Makalah Uas.docx

  • Uploaded by: virgitta widyasari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Uas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,070
  • Pages: 39
MAKALAH VIROLOGI TUGAS UAS

Disusun Oleh :

1. Virgitta Rizky

W (P27834016011)

HIV 1. Pengertian (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamily Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Asquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang merupakan masalah kesehatan global baik di Negara maju maupun Negara berkembang Penatalaksanaan HIV terhadap penderita 2. Identifikasi Kasus HIV Sebelum dilakukan penanganan penderita HIV atau ODHA diperlukan cara untuk mengidentifikasi kasus HIV sejak dini. Hal ini bertujuan untuk menemukan pasien pada stadium awal dan memberikan akses terhadap terapi ARV, profilaksis kotrimoksasol dan paket layanan HIV lainnya. Berikut panduan pelaksanaan dalam mengindentifikasi HIV sejak dini

Sumber : (Kemenkes, 2016) Dengan menemukan kasus baru secara rutin akan berdampak positif sebagai berikut: 1. Penemuan kasus HIV lebih dini meningkatkan akses perawatan dan pengobatan yang memadai sehingga mengurangi perawatan di rumah sakit dan angka kematian. 2. Pasien mendapatkan akses layanan lanjutan seperti skrining TB, skrining IMS, pemberian kotrimoksasol dan atau INH, serta pengobatan ARV 3. Penurunan stigma dan diskriminasi karena masyarakat akan melihat bahwa hal tersebut merupakan kegiatan rutin 3. Diagnosis Laboratorium

Setelah ditemukan adanya indikasi kasus HIV, maka suspect dianjurkan untuk mengikuti tes HIV., Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan, ada beberapa suspect yang terindikasi untuk mengikuti tes HIV, yaitu: 

Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi infeksi HIV. Terutama dengan riwayat tuberkulosis (TB) dan penyakit kelamin.



Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin.



Laki-laki dewasa yang meminta sunat sebagai tindakan pencegahan HIV.



Bayi dan anak dengan kondisi di bawah ini juga memerlukan tes HIV. Kondisi tersebut antara lain:

Anak memiliki penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau mendapat obat anti tuberkulosis (OAT) berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis atau berulang. Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan pencegahan penularan dari ibu ke anak. Anak yang riwayat keluarganya tidak diketahui. Terpajan atau berpotensi memiliki infeksi HIV melalui jarum suntik yang terkontaminasi, menerima transfusi berulang, dan sebab lainnya. Anak yang mengalami kekerasan seksual. Selain itu, tes HIV juga harus ditawarkan secara rutin kepada:  Pekerja seks, pengguna NAPZA suntik (penasun), laki-laki hubungan seksual dengan laki-laki (LSL), dan waria. Tes harus diulang minimal setiap 6 bulan sekali.  Pasangan ODHA.  Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi.  Pasien TB.  Semua orang yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan di daerah epidemi HIV meluas.  Pasien penyakit kelamin.  Pasien hepatitis.  Warga binaan permasyarakatan. (Sabrina,2018) Berbagai macam tes HIV tersedia pada pihak pelayanan kesehatan (antara lain : rumah sakit, puskesmas dll). Berikut macam-macam tes HIV, antara lain: 

Tes antibodi, yaitu jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi HIV dalam darah. Antibodi HIV adalah protein yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap infeksi HIV. Tes antibodi terdiri atas beberapa jenis, antara lain: o

ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). ELISA merupakan tes HIV yang umumnya digunakan sebagai langkah awal untuk mendeteksi antibodi HIV. Sampel darah yang telah diambil akan dibawa ke laboratorium dan dimasukkan ke dalam wadah yang telah diberi antigen HIV. Selanjutnya, enzim akan dimasukkan ke dalam wadah tersebut untuk mempercepat reaksi kimia antara

darah dan antigen. Jika darah mengandung antibodi HIV, maka darah akan mengikat antigen tersebut di dalam wadah. o

IFA

(immunofluorescene

antibody

assay). Tes

yang

dilakukan

dengan

menggunakan pewarna fluoresens untuk mengidentifikasi keberadaan antibodi HIV. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop beresolusi tinggi. Tes ini biasanya digunakan untuk mengonfirmasi hasil tes ELISA. o

Western Blot. Tes yang dilakukan dengan menggunakan metode pemisahan protein antibodi yang diekstrak dari sel darah. Sebelumnya, tes ini juga digunakan untuk mengonfirmasi hasil tes ELISA, namun saat ini Western Blot sudah jarang digunakan sebagai tes HIV.



Tes PCR (polymerase chain reaction). Tes yang digunakan untuk mendeteksi RNA atau DNA HIV dalam darah. Tes PCR dilakukan dengan cara memperbanyak DNA melalui reaksi enzim. Tes PCR dapat dilakukan untuk memastikan keberadaan virus HIV ketika hasil tes antibodi masih diragukan.



Tes kombinasi antibodi-antigen (Ab-Ag test). Tes yang dilakukan untuk mendeteksi antigen HIV yang dikenal dengan p24 dan antibodi HIV-1 atau HIV-2. Dengan mengidentifikasi antigen p24, maka keberadaan virus HIV dapat terdeteksi sejak dini sebelum antibodi HIV diproduksi dalam tubuh. Tubuh umumnya membutuhkan waktu 26 minggu untuk memproduksi antigen dan antibodi sebagai respons terhadap infeksi. (Willy, 2018)

Gambar Tahap pemeriksan laboratorium HIV

4. Pengobatan Meskipun sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV, namun ada jenis obat yang dapat memperlambat perkembangan virus. Jenis obat ini disebut antiretroviral (ARV). ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri, dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4. Beberapa jenis obat ARV, antara lain: 

Efavirenz



Etravirine



Nevirapine



Lamivudin



Zidovudin

Selama mengonsumsi obat antiretroviral, dokter akan memonitor jumlah virus dan sel CD4 untuk menilai respons pasien terhadap pengobatan. Hitung sel CD4 akan dilakukan tiap 3-6 bulan. Sedangkan pemeriksaan HIV RNA dilakukan sejak awal pengobatan, dilanjutkan tiap 3-4 bulan selama masa pengobatan. Pasien harus segera mengonsumsi ARV begitu didiagnosis menderita HIV, agar perkembangan virus HIV dapat dikendalikan. Menunda pengobatan hanya akan membuat virus terus merusak sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko penderita HIV terserang AIDS. Selain itu, penting bagi pasien untuk mengonsumsi ARV sesuai petunjuk dokter. Melewatkan konsumsi obat akan membuat virus HIV berkembang lebih cepat dan memperburuk kondisi pasien. Bila pasien melewatkan jadwal konsumsi obat, segera minum begitu ingat, dan tetap ikuti jadwal berikutnya. Namun bila dosis yang terlewat cukup banyak, segera bicarakan dengan dokter. Dokter dapat mengganti resep atau dosis obat sesuai kondisi pasien saat itu. Pasien HIV juga dapat mengonsumsi lebih dari 1 obat ARV dalam sehari. Karena itu, pasien perlu mengetahui efek samping yang timbul akibat konsumsi obat ini, di antaranya: 

Diare.



Mual dan muntah.



Mulut kering.



Kerapuhan tulang.



Kadar gula darah tinggi.



Kadar kolesterol abnormal.



Kerusakan jaringan otot (rhabdomyolysis).

 Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya  Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4.  Semua pasien ko-infeksi TB.  Semua pasien ko-infeksi HBV.  Semua ibu hamil  ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negatif (sero discordant). Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)  Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat

5. Penanganan Jenazah Odha Pandangan agama tentang penyelenggaraan jenazah Sudah merupakan adab manusia untuk selalu memperlakukan jenazah secara layak dan hormat tanpa memandang siapa jenazah yang dihadapinya. Setiap agama memiliki tata cara masing-masing untuk menghormati dan merawat jenazah. Penyelenggaraan jenazah hingga akhirnya dikebumikan pada umumnya adalah sama. Dimulai dengan mengetahui identitas dan kelengkapan dipakaikan

tubuh baju,

jenazah dan

kemudian

selanjutnya

dimandikan

disholatkan

atau

(dibersihkan), didoakan

lalu

dikafani

atau

dikebumikan.

Meskipun di dalam agama Kristiani tidak ada perintah khusus tentang apa yang harus dilakukan oleh

masyarakat

terhadap

jenazah

namun

dalam

budaya

Alkitabiah

terdapat

berbagai cara untuk menangani jenazah dan tidak ada larangan atau anjuran secara khusus tentang penyelenggaraan jenazah. Terdapat beberapa detail yang berbeda menurut kepercayaan, agama, dan adat kebudayaan masing-masing. Dalam umat Kristiani upacara penyiapan jenazah meliputi : memandikan, mengenakan pakaian, liturgi pemakaman, dan menguburkan. Prosesi penyiapan jenazah untuk umat Budha terdiri dari memandikan, menyucikan, membaca paritta suci (mendoakan), dan menguburkan atau mengkremasi sesuai dengan adat istiadat serta tradisi. Dalam agama Hindu dipercaya bahwa jika seseorang meninggal, maka sang roh melompat meninggalkan badan kasarnya. Sang roh akan menuju tempat yang sesuai dengan karmawasana-nya. Keluarga yang ditinggalkannya, sesuai etika Hindu, hendaknya segera mengurus mayatnya agar mampu mempercepat proses atman kembali kepangkuan Tuhan. Hukum karma berlaku apakah nanti dapat masuk surga atau neraka. Dalam agama Islam penyelenggaraan jenazah hukumnya fardhu kifayah/kewajiban bersama yakni bila tidak ada seorang pun dari penduduk desa atau kota yang melaksanakannya maka semuanya berdosa. Ada empat hal dalam upacara penyiapan jenazah menurut Agama Islam yaitu : memandikan, mengkafankan, menshalatkan, dan menguburkan. Orang yang berkewajiban melakukan penyelenggaraan jenazah adalah wali jenazah, yaitu orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap jenazah dimana dia berada atau setiap orang yang mengetahui atau menyangka tentang kematiannya. Bila yang mengetahui hanya satu orang, maka bagi dia hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi dirinya). Keempatprosesi ini hendaknya segera dilakukan untuk mencegah kondisi jenazah berubah atau membusuk. Prinsip dan ketentuan umum

Tata cara penyelenggaraan jenazah ODHA yang dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun kelompok masyarakat terlatih harus memperhatikan faktor-faktor penularan penyakit yang mungkin ditularkan oleh jenazah, yaitu dengan mengikuti ketentuan umum seperti berikut: 1. Selalu menerapkan kewaspadaan standar yakni memperlakukan semua jenis cairan dan jaringan

tubuh

jenazah

sebagai

bahan

yang

infeksius

dengan

cara

menghindari kontak langsung. 2. Pastikan jenazah sudah didiamkan selama lebih dari dua jam sebelum dilakukan perawatan jenazah. 
 3. Tidak mengabaikan etika, budaya, dan agama yang dianut jenazah. 4. Semua lubang-lubang tubuh ditutup dengan kasa absorben dan diplester kedap air. 5. Badan jenazah harus bersih dan kering. 
 6. Sebaiknya jenazah yang sudah dibungkus / dikafani / dipakaikan baju tidak dibuka lagi. 7. Jenazah yang dibalsem atau disuntik untuk pengawetan atau autopsi dilakukan oleh petugas khusus yang terlatih.
 8. Autopsi hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pihak berwenang.

6. Penyelenggaraan Jenazah Odha Penyelenggaraan Jenazah dari awal hingga akhir pada umumnya adalah sama. Prosedur dan prinsip penyelenggaraan jenazah di fasilitas kesehatan, bertujuan mencegah resiko penularan penyakit menular dari jenazah, misalnya : HIV AIDS, Hepatitis, Tuberculosis, dan Kolera. Selain itu juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dilingkungan tempat dirawatnya jenazah. Penyelenggaraan jenazah di luar fasilitas kesehatan seperti di rumah tinggal maupun di rumah ibadah sebaiknya tetap dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun kelompok masyarakat yang sudah terlatih dengan memperhatikan faktorfaktor penularan penyakit yang mungkin ditularkan oleh jenazah. Pedoman ini berlaku pada semua jenazah tanpa memandang jenis penyakit yang diderita ataupun agama dan kepercayaan yang dianutnya. Persiapan sebelum memandikan jenazah Persiapan tempat Fasilitas kesehatan Tempat atau lokasi pemandian jenazah diusahakan harus:



Berdekatan dengan saluran pembuangan air/parit dan air harus mengalir ke instalasi pembuangan air limbah (IPAL) rumah sakit/fasilitas kesehatan.



Tersedia bak pemandian jenazah. b.Rumah Tempat atau lokasi pemandian jenazah diusahakan harus:



Berdekatan dengan saluran pembuangan air/parit (permukaan tanah).



Jika tak ada parit, galilah lubang serapan untuk pembuangan air.



Tersedia meja pemandian jenazah.

Persiapan alat dan bahan Fasilitas kesehatan Kapas digulung kecil se-ibu jari, pinset, plester kedap air, masker, kacamata pelindung, sarung tangan, gaun pelindung, sepatu bot, ember besar, gayung, waslap, sabun mandi, shampo, handuk, dan kain basahan jenazah. Rumah Kapas digulung kecil se-ibu jari (pada jenazah yang mengeluarkan cairan terus menerus), sarung tangan karet rumah tangga sepanjang siku, jubbah plastik/celemek kedap air/jas hujan/kantong

kresek

besar

yang

dilubangi,

masker/sapu

tangan

untuk

menutup hidung dan mulut petugas, sepatu bot/kantongplastik tidak bocor untuk membungkus kaki tanpa melepas alas kaki, ember, gayung, waslap, sabun mandi, shampoo, handuk, dan kain basahan jenazah. Persiapan pembuatan larutan klorin 

Satu botol cairan klorin (sebanyak satu liter) dituang ke dalam ember, kemudian sembilan liter air dituang ke dalam ember berisi klorin tadi lalu diaduk sampai tercampur rata.



Jumlah

yang

diperlukan

(sebanyak

dua

ember

dan

satu

baskom). Satu ember larutan klorin untuk disinfektan peralatan pemandian jenazah, satu

ember

larutan

klorin

untuk

merendam

pakaian

jenazah

dan

satu

baskom larutan klorin untuk merendam kapas. Persiapan petugas Memastikan tidak ada luka yang terbuka. Jika terdapat luka kecil/lecet dibalut dengan plester kedap air.Memakai alat pelindung (APD). Penggunaan plastik pada jenazah dengan kondisi khusus. Pada beberapa kondisi tertentu pada jenazah dapat menggunakan alas plastik, seperti:

a. Dekubitus/Pressure Sore. b. Ulkus Diabetikum. c. Kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan lainnya menyebabkan tubuh jenazah hancur dan mengeluarkan cairan tubuh. d. Jenazah yang membusuk. e. Kondisi lainnya yang menyebabkan cairan tubuh jenazah keluar terus menerus. Persiapan peti mati Persiapan setelah memandikan jenazah seperti mempersiapkan peti mati serta kelengkapan lainnya untukKristiani, Budha, Hindu, dan Konghuchu disesuaikan dengan agama dan kepercayaan masing–masing. Proses memandikan jenazah Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memandikan jenazah: 1. Membuka tali pengikat dan semua yang melekat pada tubuh jenazah seperti ; gigi palsu, cincin,

kalung,

dan

perhiasan

lainnya,

kemudian

menutup

aurat

jenazah

dengan kain panjang. 2. Menyiram seluruh tubuh dari arah kepala hingga ke kaki. 3. Menggosok tubuh jenazah memakai waslap dan sabun dilanjutkan dengan mencuci rambut menggunakan shampo. 4. Memiringkan jenazah ke kiri dan kanan sambil membersihkan bagian belakang dengan sabun dan air. 5. Menyiram seluruh badan dengan air hingga bersih. 6. Mengeringkan jenazah dengan handuk selanjutnya diganti dan ditutup auratnya dengan kain kering. Kegiatan setelah memandikan jenazah 1. Cucilah tangan dengan sabun dan air mengalir sesuai dengan prosedur cuci tangan yang benar yaitu 6 langkah cuci tangan. 2. Masukkan peralatan pelindung petugas yang sekali pakai (disposable) ke dalam plastik sampah infeksius. 3. Alat pelindung diri yang dapat digunakan kembali dicucibersih melalui proses dekontaminasi yang telah disarankan. 

Bakarlah peralatan sekali pakai yang sudah digunakan.



Lantai tempat pemandian dipel dengan larutan deterjen dan dapat dilanjutkan dengan menggunakan klorin 0,5%.

Pesan penting untuk keluarga jenazah Jika di wajah tidak terdapat luka diperbolehkan mencium jenazah dengan memperhatikan aspek kewaspadaan standar. Namun jika di wajah jenazah terdapat luka, maka keluarga tidak diperkenankan mencium jenazah. Dengan selesainya memandikan jenazah, dan membungkusnya

maka

jenazah

siap

untuk

diproses

lebih

lanjut,

baik

dengan

menguburkannya atau membakarnya sesuai ajaran agama jenazah tersebut. Proses penguburan dan pembakaran selanjutnya seperti biasa mengikuti kaidahkaidah agama masing masing. Penguburan jenazah Hal yang perlu diperhatikan pada saat proses penguburan jenazah adalah tidak membiarkan jenazah terbungkus plastic dan dikubur bersama dengan pembungkus plastiknya. Jika pada

jenazah

dengan

kondisi

khusus

seperti

yang

dijelaskan

pada bab sebelumnya, maka plastik pembungkus hendaknya dilepaskan dari jenazah lalu diperlakukan sebagai sampah infeksius. Proses penguburan Dilakukan sesuai anjuran agama dan kepercayaan masingmasing. Pasca penguburan Hendaknya setelah melakukan kegiatan penguburan petugas dianjurkan cuci rambut dengan shampo dan mandi dengan sabun antiseptic

7. Perlakuan Orang Sehat Terhadap ODHA Salah satu permasalahan utama dalam penanggulangan AIDS ini adalah masih kuatnya stigma dan diskriminasi pada ODHA. Merujuk definisi stigma menurut UNAIDS, yaitu keyakinan, perasaan dan sikap yang negatif terhadap ODHA, kelompok yang terkait dengan ODHA (misalnya keluarga ODHA) dan populasi kunci yang berisiko tinggi tertular HIV, seperti misalnya penasun, pekerja seks, LSL dan kelompok transgender. Sedangkan definisi diskriminasi adalah ketidakadilan dan perlakuan yang tidak adil (dalam hal tindakan maupun pengabaian) pada seseorang berdasarkan status HIV mereka yang senyatanya maupun yang dirasakannya. Stigma dan diskriminasi ini tidak saja muncul di tataran masyarakat umum, tetapi

juga acapkali masih terjadi di kalangan tenaga kesehatan atau bahkan diantara ODHA itu sendiri (internalized stigma). Beberapa asumsi mengenai ujung pangkal mengapa stigma dan diskriminasi masih terjadi, diantaranya adalah adanya pengetahuan yang kurang mendalam mengenai HIV dan AIDS, belum adanya panduan atau protokol yang cukup jelas pada tataran layanan kesehatan untuk penanganan pasien dengan HIV dan AIDS, serta penggunaan beberapa istilah yang terkadang dirasakan semakin memberikan stigma terhadap penyakit HIV dan AIDS. Jika isu stigma dan diskriminasi ini tidak disikapi dengan sebuah kebijakan kesehatan yang berwawasan kesehatan maka akan menjadi penghalang bagi terciptanya penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif di masyarakat baik dalam upaya pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan kepada ODHA. Penyelenggara kesehatan sebaiknya membuat regulasi mengenai sikap yang seharusnya diterapkan terhadap ODHA. Misalnya, tidak mengkucilkan ODHA atau keluarga ODHA atau memperlakukan ODHA seperti orang yang sehat.

FLU BURUNG Flu burung (Avian influenza) atau H5N1 merupakan penyakit infeksi virus yang pernah menggemparkan dunia, termasuk Indonesia. Flu burung sejak tahun 2009 ditetapkan organisasi dunia WHO berada pada fase pandemik atau penularan yang cukup luas. Kasus pertama flu burung ditemukan di Hongkong tahun 1997. Awalnya, flu burung merupakan penyakit pada hewan dan dengan penularan terbatas antarhewan. Sejak ditemukannya kasus pada manusia, muncul dugaan dapat terjadi penularan flu burung pada hewan ke manusia. Flu burung diakibatkan oleh virus influenza tipe A dari famili Orthomyxoviridae. Subtipe dari virus influenza tipe A tersebut ditunjukkan dengan huruf H (Hemaglutinin) dan N (Neuramidase). Subtipe virus dengan kombinasi kode dari H1-H5 dan N1-N9 ditemukan pada binatang, sedangkan pada manusia hanya ditemukan jenis H1N1, H1N2, H2N2, H3N3, H5N1, H7N7, dan H9N2. Strain virus tersebut yang menyebabkan penyakit flu burung ialah subtipe H5N1. Secara umum mekanisme infeksi virus H5N1 sama dengan infeksi virus lainnya. Infeksi diawali dengan penempelan virus di permukaan spesifik yang berada pada permukaan sel di dalam tubuh. Selanjutnya, suatu materi virus masuk ke dalam sel dan ikut berkembang biak dan bertambah banyak bersama sel.

1. CARA PENULARAN FLU BURUNG Virus flu burung (H5N1) dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan kematian yang tinggi. Bahkan dapat menyebar antarpeternakan dari suatu daerah ke daerah lain. Penyakit ini juga teridentifikasi bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ternak ke manusia. Penularan Antar-Ternak Unggas Penyakit flu burung dapat ditularkan dari unggas ke ungags lain atau dari peternakan ke peternakan lainnya dengan cara sebagai berikut: a. Kontak langsung dari unggas terinfeksi dengan hewan yang peka. b. Melalui lendir yang berasal dari hidung dan mata. c. Melalui kotoran (feses) unggas yang terserang flu burung. d. Lewat manusia melalui sepatu dan pakaian yang terkontaminasi dengan virus. e. Melalui pakan, air, dan peralatan kandang yang terkontaminasi. f. Melalui udara karena memiliki peran penting dalam penularan dalam satu kandang, tetapi memiliki peran terbatas dalam penularan antarkandang.

g. Melalui unggas air yang dapat berperan sebagai sumber (reservoir) virus dari dalam saluran intestinal dan dilepaskan lewat kotoran. Penularan dari Ternak ke Manusia Faktor yang dapat membatasi penularan flu burung dari ternak ke manusia adalah jarak dan intensitas dalam aktivitas yang berinteraksi dengan kegiatan peternakan. Semakin dekat jarak peternakan yang terkena wabah virus dengan lingkungan manusia maka peluang untuk menularnya virus bisa semakin besar. Penularan virus ke manusia lebih mudah terjadi jika orang tersebut melakukan kontak langsung dengan aktivitas ternak. Perlu diperhatikan pula cara pengolahan dan pemasakan daging unggas. Daging yang dimasak harus dipastikan benar –benar matang untuk menghindari adanya sisa kehidupan dari virus. Kematian virus dapat terjadi jika dipanaskan dengan suhu 60 0C selama 3 jam. Semakin meningkat suhu akan semakin cepat mematikan virus. Telur yang cangkangnya terdapat kotoran kering perla diwaspadai. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kotoran yang menempel pada telur tadi berasal dari kotoran unggas yang terjangkit flu burung. Jika memperoleh telur seperti ini maka sebaiknya segera mencuci tangan dengan alkohol setelah memegang telur. Sebaiknya menghindari makan telur yang tidak matang atau setengah matang karena kemungkinan masih ada virus yang terkandung di dalamnya. Penularan Antar-Manusia Orang yang mempunyai risiko besar terserang flu burung adalah pekerja peternakan unggas, penjual, penjamah unggas, sampai ke dokter hewan yang bertugas memeriksa kesehatan ternak di peternakan. Sampai saat ini, peneliti meyakini bahwa flu burung ditularkan dariu unggas ke manusia. Kemungkinan penularan flu burung antar-manusia Cecil, tetapi tetap perla diwaspadai. Hal ini dikarenakan virus cepat bermutasi dan beradapasi dengan manusia sehingga memungkinkan adanya varian baru dari flu burung. 2. GEJALA FLU BURUNG Gejala-gejala flu burung pada masyarakat amat beragam yang bisa dideteksi dan perlu diwaspadai adalah: 1. Adanya kenaikan suhu badan sekitar 39 0C. 2. Keluarnya eksudat hidung yang bersifat mucus (lendir) bening 3. Batuk dan sakit tenggorokan 4. Nafsu makan berkurang, muntah, nyeri perut dan diare

5. Infeksi selaput mata (conjunctivitis) 6. Sesak nafas dan radang paru-paru (pneumonia) 7. Pusing. Pada unggas yang bisa dilihat adalah: 1. Jengger bewarna biru 2. Adanya borok atau luka dikaki 3. Lendir di rongga hidung 4. Lemas dan malas makan 5. Kematian mendadak 3. PENCEGAHAN Tindakan pencegahan yang bisa kita lakukan adalah: 1. Menjaga kebersihan diri sendiri antara lain mandi dan sering cuci tangan dengan sabun, terutama yang sering bersentuhan dengan unggas. 2. Membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal kita. 3. Menggunakan Alat Pelindung Diri (masker, sepatu, kaca mata dan topi serta sarung tangan) bagi yang biasa kontak dengan unggas. 4. Melepaskan sepatu, sandal atau alas kaki lainnya di luar rumah. 5. Bersihkan alat pelindung diri dengan de terjen dan air hangat, sedangkan benda yang tidak bisa kita bersihkan dengan baik dapat dimusnahkan. 6. Memilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala flu burung hindari membeli unggas dari daerah yang diduga tertular flu burung. 7. Memilih daging unggas yang baik yaitu segar, kenyal (bila ditekan daging akan kembali seperti semula), bersih tidak berlendir, berbau dan bebas faeces dan kotoran unggas lainnya serta jauh dari lalat dan serangga lainnya. 8. Sebelum menyimpan telur unggas dicuci lebih dulu agar bebas dari faeces dan kotoran unggas lainnya. 9. Memasak

daging

dan

telur

unggas

hingga

70

0C

sedikitnya

selama 1 menit. Sejauh ini bukti ilmiah yang ada mengatakan aman mengkonsumsi unggas dan produknya asal telah dimasak dengan baik.

10. Pola hidup sehat secara umum dapat mencegah flu seperti istirahat cukup untuk menjaga daya tahan tubuh ditambah dengan makan dengan gizi seimbang serta olah raga teratur dan jangan lupa komsumsi vitamin C. 11. Hindari kontak langsung dengan unggas yang kemungkinan terinfeksi flu burung, dan laporkan pada petugas yang berwenang bila melihat gejala klinis flu burung pada hewan piaraan. 12. Tutup hidung dan mulut bila terkena flu agar tidak menyebarkan virus. 13. Pasien influenza dianjurkan banyak istirahat, banyak minum dan makan makanan bergizi. 14. Membawa hewan ke dokter hewan atau klinik hewan untuk memberikan imunisasi. 15. Sering mencuci sangkar atau kurungan burung dengan desinfektan dan menjemurnya dibawah sinar matahari, karena sinar ultra violet dapat mematikan virus flu burung ini. 16. Apabila anda mengunjungi pasien flu burung, ikuti petunjuk dari petugas rumah sakit untuk menggunakan pakaian pelindung (jas lab) masker, sarung tangan dan pelindung mata. Pada waktu meninggalkan ruangan pasien harus melepaskan semua alat pelindung diri dan mencuci tangan dengan sabun. Bila ada unggas yang mati mendadak dengan tanda –tanda seperti flu burung harus dimusnahkan dengan cara dibakar dan dikubur sedalam 1 meter. (Yudhastuti dan Sudarmuji, 2017)

4. PENATALAKSANAAN FLU BURUNG Manusia Suspek Flu Burung Kegiatan yang Dilakukan Pada Saat Suspek Influenza Pandemi Pada Manusia

Kegiatan yang Dilakukan Pada Saat Ada Unggas yang Positif Flu Burung

Sumber : (Setiawati dan Aji,2017) Habis kontak langsung dengan unggas mati pakai sabun Cuci tangan dengan sabun setelah kontak dengan unggas Bersihkan kandang dan peralatan dengan desinfektan (air sabun/detergen) minimal 1 kali satu minggu Laporkan kepada aparat berwenang terutama ke Dinas Pertanian/Peternakan atau Dinas Kesehatan.

Jangan buang unggas yang mati. Musnahkan unggas dengan cara dibakar atau kuburkan bangkai dengan kedalaman galian setinggi lutut orang dewasa. Gunakan alat pelindung (masker, sarung tangan, sepatu bot, baju lengan panjang, celana panjang dan topi). Bersihkan badan sesudahnya dan cuci semua pakaiandengan sabun. 5. DIAGNOSIS LABORATORIUM Pengambilan spesimen dilaksanakan bila ada laporan adanya kasus Flu Burung. Spesimen yang diambil berasal dari pasien suspek Flu Burung dan kontak kasus Flu Burung. Spesimen dari kontak diambil setelah suspek Flu Burung dinyatakan positf H5N1. Kontak yaitu orang yang berhubungan dekat dengan kasus, tnggal serumah, merawat kasus, duduk bersama dengannya, berbagi makanan dengan kasus dan lain lain (dalam radius 1 meter). Jenis spesimen yang diambil dari kasus meliput spesimen darah dan spesimen sekret saluran nafas. Selanjutnya kontak dibedakan antara kontak dengan gejala klinis dan kontak tanpa gejala klinis. Dari kontak dengan gejala klinis diambil spesimen darah dan sekret saluran nafas sedangkan kontak tanpa gejala klinis diambil hanya spesimen darahnya saja.  Pengambilan spesimen darah dan sekret saluran nafas Setiap spesimen yang telah diambil disimpan dalam wadah khusus yang diberi label

berisi

informasi:

nama

pasien,

tanggal

pengambilan,

jenis

spesimen.

(S=Darah/Serum, NS=Usap Nasal / Nasal Swab, TS=Usap Tenggorokan / Throat Swab), dan pengambilan yang ke berapa. Label ditulis dengan pensil 2B, ballpoint atau spidol yang tdak luntur

Pemberian Label dan pengamanan label dengan parafilm agar kedap air

 Spesimen darah Darah vena diambil pada waktu pertama kali pasien dinyatakan suspek AI. Darah yang diambil pertama kali ini disebut darah fase akut (diambil dalam waktu 7 hari setelah muncul gejala) dan harus segera dikirim.Darah ke 2 (fase konvalesen) diambil 10-14 hari kemudian, atau menjelang pasien dipulangkan (kalau perawatan < 10 hari) atau diambil pada waktu pasien kontrol sesuai dengan jadwal (10-14 hari setelah pengambilan darah pertama). Cara pengambilan sampel darah/serum: Diambil 2 – 5 ml darah vena dalam tabung steril (2 ml dari anak-anak dan 5 ml dari orang dewasa) secara legearts (memperhatkan kewaspadaan universal secara ketat). Pengambilan darah menggunakan jarum suntk biasa. 1. Masukkan darah yang diperoleh kedalam tabung darah bertutup karet (tabung steril vacuum/vacutainer tanpa bahan pencegahan pembekuan darah).

2. Letakkan tabung dalam keadaan miring ± 30º untuk mendapatkan serum yang optmal. Diamkan darah dalam waktu 1 jam pada suhu kamar, agar darah dalam tabung membeku dengan baik. 3. Pemisahan darah bekuan dari serum pada tabung steril dapat dilakukan di laboratorium yang memiliki sentrifus. 4. Semua tabung dibungkus dengan kertas tssue dan masukkan kertas koran yang telah diremas ke dalam wadah pengiriman primer. Pengambilan darah memakai jarum vacutainer 1. Darah ditampung lebih dahulu pada tabung darah bertutup karet sebanyak 2 ml dari anak-anak dan 5 ml dari orang dewasa. 2. Letakkan tabung dalam keadaan miring ± 30º untuk mendapatkan serum yang optmal. Diamkan darah dalam waktu 1 jam pada suhu kamar, agar darah dalam tabung steril membeku dengan baik. 3. Pemisahan darah bekuan dari serum pada tabung dapat dilakukan di laboratorium yang memiliki sentrifus. 4. Semua tabung dibungkus dengan kertas tssue dan masukkan kertas koran yang telah diremas ke dalam wadah pengiriman primer.  Spesimen sekret saluran nafas Spesimen sekret saluran napas diambil untuk isolasi virus dan pemeriksaan dengan RT- PCR. Spesimen diambil 3 hari berturut-turut yaitu hari 1, 2 dan 3 setelah pasien dinyatakan suspek Flu Burung. Spesimen pertama langsung dikirim ke Badan Litbangkes tanpa menunggu spesimen ke 2 dan 3. Spesimen perlu diambil lagi apabila kondisi pasien memburuk. Spesimen yang perlu diambil meliput: i.

usap hidung (nasal swab)

ii.

usap tenggorok (throat swab)

iii.

bilasan nasopharynx (pada anak usia 2 tahun atau kurang)

iv.

Spesimen lainnya (bila memungkinkan), diantaranya: bilasan tracheal, bilasan broncho-alveolar, cairan pleural, bilasan ETT (endotracheal tube), dan biopsi paru (bila pasien meninggal). Untuk pengambilan spesimen digunakan swab yang terbuat dari dacron/rayon steril

dengan tangkai plastk. Jangan menggunakan kapas yang mengandung Kalsium Alginat

atau kapas dengan tangkai kayu, karena mungkin mengandung substansi yang dapat menghambat pertumbuhan virus dan menghambat pemeriksaan PCR. Spesimen dari swab yang valid adalah spesimen yang mengandung sel epitel hidung dan tenggorok. Untuk itu pada saat pengambilan swab, perlu dilakukan tekanan pada lokasi dimana spesimen diambil.  Pengambilan usap hidung Masukkan swab ke dalam lubang hidung sejajar dengan rahang atas. Biarkan beberapa detk agar cairan hidung terhisap. Putarlah swab sekali atau dua kali. Lakukan usapan pada kedua lubang hidung berikan sedikit penekanan pada lokasi di mana swab diambil. Kemudian masukkan swab sesegera mungkin ke dalam media transport virus (Hanks BSS + antibiotika). Putuskan tangkai plastk di daerah mulut tabung agar tabung dapat ditutup dengan rapat.

 Pengambilan specimen melalui nasal Pengambilan usap tenggorok Lakukan usapan pada bagian belakang pharynx dan daerah tonsil, hindarkan menyentuh bagian lidah. Kemudian masukkan swab sesegera mungkin ke dalam cryotube/tabung media transport virus (Hanks BSS + antbiotka). Putuskan tangkai plastk di daerah mulut tabung agar tabung dapat ditutup dengan rapat.

Pengambilan specimen melalui tenggorokkan  Pengambilan spesimen lainnya Spesimen yang diambil dapat berupa bilasan tracheal, bilasan broncho-alveolar, cairan pleural, bilasan ETT (endotracheal tube), dan biopsi paru (bila pasien meninggal). Cairan ditampung dalam cryotube dengan tutup luar yang bagian dalamnya mengandung ring untuk penahan.Masukkan semua cryotube/tabung berisi specimen kedalam plastik kedap air dan sisipkan kertas tssue sebagai alat penyerap. Masukkan tabung ini kedalam kotak pengiriman primer (bahan boleh dari pipa paralon atau sejenis tupper ware)

6. PENYIMPANAN SPECIMEN Spesimen swab dalam media transport dan darah/serum disimpan pada suhu 4 ºC sebelum dan selama perjalanan ke laboratorium rujukan Flu Burung dalam waktu 48 jam. Bila spesimen tdak mungkin segera dikirim dalam waktu 48 jam, spesimen disimpan pada freezer

pada suhu –70 ºC Hindarkan untuk mencairkan dan membekukan spesimen secara berulang ulang. Jika tdak tersedia freezer spesimen dapat disimpan pada refrigerator atau lemari es. 7. PENGEMASAN DAN PENGIRIMAN SPECIMEN Cara pengepakan dan pengiriman spesimen untuk keperluan diagnostk harus mengikut ketentuan WHO dan IATA (Internatonal Aviaton Transportaton Associaton). Bungkus wadah pengiriman primer dengan tssue atau kertas koran yang diremas, untuk mencegah benturanbenturan pada spesimen waktu pengiriman. Masukkan dalam wadah pengiriman sekunder. Wadah pengiriman sekunder dapat menampung lebih dari satu wadah pengiriman primer, asal persyaratan suhu pengiriman sama. Pengiriman dilakukan dalam suhu 4oC dengan memasukkan beberapa ice pack yang sudah dibekukan lebih dahulu kedalam wadah pengiriman sekunder. Pengepakan Primer (Wadah Pengiriman Primer) Wadah spesimen primer harus kedap air, jika tutupnya berulir harus dilapisi dengan paraflm atau selotape.

Jika memasukkan beberapa wadah primer kedalam wadah sekunder, maka wadah tersebut harus dibungkus secara terpisah untuk mencegah pecah akibat berhimpitan. Gunakan material pendukung di sela-sela wadah yang mempunyai daya hisap untukmenghisap seluruh isi yang terdapat dalam wadah pertama, apabila terjadi kebocoranatau pecah. Wadah primer tdak boleh berisi lebih dari 500 ml atau 500 gram bahan. e. Seluruh isi dari wadah primer disebut sebagai spesimen diagnostk. Pengepakan Sekunder (Wadah Pengiriman Sekunder) Pengepakan sekunder harus mengikut aturan pengepakan bahan infeksius WHO dan IATA. Pengepakan sekunder harus kedap air, kemudian diisi dengan ice pack di sekeliling dan di atas wadah pengiriman primer

Wadah bagian luar dilabel dengan :  Nama dan alamat laboratorium rujukan  Nama dan alamat pengirim  Tanda peringatan (↑ ↑) jangan dibalik

RABIES

DEFINISI Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila. ETIOLOGI Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T.1

Rhabdovirus

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium.4 TRANSMISI Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan.

Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies. PATOGENESIS Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau ke dalam membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi. Sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer. Saat virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk mencapai jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan urine. Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun (rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penderita dan perjalanan virus dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi.

Gambar Perjalanan Virus Rabies Pada Hewan dan Manusia

MANIFESTASI Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadangkadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4 Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies yang mendalam.1 Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif.

Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien. Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan rangsangan oleh udara sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler, lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1 Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya.

Gambar 4 : Manifestasi Klinis gejala rabies Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial. Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies Stadium

Lamanya (% kasus)

Manifestasi klinis

Inkubasi



< 30 hari (25%)

Tidak ada



30-90 hari (50%)



90 hari – 1 tahun (20%)



>1 tahun (5%)

Prodromal

2-10 hari

Parestesi, nyeri pada luka gigitan,

demam,

malaise,

anoreksia, mual & muntah, nyeri kepala, lethargi, agitasi, anxietas, depresi Neurologik akut 

Furious (80%)

2-7 hari Halusinasi,

bingung,

delirium, tingkah laku aneh, agitasi,

menggigit,

hidropobia,

hipersalivasi,

disfagia, afasia, inkoordinasi, hiperaktif, aerofobia, disfungsi

spasme

faring,

hiperventilasi, saraf

otonom,



Paralitik

2-7 hari

sindroma abnormalitas ADH



Koma

0-14 hari

Paralisis flaksid

Autonomic

instability,

hipoventilasi,

apnea, henti

nafas, hipotermia/hipertermia, hipotensi, disfungsi pituitari, rhabdomiolisis, aritmia dan henti jantung

Diagnosis Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik. Seperti temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, glukosa umumnya normal. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan beberapa tes, tidak bisa dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kasus rabies antara lain deteksi antibodi spesifik virus rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus atau RNA. Spesimen yang digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsy

Diagnosis Banding Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies. Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus. Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia. Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan

sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis. Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geografi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa (Chaniago, 2013)

Tanda Dan Gejala Anjing Rabies Hewan yang terinfeksi rabies mungkin tampak sakit, gila, atau jadi lebih ganas. Inilah asal mula ungkapan “anjing gila”. Namun, anjing yang terinfeksi rabies juga bisa terlihat terlalu ramah, jinak, atau bingung. Bahkan, terkadang anjing yang terinfeksi rabies mungkin bisa terlihat normal atau biasa saja. Awalnya, seekor anjing yang terinfeksi mungkin menunjukkan perubahan perilaku yang ekstrem seperti gelisah, tidak bisa tenang, atau ketakutan. Anjing yang ramah mungkin menjadi lebih sensitif, atau anjing yang biasanya bersemangat bisa menjadi lebih jinak. Anjing rabies juga mungkin menggigit atau menyerang hewan lain, manusia, dan benda mati. Anjing yang kena rabies juga mungkin terus menjilat, menggigit, dan mengunyah bendabenda tertentu. Kondisi ini biasanya disertai dengan demam. Seiring perkembangan virus, anjing yang terinfeksi bisa menjadi sensitif terhadap sentuhan, cahaya, dan suara. Anjing mungkin makan hal-hal yang tidak biasanya dimakan dan suka bersembunyi di tempat gelap. Kelumpuhan otot tenggorokan dan rahang, mengakibatkan gejala munculnya busa atau buih di mulut anjing. Linglung dan tidak cekatan juga umumnya terjadi pada anjing rabies yang disebabkan oleh kelumpuhan kaki belakang. Tanda-tanda rabies lainnya yang umum termasuk kehilangan nafsu makan, kelemahan, kejang, dan kematian mendadak. (Shabrina, 2017)

Penatalaksanaan Penyakit Rabies Terdapat 3 unsur yang penting dalam PEP (Post Exposure Praphylaxis), yaitu: (1) perawatan luka, (2) serum antirabies (SAR), dan (3) vaksin antirabies (VAR). Tindakan pertama yang harus dilaksanakan adalah membersihkan luka dari saliva yang mengandung virus rabies. Luka segera dibersihkan dengan cara disikat dengan sabun dan air (sebaiknya air mengalir) selama 10-15 menit kemudian dikeringkan dan diberi antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%, povidon-iodine, 1-4% benzalkonium klorida atau 1% centrimonium bromida). Luka

sebisa

mungkin

tidak

dijahit.

Jika

memang

perlu

sekali,

maka

dilakukan

jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin

dan

sisanya

disuntikkan

secara

intramuskuler

ditempat

yang

jauh

dari

tempat inokulasi vaksin. Disamping itu, perlu dipertimbangkan pemberian serum/vaksin antitetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik. (Tansil, 2014).

Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak: 1. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat dipercaya. 2. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki. Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja. 3. Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,kepala,leher),luka pada

jari

tangan/

kaki,

genitalia,

luka

yang

lebar/dalam

dan

luka

yang

banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan kelelawar, maka gunakan VAR dan SAR. Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak dengan hewan pengidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture vaccine, suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purivied vero cell rabies vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985, purified chick embryo cell vaccine (PCEC) yang mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain vaccine (SMBV), suatu nerve tissue

vaccine

dan

duck

embryo

vaccine

(DEV),

suatu

non-nerve

tissue

vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan komplikasi ensefalomielitis postvaksinasi dan reaksi anafilaksis. Namun demikian nerve tissue vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa negara Asia.(WHO,2009).

Pencegahan Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu dalam kepulauan Amerika yang digigit kelelawar yang membawa virus, sebaiknya menerima profilaksis pascapemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi. Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap jika mungkin. Binatang buas atau yang sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau yang berkeliaran yang dapat terlibat dalam pemajanan rabies,

menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati. Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus rabies rabies pada waktu menggigit.

Daftar Pustaka Shabrina,

Andisa.

2017.

https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/gejala-anjing-

rabies-pada-manusia/ diakses pada tanggal 5 Januari 2019 Pukul 10.51 Chaniago, Lisa Trisnawati. 2013. ”Penanganan Rabies”. SMF Ilmu Bedah RSU Dr. Pirngadi Medan. Medan Tanzil, Kunadi. 2014. Penyakit Rabies Dan Penatalaksanaannya. Dalam E-Journal Widya Kesehatan Dan Lingkungan 61 Volume 1 Nomor 1 Mei 2014. Bagian Mikrobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Jakarta Yudhastuti,

Ririh

Dan

Sudarmaji.

2006.

Mengenal

Flu

Burung

Dan Bagaimana Kita Menyikapinya. Dalam Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 2 Januari 2006 : 183 – 194. Bagian Kesehatan Lingkungan Fkm Universitas Airlangga. Surabaya Setiawaty, Vivi Dan Bayu Aji. 2017. Pedoman Penanggulangan Flu Burung. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor Dan Zoonotik. Jakarta Willy, Tjin. 2018. https://www.alodokter.com/hiv-aids/pengobatan diakses pada tanggal 6 Januari Pukul 00:02 Kemenkes. 2016. Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""