1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, pangan, kesehatan, dan sebagainya seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam keadaan yang dimikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang dinamakan ilmu Masail Al-fiqhiyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal demikian yang terjadi, karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah pula bermunculan berbagai jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan yang digunakan berbeda-beda. Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam dalam menghadapi suatu persoalan langsung menanyakan pada Rosulullah dan Rosulullah lah yang langsung memberikan jawaban. Sehingga tidak ada masalah yang terlalu rumit untuk tidak dapat diselesaikan, karena segala sesuatu yang datang dari rosullah adalah wahyu yang haqq dari Allah, sehingga tidak dapat diragukan lagi kebenarannyaNamun, semuanya berubah setelah Rosulullah meninggal dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan penjelasan hukumnya Studi yang menyangkut berbagai masalah Fiqhiyah tersebut berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dulu tidak ada kini bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum. Karena dimikian dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat islam, menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah akrab dengan masyarakat. Dibandingkan dengan bidang studi lainnya seperti Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, dan sebagainya. Fiqihlah yang paling banyak dikenal dan amat popular di masyarakat Indonesia. Ajaran agama Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengaktualisasikan ajaran agama Islam dalam konteks kekinian dan kemodernan, agar nilai-nilai Islam secara efektif, yang sejalan dengan perkembangan dan kemajuan dunia modern. Elastisitas dan fleksibilitas hukum islam yang sering didengungkan makin dituntut pembuktiannya. Oleh karena itu, kajian fiqih Islam mengenai berbagai persoalan (masail fiqhiyyah)yang dihadapi oleh masyarakat modern merupakan kajian yang menarik dan aktual. B. 1. 2. 3. 4. 5.
Rumusan Masalah Bagaimana pengertian Masail Fiqhiyah ? Bagaimana ruang lingkup Masail Fiqhiyah ? Bagaimana tujuan Masail Fiqhiyah ? Bagaimana dasar hukum Masail Fiqhiyah ? Bagaimana pendapat ula’ma tentang Masail Fiqhiyah ?
2
BAB II PEMBAHASAN C. Pengertian Masail Fiqhiyah Kata Masail Fiqhiyah ( )المسا ئل الفقهيةsecara etimologi berasal dari bahasa dari bahasa Arab yang merupakan rangkaian dari dua lafazh, yakni masail dan fiqhiyah. Hubungan dari kedua lafazh ini dalam nahwu disebut hubungan shifah dan maushuf, atau na’at dengan man’ut. Lafazh masail( )مسلئلadalah bentuk dari jama’ taksir dari mas’alah ( )مسئلةyang bermakna masalah atau problem. Kata dasarnya adalah sa’ala )(سئلdan bermakna “bertanya”. Masail adalah masalah-masalah baru yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya. Masail fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah permasalahanpermasalahan baru yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya. Berdasarkan definisi secara kebahasaan di atas, maka secara istilah, masail fiqhiyah adalah problem-problem hukum islam baru al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena secara eksplisit permasalah tersebut tidak tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam. Ia juga berarti persoalan hukum Islam yang selalu dihadapi oleh umat Islam sehingga mereka beraktivitas dalam sehari-hari selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Islam. Jadi masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul setelah turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah Saw yang belum ada ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum yang diambil dari Al-quran, Hadits, Ijma’, qiyas. Masail fiqhiyyah disebut juga masail fiqhiyyah al-haditsah (persoalan hukum Islam yang baru), atau masail fiqhiyyah al-ashriyyah (persoalan hukum Islam kontemporer).[1]
1
1
[1] Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hal.5-6. Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003, hal.55-56.
3
D. Ruang lingkup, Pendapat Ula’ma Dan Dasar Hukumnya Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan. Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan hakiki di dalamnya. Ruang lingkup pembahasan Masail fiqhiyah meliputi : 1. Hubungan manusia dengan Allah SWT Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah yaitu ibadah mahdzah dan ghairu mahdzah.Ibadah mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatanperbuatan manusia yang murni mencerminkan hubungan manusia itu dengan sang pencipta yaitu Allah SWT. Sedangkan ibadah ghairu mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan antar manusia itu sendiri serta manusia dengan lingkungan. Contoh masail fiqhiyyah yang berhubungan dengan ibadah yaitu hukum fiqh menyikapi shalat jum’at lebih dari satu tempat (ta’adud al jum’at). Pada zaman sekarang dalam pelaksanaan shalat jum’at sering memunculkan beberapa fenomena menarik.Semisal aturan lokasi pelaksanaan shalat jum’at yang menurut sebagian kalangan harus terpusat di satu tempat. Hal ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan menuntut sebagian masyarakat membuat lokasi alternatif. Mungkin anggapan mereka hal itulah yang terbaik dengan alasan kondisi pemukiman, kapasitas tempat peribadatan dan interaksi sosial di tengahtengah mereka adalah faktor-faktor potensial pemicu kejadian semacam itu. Menyikapi perkembangan di atas, statement mayoritas ulama secara tegas menghukumi wajib melakukan shalat jum’at di satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa shalat jum’at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu. tempat, baik ada hajat atau tidak. Namun istinbath (penggalian) dari ulama syafi’iyyah dalam permasalahan ini akhirnya memperbolehkan dengan batas hajat tertentu.[2] Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas sangat luas pemahamannya apabila kita dalami satu persatu. Hanya saja syari’at mempermudah kita dengan memberikan sebuah standar yang lebih fokus dengan mengembalikan kepada batasan “urfi (tradisi mayoritas masyarakat) yang ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua faktor yang sudah sampai pada tingkat kesulitan yang diluar batas kemampuan. Artinya semisal konflik masyarakat dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul hingga pada taraf hampir mustahil atau semisal kapasitas tempat shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan menampung seluruh masyarakat di daerah tersebut, disitulah ta’adud al-jum’at diperbolehkan.[3]
4
2. Hubungan manusia dengan sesama manusia Sebagai contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia yaitu mendonorkan organ tubuh. Pendapat pertama mengatakan bahwa transplantasi seperti hukumnya haram. Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis bahkan sekalipun telah sampai dalam kondisi darurat. Dalil pendapat yang pertama yang Artinya adalah : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Kelompok kedua berpendapat bahwa transplantasi hukumnya jaiz (boleh) namun memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah : adanya kerelaan dari si pendonor, kondisi si pendonor harus sudah baligh dan berakal, organ yang didonorkan bukanlah organ vital yang menentukan kelangsungan hidup seperti jantung dan paru-paru serta merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut. Dalil pendapat kedua yang artinya adalah : Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. Dari fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan organ tubuh orang yang sudah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan dan izin dari keluarga atau ahli waris. 3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri Contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu tentang hukum rebonding. Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Prosesnya dua tahap. Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti disetrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim tahap kedua untuk mempertahankan pelurusan rambut.
2
Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003, hal.55-56. http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail-fiqhiyyah.html diakses pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB. Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003, hal.55-56.
5
Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut. Proses rebonding menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena aplikasi. Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli. Jadi, rebonding bukan pelurusan rambut biasa yang hanya menggunakan perlakuan fisik, tapi juga menggunakan perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen. Inilah fakta (manath) rebonding.
Rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’. Dalil keharamannya adalah keumuman firman Allah. Artinya : “Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah, karena syaitan tidak menyuruh manusia kecuali kepada perbuatan dosa. Mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) didefinisikan sebagai proses mengubah sifat sesuatu sehingga seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai` ‘an shifatihi hatta yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat berarti menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah). Dari definisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), karena rebonding telah mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk rambut asli menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian hukum rebonding adalah haram. Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga didasarkan pada dalil Qiyas. Dalam hadis Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,“Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah ciptaan Allah.” (HR Bukhari). Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan mencari kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata dalam hadis terdapat dalil “ bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfarul Ahwadzi, 7/91). Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail-fiqhiyyah.html diakses pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB.
6
perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya, hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’, dengan syarat tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahrom. 4. Hubungan manusia dengan alam sekitar Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan. Alam akam menjadi amcaman yang serius. Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah islam klasik. Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan. Di kalangan NU masail fiqhiyyah dibahas dalam forum khusus yang disebut Bahtsul Masail. Bahtsul masail atau lembaga bahtsul masail diniyah (lembaga masalah-masalah keagamaan) di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang memberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan kepada umat Islam.[5] Rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dalam penetapan hukum adalah : Tidak boleh merusak akidah Tidak boleh mengurangi/menghilangkan martabat manusia Tidak boleh mendahulukan kepentingan peroangan atas kepentingan umum Tidak boleh mengutamakan hal-hal yang masih samar-samar kemanfaatanyya atas hal-hal yang sudah nyata kemanfaatannya 5. Tidak boleh melanggar ketentuan dasar akhlaq al-karimah (moralitas manusia). 1. 2. 3. 4.
3
Imdadun Rahmat, Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masail, Lakperdas, Jakarta, 2002, hal.3. Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hal.6. http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail-fiqhiyyah.html diakses pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB.
7
E. Tujuan Masail Fiqiyah Masa'il fiqhiyah termasuk menghubungkan seuatu hukum dengan hukum lainya yang belum ada nashnya dan didasari atas kumpulan hasil pemahaman para mujtahid terhadap Al-qur'an dan hadits. Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama klasik sampai metode ulama kontemporer. Dari penjelasan di atas maka tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara umum adalah untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat di kehidupan modern yang sering kali jadi pertanyaan-pertanyaan sehingga membutuhkan jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum. Sedangkan tujuan khususnya mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-calon pendidik adalah agar nantinya ketika mengajar kita sudah siap dan dapat menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-pertanyaaan yang mungkin muncul dari peserta didik. Tujuan lain dari adanya masail fiqhiyah adalah : 1. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Masail Fiqiyah termasuk bidang studi yang paling banyak mengandung perdebatan, nuansa dan sekaligus keuntungan. Semua itu akan menjadi hikmah dan rahmat, manakala disikapi secara adil, obyektif, kritis dan dinamis. 2. Adanya ilmu Masail Fiqiyah ini menunjukkan kepedulian yang kuat dan mendalam dari kalangan para ahli hukum islam untuk memberikan jawaban terhadap berbagai masalah yang berkembang. 3. Berbagai jawaban yang mereka berikan itu dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan menambah memperkaya khazanah inteletual. 4. Ilmu Masail Fiqiyah juga menunjukkan adanya kebebasan berfikir secara tanggung jawab di kalangan umat islam dan sekaligus toleransi dan kedewasaan sikap dalam menghadapi berbagai perbedaan pendapat. 5. Dengan keilmuan masail fiqhiyyah diharapkan mampu memahami dengaan baik tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqh Islam, memberikan kemampuan untuk membahas dan memecahkan masalah-masalah Fiqh yang actual dan memasyarakatkannya dengan pendekatan yang luas, yang tidak hanya terfokus pada teks-teks fiqih klasik akan tetapi juga pada pendekatan-pendekatan rasional.4 BAB III Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyyah, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hal. 7 Abuddin Nata, Masail Al-fiqiyah, Preneda Media, Jakarta, 2003, hal.223-224
.
8
PENUTUP F. Kesimpulan 1. Masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul setelah turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah Saw yang belum ada ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum yang diambil dari Al-quran, Hadits, Ijma’, qiyas. 2. Ruang lingkup pembahasan masail fiqhiyah meliputi a. Hubungan manusia dengan Allah SWT b. Hubungan manusia dengan manusia c. Hubungan manusia dengan diri sendiri d. Hubungan manusia dengan alam sekitar 3. Tujuan masail fiqhiyah tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara umum adalah untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat di kehidupan modern yang sering kali jadi pertanyaan-pertanyaan sehingga membutuhkan jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum. Sedangkan tujuan khususnya mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-calon pendidik adalah agar nantinya ketika mengajar kita sudah siap dan dapat menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-pertanyaaan yang mungkin muncul dari peserta didik. G. Saran Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan yang sudah barang tentu banyak kekeliruan baik dari segi materi maupun penyampain kami. Kami sadar bahwa kami adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Maka kami mohon akan kritik dan saran anda semua serta masukan-masukan yang bersifat membangun demi masa depannya. Semoga makalah yang kami berikan ini bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan untuk pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
9
Ash-shiddiq, Hasby, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1974. Kasdi, Abdurrohman, Masail Fiqhiyyah Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011. Nata, Abuddin, Masail Al-fiqiyah, Preneda Media, Jakarta, 2003. Rahmat, Imdadun, Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masail, Lakperdas, Jakarta, 2002. Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003. Ardiansyah,velliez,2012, http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail fiqhiyyah.html, diakses pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB.