Makalah Wasling.docx

  • Uploaded by: Alissa Fadhilah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Wasling.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,810
  • Pages: 18
MAKALAH LIMBAH PRODUKSI INDUSTRI SEMEN

Alissa Qotrunnada Fadhilah Brigita Cahya Wulandari Dwiki Adam Prayoga Farah Layli Rahmadhani Imam Wahyudi Latif Wahyudi Mikrimah Belva Areta Nurul Fitriana Nurul Hamidah Suwandevi

Diusulkan oleh: 2031810002 2031810005 2031810012 2031810016 2031810020 2031810022 2031810027 2031810035 2031810036

Angkatan 2018 Angkatan 2018 Angkatan 2018 Angkatan 2018 Angkatan 2018 Angkatan 2018 Angkatan 2018 Angkatan 2018 Angkatan 2018

UNIVERSITAS INTERNASIONAL SEMEN INDONESIA GRESIK 2019

i

DAFTAR ISI Halaman Judul.............................................................................................. i Daftar Isi.......................................................................................................ii I. PENDAHULUAN....................................................................................1 1.1 Latar Belakang........................................................................................1 1.2 Tujuan......................................................................................................1 1.3 Manfaat ...................................................................................................1 II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2 2.1 Semen.......................................................................................................2 2.2 Limbah......................................................................................................3 III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS.........................................................4 IV. KESIMPULAN......................................................................................14 Daftar Pustaka...............................................................................................15

ii

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan dan pertumbuhan kearah perbaikan. Di indonesia sendiri pembangunan belum merata oleh karena itu pemerintah mengimbangi strategi pertumbuhan disertai dengan pemerataan pembangunan. Pertumbuhan di indonesia sendiri semakin taun semakin naik contohnya mulai dibangunya beberapa insfrastruktur diantanya yaitu mall, pasar, pemukiman dan lain lain. Untuk pembangunan tersebut tentunya dibutuhkan komposisi bahan bangunan yang berkualitas. Dan bahan baku yang utama yang dibutuhkan adalah semen. Semen merupakan alat perekat yang digunakan untuk merekatkan batu bata dalam bangunan. Semen sendiri memiliki komposisi batu kapur, pasir besi, pasir silica, tanah liat, gypsum dan bahan tambahan lain. Semen biasanya juga digunakan untuk bahan baku pembuatan lantai, jembatan, gedung bertingkat dan lain lain. Tentunya dalam penggunaan semen dibutuhkannya proses produksi. Proses produksi semen sendiri terdiri dari beberapa tahapan diantaranya penambangan dan lain lain dan dalam proses tersebut tentunya menghasilkan limbah 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang didapatkan, sebagai berikut: 1. Bagaimana proses produksi semen dalam industri semen ? 2. Apa saja limbah yang dihasilkan oleh proses industri semen 1.3 Tujuan Penulis Karya tulis ini bertujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses produksi semen 2. Untuk mengetahui limbah proses produksi semen

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Semen Semen merupakan bahan utama pembentuk beton yang bersifat hidrolis, yaitu akan memiliki sifat adhesif dan kohesif apabila telah bereaksi dengan air dan berperilaku sebagai perekat bagi agregat-agregat beton. Semen juga merupakan bahan ikat yang penting dan banyak digunakan dalam pembangunan fisik di sektor konstruksi sipil. Jika ditambah agregat halus, pasta semen akan menjadi mortar yang jika digabungkan dengan agregat kasar akan menjadi campuran beton segar yang setelah mengeras akan menjadi beton keras (concrete). Penggunaan semen sudah lama, hingga pada tahun 1824 diusulkan oleh Joseph Aspdin, nama semen portland karena campuran air, pasir dan batu-batuan yang bersifat pozzolan dan berbentuk bubuk ini pertama kali diolah di pulau Portland, Inggris. Semen portland pertama kali di produksi di pabrik oleh David Saylor di Coplay Pennyslvania, Amerika Serikat pada tahun 1875. Sejak saat itu, semen portland berkembang dan terus di buat sesuai dengan kebutuhan. Semen portland adalah semen yang banyak digunakan dalam pekerjaan kontruksi. Menurut ASTM C-150, 1985, semen portland didefinisikan sebagai semen hidrolik yang dihasilkan dengan klinker yang terdiri dari kalsium silikat hidrolik, yang umumnya mengandung satu atau lebih bentuk kalsium sulfat sebagai bahan tambahan yang digiling bersama-sama dengan bahan utamanya. ASTM (America Standard for Testing Material) menentukan komposisi semen portland menjadi lima type, yaitu: a. Type I : Semen portland yang digunakan untuk semua bangunan beton yang tidak mengalami perubahan cuaca yang dasyat atau dibangun dalam lingkungan yang sangat kohesif. b. Type II : Jenis semen yang mengeluarkan panas hidrasi lebih rendah serta dengan kecepatan penyebaran panas yang rendah pula, selain itu juga lebih tahan terhadap serangan sulfat. c. Type III : Jenis semen yang cepat mengeras, yang cocok untuk pengerasan beton pada suhu rendah. Jenis ini digunakan bilamana kekuatan yang harus dicapai dalam waktu sangat singkat dan biasanya dipakai pada pembuatan jalan yang harus cepat dibuka untuk lalu lintas. d. Type IV : Semen jenis ini menimbulkan panas hidrasi yang rendah. e. Type V : Semen portland jenis ini tahan terhadap serangan sulfat serta mengeluarkan panas hidrasi 25% - 40% lebih rendah dari semen type I (Cindika, 2008).

3

2.2 Limbah Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi, baik industri maupun domestik (rumah tangga). Limbah industri berasal dari kegiatan industri, baik karena proses secara langsung maupun tidak langsung. Limbah dari kegiatan industri adalah limbah yang terproduksi bersamaan dengan proses produksi, dimana produk dan limbah hadir pada saat yang sama. Sedangkan limbah tidak langsung terproduksi sebelum proses maupun sesudah proses produksi. Limbah pada suatu proses industri dapat menyebabkan pencemaran (Laksmi, 1993). Pencemaran adalah suatu penambahan yang mengubah kondisi lingkungan (udara, air, tanah) atau makanan sehingga berdampak negatif terhadap makhluk hidup. Pencemaran dapat berupa zat padat, cair, gas atau bentuk emisi energi yang tidak diingkinkan. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik, dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu. Kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah (Arief, 2016). Program pengendalian dan penanggulangan pencemaran perlu dibuat, sebab limbah tersebut, baik dalam jumblah besar atau sedikit, dalam jangka Panjang atau jangka pendek, akan membuat perubahan terhadap lingkungan, sehingga diperlukan pengolahan agar limbah yang dihasilkan tidak sampai mengganggu struktur lingkungan. Namun tidak selamanya limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Ada limbah yang langsung dapat dibuangtanpa pengolahan dan ada limbah yang setelah diolah dimanfaatkan kembali. Tanpa pengolahan berarti limbah yang begitu keluar dari pabrik langsung diambil dan dibuang. Ada beberapa jenis limbah yang perlu diolah dahulu sebab mengandung polutan yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan. Limbah diolah dengan tujuan untuk mengambil zat-zat berbahaya didalamnya (Arief, 2016).

4

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN Limbah membutuhkan pengolahan bila ternyata mengandung senyawa pencemaran yang berakibat menciptakan kerusakan terhadap lingkungan. Suatu perkiraan harus dibuat lebih dahulu dengan jalan mengidentifikasi pencemaran, kegunaan jenis bahan, sistem pengolahan,banyaknya buangan dan jenisnya, kegunaan bahan beracun dan berbahaya yang terdapat dalam pabrik. Ada limbah yang langsung dapat dibuang tanpa pengolahan, ada limbah yang setelah diolah dimanfaatkan kembali. Dimaksudkan tanpa pengolahan adalah limbah yang begitu keluar dari pabrik langsung diambil dan dibuang ( Jejak Langkah, 2011). Proses industri semen tetntunya tidak lepas dari limbah yang dihasilkan. Limbah yang dihasilkan tidak langsung dibuang karena akan menimbulkan dampak negatif. Dengan begitu limbah yang dihasilkan harus diolah terlebih dahulu sebelum di buang ke lingkungan untuk meminimalisir kerugian yang terjadi pada masyarakat atau pihak lainnya.

Gambar 3.1 Proses Pembuatan Semen Tidak setiap proses menghasilkan limbah. Proses pembuatan semen dan limbah yang dihasilkan serta penangannya adalah sebagai berikut: 1. Proses penganbilan bahan baku Bahan baku utama yang digunakan dalam proses pembuatan semen adalah batukapur dan tanah liat. Kedua bahan baku tersebut diperoleh dari proses

5

penambangan di quarry. Penambangan bahan baku merupakan salah satu kegiatan utama dalam keseluruhan proses produksi semen. Perencanaan penambangan bahan baku sangat menentukan pada proses – proses selanjutnya yang akhirnya bermuara pada kualitas dan kuantitas semen. Penambangan bahan baku yang tidak terencana dan terkontrol dengan baik akan menyebabkan gagalnya pemenuhan target untuk tahap produksi selanjutnya yang jika dihubungkan dengan kualitas dan biaya produksi secara keseluruhan dapat menurunkan daya saing produk terhadap produk yang sama yang dihasilkan oleh pesaing Persyaratan kualitas batukapur & tanah liat dalam proses penambangan adalah sebagai berikut : a. Batukapur 52%
Gambar 3.2 Sumber air pada tambang kapur

6

Gambar 3.3 Reklamasi dan penghijauan tambang kapur

2. Proses Crusher Bahan mentah yang berasal dari tambang, biasanya masih berukuran besar. Bahan mentah tersebut perlu dipecah untuk memperkecil ukurannya (size reduction) dengan menggunakan crusher. Size reduction dimaksudkan untuk menyiapkan ukuran bahan sesuai dengan ukuran umpan raw mill, untuk mempermudah pencampuran dan pengeringan. Stelah itu, Bahan baku harus disesuaikan dengan bentuk gudang dan cara pengambilan bahan tersebut. Storage ini berfungsi untuk prehomogenisasi atau biasa disebutkeseragaman. Proses crusher menghasilkan limbah berupa limbah padat berupa PM 10. PM 10 adalah partikulat matter dengan ukuran diameter 10 mikrometer. PM-10 Standar merupakan partikel kecil yang bertanggung jawab untuk efek kesehatan yang merugikan karena kemampuannya untuk mencapai daerah yang lebih dalam pada saluran pernapasan. PM-10 termasuk partikel dengan diameter 10 mikrometer atau kurang. Standar kesehatan berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999 untuk PM-10 adalah 150 µg/Nm3 (24 jam). Efek utama bagi kesehatan manusia dari paparan PM-10 meliputi: efek pada pernapasan dan sistem pernapasan, kerusakan jaringan paru-paru, kanker, dan kematian dini. Orang tua, anak-anak, dan orang-orang dengan penyakit paru-paru kronis, influenza, atau asma, sangat sensitif terhadap efek partikel. PM-10 yang asam juga dapat merusak bahan buatan manusia dan merupakan penyebab utama berkurangnya jarak pandang. Penanganan pada proses ini berupa alat Electrostatic precipitator. Electrostatic Precipitator (ESP) adalah sebuah teknologi untuk menangkap abu hasil proses industri dengan jalan memberi muatan listrik padanya. Prinsip kerja ESP yaitu dengan memberi muatan negatif kepada abu-abu tersebut melalui

7

beberapa elektroda (biasa disebut discharge electrode). Jika abu tersebut dilewatkan lebih lanjut ke dalam sebuah kolom yang terbuat dari plat yang memiliki muatan lebih positif (biasa disebut collecting electrode), maka secara alami abu tersebut akan tertarik oleh plat-plat tersebut. Setelah abu terakumulasi pada plat tersebut, sebuah sistem rapper khusus akan membuat abu tersebut jatuh ke bawah dan keluar dari sistem ESP. Proses-proses yang terjadi pada ESP sehingga abu (fly ash) dapat terkumpul adalah sebagai berikut: 1. Charging. ESP menggunakan listrik DC sebagai sumber dayanya, dimana Collecting Electrode (CE) terhubung dengan kutub positif dan ter-grounding, sedangkan untuk Discharge Electrode terhubung dengan kutub negatif yang bertegangan 55-85 kilovolt DC. Medan listrik terbentuk diantara DE dan CE, pada kondisi ini timbul fenomena korona listrik yang berpendar pada sisi DE. Pada saat gas buang batubara melewati medan listrik ini, fly ash akan terkena muatan negatif yang dipancarkan oleh kutub negatif pada DE. Proses pemberian muatan negatif pada abu tersebut dapat terjadi secara difusi atau induksi, tergantung dari ukuran abu tersebut. Beberapa partikel abu akan sulit dikenai muatan negatif sehingga membutuhkan medan listrik yang lebih besar. Ada pula partikel yang sangat mudah dikenai muatan negatif, namun muatan negatifnya juga mudah terlepas, sehingga memerlukan proses charging kembali. 2. Pengumpulan. Abu yang sudah bermuatan negatif, akan tertarik untuk menuju ke CE atau bergerak menurut aliran gas yang ada. Kecepatan aliran gas buang mempengaruhi proses pengumpulan abu pada CE. Kecepatan aliran gas yang rendah akan memperlambat gerakan abu untuk menuju CE. Sehingga umumnya desain ESP biasanya digunakan beberapa seri CE dan DE yang diatur sedemikian rupa sehingga semua abu yang terkandung di dalam gas buang boiler dapat tertangkap. 3. Rapping. Lapisan abu yang terkumpul pada permukaan CE harus secara periodik dirontokan. Metode yang paling umum digunakan adalah dengan jalan memukul bagian CE dengan sebuah sistem mekanis. Sistem rapper mekanis ini terdiri dari sebuah hammer, motor penggerak, serta sistem gearbox sederhana yang dapat mengatur gerakan memukul agar terjadi secara periodik. Sistem rapper tidak hanya terpasang pada sisi CE, pada DE juga terdapat sistem rapper. Hal ini karena ada sebagian kecil dari abu yang akan bermuatan positif karena ia tercharging oleh CE yang bermuatan positif. 4. Abu yang rontok dari CE akan jatuh dan terkumpul di hopper yang terletak di bawah sistem CE dan DE. Hopper ini harus didesain dengan baik agar abu yang sudah terkumpul tidak masuk kembali ke dalam kompartemen ESP. Selanjutnya dengan menggunakan udara bertekanan, kumpulan abu tersebut dipindahkan melewati pipa-pipa ke tempat penampungan yang lebih besar. Gas buang yang keluar dari boiler mengandung banyak senyawa yang bersifat sangat korosif, jika senyawa-senyawa tersebut bereaksi dengan uap air yang

8

terkandung di dalam gas buang itu pula. Pada temperatur rendah uap air hasil pembakaran hidrokarbon batubara dapat terkondensasi dan bereaksi dengan SO2 atau NOx dan menghasilkan larutan asam yang sangat korosif. Larutan tersebut jika melewati ESP akan sangat mungkin dapat merusak komponen-komponennya. Maka pada prakteknya, pengoperasian ESP pada berbagai sistem boiler, baru dinyalakan jika temperatur gas buang boiler sudah mencapai nilai tertentu. Hal ini bertujuan selain untuk menghindari bahaya korosi, juga untuk menghindari terjadinya short circuit akibat adanya senyawa-senyawa asam tersebut.

Gambar 3.4 Electrostatic precipitator Secara umum bagian-bagian dari Electrostatic Precipitators (ESP) adalah sebagai berikut: 1. Casing. Casing dari ESP umumnya terbuat dari baja karbon berjenis ASTM A-36 atau yang serupa. Casing ini didesain untuk kedap udara sehingga gas buang boiler yang berada di dalam ESP tidak dapat bocor keluar. Selain itu ia didesain memiliki ruang untuk pemuaian karena pada operasional normalnya ESP bekerja pada temperatur cukup tinggi. Oleh karena itu pula sisi luar casing ini dipasang insulator tahan panas demi keselamatan kerja. Discharge electrode dan collecting electrode didesain menggantung dengan sisi support (penyangga) berada pada sisi casing bagian atas. Dan pada sisi samping casing terdapat pintu akses masuk untuk keperluan perawatan sisi dalam ESP. 2. Hopper. Hopper terbuat dari bahan yang sama dengan casing. Ia berbentuk seperti piramida yang terbalik dan terpasang pada sisi bawah ESP. Hopper berfungsi sebagai tempat berkumpulnya abu fly ash yang dijatuhkan dari collecting electrode dan discharge electrode. Abu hanya sementara berada di dalam hopper, karena selanjutnya ia akan dipindahkan menggunakan sebuah sistem transport khusus ke tempat penampungan yang lebih besar. Namun, hopper ini didesain untuk mampu menyimpan abu sedikit lebih lama apabila terjadi kerusakan pada sistem transport fly ash yang ada di bawahnya. 3. Collecting Electrode. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, CE menjadi tempat terkumpulnya abu bermuatan negatif sebelum jatuh ke hopper.

9

Jarak antar CE pada sebuah ESP didesain cukup dekat yakni 305-406 mm dengan kedua sisi plat (depan-belakang) yang sama-sama berfungsi untuk menangkap abu. CE dibuat dari plat yang didukung dengan baja penyangga untuk menjaga kekakuannya. Ia dipasang dengan suppot yang berada di atas dan menggantung pada casing bagian atas. Untuk mendapatkan medan listrik yang seragam pada CE, serta untuk meminimalisir terjadinya loncatan bunga api elektron, maka CE harus dipasang dengan ketelitian yang sangat tinggi. 4. Discharge Electrode. DE menjadi komponen paling penting di ESP. DE terhubung dengan sumber tegangan DC tinggi hingga berpendar menciptakan korona listrik. Ia berfungsi untuk men-charging abu sehingga abu menjadi bermuatan negatif. DE dipasang pada tiap tengah-tengah CE dengan jarak 152203 mm tergantung jarak antar CE yang digunakan. Untuk mencegah short circuit, pemasangan DE harus dipasang juga insulasi yang memisahkan DE dengan casing dan CE yang bermuatan netral.

Gambar 3.5 Discharge Electrode 5. Sistem Kontrol Aliran Gas Buang. Efisiensi ESP sangat tergantung dengan distribusi aliran gas buang boiler yang melintasinya. Semakin merata pendistribusian gas buang tersebut ke seluruh kolom CE dan DE, maka akan semakin tinggi angka efisiensi ESP. Oleh karena itu dipasang sebuah sistem vane atau sudu pada sisi masuk gas buang ke ESP agar gas tersebut dapat lebih merata didistribusikan ke setiap kolom. 6. Rapper. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, sistem rapper berfungsi untuk menjatuhkan abu yang terkumpul pada permukaan CE ataupun DE agar jatuh ke hopper. Biasanya motor penggerak rapper terletak di bagian atas ESP, dan dihubungkan ke bagian pemukul dengan sebuah poros yang terinsulasi untuk menghindari short circuit. 7. Sumber Energi Listrik. Alat yang berfungsi untuk men-supply energi listrik ke sistem ESP disebut dengan Transformer Rectifier (TR). Sumber energi listrik berasal dari listrik AC bertegangan 480 Volt, yang ditingkatkan menjadi 55.000 sampai 75.000 Volt sebelum diubah menjadi tegangan DC negatif yang akan dihubungkan dengan discharge electrode. Karena secara elektris ESP merupakan beban kapasitif, maka sumber tegangannya didesain untuk menahan beban

10

kapasitif tersebut. Selain itu, sumber tegangan ini didesain harus tahan terhadap gangguan arus yang terjadi akibat adanya loncatan listrik (sparking) dari abu fly ash. 3. Proses Preheater Proses ini berfungsi untuk mereduksi kadar air atau H2O. Pada proses preheater menghasilkan limbah berupa gas dari pengeringan air dan proses kalsinasi. Di dalam kalsiner terjadi proses kalsinasi yaitu peruraian CaCO3 menjadi CaO dan CO2 dan sedikit MgCO3 menjadi MgO dan CO2. Karena reaksi kalsinasi bersifat endotermis maka diperlukan panas yang cukup tinggi, sehingga dilengkapi dengan burner untuk pembakaran coal memanfaatkan udara tersier dari cooler dan gas panas kiln. Kalsinasi terjadi pada suhu di atas 800C pada tekanan 1 atm, namun karena alat-alat di pabrik semen beroperasi di bawah 1 atm jadi pada suh yang lebih rendah sudah mulai terjadi kalsinasi dan CaO terbentuk langsung bereaksi dengan senyawa hasil dekomposisi clay sehingga reaksi dapat berlangsung sempurna meskipun tergolong reversible. Kalsinasi di kalsiner paling maksimal mencapai 90% selanjutnya sisanya terjadi di dalam kiln sendiri. Pelepasan CO2 akibat reaksi ini menjadi isu lingkungan yang krusial di industri semen, volum gas CO2 hasil kalsinasi jauh lebih besar dari pada CO2 hasil pembakaran fuel (batubara) Gas tersebut diolah kembali pada Waste Heat Recovery Power Generation (WHRPG). Pembangkit WHRPG ini prinsip kerjanya hampir sama dengan pembangkit listrik tenaga uap. Ada perbedaan yang mendasar dari kedua pembangkit listrik tersebut, yaitu: sumber bahan bakar. Pembangkit listrik tenaga uap mengunakan bahan bakar batu bara sedangkan Waste heat recovery power generation mengunakan sisa limbah panas dari produksi semen, dari preheater yang berpotensi panas sebesar 380C, dan pendinginan bahan baku semen (clinker cooler, berpotensi panas sebesar 360C. Oleh karena itu, sisa limbah panas dapat menghasilkan energi listrik sebesar 8,5 MW. Perhitungan efisiensi dilakukan dengan beberapa posisi beban pembangkit. Sehingga, nilai efisiensi pembangkit WHRPG bervariasi. Hasil perhitungan menunjukkan rentang nilai efisiensi sebesar 12,42%-15,05%.

Gambar 3.6 Waste Heat Recovery Power Generation (WHRPG)

11

Gambar 3.7 Penempatan WHRPG pada industri semen. 4. Proses kiln Rotary Kiln merupakan peralatan paling utama pada proses pembuatan semen. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat terjadinya kontak antara gas panas dan material umpan kiln sehingga terbentuk senyawa-senyawa penyusun semen yaitu C3S, C2S, C3A dan C4AF. Kiln putar ini berbentuk silinder yang terbuat dari baja yang dipasang secara horisontal dengan kemiringan 4°, berdiameter 5,6 m; panjang 84 m dan kecepatan putar 2,8 rpm. Kiln tanur mampu membakar umpan dengan kapasitas 7800 ton/jam hingga menjadi terak klinker. Inilah jantung pabrik semen di mana proses pembentukan clinker berlangsung. Material masuk kiln dari preheater terakhir pada suhu yang dijaga sekitar 850C karena pada suhu yang lebih tinggi material mulai sticky (lengket) sehingga bisa menyebabkan blocking pada inlet kiln. Suhu klinkerisasi bisa mencapai 1450C dan terbentuk fase liquid yang akan meningkatkan laju reaksi oksida-oksida silika dan kapur yang dipromotori oksida besi dan alumina. Di dalam kiln terbentuk sistem isolasi tambahan berupa coating yang terbentuk melapisi fire brick (batu tahan api). Suhu luar shell kiln dijaga dibawah 300C karena mulai suhu 400 C shell kiln mengalami deformasi. Api dari main burner kiln dijaga tidak menyentuh material dan fire brick. Kualitas clinker yang dihasilkan sangat tergantung dari kualitas raw meal, kualitas bahan bakar, posisi burner,dan proses pembakaran. Pembakaran di main burner menggunakan (80-90%) udara sekunder yang diperoleh dari grate cooler dan (10-20%) udara primer yang diperolehdari udara luar. Bahan bakar yang digunakan adalah batubara, tapi pada saat awal firing/heating up digunakan solar/IDO (Industrial Diesel Oil). Batubara dipilih sebagai bahan bakar utama karena harganya paling murah dibanding bahan bakar IDO mauapun Gas. Pembakaran Pada proses ini dihasilkan limbah berupa gas SO4, CO, dan NOx. Limbah tersebut diolah kembali oleh WHRPG. Adapun debu atau fly ash yang dihasilkan sebelum dibuang langsung ke lingkungan diolah terlebih dahulu oleh dust collector dan Electrostatic Precipitator (ESP). 5. Proses Coller Di dalam grate cooler clinker yang keluar dari kiln akan mengalami quenching (pendinginan cepat) dengan udara yang dihembuskan melalui sejumlah fan grate

12

cooler. Proses pendinginan clinker bisa mencapai dari suhu 1300 oC sampai 120200oC. Udara pendingin akan meningkat suhunya sampai 900-950oC dan dimanfaatkan sebagai udara pembakaran di kiln (secondary air) dan kalsiner (tertiary air) di preheater. Di bagian ujung discharge cooler dilengkapi crusher untuk memecah clinker sebelum ditransport ke silo menggunakan pan conveyor. 6. Proses finish grinding Pada tahap ini clinker akan digiling bersama bahan additive lain untuk menjadi semen. Bahan additive itu adalah gipsum (CaSO4.2H2O) yang berfungsi menjaga agar waktu pengerasan semen saat dicampur air tidak terlalu cepat. Bahan lain yang ditambahkan seperti limestone, fly ash, trass, dan pozzolan (hasil sisa material vulkanik). Penambahan bahan-bahan ini tergantung jenis semen yang akan dibuat dan bertujuan mengurangi pemakaian clinker karena produksi clinker memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan gas CO2 hasil kalsinasi. Kompensasi pengurangan clinker adalah dengan meningkatkan kehalusan (blaine) semen untuk mendapatkan kekuatan yang sama. Penggilingan clinker bersama bahan lain umumnya masih menggunakan ball mill sehingga akan menimbulkan panas selama proses penggilingan karena adanya tumbukan antara steel ball dan material. Temperatur mill dijaga maksimal 120oC untuk mencegah kerusakan gipsum (akibat peruraian air kristalnya). Waktu tinggal material di dalam mill berkisar 1025 menit. Ball mill terdiri dari 2 chamber di mana chamber 1 menggunakan stell ball berukuran 90-50 mm dan chamber 2 menggunakan stell ball berukuran 50-12 mm. Setelah melalui serangkaian alat separator semen yang telah halus sebagai produk dikirim ke semen silo. Pada proses ini dihasilkan limbah berupa debu yang diolah kembali oleh dust colletor atau bag filter. Bag filter adalah alat untuk memisahkan partikel kering dari gas (udara) pembawanya. Di dalam bag filter, aliran gas yang kotor akan partikel masuk ke dalam beberapa longsongan filter (disebut juga kantong atau cloth bag) yang berjajar secara pararel, dan meninggalkan debu pada filter tersebut. Aliran debu dan gas dalam bag filter dapat melewati kain (fabric) ke segala arah. Partikel debu tertahan di sisi kotor kain, sedangkan gas bersih akan melewati sisi bersih kain. Konsentrasi partikel inlet bag filter adalah antara 100 μg/ m3 – 1 kg/m3. Debu secara periodik disisihkan dari kantong dengan goncangan atau menggunakan aliran udara terbalik, sehingga dapat dikatakan bahwa bag filter adalah alat yang menerima gas yang mengandung debu, menyaringnya, mengumpulkan debunya, dan mengeluarkan gas yang bersih ke atmosfer. Keuntungan dari penggunaan bag filter adalah Efisiensi pengumpulan sangat tinggi, meski untuk partikulat yang sangat kecil, dapat dioperasikan pada kondisi debu dan dalam volume alir yang berbeda-beda, terjadi konservasi energi, tidak beresiko menimbulkan pencemaran air dan tanah.

13

Gambar 3.7 Dust Collector 7. Proses packing Semen dijual dalam bentuk curah (bulk) maupun dalam bag. Mesin yang digunakan adalah rotary packer yang terdiri dari beberapa spout yang mengisi kantong-kantong dengan semen melalui hembusan udara. Untuk penjualan dalam bentuk curah digunakan bulk truck, kapal atau kereta.

Gambar 3.8 Proses dan alat pengolahan limbah industri semen

14

BAB IV KESIMPULAN Kesimpulan yang didapatkan, sebagai berikut : 1. Proses produksi semen secara garis besar terdapat proses pengambilan bahan baku, proses crusher, proses grinding mill, proses kalsinasi di preheater, proses pembentukan klinker di rotary kiln, proses pendingininan di coolen kiln, proses finish grinding dan proses packing. 2. Limbah industri semen terdiri dari limbah padat, limbah cair dan limbah gas. Pada proses crusher dihasilkan limbah kebisingan alat produksi dan debu yang diatasi oleh alat dust collector dan electrostatik presipitator. Pada proses pembakaran di preheater dan rotary kiln dihasilkan limbah gas yang diatasi oleh Waste Heat Recovery Power Generation (WHRPG). Pada proses finish grinding dihasilkan limbah padat berupa debu dan fly ash yang diatasi oleh dust collector dan electrostatik presipitator. Fly ash dapat diolah kembali. Kemudian, limbah cair dihasilkan dari kegiatan domestik oleh manusia sebagai pekerja pada produksi semen.

15

DAFTAR PUSTAKA Arief, Muhammad. 2016. Pengolahan Limbah Industri. Yogyakarta: CV Andi Offset. Cindika, 2008, Penggunaan High Strenght, Jakarta, Universitas Indonesia. Laksmi, Betty Sri. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

16

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""

Pemilu
August 2019 51
Makalah Wasling.docx
June 2020 8
Rangkuman Kimiaa
October 2019 36
La Tahzan.pdf
May 2020 15