3x24
Spiritual
kronis
jam, pasien dapat
Aktifitas Keperawatan:
mengatasi distress spiritual dengan kriteria hasil: a.
b.
c.
1) Tunjukkan
perhatian
melalui
aktifitas
Memiliki keyakinan
menghadirkan
dan kualitas harapan
dengan
Memiliki perasaan
waktu bersama pasien,
kedamaian
keluarga apsien, dan
Memiliki
orang yang penting
kemampuan berdoa
bagi pasien
danberibadah d.
Pengembangan
diri
meluangkan
2) Ciptakan
model
Mampu
hubungan yang sehat
berpartisipasi dalam
dan
bacaan spiritual
berpikir
keterampilan
3) Tawarkan
dukungan
untuk mendoakan baik individu kelompok
maupun dengan
tepat 4) Bantu pasien untuk mengeksplorasi terkait kepercayaan
dengan
penyembuhan tubuh, pikiran, dan jiwa
66
67
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari paparan diatas gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan. Sementara distress sosial adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya. Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial. 3.2 Saran Kita sebgai seorang tenaga medis khususnya seorang perawat harus menguasai berbagai macam penyakit gangguan jiwa beserta faktor yang menjadi penyebabnya agar memudahkan kita dalam melakukan praktik ditengah masyarakat.
68
Daftar Pustaka
Dewi, Kartika S. 2012. Kesehatan Mental. Semarang : CV. Lestari Mediakreatif. Gaudiano, B. A., & Herbert, J. D. (2005). Methodological issues in clinical trials of antidepressant medications: perspectives from psychotherapy outcome research. Psychotherapy and psychosomatics, 74(1), 17-25. Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : CV ANDI OFFSET. Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press. Suerni, titik, dkk. 2013. PENERAPAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA KLIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUANG YUDISTIRA RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR TAHUN 2013.Jurnal Keperawatan Juwa. Vol. 1. No. 2. Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung : PT Refika Aditama. Yusuf, A., Fitryasari, P.K. and Nihayati, H.E., 2015. Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Surabaya. Salemba Medika. Ah. Yusuf, Nihayati, Hanik Endang Iswari, Miranti Florencia, Oktaviasanti, Fanni. 2017. KEBUTUHAN SPIRITUAL : Konsep Dan Aplikasi dalam Asuhan Keperawatan. Jakarta : Mitra Wacana Media Hidayah, Nur. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Ny. R Dengan Gangguan Defisit Perawatan Diri Di Ruang Srikandi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Towarto, Wartonal. 2007. Kebutuhan Dasar & Proses Keperawatan Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika Nanda 2005-2006. 2010. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press. http://eprints.ums.ac.id/37501/6/BAB%20II.pdf 69
http://etheses.uin-malang.ac.id/772/6/07410003%20Bab%202.pdf http://etheses.uin-malang.ac.id/1736/8/09410165_Bab_2.pdf https://eprints.uny.ac.id/3706/1/06Sukadiyanto.pdf http://digilib.uinsgd.ac.id/2826/5/4_bab1.pdf http://eprints.walisongo.ac.id/3457/5/101111007_Bab4.pdf
70