Makalah Usus Terbalik.docx

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Usus Terbalik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,555
  • Pages: 20
MAKALAH PRAKTIKUM Percobaan III

Uji In Vitro Absorpsi Obat Asam Salisilat dengan Model Usus Terbalik pada Tikus Jantan Menggunakan Spektrofotometer Visibel

Disusun oleh: Petrus Febrian Widihantoro 148114058 Ivon Indah Purnawati

148114059

Lintang Sari Hermadana

148114060

Myisha Felicia Elisabeth

148114061

Mulia Toyomas

148114062

Kelompok : C

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA-FARMAKOKINETIKA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016

I.

LATAR BELAKANG Absorbsi adalah proses perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke tempat aksi (Goodman, & Gilman, 2006). Absorpsi obat adalah langkah utama untuk dsiposisi obat dalam tubuh berdasarkan sistem LADME (Liberasi – Absorpsi – Distribusi – Metabolisme - Ekskresi). Bila pembebasan obatg dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan absorpsinya akan berlangsung lambat, sehingga dapat mempengaruhi keefektifitasan obat secara keseluruhan. Luas permukaan obat juga sangat mempengaruhi sistem absorpsi, semkin kecil ukuran partikel, maka makin besar luas permukaannya, sehingga partikel semakin mudah larut dalam pelarutnya sehingga makin mudah untuk di absorpsi. Adapun daya larut obat juga dipengaruhi oleh: sifat fisika kimia obat, formulasi bentuk sediaan (Aulton, 2001). Obat pada umumnya diabsorbsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif melalui membran selular. Obat-obat yang ditransfer secara difusi pasif hanyalah yang larut dalam lipid. Semakin baik kelarutannya dalam lipid , semakin baik absorpsinya. Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh derajad ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan membran (Watson, 2007). Faktor yang mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorpsi adalah bentuk sediaan, rute pemberian obat, fungsi saluran pencernaan, adanya makanan atau pemberian obat lain. Kelarutan obat sangat menentukan banyaknya obat terabsorpsi (Hakim, Lukman, 2002). Uji secara in vitro dilakukan dengan menggunakan organ tubuh subjek uji tetapi dilakukan di luar tubuh subjek uji (contoh: alat-alat gelas, tabung reaksi, dll) yang dibuat agar dapat menyerupai kondisi seperti di dalam tubuh subjek uji (Boskey, 2016). Uji secara in vitro dengan model usus terbalik pertama kali dikenalkan oleh Wilson dan Wiseman pada tahun 1954 yang kemudian mengalami banyak modifikasi untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari jaringan dengan meniru kondisi in vivo. Model usus terbalik digunakan sebagai uji in vitro terhadap mekanisme dan kinetika proses absorpsi obat (Aftab, 2012). Usus halus merupakan tempat absorpsi paling optimal bagi obat yang diminum secara per oral, karena usus halus mempunyai permukaan membran yang luas untuk melakukan proses absorpsi. Membran luas pada usus halus didukung oleh adanya fili dan lipatan yang dapat mendukung proses absorbsi (Shargel, 2005).

II.

TUJUAN 1. Menjelaskan proses absorpsi obat dalam saluran pencernaan 2. Menjelaskan pengaruh pH terhadap absorpsi obat dengan menggunakan pedoman rumus Handerson – Hasselbach. 3. Membuat grafik hubungan antara jumlah kumulatif obat yang ditranspor sebagai fungsi waktu.

III.

ALAT DAN BAHAN 1. Alat: a. Tabung Crane dan Wilson

f. Glassfirn

b. Spektrofotometer visibel

g. Pinset

c. Waterbath

h. Gunting

d. Neraca analitik

i. pH meter

e. Pipet ukur, tetes, dan volume

j. Beaker glass

2. Bahan: a. Tikus putih Jantan

f. Eter

b. Cairan lambung tanpa pepsin (pH 1,2)

g. Gas Oksigen

c. Cairan lambung tanpa pankreatin (pH 7,5)

h. Alkohol

d. Larutan NaCl

i. Reagen Trinder

e. Asam salisilat

IV.

SKEMA PROSEDUR KERJA 1. Pembuatan larutan stok asam salisilat Dibuat larutan stok asam salisilat 0,01% sebanyak 50ml (dilarutkan dalam 0,9% NaCl) ↓ Diambil 5 ml dan diencerkan hingga 50 ml dengan NaCl 0,9%

2. Pembuatan larutan intermediet Dari larutan stok dibuat larutan intermediet 0,002; 0,003; 0,004; 0,005; 0,006; 0,007 mg/ml ↓ Add NaCl 0,9% hingga 10 ml.

3. Penentuan OT Diambil larutan intermediet 0,05mg/ml sebanyak 3,5 ml ↓ Ditambah 1,5 ml reagen trinder ↓ Ditunggu masa OT: 5, 10, 15 menit ↓ Absorbansi dibaca pada λ teritoris 4. Penentuan λ Maksimum Diambil larutan intermediet sebanyak 3,5 ml dan ditambahkan 1,5 ml reagen trinder ↓ Didiamkan selama OT yang diperoleh, dan dibaca absorbansinya

5. Pembuatan kurva baku Tiap larutan Intermediet diambil sebanyak 3,5ml ↓ Ditambah 1,5 ml reagen trindr ↓ Ditunggu masa OT ↓ Dibaca absorbansinya

6. Penentuan absorbsi asam salisilat in vitro Tikus dipuasakan selama 24 jam dan hanya diberi minum ↓ Tikus di bius menggunakan eter ↓ Dibedah sepanjang linea mediana ↓ Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus dibuang, dan 20 cm dibawahnya dipakai usus 20cm. Usus ini selanjutnya disebut sebagai usus percobaan ↓ Usus dibagi 2 sama panjang, bagian anal dipakai sebagai kontrol ↓ Ujung anal dari potongan usus diikat dengan benang ↓ Dibalik menggunakan lidi, sehingga bagian mukosa di luar ↓ Kanula dimasukkan ke ujung oral (bagian tak terikat) ↓ Usus diukur dengan panjang efektif 7cm yang sebelumnya diisi dengan larutan serosal 1,4ml larutan NaCl ,9% b/v ↓ Kantong usus yang sudah diisi serosal dimasukkan kedalam 50 ml cairan lambung, pH 1,2 dan 7,5 yang mengandung asam salisilat, dengan suhu percobaan 37oC dan dialiri gas O2 sebanyak 100 gelembung/ menit. ↓ Selama percobaan semua bagian usus harus terendam dalam cairan mukosal ↓ Kadar obat dalam cairan serosal diukur pada 15, 30, 35, 60 menit. ↓ Seluruh cairan serosal diambil melalui kanula, dimasukkan dalam sentrifuge ↓

Usus dicuci dengan 1,4 ml NaCl 0,9% b/v sebanyak 2 kali ↓ Cairan hasil pencucian dimasukkan pada sentrifuge yang sama ↓ Cairan serosal disentrifuge selama 5 menit. ↓ Bagian supernatan dari hasil sentrifugasi diambil sebanyak 2,5 ml ↓ Ditambah dengan 1ml reagen Trinder ↓ Larutan divortex selama 1 menit dan ditunggu selama OT ↓ Absorbansi dibaca pada λ maksimum ↓ Kontrol percobaan diberlakukan sama, tapi cairan mukosal tidak mengandung asam salisilat.

V.

PENYAJIAN DATA 1. Penimbangan Asam Salisilat Bobot perkamen : 0,285 gram Bobot perkamen + isi : 1,287 gram Bobot perkamen + sisa : 0,287 gram Bobot isi : 1,000 gram 2. Larutan Stok Asam Salisilat 50 𝑚𝑔 𝑚𝑔 𝐶 = 50 𝑚𝑙 = 1 ⁄𝑚𝑙 3. Larutan Intermediet Asam Salisilat C= 0,02 mg/ml 𝐶1 × 𝑉1 = 𝐶2 × 𝑉2 𝑚𝑔 𝑚𝑔 0,02 ⁄𝑚𝑙 × 10 𝑚𝑙 = 1 ⁄𝑚𝑙 × 𝑉2 𝑉2 = 0,2 𝑚𝑙

C= 0,03 mg/ml 𝐶1 × 𝑉1 = 𝐶2 × 𝑉2 𝑚𝑔 𝑚𝑔 0,03 ⁄𝑚𝑙 × 10 𝑚𝑙 = 1 ⁄𝑚𝑙 × 𝑉2 𝑉2 = 0,3 𝑚𝑙

C= 0,04 mg/ml 𝐶1 × 𝑉1 = 𝐶2 × 𝑉2 𝑚𝑔 𝑚𝑔 0,04 ⁄𝑚𝑙 × 10 𝑚𝑙 = 1 ⁄𝑚𝑙 × 𝑉2 𝑉2 = 0,4 𝑚𝑙 C=0,05 mg/ml 𝐶1 × 𝑉1 = 𝐶2 × 𝑉2 𝑚𝑔 𝑚𝑔 0,05 ⁄𝑚𝑙 × 10 𝑚𝑙 = 1 ⁄𝑚𝑙 × 𝑉2 𝑉2 = 0,5 𝑚𝑙 C= 0,06 mg/ml 𝐶1 × 𝑉1 = 𝐶2 × 𝑉2 𝑚𝑔 𝑚𝑔 0,06 ⁄𝑚𝑙 × 10 𝑚𝑙 = 1 ⁄𝑚𝑙 × 𝑉2 𝑉2 = 0,6 𝑚𝑙 C= 0,07 mg/ml 𝐶1 × 𝑉1 = 𝐶2 × 𝑉2 𝑚𝑔 𝑚𝑔 0,07 ⁄𝑚𝑙 × 10 𝑚𝑙 = 1 ⁄𝑚𝑙 × 𝑉2 𝑉2 = 0,7 𝑚𝑙

4. Penentuan Panjang Gelombang Konsentrasi λ maks Abs (mg/ml) 509 0,02 0,142 0,05

0,241

519

0,07

0,312

527

5. Penentuan OT Menit ke-

Abs

5

1,646

10

1,623

15

1,625

OT yang digunakan yaitu 5 menit. 6. Kurva Baku Meja 2 C (mg/ml)

Abs

0,02

0,0562

0,03

0,1616

0,04

0,2078

0,05

0,2988

0,06

0,3824

0,07

0,4504

A = -0,0907 B = -7,784 r = 0,9969 𝑦 = −𝑏𝑥 + 𝑎 𝑦 = 7,784𝑥 − 0,0907

AbsorbansiI

KURVA BAKU KONSENTRASI VS ABSORBANSI MEJA 2 0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0

y = 7.784x - 0.0907 R² = 0.9939

0

0.01

0.02

0.03

0.04

Konsentrasi

0.05

0.06

0.07

0.08

Meja 1 C (mg/ml)

Abs

0,02

0,082

0,03

0,174

0,04

0,270

0,05

0,328

0,06

0,433

0,07

0,519

A = -0,0872 B = -8,6285 r = 0,9983 𝑦 = −𝑏𝑥 + 𝑎 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872

KURVA BAKU KONSENTRASI VS ABSORBANSI MEJA 1 0.6

AbsorbansiI

0.5 0.4 0.3

y = 8.6286x - 0.0873 R² = 0.9967

0.2 0.1 0 0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0.07

0.08

Konsentrasi

7. Usus ( pH=7,5 ) Abs t Kontrol

Abs Perlakuan

Abs Perlakuankontrol

Cp (mg/ml)

Q=C.V

Qkum

15

0,103

0,627

0,524

0,708

2,9736

2,9736

30

0,101

0,716

0,618

0,813

3,4146

6,3882

45

0,101

0,655

0,554

0,743

3,1206

9,5088

60

0,080

0,655

0,575

0,767

3,2214

12,7302

pH =7,5, pKa asam salisilat = 3 [𝑅 𝑁𝐻2 ] [𝑅 𝑁𝐻3+ ] [𝑅 𝑁𝐻2 ] 7,5 = 3 + 𝑙𝑜𝑔 [𝑅 𝑁𝐻3+ ] [𝑅 𝑁𝐻2 ] 4,5 = 𝑙𝑜𝑔 [𝑅 𝑁𝐻3+ ] [𝑅 𝑁𝐻2 ] 31.622,7766 = [𝑅 𝑁𝐻3+ ] 1 𝑝𝐻 = 𝑝𝐾𝑎 + 𝑙𝑜𝑔

31.622,7766 × 100% = 99,99 % 31.623,7766 1 𝑅𝑁𝐻3+ = × 100% = 3162 × 10−5 % 31.623,7766 𝑅𝑁𝐻2 =

a. Konsentrasi t= 15 menit 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872 0,524 = 8,6285𝑥 − 0,0872 𝑚𝑔 𝑥 = 0,0708 ⁄𝑚𝑙 t= 30 menit 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872 0,615 = 8,6285𝑥 − 0,0872 𝑚𝑔 𝑥 = 0,0813 ⁄𝑚𝑙 t= 45 menit 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872 0,554 = 8,6285𝑥 − 0,0872 𝑚𝑔 𝑥 = 0,0743 ⁄𝑚𝑙 t= 60 menit 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872 0,575 = 8,6285𝑥 − 0,0872 𝑚𝑔 𝑥 = 0,0767 ⁄𝑚𝑙 b. Koefisien Permeabilitas membran 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝐶𝑔 0,2159 𝑘= = 0,1564 1,38 𝑘=

c. Regresi waktu vs Qkum A= - 0,1974 B= -0,2159 r= 0,9998 𝑦 = −𝑏𝑥 + 𝑎 𝑦 = 0,2159𝑥 − 0,1974

USUS WAKTU VS Q KUMULATIF 14

y = 0.2159x - 0.1974 R² = 0.9997

Q KUMULATIF

12 10 8 6 4 2

0 0

10

20

30

40

50

60

70

WAKTU

d. Lag time memotong sumbu x (y=0) 𝑦 = 0,2159𝑥 − 0,1974 0 = 0,2159𝑥 − 0,1974 𝑥 = 0,9143 Maka, lag time absorbansi asam salisilat di usus yaitu 0,9143 menit. 8. Lambung Abs t Kontrol

Abs Perlakuan

Abs Perlakuankontrol

Cp (mg/ml)

Q=C.V

Qkum

15

0,045

3,214

3,169

3,77

15,834

15,834

30

0,046

1,396

1,350

1,66

6,972

22,806

45

0,080

1,137

1,057

1,32

5,544

28,381

pH = 1,2 [𝐴− ] [𝐻𝐴] − [𝐴 ] 1,2 = 3 + 𝑙𝑜𝑔 [𝐻𝐴] − [𝐴 ] −1,8 = 𝑙𝑜𝑔 [𝐻𝐴] − [𝐴 ] 0,0158 = [𝐻𝐴] 1 𝑝𝐻 = 𝑝𝐾𝑎 + 𝑙𝑜𝑔

0,0158 × 100% = 1,55 % 1,0158 1 𝐻𝐴 = × 100% = 98,44% 1,0158 𝐴− =

a. Konsentrasi t= 15 menit 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872 3,169 = 8,6285𝑥 − 0,0872 𝑚𝑔 𝑥 = 0,377 ⁄𝑚𝑙 t= 30 menit 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872 1,350 = 8,6285𝑥 − 0,0872 𝑚𝑔 𝑥 = 0,166 ⁄𝑚𝑙 t= 45 menit 𝑦 = 8,6285𝑥 − 0,0872 1,057 = 8,6285𝑥 − 0,0872 𝑚𝑔 𝑥 = 0,132 ⁄𝑚𝑙 b. Koefisien Permeabilitas membran 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝐶𝑔 0,418 𝑘= = 0,418 1 𝑘=

c. Regresi waktu vs Qkum A= 9,793 B= -0,418 r= 0,997 𝑦 = −𝑏𝑥 + 𝑎 𝑦 = 0,418𝑥 + 9,793

LAMBUNG WAKTU VS Q KUMULATIF y = 0.4182x + 9.7933 R² = 0.9959

35

Q KUMULATIF

30 25 20 15 10 5 0 0

10

20

30

40

50

WAKTU

d. Lag time memotong sumbu x (y=0) 𝑦 = 0,418𝑥 + 9,793 0 = 0,418𝑥 + 9,793 𝑥 = −23,428 𝑥 = 23,428 Maka, lag time absorbansi asam salisilat di lambung yaitu 23,428 menit.

VI.

PEMBAHASAN Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui proses absorpsi obat dalam saluran pencernaan menjelaskan pengaruh pH terhadap absorpsi obat dengan rumus Handerson-Hasselbach, dan membuat grafik hubungan antara jumlah kumulatif obat yang ditranspor sebagai fungsi waktu. Metode in vitro adalah metode yang dilakukan dengan menggunakan organ tubuh subyek uji tetapi dilakukan di lyar tubuh subyek uji (contoh, alat-alat gelas, tabung reaksi, dll) yang dibuat agar dapat menyerupai kondisi seperti di dalam tubuh subyek uji (Boskey, 2016).

Subyek uji yang digunakan adalah tikus jantan dan organ tubuh yang digunakan adalah usus halus. Tikus jantan digunakan untuk mengurangi kemungkinan proses absorpsi terpengaruh oleh aktivitas hormone yang lebih besar pada tikus betina. Usus halus digunakan mengingat usus halus merupakan tempat absorpsi utama karena memilliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 m2, disertai dengan vili dan mikrovili (Gunawan, 2009). Metode yang dipakai adalah metode usus terbalik yang merupakan teknik in vitro sederhana. Metode ini dilakukan dengan cara membalik usus sehingga bagian dalam usus berada di luar dan bertemu dengan cairan mucosal di dalam tabung Crane dan Wilson, pH cairan mucosal disesuaikan dengan pH cairan lambung (pH 1,2) dan pH usus (pH 7,5), selain itu di dalam tabung juga dialirkan oksigen sehingga proses absorpsi yang terjadi menyerupai proses absorpsi di dalam tubuh. Pada percobaan ini obat yang digunakan yaitu asam salisilat. Asam salisilat mudah larut dalam etanol sehingga pada melarutkannya digunakan sedikit etanol hingga larut kemudian ditambahkan aquadest. Larutan asam salisilat disaring terlebih dahulu sebelum diukur absorbansinya supaya tidak ada partikel-partikel yang dapat mengganggu proses pengukuran absorbansi. Struktur asam salisilat adalah sebagai berikut:

Struktur asam salisilat. (Depkes RI, 1995) Asam salisilat diukur dengan menggunakan spektrofotometer visibel. Asam salisilat dapat diukur dengan alat tersebut karena memiliki gugus kromofor dan gugus auksokrom. Kromofor merupakan senyawa organik yang memiliki ikatan rangkap yang terkonjugasi. Suatu ikatan rangkap yang terisolasi seperti dalam etilen mengabsorpsi pada 165 nm, yaitu di luar daerah ukur yang lazim dari spektroskopi elektron. Dua ikatan rangkap terkonjugasi memberikan suatu kromofor seperti dalam butadien akan mengabsorpsi pada 217 nm. Panjang gelombang maksimum absorpsi dan koefisien ekstingsi molar akan bertambah dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap

terkonjugasi lainnya. Gugus auksokrom mengandung pasangan elektron bebas yang disebabkan oleh terjadinya mesomeri kromofor. Yang termasuk dalam gugus auksokrom ini adalah substituen seperti –OH, -NH2, -NHR dan –NR2. Gugus ini akan memperlebar sistem kromofor dan menggeser maksimum absorpsi kearah panjang gelombang yang lebih panjang (Roth dan Blaschke, 1998). Prinsip dari spektrofotometer adalah molekul-molekul tertentu terutama yang memiliki gugus kromofor dan struktur kaku, dapat tereksitasi oleh sinar UV-visibel dan kemudian akan memancarkan radiasi yang diserap pada panjang gelombang yang lebih panjang, selanjutnya radiasi yang dipancarkan dapat diukur (Watson, 2005). Sebelum percobaan, subyek uji dipuasakan selama 24 jam untuk meminimalisir adanya makanan, mempercepat pengosongan lambung yang dapat mempengaruhi absorpsi obat, selain itu juga untuk mencegah tersekresinya asam lambung (HCl) akibat rangasangan dari makanan yang dapat mempengaruhi data. Kemudian tikus dikorbankan dengan cara dibius eter. Pengorbanan tikus dilakukan secara kimia untuk menghindari kemungkinan rusaknya organ yang akan dipakai apabila dikorbankan secara fisik. Tikus dibedah dan diambil ususnya. Usus sepanjang 15 cm di bawah pylorus dibuang untuk menghindari kemungkinan kontaminasi asam lambung yang dapat mempengaruhi absorpsi. Usus sepanjang 20 cm dibagi menjadi 2 (masing-masing 10 cm), baian awal digunakan sebagai control. Usus dibersihkan dari lemak dan pengotor lain dengan cairan serosal NaCl 0,9% 𝑏⁄𝑣 yang berfungsi sebagai larutan fisiologis agar usus tetap hidup dan sel-sel tidak mati. Preparasi usus halus harus cepat supaya sel-sel usus tidak mati, apabila usus mati, usus tidak dapat menghasilkan ATP untuk hidup. Setelah dibalik dan diikat dengan benang, usus perlakuan dimasukkan dalam tabung dengan cairan lambung buatan (pH 1,2) dan cairan usus buatan (pH 7,5) yang diberi asam salisilat. Sedangkan usus control dimasukkan dalam tabung dengan cara yang sama dengan perlakuan tetapi tanpa asam salisilat. Cairan serosal NaCl 0,9% 𝑏⁄𝑣 dimasukkan ke dalam kantung usus untuk mengkondisikan usus supaya sama dengan kondisi tubuh. Pengisian cairan serosal dilakukan sebelum usus dimasukkan ke tabung berisi cairan mucosal. Tabung diinkubasi dalam penangas air pada suhu 37 ºC supaya sama dengan suhu tubuh. Oksigen dialirkan untuk menjaga aktivitas sel dan agar sel tetap hidup.

Cairan serosal NaCl 0,9% b/v dimasukkan ke dalam kantung usus untuk mengkondisikan usus supaya sama dengan kondisi tubuh. Pengisian cairan serosal dilakukan sebelum usus dimasukkan ke tabung berisi cairan mukosal. Tabung diinkubasi dalam penangas air pada suhu 37oC supaya sama dengan suhu tubuh. Oksigen dialirkan untuk menjaga aktivitas sel dan agar sel tetap hidup. Cairan serosal dalam usus dikeluarkan setiap 15 menit dan dicuci/ dibilas sebanyak 2 kali dengan NaCl 0,9% untuk mencegah kejenuhan dan menjaga agar usus berada dalam kondisi sink. Cairan hasil pembilasan diambil, kemudian cairan yang baru dimasukkan kembali ke dalam kantung usus dan dimasukkan ke dalam waterbath. Cairan serosal yang diambil kemudian disentrifugasi untuk mengendapkan pengotor lalu bagian supernatan diambil. Bagian supernatant ini ditambahkan reagen Thrinder dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 527 nm. Reagen Thrinder berisi 10% besi klorida yang dapat dibuat dengan cara melarutkan 40 gram merkuri klorida ke dalam 850 ml air melalui pemanasan, larutan lalu didinginkan dan ditambah 120 mL HCl 1 N dan 40 gram besi nitrat, setelah besi nitrat larut, larutan diencerkan sampai 1 liter dengan air (Anonim, 2014). Besi klorida berfungsi sebagai pembentuk warna kompleks ungu dengan menghasilkan FeCl3 yang akan bereaksi dengan gugus fenolik asam salisilat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

OH

OH

6

+ FeCl3

O HO

+ 3 HCl

Fe O

O OH

kompleks warna ungu

Absorpsi yang terjadi pada kebanyakan obat adalah secara difusi pasif dari konsentrasi tinggi ke rendah dengan melewati memberan semipermiabel. Hukum Fick I merumuskan penetrasi molekul menembus membran sebagai berikut: 𝑑𝑄 𝐷𝐴𝐾 = (𝐶𝑔 − 𝐶𝑝) 𝑑𝑡 ℎ

dQ/dt

= laju difusi

Cg-Cp

= perbedaan konsentrasi obat dalam GIT dan plasma

D

= koefisien difusi

K

= koefisien partisi obat dalam membran biologis

A

= luas area membran

H

= ketebalan membran

D, A, K, dan h bersifat konstan pada proses absorpsi sehingga dapat digabungkan menjadi koefisien permeabilitas (P). Konsentrasi obat dalam plasma (Cp) sagat sedikit bila dibandingkan dengan konsentrasi obat dalam saluran pencernaan. Hal ini dikarenakan obat terdistribusi dengan cepat begitu memasuki sirkulasi darah sehingga Cg > Cp. Maka didapatkan persamaan baru, yaitu: 𝑑𝑄 = 𝑃. 𝐶𝑔 𝑑𝑡 (Shargel, 2005) Koefisien permeabilitas (P) kemudian dihitung untuk mengetahui besarnya permeabilitas membran asam salisilat terhadap membran pada pH lingkungan yang berbeda. Semakin besar nilai P maka permeabilitas membran terhadap obat juga semakin besar sehingga molekul obat yang terabsorbsi oleh membran semakin besar. Jika slope semakin besar maka P juga semakin besar. Asam salisilat memiliki sifat sebagai asam lemah dan memiliki pKa= 3,00 (Shargel, 2005) dari persamaan Handerson-Hasselbach, obat yang bersifat asam lebih akan banyak terabsorpsi pada pH lingkungan yang rendah (asam), karena pada pH rendah asam salisilat akan berada dalam bentuk molekul yang lebih banyak dibanding bentuk ionnya sehingga lebih mudah terabsorpsi. Persamaan Handerson-Hasselbach adalah sebagai berikut: Asam : fraksi obat yang terionkan

pH = pKa + logfraksi oabat yang tidak terionkan Basa : fraksi obat yang terionkan

pH = pKa + logfraksi oabat yang tidak terionkan (Watson, 2007)

Sedangkan jika asam salisilat berada dalam lingkungan pH tinggi maka asam salisilat akan lebih banyak berada dalam bentuk ion daripada molekul sehingga asam salisilat lebih sedikit terabsorpsi di usus. Lag time merupakan penundaan waktu absorbsi sebelum permulaan absorbsi obat. (Sumpter, 2008). Tujuan dari penentuan lag time adalah untuk mengetahui pada menit keberapa obat mulai diabsorbsi, makin lama lag time maka obat semakin lama untuk diabsorbsi. Dari hasil percobaan didapatkan hasil bahwa jumlah obat yang diabsorpsi (Qkumulatif) asam salisilat pada kondisi pH cairan lambung buatan yaitu sebesar 28,3810 mg, sedangkan Qkumulatif asam salisilat pada kondisi pH cairan usus buatan yaitu sebesar 12,7302 mg. Hal ini menunjukkan bahwa absorpsi asam salisilat di cairan mukosal lambung lebih besar dibandingkan di cairan mukosal usus. Kemudian didapatkan pula nilai K (koefisien permeabilitas) di cairan mukosal lambung yaitu sebesar 0,4180 mL/menit, sedangkan di cairan mukosal usus yaitu sebesar 0,1564 mL/menit. Hal ini menunjukkan bahwa permabilitas obat terhadap membran di cairan mukosal lambung lebih besar dibandingkan di cairan mukosal usus. Hal ini disebabkan karena obat (asam salisilat) di dalam cairan mukosal lambung berada dalam bentuk molekul lebih banyak sehingga lebih mudah menembus membran dibandingkan jika obat (asam salisilat) berada di dalam cairan mukosal usus, sehingga sudah sesuai dengan teori HandersonHasselbach. Dari percobaan didapatkan juga persamaan waktu vs Qkumulatif asam salisilat dalam cairan lambung (pH=1,2) yaitu y=0,418x+9,793 sedangkan persamaan waktu vs Qkumulatif asam salisilat dalam cairan usus (pH=7,5) yaitu y=0,2159x-0,1974. Kedua persamaan ini digunakan untuk menentukan lag time. Lag time pada lambung yaitu selama 24,4280 menit sedangkan lag time pada usus selama 0,9143 menit. Dari data lag time tersebut, ditunjukkan bahwa absorpsi obat di lambung lebih cepat dibandingkan di usus.

KESIMPULAN 1. Proses aborpsi obat di dalam saluran pencernaan terjadi secara difusi pasif mengikuti perbedaan konsentrasi dari tinggi ke rendah. 2. Absorpsi obat dipengaruhi oleh pH, dari persamaan Handerson-Hasselbach obat asam salisilat pada pH asam (lambung pH 1,2) lebih banyak dalam bentuk molekul pada pH basa (usus pH 7,5) lebih banyak dalam bentuk ion, bentuk molekuk lebih mudah diabsorpsi dibandingkan bentuk ion. 3. Grafik waktu vs jumlah obat kumulatif pada cairan lambung pH 1,2

LAMBUNG WAKTU VS Q KUMULATIF y = 0.4182x + 9.7933 R² = 0.9959

35

Q KUMULATIF

30 25 20

15 10 5 0 0

10

20

30

40

50

WAKTU

Grafik waktu vs jumlah obat kumulatif pada cairan usus pH 7,5

USUS WAKTU VS Q KUMULATIF 14

y = 0.2159x - 0.1974 R² = 0.9997

12

Q KUMULATIF

VII.

10 8 6 4 2 0 0

10

20

30

40

WAKTU

50

60

70

VIII.

DAFTAR PUSTAKA Aftab, Ibrahim, and Al-Mohizea, 2012, Everted Gut Sac Model as a Tool in Pharmaceutical Research: Limitations and Applications, The Journal of Pharmacy and Pharmacology, Vol. 64, No. 3, https://www.researchgate.net/publication /221809729_Everted_gut_sac_model_as_a_tool_in_pharmaceutical_research_Li mitations_and_applications ,diakses pada tanggal 21 Mei 2016, pukul 22.14 WIB. Anonim, 2014, Salicylates (Color Test), http://www.nyc.gov/html/ocme/downloads /pdf/Ftox/ SOP/MiscProcedures%20-%20B%20-%20Salicylates.pdf , diakses pada tanggal 21 Mei 2016, pukul 17.20 WIB Aulton, 2001, Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design, 2nd ed., Churchill, Livingstone, p.273. Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal. 51. Goodman and Gilman’s, 2006, The Pharmalogical Basis of Therapeutics, 11th Ed, The Mc Graw Hill Companies, Inc., USA, p. 198. Gunawan, 2009, Farmakologi dan Terapi, edisi V, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, hal. 90-91 Hakim, Lukman, 2002, Farmakokinetika, Bursa Buku, Yogyakarta, hal. 88. Roth, H.J., dan Blaschke G., 1998, Analisis Farmasi, Airlangga University Press, Surabaya, halaman 372-374. Shargel, Leon, 2005, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 5th ed., The McGraw-Hill Companies, USA, pp. 375-379, 385. Sumpter, A, 2008, Absorption and Disposition, http://holford.fmhs.auckland.ac.nz/ teaching/medsci719/workshops/absorptionanddisposition/ , diakses pada tanggal 22 Mei 2016, pukul 18.40 WIB. Watson, D.G., 2005, Analisis Farmasi, EGC, Jakarta, hal 198.

Related Documents