Makalah Tugas Ujian Akhir Semester Islamisasi.docx

  • Uploaded by: selvi cvie
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Tugas Ujian Akhir Semester Islamisasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,361
  • Pages: 11
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER MAKALAH ISLAMISASI

Dosen Pengampu : Muhammad Taqiyuddin, S.Th.I.

Disusun oleh : Selvi Sugiyarti 36.2015.7.1.2265

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR MANTINGAN/NGAWI 2018/1440 H

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Berbagai teori tentang agama, ada banyak ilmuan yang berpendapat tentang

kepunahan agama. Salah satunya adalah Aguste Comte mengumumkan bahwa, sabagai akibat dari moderenisasi masyarakat akan tumbuh melampaui “tahap teologis” dalam evolusi sosial. Pada era moderen ini telah tanpa kitra sadari dewesternisasi telah tersebar luaskan di Dunia. Ilmu- ilmu yang dipelajari dan diajarkan di seluruh dunia termasuk di negara-negara islam adalah ilmu yang dihasilkan dari peradaban barat, yaitu ilmu yang telah menyimpang tujuan hakikinya. Ilmu pengetahuan modern telah menjadikan dugaan dan perkiraan sebagai ilmu dan kebenaran dengan memadukan yang haq dengan yang bathil, dilebur secara halus sehingga sulit untuk mengenali lagi mana yang benar dan yang palsu. Pada makalah ini akan dibahas tentang bagaimana terjadinya sekularisasi, langkah-langkah mulainya islamisasi, dan perbedaan dari sains teknologi dan sains sosial. Sehingga masyarakat mengetahui betapa pentingnya islamisasi dalam kehidupan dan memahami hakikat sesungguhnya dari pengertian islamisasi itu sendiri. 1.2

Rumusan masah

1.

Apakah latar belakang terjadinya islamisasi?

2.

Bagaimana langkah-langkah islamisasi ?

3.

Apa perbedaan islamisasi sains teknologi dan sains sosial ?

1.3

Tujuan

1.

Dapat mengetahui latar belakang proses terjadinya islamisasi

2.

Dapat menjelaskan langkah-langkah islamisasi

3.

Dapat mengetahui perbedaan antara sains teknologi dan sains sosial

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Latar Belakang Terjadinya Islamisasi Dalam surat Al-Alaq ayat: 1-5, yang telah diwahyukan kepada Nabi Saw secara jelas menegaskan semangat islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Allah SWT menekankan bahwa dia adalah sumber dan asal ilmu manusia. Ide yang disampaikan diayat Al-Qur’an tersebut membawa suatu perubahan radikal dari pemahaman umum bangsa Arab pra-islam, yang menganggap suku dan tradisi kesukuan serta pengalaman empiris, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Menurut Faruqi, adalah fakta bahwa apa yang dicapai sains modern, dalam berbagai aspeknya merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan tersebut ternyata juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya. Akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah dari nilai-nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima kesatuan, yaitu keesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia (al-Faruqi, 1995: 55). Jelasnya, sains modern telah lepas atau melepaskan diri dari nilai-nilai teologis (Pardoyo, 1993: 63). Perceraian sains modern dari nilai-nilai teologis ini memberikan dampak negatif. Pertama, dalam aplikasinya, sains modern melihat alam beserta hukum dan polanya, termasuk manusia sendiri, hanya sebagai sesuatu yang bersifat material dan insidental yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Karena itu, manusia bisa mengeksploitir kekayaan alam tanpa memperhitungkan nilai-nilai spiritualitas. Kedua, secara metodologis, sains modern ini, tidak terkecuali ilmu-ilmu sosialnya, menjadi sulit diterapkan untuk memahami realitas sosial masyarakat muslim yang mempunyai pandangan hidup berbeda dari Barat (Nasution, 1992: 242). Sementara itu, keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya

global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah (fiqh produk abad pertengahan). Mereka menganggap bahwa syariah (fiqh) adalah hasil karya yang telah fixed dan paripurna, sehingga segala perubahan dan pembaharuan atasnya

adalah

penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid`ah. Mereka melupakan sumber utama kreatifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya (al Faruqi, 1995: 41) Sikap sebagian ilmuan muslim tersebut, pada akhirnya juga menimbulkan pemisahan wahyu dari akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan pemisahan pemikiran dari kultur, sehingga menimbulkan stagnasi keilmuan dikalangan mereka (al Faruqi, 1995: 43). Artinya, dampak negatif yang terjadi dari sikapsikap “keras kepala” sebagian ilmuan Islam sendiri sesungguhnya tidak kalah membahayakannya dibanding apa yang ada dalam sains modern. Kenyataannya, menurut Faruqi, di sekolah, akademi maupun universitas, tidak pernah terjadi seperti sekarang di mana seorang ilmuan muslim begitu berani mengemukakan tesa-tesa yang bisa dianggap tidak Islami, dan tidak sehebat sekarang acuhnya pemuda muslim terhadap agamanya (al Faruqi, 1995: 12). Sistem dan model pendidikan Islam yang dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, mendukung dan melestarikan tradisi keilmuan Islam yang stagnan. Menurut Faruqi (al Faruqi, 1995: 12), model pendidikan masyarakat Islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori. Pertama, Sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara sempit, sisi hukum dan ibadah mahdlah, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukan pada model pendidikan salaf di pesantren. Kedua, sistem pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekular yang diadopsi secara mentah dari barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem pendidikan umum. Kedua sistem ini menimbulkan dualisme (split) dalam kepribadian masyarakat muslim. Alumnus pendidikan salaf (pesantren) cenderung bersikap konservatif ekslusif dan antagonistik terhadap ilmu ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana pendidikan

modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius. ketiga, ada sistem konvergensif yang memadukan kedua sistem yang ada. Sistem ini, di samping memberikan materi agama juga memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari barat. Namun, pencangkokan ini ternyata tidak dilakukan di atas dasar filosofis yang benar, tetapi semata hanya diberikan secara bersama-sama, ilmu-ilmu agama dijejerkan dengan ilmu-ilmu umum (seperti yang ada di MAN, STAIN, IAIN dan UIN), sehingga tidak memberikan dampak positif pada mahasiswa. Apalagi kenyataannya, ilmu-ilmu tersebut sering disampaikan oleh dosen yang kurang mempunyai wawasan keislaman dan kemoderanan yang memadai (Soleh, 1996). Berdasarkan realitas seperti itu, menurut Faruqi, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan modern barat sekaligus, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li alalamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integratis (Sardar, 1998: 44). Sebuah gagasan muncul bukan tanpa alasan atau penyebabnya, seperti halnya juga Islamisasi Sains yang muncul dikarenakan Sains Modern. Sains modern yang diangkat oleh barat pada dasawarsa semakin memperlihatkan perkembangannya. Namun perkembangan sains dan tekhnologi yang spektakuler pada abad ke-20 ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan umat manusia. Berbagai problem dan krisis global yang serius pada zaman millenium sekarang adalah krisis kompleks dan multidimensional. Krisis ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial yang kian terbuka, serta ancaman kelaparan dan penyakit yang masih menghantui merupakan problemproblem yang terkait satu sama lain. Problem kehidupan pada era informasi ini telah merambah kehidupan domestik dan personal. Seperti halnya, pada dunia pertanian modern yang sangat berlebihan dalam penggunaan bahan-bahan kimia seperti luasnya penggunaan pestisida, herbisida,

pupuk nitrogen sintetis dan seterusnya, telah meracuni bumi, membunuh kehidupan margasatwa bahkan meracuni hasil panen dan mengganggu kesehatan para petani. Selain itu masalah yang ditimbulkan sains modern dari dunia kedokteran modern dikenal praktik vivisection (arti harfiah “memotong hidup-hidup”) yaitu cara menyiksa hewan hidup karena dorongan bisnis untuk menguji obat-obatan agar dapat mengurangi daftar panjang segala jenis penyakit manusia. Praktik ini jelas tidak beretika keilmuan dan tidak “berperikemanusiaan” (Pietro Croce, 19999). Daftar kerusakan tersebut tentu saja masih panjang. tapi yang penting, ilmu pengetahuan yang sudah terbaratkan itu (westernized) harus dikembalikan ke tujuan semula, sebagaimana Islam turun ke bumi, untuk membawa rahmat bagi alam. Oleh karena itu, solusi kerusakan dunia yang diakibatkan oleh rusaknya Sains ini hanya dapat diatasi dengan Islamisasi Sains. Sebab keduanya (Islam dan Barat) berbeda secara prinsip. Jika peradaban Barat (western) telah menginfeksi ilmu, maka penyembuhnya adalah Islamisasi Sains. Islamisasi Sains inilah yang menjadi jawaban atas permasalahan sains modern tersebut. 2.2.

Langkah-langkah Proses Islamisasi Pada langkah awal, disiplin-disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah

menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metode, problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah buku daras (pelajaran) dalam bidang metodologi disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan. Hasil uraian tersebut tidak hanya berbentuk judul-judul bab, tapi harus berbentuk kalimatkalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problem dan tema pokok disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan (al-Faruqi, 1995: 99) Dalam hubungan dengan teori pengetahuan, posisi Islam dapat diketahui dengan sebaik-baiknya sebagai kesatuan kebenaran. Suatu kebenaran bersumber pada realitas, dan jika semua realitas berasal dari sumber yang sama (Tuhan), maka kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Penyampaian melewati wahyu tidak mungkin bertentangan dengan realitas yang ada, karena Dia-lah yang menciptakan keduannya. Maka dari itu secara teoritis tidak ada kesesuaian. Penguasaan

khazanah Islam membahas objek disiplin ilmu modern tertentu. Tujuannya agar dapat ditemukan relevansi di antara khazanah keilmuan Islam tidak membahas disiplin ilmu yang ditekuni. Padahal, yang terjadi adalah bahwasannya ia tidak mengenal kategori-kategori khazanah ilmiah Islam yang digunakan oleh ilmuan muslim tradisional untuk mengklarifikasi objek disiplin ilmu yang ditekuninya (AlFaruqi, 1995). Sedangkan menurut Naquib al-Attas, bahwa, langkah yang paling efektif dalam melakukan integrasi keilman adalah melalui Islamisasi bahasa. Islamisasi bahasa menurutnya, sesungguhnya telah ditunjukkan oleh Alqur’an sendiri dalam Surat al-Alaq (96) : 1-5. Kosakata dasar Islam inilah yang meproyeksikan pandangan dunia khas Islami dalam pikiran kaum Muslim. Ziauddin Sardar, mengidentifikasikan cara perumusan epistemologi Islam dengan merumuskan paradigma ilmu pengetahuan, yaitu dengan menitikberatkan pada konsep, prinsip dan nilai Islam penting yang berhubungan dengan pengkajian khusus, selain itu, merumuskan paradigma tingkah laku, dengan jalan menentukann batasan etik dimana para ilmuwan Muslim bisa bekerja secara bebas. Unsusr-unsur yang tidak islami, mitologis (dewesterenisasi) menurut AlAttas salah satu problem yang utama pada umat Islam adlah ketiadaan ilmu dan otoritas keilmuan dikalangan umat Islam. Dikarenakan banyaknya seorang pemikir atau pemimpin yang lebih sibuk dengan penumpukan kekayaan, pribadi, keluarga atau sekelompoknya. Sehingga adanya kebingungan pada pemikiran umat Islam yang dikarenakan sekularisme, westerenisasi dan keputusan khazanahnya sendiri. Salah satu tokoh yang menjelaskan tentang pembahasan diatas yaitu Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menurutnya Islamisasi adalah sebuah proses pembebasan manusia dari tradisi-tradisi magis, mitologis, dan budaya-budaya serta sekularisme. Pada proses islamisasi yang menjadi kendala utama adalah manusia, karena memiliki sifat kebebasan dan tunduk dalam keperluan jasmani. Sehingga sifat jasmaninya lebih condong lalai terhadap fitrahnya, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam dirinya. Sedangkan menurut Al-Faruqi, kebangkitan umat islam tidak pernah tercapai kecuali sistem pendidikan diubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki. Ia mengatakan bahwa sebelum Islam mengalami kerusakan dan kemunduran, mereka

harus membangun, mengembangkan dan mengklarisifikasi disiplin-disiplin ilmu modern. Sehingga ilmu pengetahuan yang instan dari pemikiran barat. Maka menurutnya dualisme yang dijumpai dalam pendidikan muslim yaitu sistem Islam dan sistem sekuler harus ditiadakan. Konsep dasar, asumsi dasar, dan keyakinan non islami, Islamisasi adalah Konsep-konsep

Islam

yang

harus

menggantikan

konsep-konsep

Barat

tersebut adalah: manusia, din, ‘ilm dan ma’rifah, hikmah, al-‘adl, amal-adab dan konsep kulliyat-jamiyah (universitas). Jika kedua proses Islamisasi tersebut dilakukan, maka manusia akan terbebas dari magic, mitologi, animisme, dan tradisi budaya yang bertentangan dengan Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan akan membebaskan manusia dari keraguan (syakk), dugaan (dzann)

dan

argumentasi

kosong

menuju

keyakinan

akan

kebenaran

mengenai realitas spiritual dan materi. Islamisasi akan membebaskan ilmu pengetahuan modern dan ideologi, makna dan pernyataan-pernyataan sekuler. Al-Attas menolak bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sekedar memberikan labelisasi ilmu dengan prinsip-prinsip Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan agar umat Islam terlindungi dari pengaruh ilmu pengetahuan yang telah terjangkit unsur-unsur dan konsep Barat yang akan menimbulkan kesesatan dan kekeliruan, serta bertujuan mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membngunkan pemikiran dan kepribadian umat Islam dan dapat menaambahkan keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, keselamatan dan keimanan kepada Allah SWT (Ugi Suharto, 2006). 2.3.

Perbedaan Islamisasi sains teknologi dan sains sosial Islamisasi secara bahasa adalah pengislaman atau menjadikan islam. Maka

islamisasi sains ialah menjadikan islam ilmu pengetahuan dari Barat agar dapat dan aman dikonsumsi oleh kaum muslimin. Al Attas mengatakan, bahwa islamisasi ilmu adalah pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna serta ungkapan-ungkapan sekuler. islamisasi sains

Merupakan proses transformasi sains dari Barat ke dalam islam karena barat dianggap lebih maju dari islam, dengan memakai penyaringan filosofis. Al Qur’an harus dipandang sebagai kerangka sistem aksiomatika ilmu terutama ilmu sosial- karena tidak ada keraguan di dalamnya (la rayba fii hi), bahkan memberi penjelasan atas segala sesuatu (tibyaanan li kulli syai’in). Al Quran tersusun oleh kerangka teoretik ilmu-ilmu sosial (ayat-ayat muhkamaat), sedangkan lainnya merupakan penjelasan kerangka teori ilmu-ilmu sosial tersebut yang disajikan melalui perumpamaan-perumpamaan astronomi, biologi, fisika, dsb. (ayat-ayat mutasyaabihaat). Al Qur’an sendiri mengajukan definisi sains, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ar-Rachman. Lima ayat pertama surat Ar Rachman memberi definisi sains alternatif, yaitu saat mendefinisikan al bayyan sebagai rangkaian informasi dari Allah swt. tentang astronomi, biologi, dan kehidupan sosial. Sains teknologi adalah suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekwensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. teknologi merupakan hasil kerja dari pada ilmu pengetahuan yang dikembangkan sedemikian rupa hingga mencapai kemudahan dalam perjalanan hidup manusia, dan hal ini biasanya dijadikan sebagai parameter untuk menentukan tingkat kemajuan suatu peradaban. Maka sains teknologi Islam yang telah berkembang diera modern tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam dan digunakan untuk kepentingan, dan tidak terkontaminasi dengan ilmu modern. Pendidikan Islam harus mampu membangun paradigma sains Islam yang dilandasi atas tawhid, khilafah dan ‘ibadah. Konsep-konsep ‘adl, istishlah dan zhulm sangat luas dan meliputi aspekaspek ekonomi, sosial, budaya, teknologi dan psikologi. Lebih-lebih konsep tersebut bukan hanya terbatas pada manusia saja tetapi juga mencakup makhluk makhluk.

Tuhan

yang

konsep halal dan haram,

lain

termasuk

yang bergerak

atas

lingkungan

hidup.

‘adl dan zhulm,

ketanggapan sosial dan sifat tak berfaedah dari sains.

Konsep

menentukan

BAB III PENUTUP Kesimpulan Islamisasi ilmu pengetahuan terjadi karena Perceraian sains modern dari nilai-nilai teologis ini memberikan dampak negatif. Sehingga perlu adanya islamisasi agar tidak bertentangan dalam suatu pemahaman ilmu yang digunakan. Dalam terwujudnya Islamisasi maka adanya langkah-langakah proses islamisasi dengan analisa bahasa /tema dan cabang ilmu yang diislamkan, penguasaan dasar ilmu Islam, Unsusr-unsur yang tidak islami, mitologis (dewesterenisasi), Konsep dasar, asumsi dasar, dan keyakinan non islami, memasukan unsur-unsur Islam (Konsep Oksiologis, etika, syari’ah, instrumentalis). Islamisasi ilmu adalah pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna serta ungkapan-ungkapan sekuler. Dan dalam ilmu sains Islamisasi memiliki sains sosial dan sains teknologi yang memiliki perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA Albiruni, 2017, Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Faruqi Dalam Buku Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinnya, Skripsi, Jurusan Aqidah dan filsafat Islam, Fakultas Ushuludin dan dakwah, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Surakarta Faruqi, Ismael R., Islamisasi Pengetahuan, tarjamah. Anas Mahyudin, (Bandung, Pustaka, 1995) Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Vol. I, (Jakarta, Jambatan, 1992) Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik Sekapur Sirih Nurcholis Madjid, (Jakarta, Teprit, 1993) Pietro Croce, Vivisection or Science: An Investigation into Testing Drugs And Safeguarding Health, London: Zed Books, 1999 Soleh, Khudori, “Plus-Minus Pesantren & PT” dalam HR. Bhirawa (Malang), 18 Juli 1996. Sardar, Ziauddin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam”, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono, (Surabaya, Risalah Gusti, 1998) Ugi Suharto, Islam dan Sekularisme, Islamia, Tahun I, No.6, Juli-September, 2006

Related Documents


More Documents from ""