MAKALAH ANALISIS PANGAN VITAMIN C
Disusun Oleh :
Eka Marsita Ramdani Eka Rosita Sari Ilham Ramadhan Ira Oktavianti Gilbert Zakaria M. Rachmahwati Ningrum PR
J3L111044 J3L111034 J3L111009 J3L111122 J3L111011 J3L111107
PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
1 VITAMIN C 1.1 Karakteristik Vitamin C Vitamin C dengan rumus molekul C6H8O6 terdiri atas senyawa asam askorbat (AA) dan asam dehidroaskorbat (DHAA). Vitamin C strukturnya mirip dengan karbohidrat, dengan keasaman dan sifat pereduksinya disumbangkan oleh gugus 2.3-enediol. Senyawa ini bersifat polar dengan kelarutan yang sangat baik di dalam air dan tidak larut di dalam pelarut nonpolar. Keberadaan AA (Gambar 1a) dan DHAA (Gambar 1b) di dalam vitamin C disebabkan oleh oksidasi 2elektron dan disosiasi hidrogen. Vitamin C adalah istilah umum untuk semua senyawa yang menunjukkan aktivitas biologis AA dan DHAA yang merupakan kandungan utama dalam vitamin C. HOH 2 C
OH
HOH 2 C
O H
O HO
H HO
H
O
O
H HO
OH
OH
Asam L-isoaskorbat
Asam L-askorbat
(a)
(b)
Gambar 1 Struktur vitamin C Senyawa lainnya yang serupa dengan asam askorbat adalah asam Lisoaskorbat (Gambar 2a) dan asam D-askorbat (Gambar 2b), tetapi keduanya tidak memiliki aktivitas vitamin C. Asam L-isoaskorbat banyak digunakan sebagai bahan ramuan makanan karena aktivitas pereduksi dan antioksidatifnya. Senyawa ini berfungsi menghambat pencoklatan enzimatik pada buah dan sayuran. Selain itu vitamin C paling tidak stabil di antara semua vitamin dan mudah rusak selama pemrosesan dan penyimpanan. Vitamin C lebih mudah rusak selama pemasakan dan mudah sekali teroksidasi, terlebih bila terdapat katalis Fe, Cu, enzim asam askorbat oksidase, sinar, dan suhu yang sangat tinggi. CH 2 OH H OH O
HO
CH 2OH H O H
H O O Asam L-dehidroaskorbat
(a)
O
O
Asam L-isodehidroaskorbat
(b)
Gambar 2 Struktur lain dalam vitamin C
Asam askorbat terdapat secara alami pada buah dan sayuran, serta dalam jumlah sedikit pada jaringan hewan dan produk hewani. Kandungan AA banyak ditemukan pada buah seperti jeruk, kacang kenari, jambu biji, stroberi, tomat dan apel. Sementara sayuran yang kaya akan vitamin C ialah kubis, kembang kol, paprika merah, dan brokoli. Vitamin C dalam bentuknya sebagai AA dan DHAA sama-sama aktif sebagai vitamin C. AA sangat mudah teroksidasi secara dapat-balik menjadi DHAA yang secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam 2.3-diketogulonat yang tidak aktif sebagai vitamin. Oksidasi vitamin C selama proses pengolahan dan pemasakan menjadi perhatian para ahli gizi, dan konsumen. Oksidasi AA menjadi asam 2.3-diketogulonat dapat dilihat pada gambar berikut : HOH 2 C H
OH
HOH 2 C O
O
H HO
OH O
+
-H-e
H +
OH
Asam L-askorbat
+H+e
O
-e
H HO
+H -H+
O
-
+H+e
Asam semidehidroaskorbat
CH 2 OH OH O
H +H2O
H O
O
Asam L-dehidroaskorbat
CH 2 OH OH OH OH H O
CH2
O
Asam 2,3-diketogulonat
Gambar 3 Urutan oksidasi 1-elektron pada asam L-askorbat dengan produk akhir asam 2.3-diketogulonat Konsentrasi DHAA dalam bahan pangan selalu jauh lebih rendah daripada AA dan merupakan fungsi dari laju oksidasi AA serta hidrolisis DHAA menjadi asam 2.3-diketogulonat. DHAA dalam bahan pangan dan bahan hayati tampaknya merupakan artifak analitis dari oksidasi AA ke DHAA selama penyiapan dan analisis contoh. AA dapat ditambahkan pada bahan pangan sebagai asam yang tidak terdisosiasi atau sebagai garam natrium askorbat yang netral. Oksidasi AA berlangsung dalam2 kali proses transfer 1-elektron atau reaksi 2-elektron tunggal tanpa terdeteksi zat antara semidehidroaskorbat. Pada konsentrasi rendah AA memiliki kemampuan sebagai prooksidan pada tegangan O2yang tinggi.Hal initerjadi lewat pembentukan termediasi askorbat radikal hidroksil (HO•) atau spesies reaktif lainnya. Vitamin C mudah diserap melalui saluran cerna dan masuk ke dalam saluran darah untuk didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.Di dalam tubuh, vitamin C terdapat di dalam darah (khususnya leukosit), kulit, dan tulang. Dalam darah sangat mudah terjadi oksidasi secara dapat-balik menjadi DHAA yang sama aktif dengan vitamin C itu sendiri. AA dan DHAA diserap melalui saluran pencernaan dan dapat dipertukarkan secara enzimatis in vivo. Hal yang terpenting antioksidan hidrofilik diyakini memberikan perlindungan terhadap penyakit dan proses degeneratif yang disebabkan oleh stres oksidatif yang efektif dalam penangkapan radikal anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil, singlet oksigen, dan nitrogen oksida reaktif. Konsentrasi vitamin C sangat bervariasi antara jenis buah yang berbeda. Kandungan vitamin C dalam buah-buahan berkisar 200 ̶ 210 mg/100 g untuk blackcurrant dan 2 mg/100 g untuk apel. Asupan diet yang direkomendasikan untuk orang dewasa (RDI, mewakili kecukupan gizi yang dianjurkan) untuk
vitamin C ditentukan sebagai 90 mg/hari untuk pria dan 75 mg/hari untuk wanita. Kekurangan vitamin C akan menyebabkan penyakit seriawan, yang ditandai, pembengkakan dan pendarahan pada gusi, serta gigi mudah tanggal. Secara umum, buah merupakan sumber vitamin C yang baik, tetapi pir, plum, dan apel mengandung konsentrasi vitamin C yang sangat sedikit, namun vitamin C lebih dari 1.5 g/hari dapat menyebabkan diare. Hal ini terjadi karena efek iritasi langsung pada mukosa usus yang meningkatkan peristaltik. Vitamin C berperan sebagai antioksidan dengan mendonorkan elektronnya, sehingga mencegah senyawa lain teroksidasi. Vitamin C sendiri akan teroksidasi menghasilkan DHAAAsam askorbat dalam vitamin C memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dalam menangkal radikal bebas. Hal ini membuat vitamin C juga berfungsi mencegah penuaan, yang bila dikonsumsi secara teratur dapat melindungi kulit dari kerusakan akibat paparan sinar ultraviolet. Vitamin C juga mencegah penuaan dengan terus-menerus menyintesis kolagen pada kulit.
1.2 Stabilitas Vitamin C AA dan DHAA merupakan senyawa yang mudah teroksidasi, terutama pada suhu tinggi, jika terdapat beberapa kation divalen (misalnya tembaga dan besi), oksigen, pH basa, cahaya, atau enzim pengurai. Penguraian kimia melibatkan oksidasi DHAA, diikuti dengan hidrolisis menjadi asam 2.3-diketogulonat dan oksidasi lebih lanjut, dehidrasi, serta polimerisasi membentuk serangkaian produk lain yang inaktif secara nutrisi. Proses oksidasi dan dehidrasi vitamin C menghasilkan banyak produk takjenuh dan polimer. Faktor-faktor utama yang memengaruhi laju dan mekanisme pembentukan AA meliputi pH, konsentrasi O2, dan adanya katalis logam kelumit. Vitamin C di dalam jus jeruk kestabilannya dipengaruhi oleh keadaaan fisik dari jus jeruk tersebut, seperti jus jeruk dalam keadaan diperas, tanpa pasteurisasi, dan jus jeruk segar dalam botol polietilena. Vitamin C lebih stabil jika disimpan dalam suhu yang rendah atau dibekukan pada suhu sekitar -1.7 ̶ 7.8°C. Jus jeruk dalam keadaan segar hanya memiliki shelf-life relatif pendek sekitar 7±10 hari. Jus jeruk tanpa pasteurisasi menyebabkan kehilangan dan proses oksidasi karena terjadi pertumbuhan bakteri dan ragi, pembusukan, serta aktivitas enzim tertentu. Suhu penyimpanan juga memengaruhi kestabilan vitamin C. Suhu penyimpanan merupakan faktor pembatas utama dalam shelf-life dari jus jeruk. Reaksi enzim oksidatif dianggap sangat memengaruhi hilangnya kadar vitamin C dalam keadaan dibekukan, diperas, dan jus jeruk segar dalam botol polietilena. Aktivitas enzim tersebut dapat dihentikan dengan memberikan perlakuan pada suhu yang rendah sehingga aktivitas enzim tersebut dapat diperlambat. AA memiliki kelarutan yang tinggi di dalam larutan berair sehingga potensi kehilangan AA karena pelepasan tersebut cukup besar. Oksidasi AA ke DHAA bersifat dapat-balik, DHAA dapat terhidrolisis secara takdapat-balik menjadi asam 2.3-diketogulonat, yang tidak aktif sebagai vitamin C. Vitamin C mudah direduksi oleh suatu reduktor. Berbagai senyawa yang mengandung tiol seperti ditiotreitol (DTT) dan dimerkaptopropanol (BAL) dapat digunakan sebagai reduktor. Namun, reduktor DTT mampu mereduksi vitamin C lebih sempurna dibandingkan dengan reduktor BAL.
Kenari (chestnut) memiliki konsentrasi asam L-askorbat, vitamin E, karotenoid, dan polifenol yang signifikan. Senyawa antioksidan yang secara kuantitatif banyak terkandung di dalam kenari adalah AA, yang merupakan bentuk biologis aktif vitamin C. AA dan DHAA rentan terhadap penguraian termal, sehingga proses pemasakan seperti pemanggangan dan perebusan dapat memengaruhi kadar vitamin C dalam kenari. Kadar vitamin C dalam kenari juga dapat dipengaruhi oleh tingkat kematangan, pengolahan pascapanen, dan penyimpanan. Proses pemasakan juga secara signifikan dapat mengubah aktivitas antioksidan dalam kenari. Perubahan aktivitas antioksidan ini disebabkan oleh konversi AA menjadi DHAA. Selain itu, terjadi peningkatan asam galat selama proses pemasakan yang juga berkontribusi pada aktivitas antioksidan. Proses perebusan dan pemanggangan memang secara signifikan menurunkan kadar vitamin C di dalam kenari, tetapi proses tersebut juga meningkatkan aktivitas antioksidan. Kandungan vitamin C dalam kenari dengan demikian bukan satusatunya sumber aktivitas antioksidan. peningkatan tersebut disebabkan oleh senyawa fenolik seperti asam galat dan asam elagat yang meningkat selama proses pemasakan.
2. PENGURAIAN AA
2.1 Laju Penguraian AA Laju penguraian oksidatif vitamin merupakan fungsi taklinear dari pH, karena berbagai bentuk ionik dari AA berbeda kerentanannya terhadap oksidasi yang terprotonasi sempurna (AH2) < monoanion askorbat (AH-) < dianion askorbat (A2-). Pada kondisi yang relevan untuk sebagian besar bahan pangan, kebergantungan pH dari oksidasi ditentukan oleh konsentrasi relatif spesies AH2 dan AH-. 2.2 Mekanisme Penguraian AA Mekanisme penguraian AA bergantung pada sifat sistem bahan pangan atau medium reaksi. Penguraian berkataliskan logam dari AA telah diusulkan terjadi melalui pembentukan suatu kompleks terner dari monoanion askorbat, O2, dan ion logam. Kompleks terner tersebut tampaknya secara langsung menghasilkan DHAA sebagai produk, tanpa pembentukan yang terdeteksi dari produk oksidasi 1-elektron, radikal semidehidroaskorbat. Hilangnya aktivitas vitamin C selama penguraian oksidatif AA terjadi dengan hidrolisis lakton DHAA yang menghasilkan asam 2.3-diketogulonat (DKG) (Gambar 3). Hidrolisis ini disukai pada kondisi basa, dan semakin buruk seiring dengan meningkatnya pH. Penguraian AA dalam produk yang mengandung vitamin C dipengaruhi oleh keadaan penyimpanan di dalam botol polietilena, keadaan beku, dan tanpa pasteurisasi. Dalam keadaan tanpa pasteurisasi, kadar vitamin C turun lebih banyak. Aktivitas enzim oksidatif seperti sitokrom oksidase, asam askorbat
oksidase dan peroksidase dapat mengoksidasi vitamin C. Enzim-enzim ini mulai terinaktivasi selama proses pasteurisasi, tetapi tanpa pasteurisasi, aktivitas enzimatik tersebut terus berjalan. Selain itu, minimumnya penggunaan penghalang oksigen pada botol polietilena menjadi faktor lain penyebab hilangnya aktivitas vitamin C, meskipun pada keadaan beku proses perpindahan massa lebih diperlambat. Dalam jus jeruk tanpa pasteurisasi, pertumbuhan mikrob yang cepat akan membuat jus jeruk menjadi busuk dan mengalami perubahan rasa. Pembekuan dapat memperlambat penurunan kadar vitamin C dengan menghambat proses pembusukan oleh mikrob. 2.3 Produk Penguraian AA Lebih dari 50 produk berbobot molekul rendah telah diidentifikasi dari penguraian AA. Jenis dan konsentrasinya serta mekanisme yang terlibat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, pH, aktivitas air, konsentrasi O2 dan katalis logam, serta keberadaan spesies oksigen aktif. Tiga jenis umum produk penguraian telah diidentifikasi: (a) zat-antara terpolimerisasi, (b) asam karboksilat takjenuh dengan 5 dan 6 atom C, serta (c) produk fragmentasi dengan ≤5 atom C. Pembentukan formaldehida selama penguraian termal askorbat pada pH netral juga telah dilaporkan. Sebagian senyawa ini mungkin mengubah cita rasa dan bau jus jeruk selama penyimpanan atau pemrosesan yang berlebihan. Penguraian gula dan AA sangat serupa bahkan terkadang identik secara mekanistik. Perbedaan kualitatif antara kondisi aerob dan anaerob terjadi pada pola penguraian AA, dan pH berpengaruh pada semua keadaan. Produk utama pemecahan AA dalam larutan asam meliputi L-xiloson, asam oksalat, asam Ltreonat, asam tartarat, 2-furaldehida (furfural), dan asam furoat serta beraneka ragam senyawa karbonil dan senyawa takjenuh lainnya. Seperti pada penguraian gula, tingkat fragmentasi meningkat pada kondisi basa.
3 ANALISIS VITAMIN C Pengolahan bahan pangan yang mengandung vitamin C dapat menurunkan kadar vitamin C dalam bahan pangan tersebut. Beberapa metode dapat digunakan untuk menentukan penurunan kadar vitamin C dalam bahan pangan. Salah satunya menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). AA menyerap sinar UV dengan kuat (λmaks = 245 nm), sementara DHAA hanya menyerap dengan lemah pada λmaks = 300 nm (Arifin 2012). Menurut Lee dan Coates (1999), Sampel jus jeruk yang digunakan memiliki kandungan vitamin C sebesar 40.6 mg/100 mL dengan pH 3.7. Sampel disimpan pada suhu -23 ºC untuk dianalisis dalam periode 24 bulan. Vitamin C mula-mula diekstraksi dengan asam metafosfat 2.5%. Jus jeruk diencerkan dan ditambahkan dengan asam metafosfat 2.5%, kemudian disentrifuga dengan kecepatan 6500 rpm pada suhu 5 ºC. Supernatan hasil pemisahan tersebut kemudian diencerkan kembali dengan asam metafosfat. Larutan disaring menggunakan saringan nilon 0.45 µm sebelum dianalisis menggunakan KCKT dengan detektor UV. Fase gerak
yang digunakan adalah KH2PO4 2% (pH 2.4) dengan laju 0.5 mL/menit. Standar yang digunakan adalah campuran asam askorbat dan asam metafosfat 2.5%. Menurut Barros et al. (2011), Sampel kenari diambil dari 3 pohon yang berbeda, masing-masing sebanyak 1 kg buah per sampel. Sampel disimpan pada suhu 2 ºC selama 3 hari. Kenari mentah tersebut kemudian diambil 500 g dan dipotong kecil-kecil, direbus dengan 2 L air dan 5 g garam selama 20 menit. Sebanyak 500 g lainnya juga dipotong kecil-kecil dan ditambahkan 7 g garam, dipanggang menggunakan oven listrik pada suhu 200 ºC selama 40 menit. Sampel disimpan dalam freezer pada suhu -80 ºC sampai analisis dilakukan. Penentuan vitamin C (AA + DHAA) dilakukan dengan metode kromatografi menggunakan standar internal IAA. Sebanyak 2.5 g kenari ditambahkan dengan 10 mL standar internal IAA (Indol Acetic Acid) (2500 mg/L dalam larutan ekstrak), kemudian ditambahkan 40 mL larutan ekstraksi-reduksi (5% asam metapospat, 2 mM TCEP dan 2 mM EDTA). Larutan tersebut kemudian didiamkan selama 60 menit pada suhu 40 ± 2 ºC dan disentrifuga dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Supernatan dianalisis dengan kromatografi cair menggunakan detektor susunan fotodiode (PDA) dan elusi secara gradien. Fase gerak yang digunakan adalah asam trifluoroasetat 0.1% (A) - asetonitril (B) (90:10 v/v) ditahan selama 7 menit. Konsentrasi A dinaikkan menjadi 80% pada menit ke-8 dan ditahan sampai 13 menit. Selanjutnya, pada menit ke-14 konsentrasi A menjadi 10% dan ditahan selama 20 menit. Laju alir untuk elusi sebesar 0.7 mL/menit dan absorbans diukur pada panjang gelombang 244 nm. Menurut Serrano (2007), kadar vitamin C dapat ditentukan menggunakan beberapa reduktor. Sampel yang digunakan adalah stroberi, apel, dan tomat. Ketiga sampel disimpan pada suhu 4±1 oC sebelum analisis. Sebanyak 25 g sampel ditambahkan dengan 25 mL larutan metafosfat 4.5%, lalu disentrifuga dengan kecepatan 22─100 rpm pada suhu 4 ºC selama 15 menit. Supernatan disaring menggunakan kertas Whatman No 1, kemudian disaring kembali dengan membran Milipore 0.45 µm. Filtrat dianalisis menggunakan metode KCKT. Penentuan kadar vitamin C total dilakukan dengan menggunakan bahan pereduksi. Sebanyak 0.2 mL larutan DTT (20 mg/L) dicampurkan dengan 1 mL sampel. 2 µL larutan bahan pereduksi lain (BAL) ditambahkan ke dalam masingmasing sampel. Larutan yang dihasilkan disimpan dalam ruang gelap selama 2 jam. Setelah itu, disaring menggunakan membran Milipore 0.45 µm, dan siap diinjeksikan ke dalam sistem KCKT. Digunakan detektor UV dengan kolom C18, dan fase gerak asam asetat pH 2.6. Selain itu, digunakan pula kolom NH2-BAL dengan eluen campuran kalium dihidrogen fosfat pH 3.5 dan asetonitril (40:60). Pemisahan dilakukan dengan elusi secara isokratik. Perbedaan metode penentuan kadar vitamin C pada ketiga jurnal ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan metode analisis vitamin C Penulis Parameter
Lee dan Coates (1999)
Barros et al. (2011)
Serrano 2007
Sampel
Jus jeruk
Kenari
Buah stroberi, apel, dan tomat
–23
–80
4
Asam metapospat 2.5%
Standar internal IAA dan (5% asam metapospat, 2 mM (TCEP), dan 2 mM EDTA)
(DTT) dan (BAL)
Detektor
UV
PDA
UV
Kolom
C18
NH2
Fase gerak
KH2PO4 2% pH 2.4
asam trifluoroasetat 0.1% (A)-asetonitril (B)
Laju alir (ml/menit)
0.5
0.7
1.0
Isokratik
Gradien
Isokratik
Suhu penyimpanan (ºC)
Pelarut
Kondisi elusi
1. Kolom C18 fase terbalik 2. Kolom NH2Spherisorb S5 1. H2SO4 0.01% pH 2,6 2. Bufer kalium dihidrogen fosfat 10 mM pH 3.5 asetonitril (60:40)
Selain penggunaan metode KCKT tersebut, analisis vitamin C juga dapat dilakukan dengan metode titrasi redoks dengan pewarna 2.6˗diklorofenolindofenol. Analisis menggunakan instrument juga dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri, fluorometri, dan elektrokimia (Arifin 2012).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Vitamin C merupakan senyawa antioksidan yang banyak terkandung dalam sayur dan buah. Antioksidan ini sangat tidak stabil, sehingga rentan terhadap oksidasi yang disebabkan oleh berbagai faktor. Untuk mengatasi hal tersebut, banyak peneliti telah meneliti cara mempertahankan kondisi optimum vitamin C. Untuk menunjang kegiatan industri dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia akan vitamin C, diciptakan botol polietilena. Namun, paradigma manusia yang menginginkan produk olahan vitamin C baik dari sayur, maupun buah harus alami, memberi kesan bahwa produk olahan yang disimpan dalam botol polietilena tidak alami. Dalam masa penyimpanan, banyak kadar vitamin C yang menurun sejak awal proses pengemasan.
Commented [BAR1]: Judul dibuat lebih spesifik menggambarkan isinya. Commented [BAR2]: Paragraf ini sebagian mengulang yang telah dituliskan sebelumnya. Sebagian yang lain isinya terkesan dipaksakan.
Commented [BAR3]: Tidak relevan dengan yang dibahas di jurnalnya. Commented [BAR4]: Kalimat ini tidak jelas maksudnya.
Vitamin yang berasal dari jeruk diolah menjadi 3 produk berbeda, yaitu, konsentrat beku, perasan jeruk segar, dan tanpa pasteurisasi. Penelitian Lee dan Coates (1999) selama 24 bulan menunjukkan kadar vitamin C yang hilang selama masa penyimpanan mencapai19.2% DV (nilai harian). Awanlnya kadar vitamin C tersebut ialah 40.6% (b/v) atau 162% DV, dengan penurunan 0.8% per bulan kadarnya turun hingga 32.8% (b/v) atau 142.8% DV. Meskipun demikian, kadar akhir masih di atas 100% DV. Hal ini berarti jika produk dikonsumsi pada tahun kedua, kebutuhan vitamin C harian masih terpenuhi. Kebutuhan harian vitamin C pada pria ialah 90 mg/hari dan pada wanita 75 mg/hari. Penelitian serupa dilakukan pada tahun 2011 di Portugal oleh Barros dkk, pada untuk mempelajari pengaruh cara memasak pada kandungan vitamin C dan antioksidannya. Dengan menggunakan 9 kultivar dari 3 protected designation of origin (PDO) yang berbeda, kenari disajikan dengan cara yang berbeda, yaitu direbus dan dipanggang. Pada saat kering, kandungan vitamin C ialah 400-693 g/kg. Setelah dimasak, terjadi perubahan yang sangat signifikan, tetapi beragam antarkultivar. Pada saat direbus, kadar vitamin C turun hingga rata-rata 37% (2554%), sementara jika dipanggang kadarnya turun hingga rata-rata 33% (2-77%). Hal ini menandakan terdapat interaksi yang signifikan antara kultivar dan proses pemasakan. Setiap proses menghasilkan kandungan vitamin C yang beragam pada kenari. Walaupun vitamin C banyak berkurang pada saat dimasak, kandungan antioksidan lain seperti asam galat dan asam elagat berkontribusi dalam menutupi kekurangan aktivitas antioksidan vitamin C. Hal ini menyatakan bahwa chestnut memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Secara umum, ada beberapa faktor dapat menurunkan kadar vitamin C menurun seperti suhu, keberadaan enzim, dan logam-mineral. Pada penelitian Lee dan Coates (1999) dijelaskan bahwa selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain seperti penyimpanan pada botol polietilena. Sementara pada penelitian Barros wt al. (2011), faktor lainya ialah koefisien difusivitas termal kulit kenari yang berbeda–beda. Suhu dan enzim menjadi faktor utama dalam proses terdegradasinya kadar vitamin C. Hal ini dikarenakan aktivitas enzim akan semakin melambat seiring dengan menurunnya suhu lingkungan. Lee dan Coates (1999) menyatakan bahwa proses pembekuan pada jus jeruk sedikit menurunkan kadar vitamin C. Hal ini disebabkan oleh dalam kondisi beku dan, jus jeruk tersebut disimpan pada suhu 23 °C. Pada suhu tersebut aktivitas enzimatik melambat, bahkan tidak aktif. Hal yang sama juga terjadi pada jus jeruk hasil perasan segar dan tanpa pasteurisasi, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada jus jeruk yang dibekukan. Aktivitas enzimatik tersebut dapat terjadi pada jus jeruk yang mengalami proses tanpa parteurisasi dan tidak dibekukan. Pada penelitian Barros, suhu dan enzim sangat mempengaruhi penurunan kadar vitamin C. Hal ini disebabkan oleh proses pemasakan chestnut yang menggunakan suhu tinggi telah merusak enzim yang seharusnya mendegradasi asam askorbat. Kondisi botol polietilena juga menjadi hal yang dapat memengaruhi penurunan kadar vitamin C. Setiap kultivar memiliki tingkat difusi panas yang berbeda, hal ini menyebabkan tinginya kadar antioksidan yang dihasilkan pada buah setelah dimasak. Antioksidan yang dimaksud disini bukan hanya vitamin C, namun ada juga asam galat dan elagat yang berpindah dari kulit kedalam buah saat proses pemasakan yang menggunakan suhu tinggi. Kandungan ion logam
Commented [m5]: Perbaiki
Commented [BAR6]: Belum sesuai format D3.
Commented [BAR7]: ???
Commented [BAR8]: ??? Commented [BAR9]: Tidak tepat menggunakan kata ini.
Commented [BAR10]: Sampai dengan paragraf ini, sangat banyak pengulangan sebagai akibat susunan makalah yang kalian pilih. Selain itu, banyak hubungan antarkalimat atau antarparagraf yang tidak jelas. Sebagian kalimat juga tidak dapat dipahami. Kalian wajib bekerja keras untuk memperbaiki hal ini. Halaman terakhir tidak saya periksa dulu.
dalam chestnut juga mempengaruhi oksidasi asam askorbat. Ion logam memiliki kemampuan sebagai katalis yang mampu membentuk radikal bebas reaktif atau oksigen aktif yang mampu mempercepat oksidasi asam askorbat. Penentuan kadar akhir vitamin C dalam dua penelitian di atas diukur menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Untuk melihat keabsahan hasil metode tesebut, Serrano (2007) mengevaluasi metode pengukuran vitamin C dengan KCKT menggunakan reduktor. Metode KCKT digunakan karena metode ini merupakan metode termudah dan terefisien untuk dilakukan. Perbedaan metode dari ketiga penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Penelitian menggunakan metode KCKT-UV menghasilkan linearitas hingga 5 mg/100 g dan batas deteksi dan kuantifikasi masing-masing <0,18 mg/100 g dan <0.61 mg/ 100g. Hal yang paling menjadi dasar penilaian kevalidan sebuah metode dapat dilihat dari nilai presisi (%RSD) dan recovery. Pada penelitan ini digunakan kombinasi antara jenis pereaksi dan kolom. Biasanya penentuan vitamin C dengan KCKT mengunakan reagen asam metafosfat, namun pereaksi yang digunakan pada validasi ini adalah reduktor DTT dan BAL. Sementara kolom yang digunakan ialah C18 dan NH2. Pada penelitian Lee dan Coates (1999) menggunakan C18, sementara Barros et al (2011) menggunakan kolom NH2. Oleh karena itu secara keseluruhan berdasarkan hasil validasi penelitian Serrano (2007), diperoleh kombinasi antara kolom C18 dan reagen DTT sebagai kombinasi terbaik dalam menghasilkan nilai presisi dan recovery yang baik. Presisi sebagai standar deviasi relatif, berkisar dari 0.6% untuk 3.9% dan recovery antara 93.6% dan 104.4%. Dengan begitu hasil pengukuran vitamin C dengan KCKT memberikan hasil yang sesuai. Penelitian Lee dan Coates (1999) menunjukkan hasil yang paling baik di antara kedua penelitian lain, meskipun sampel yang digunakan telah disimpan selama 24 bulan. Sementara pada penelitian Barros et al (2011), diperoleh kadar vitamin C terbanyak pada chestnut panggang berdasarkan kombinasi antarkultivar.
DAFTAR PUSTAKA Arifin B. 2012. Diktat Kuliah Kimia Pangan Jilid-2. Bogor (ID) : IPB Press Barros Ana I.R.N.A, Nunes FM, Gonçalves B, Bennett RN, Silva AP. 2011. Effect of Cooking On Total Vitamin C Contents and Antioxidant Activity of Sweet Chestnuts (Castanea sativa mill.). Journal Of Food Chemistry 128:165–172 Lee HS, Coates GA. 1999. Vitamin C in Frozen, Fresh Squeezed, Unpasteurized, Polyethylene-Bottled Orange Juice: A Storage Study. Journal Of Food Chemistry 65:165-168 Serrano IO, Jover TH, Belloso OM. 2007. Comparative evaluation of UVHPLC methods and reducing Agents to determine vitamin C in fruits. Journal Of Food Chemistry. 105:1151-1158.