BAB I PENDAHULUAN a. Pengertian Judul 1. Kata nasakh diambilkan dari bahasa arab yang berarti menghapus/mengganti sedangkan menurut istilah mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian. Menurut imam Syafi’i, nasakh bukan berarti membatalkan suatu nash, akan tetapi masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash tersebut sudah habis. 2. Kata Mansukh juga diambilkan dari bahasa arab yang berarti diganti/ maksud disini adalah suatu nash yang diganti dengan nash yang turun kemudian. 3. Al-Quran adalah kalamullah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada nabi terakhir yaitu Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril AS yang tercatat di dalam mushhaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya sebagai ibadah, dengan berbahasa arab serta dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. 4. Waktu periode tasyri’ artinya bahwa metode nasakh dan mansukh muncul ketika masa pensyariatan. b. Latar Belakang Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa turunnya al-Quran tidak sekaligus turun tetapi melalui tahap demi tahap atau berangsurangsur. Sehingga bisa dipastikan nash yang turun belakangan akan bertentangan dengan nash yang lebih dahulu yang sama-sama menghukumi suatu kasus. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan diuraikan permasalahan yang terjadi terhadap nasakh dan mansukh. Dan kami juga akan sedikit mengemukaan pendapat para ulama tentang nasakh dan mansukh yang selama ini menjadi controversial dalam menetapkan suatu
1
nash baik al-Quran atau sunah rasul. c. Rumusan Masalah 1. Seberapa banyakkah nash yang dinasakh di dalam al-Quran 2. Apa penyebab mereka berselisih tentang nasakh dan mansukh terhadap nash 3. Kenapa terjadi nasakh dan mansukh dalam suatu nash.
BAB II
NASAKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURAN Nasakh diambilkan dari bahasa arab yang berarti mengganti/menghapus. Sedangkan menurut istilah nasakh berarti mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian. Menurut imam Syafi’i, nasakh bukan berarti membatalkan suatu nash, akan tetapi masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash tersebut sudah habis. Sedangakan mansukh ialah nash yang diganti. Nasakh terbagi dalam tiga bagian 1. Menasakh bacaan dan hukumnya. Contoh; seseorang haram dinikahi kalau dia satu radha’ah dengan anak orang lain sebanyak sepuluh kali yang di ketahui, kemudian dihapus menjadi lima kali menyusui. 2. Menasakh bacaannya dan hukumnya tetap. Contoh; dalam surat an-Nur “seseorang yang telah menikah kemudian keduanya berzina maka hukuman bagi keduanya di rajam. 3. Menasakh hukumnya dan bacaannya tetap. Contoh; ayat tentang khamer , an-Nahl: 67 di ganti dengan al-Baqarah: 219 kemudian diganti an-Nisa: 43, diganti dengan al-Maidah 90. Imam as-Suyuti berpendapat, bahwa di dalam al-Quran terdapat 20 nash yang dinasakh. Karena setelah diteliti secara mendalam ternyata ayat-ayat tersebut tidak dapat dipertemukan. Padahal jika nash tersebut dapat dikompromikan dengan berbagai cara yang memungkinkan, tentu lebih baik dari pada menasakhkannya. Karena dengan nasakh nash-nash tersebut tidak berfungsi lagi. Pertanyaan dalam Nasakh dan Mansukh Mungkin ada seseorang bertanya: “Mengapa di dalam syariat Islam terdapat hukum-hukum yang diganti dan mengganti (nasakh dan mansukh)? Padahal ia diturunkan oleh Allah SWT yang mustahil akan terjadi kesalahan, baik dalam perbuatan maupun dalam firman-Nya. Kalau undang-undang yang dibuat manusia, wajar bila terjadi pergantian (nasakh dan mansukh), karena ia merupakan eksperimen manusia yang dapat berbuat salah”. Jawaban terhadap pertanyaan itu adalah : “bahwa syariat samawi
3
dititahkan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan ummat manusia. Semula syariat terseburt hanya satu dan tidak berbilang. Akan tetapi berhubung Allah SWT tidak menciptakan ummat manusia hanya satu bentuk, maka sebagian hukum-hukum yang bersifat rinci dapat berberda-beda sesuatu dengan kemaslahatn ummat manusia yang heterogen. Karena suatu umat mungkin cocok dengan kemaslahatan segolongan ummat manusia, tapi tidak bagi golongan yang lain. Oleh karena itu pergantian (nasakh) dalam syariat samawi hanyalah terjadi pada masalah-masalah yang berkembang dalam setiap generasi ummat manusia, sesuai dengan dinamika masyarakat itu sendiri. Dan tidak akan terjadi dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan akhlak yang utama, yang sesuai dengan potensi (fitrah) manusia, dan yang berhubungan dengan masalah tauhid.
BAB III PERSELISIHAN ULAMA TENTANG NASAKH DALAM AL-QURAN Mengenai terjadinya nasakh dalam al-Quran, para ulama berselisih pendapat. Menurut Jumhur Fuqaha, nasakh dapat terjadi dalam al-Quran. Sedangkan menurut Abu Muslim al-Asfahani berpendapat, bahwa dalam al-Quran tidak ada ayat-ayat yang dapat dinasakh.
Argumentasi yang dikemukakan Jumhur ulama, bahwa dalam al-Quran terdapat nasakh 1. Firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut; “apa saja ayat yang kami nasakh, atau kamu jadikan lupa kepadnya, kami datangkan yang lbih baik ari padanya tau yang sebanding dengannya. Tiak kamu mengetaui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu (al-Baqarah : 106). 2. Surat an-Nahl : 101 Argumentasi yang dikemukakan oleh Abu Muslim al-Asfahani yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran: 1. Firman Allah SWT yang berbunyi: “yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik dari depan maupan dari belakgnnya yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. Fusshilat : 42) 2. Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran adalah syariat yang bersifat abadi, yang berlanjut hingga hari kiamat. Dengan demikian, tidak layak bila dalam al-Quran terjadi nasakh.
BAB IV KESIMPULAN Kita telah mengetahui sedikit penjelasan mengenai nasakh dan masukh yang terdapat dalam al-Quran. Memang para ulama berselisih tentang ada tidaknya ayat-ayat yang dinasakh seperti berdebatan antara Jumhur Fiqh dengan Abu Muslim al-Asfahani, keduanya ngotot saling berargumen dengan al-Quran.
5
Walaupun demikian, kita tidak bisa mengingkari bahwa nasakh dan mansukh itu memang ada dalam al-Quran terbukti as-Suyuti telah meneliti ayat-ayat yang dinasakh ternyata menurut penelitan beliau terdapat 20 ayat yang dinasakh dalam al-Quran.
PENUTUP Demikianlah pembahasan tentang nasakh dan mansukh yang bisa kami bahas dalam makalah ini, tentunya juga dalam pembuatan makalah ini tidak akan terlepas dari kesalahan yang kami buat baik yang sengaja atau tidak sengaja. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada pembaca sekalian untuk memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini bisa sempurna.
DAFTAR PUSTAKA Prof. Muhammad Abu Zahra, Usul Fiqih. (Pustaka Firdaus, Jakarta : 2003) cet ke-8 Muhammad Ali ash-Shabuny, Tafsiru Ayatil Ahkam minal Quran. (Darul Kutub Islamiyah, Jakarta : 2001). Buku Pegangan
7