Kelompok 1 Kelas :16 Perpustakaan A Nama : Resya Pitria Uswatun Hasanah Devi Zuliati Tito Raisa Kusuma Pokok Pembahasan: 1. 2. 3. 4.
Sejarah Industri Penerbitan Sejarah Buku Konsep Dasar Buku Komponen Penerbitan, Percetakan, Buku
A. Sejarah Industri Penerbitan Sejarah dan Perkembangan Industri Penerbitan di Dunia Perkembangan industri penerbitan tentunya sangat terkait dengan perkembangan teknologi pendukungnya. Berikut akan kita lihat sejarah perkembangan penerbitan dunia dari akar tradisionalnya hingga revolusi digital yang terjadi di masa kini, yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa masa, yaitu era pramodern, era modern (1800–1980), dan era digital (1980 sampai sekarang). Era Pramodern. Kegiatan penerbitan, yang didefinisikan sebagai penyebarluasan konten dalam wujud buku, telah ada jauh sebelum gagasan mengenai industri itu sendiri. Masa ini dikenal dengan masa pramodern, yaitu masa sebelum Revolusi Industri. 1. Tradisional (1000–1400). Kegiatan penerbitan mulai berkembang setelah bangsa Tiongkok memperkenalkan kertas kepada bangsa Eropa pada abad ke-11. Pada masa tradisional ini, kegiatan penerbitan bertujuan untuk penyampaian informasi atau korespondensi, serta untuk penyebarluasan ajaran-ajaran agama, terutama agama Kristen. Media yang digunakan adalah kertas dari serat papirus dengan ciri tulisan tangan atau cap. 2. Moveable Type (1400–1800). Mesin cetak diciptakan oleh Johann Gutenberg di Mainz, Jerman, pada abad ke-15. Moveable type menjadi awal Revolusi Gutenberg, yaitu ketika media mulai dapat diduplikasi dan disebarkan secara massal. Reproduksi tulisan secara massal ini pulalah yang mendorong orang untuk memikirkan hak cipta, hingga pada 1710 dikeluarkan Statute of Ann yang menjadi awal bagi perkembangan Undang-Undang Hak Cipta. Statute of Ann memperkenalkan dua konsep baru mengenai hak cipta, yaitu penulis sebagai pemilik hak cipta dan prinsip perlindungan untuk jangka waktu tertentu bagi karya yang diterbitkan.
Era Modern (1800–1980). Revolusi Industri di Inggris mendorong pula berdirinya kegiatan penerbitan sebagai suatu industri tersendiri. Teknik-teknik litografi dan offset makin mempercepat kegiatan penerbitan. Berbagai kemelut sosial, politik, dan ekonomi dunia yang didorong oleh Revolusi Industri dan kapitalisme awal melahirkan permintaan yang tidak sedikit atas media massa yang tanggap dan informatif. Berbagai karya sastra, sains, dan filsafat di luar ajaran agama juga mulai banyak diminati seiring dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran Era Pencerahan. Pada era ini registrasi dan pengembangan hak cipta menjadi marak, sebagai cara perlindungan teknologi dan inovasi baru agar dapat dikembangkan secara massal tanpa kekhawatiran pencurian ide. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin penggunaan karya ciptaannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada 1974 berdirilah WIPO, sebuah badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mandat untuk mengelola hal-hal kekayaan intelektual dari negara-negara anggota PBB. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut dan makin berkembangnya teknologi media, kini telah banyak negara maju yang menetapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor swasta dan menguatkan perlindungan hak cipta berkaitan dengan industri penerbitan. Dalam industri penerbitan, terdapat dua hak cipta yang berlaku, yakni hak cipta pembuat karya (penulis) dan hak cipta penerbit. Hak cipta pembuat karya adalah hak yang menyangkut isi/ konten. Hak cipta penerbit adalah hak atas bentuk buku, desain sampul, ilustrasi dalam buku, dan tata letak penulisan. Jika seorang pembuat karya menyetujui naskahnya diterbitkan oleh penerbit, maka pembuat karya tersebut akan menyerahkan hak cipta karyanya kepada penerbit secara tertulis dalam surat perjanjian kerja sama. Melalui surat perjanjian kerja sama itu, pihak pembuat karya akan mengetahui apa saja hak dan kewajibannya sebagai pemegang hak cipta. Sebaliknya, penerbit bisa mendapatkan hak-hak antara lain untuk menerjemahkan, memperbanyak, dan menjual hasil terjemahan karya penerbitan dalam bentuk cetakan, e-book ataupun konten lain. Pembuat karya selaku pemegang hak cipta berhak melarang perbanyakan karya oleh pihak lain tanpa seizinnya. Berkaitan dengan meningkatnya kesadaran pencipta bahwa suatu karya penerbitan bisa diterjemahkan ke dalam berbagai format atau lintas media, maka hak cipta menjadi penting (misalnya novel yang diterjemahkan ke dalam komik atau diadaptasi ke dalam film). Gagasan ini semakin meledak seiring menjamurnya format multimedia dan teknologi digital, yang kian memudahkan suatu karya untuk disalin, disebarluaskan, dan diterjemahkan ke dalam berbagai format baru. Sebagai contoh, menjelang pertengahan abad ke-20, komik-komik Amerika seperti Superman dan Flash Gordon mulai diadaptasi ke dalam kartun, film, dan serial televisi, tokoh-tokoh seperti Mickey Mouse digunakan dalam suvenir dan pakaian, dan raksasaraksasa konten seperti Walt Disney dan DC Comics mulai bermunculan. Era Digital (1980 ke atas). Pada penghujung abad ke-20, industri penerbitan mulai memasuki Era Digital. Era ini ditandai dengan kelahiran Internet sebagai alternatif penyebarluasan informasi-yang dalam konteks penerbitan, semula hanya terbatas pada media cetak-serta fokus yang lebih tajam pada produk-produk kekayaan intelektual sebagai konten industri penerbitan itu sendiri. Hal ini merupakan pergeseran dari fokus sebelumnya pada teknologi-teknologi percetakan dan menandakan awal mula berdirinya industri percetakan dan penerbitan sebagai dua industri yang terpisah. Pada masa ini, aktivitas industri penerbitan semakin terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
Perkembangan ini membawa perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi konten informasi, misalnya, minat masyarakat terhadap e-books, media sosial, maupun jasa print on demand (POD), sehingga industri penerbitan pun mengalami perubahan untuk beradaptasi dengan kondisi sosial yang baru ini. Di sisi lain, pada masa ini, percetakan pun mengalami perubahan yang signifikan, yaitu pembuatan dummy yang telah memanfaatkan mesin Computer to Print (CTP) yang mampu mempercepat proses pencetakan maupun penggandaan konten dalam bentuk media fisik. Kemajuan informasi dan teknologi terbaru telah mengguncang keberlangsungan industri penerbitan yang ada. Hal ini, diperkuat dengan berbagai isu pemanasan global dan gerakan-gerakan pengurangan penggunaan kertas yang makin marak, berkontribusi terhadap tren masyarakat yang bergeser dari konsumsi media cetak ke media digital. Perubahan ini pada akhirnya menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi industri penerbitan yang ada agar dapat bertahan. Oleh karena itu, usaha kreatif pada industri penerbitan membutuhkan inovasi dalam penciptaan karya yang menjawab kebutuhan pasar akan tren dan gaya hidup digital secara efektif dan efisien. Di sisi lain, perkembangan TIK juga menumbuhkembangkan keberadaan penerbit mandiri (selfpublisher). Kemajuan teknologi seperti print on demand dan e-book maupun media media baca-tulis baru seperti situs web,blog, dan media sosial mendorong pertumbuhan pesat generasi penulis yang menerbitkan karya mereka secara mandiri. Kini, para penulis tidak memerlukan sumber daya yang banyak untuk mempublikasikan karya tulis mereka, sehingga kegiatan penerbitan menjadi jauh lebih demokratis, tanpa harus bergantung padaindustri-industribesar. Penulis selaku penerbit mandiri bisa menerbitkan karya-karya tulis menggunakan berbagai sumber daya terbuka yang memfasilitasi penerbitan karya tulis mereka atau mempublikasikan sendiri karya mereka dalam blog maupun situs web. Tentunya, berbagai kebebasan tersebut datang dengan ragam tantangannya sendiri. Media yang terlalu terbuka dinilai kurang dapat mengasah kualitas insan kreatif yang berkarya di dalamnya, sedangkan longgarnya penyensoran disayangkan sebagian kalangan masyarakat yang dengan maraknya konten-konten yang dinilai kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Selain itu, teknologi digital juga memudahkan pembajakan karya dan penyebarluasannya, sebuah fakta yang kerap kali membuat panik para penerbit besar karena dinilai amat merugikan bisnis mereka. Sejarah dan Perkembangan Penerbitan Indonesia Sejarah industri penerbitan di mana pun tentunya terkait erat dengan sejarah pers, tak terkecuali di Indonesia yang kemudian dapat dirunut ke dalam beberapa masa, yaitu: masa penjajahan Belanda, Era Orde Lama, Era Orde Baru, Era Reformasi. 1. Masa Penjajahan Belanda. Usaha penerbitan di Indonesia pada awalnya dimulai pada zaman penjajahan Belanda yang berfokus pada kegiatan pers, hal ini ditandai dengan diterbitkannya surat kabar pertama kali terbit pada 1615, yaitu Memoria der Nouvells, di mana teksnya ditulis dengan tangan. Lembar tersebut memuat informasi pemerintah VOC mengenai mutasi pejabat di wilayah Hindia Belanda. Lebih daripada satu abad kemudian, tulisan tangan tersebut diterbitkan kembali di surat kabar Bataviaasche Nouvelles pada 17 Agustus 1744 sebagai surat kabar pertama di Hindia Belanda. Surat kabar ini merupakan surat kabar pemerintah Hindia Belanda yang diterbitkan dan dicetak oleh VOC. Dalam surat kabar ini hampir seluruh halamannya dipenuhi
oleh iklan. Setelah itu muncul pula penerbitan buku-buku sastra Melayu dan buku bahasa daerah. Pelaku usaha penerbitan pada zaman Belanda cenderung dikuasai oleh para pendatang dan pribumi. Dalam rangka mengimbangi perusahaan penerbitan yang dilakukan bangsa Indonesia, maka pada 1908 Pemerintah Belanda membangun usaha penerbitan milik Belanda bernama Commissie voor de Volkslectuur yang selanjutnya dikenal dengan nama Balai Pustaka. Sebagai badan penerbitan, Balai Pustaka mencitrakan sekumpulan orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan kebudayaan Indonesia. Salah satu penerbitan yang juga penting dalam sejarah kebudayaan dan sastra adalah Boekhandel Tan Khoen Swie. Boekhandel Tan Khoen Swie adalah penerbit yang menerbitkan buku-buku dengan penggunaan bahasa maupun gaya penulisan yang membangun nilai kultural dan estetik dalam setiap terbitannya. Kehadirannya memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan sastra, sehingga sampai saat ini buku-bukunya masih dianggap penting. Karya yang diterbitkan adalah versi-versi awal Serat Kalatidha (Ranggawarsita) dan Serat Wedhatama (Mangkunagara IV). 2. Era Orde Lama. Setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di Pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan pada 1950 masih diizinkan beroperasi di Indonesia. Pada 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia, termasuk Balai Pustaka. Setelah itu, pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan memberikan subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional dan mewajibkan penerbit menjual bukubukunya dengan harga murah. Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat dengan cepat. Di samping itu, pada 1950, berdirilah Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang beranggotakan 13 penerbit Indonesia dan bertujuan untuk menaungi keberadaan penerbit-penerbit Indonesia. Masa tersebut juga ditandai oleh munculnya apa yang dikenal sebagai sastrawan angkatan 1945, yang mempunyai karakteristik revolusioner dan penuh dengan nasionalisme, bebas berkarya sesuai dengan alam kemerdekaan dan hati nurani. Para sastrawan angkatan ini antara lain Chairil Anwar (Kerikil Tajam), Idrus (1948), dan Achdiat K.Miharja (Atheis). Selain itu, sejak 1950–1960-an, muncul pula komikkomik silat seperti Sri Asih (1954) karya R.A. Kosasih dan Si Buta dari Goa Hantu (1967) karya Ganes T.H. Terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B Jassin menandakan munculnya sastrawan angkatan 1950–1960-an, antara lain Pramoedya Ananta Toer (Bukan Pasar Malam), N.H. Dini (Dua Dunia), Mochtar Lubis (Tak Ada Esok), Ajip Rosidi (Tahun-Tahun Kematian), dan W.S. Rendra(Balada Orang-Orang Tercinta). 3. Era Orde Baru. Pada 1965, penerbit yang menjadi anggota IKAPI telah berjumlah lebih daripada 600, namun saat itu terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang
politik, ekonomi dan moneter. Pada akhir 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, hanya 25% penerbit yang bertahan dan situasi perbukuan mengalami kemunduran. Masa Orde Baru dikenal sebagai masa kelam bagi industri penerbitan maupun pers. Pada masa ini, aktivitas penerbitan ditandai dengan pembredelan dan penahanan, dan tidak sedikit wartawan ataupun penulis yang dikucilkan dan dianiaya. Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer,Utuy Tatang Sontani, dan beberapa pengarang lainnya tidak dapat dipasarkan karena dianggap bertentangan dengan ideologi yang berlaku pada masa itu. Namun, bukan berarti dunia sastra Indonesia mati. Pada 1966–1970-an, ditandai dengan terbitnya majalah Horison pimpinan Mochtar Lubis, muncul generasi sastrawan baru, antara lain Taufik Ismail (Puisi-Puisi Langit), Umar Kayam (Para Priyayi), Sapardi Djoko Darmono (Dukamu Abadi) dan Leon Agusta (Monumen Safari). Pada 1980 pemerintah Indonesia menyadari pentingnya peran buku untuk memajukan peradaban bangsa sehingga pada 17 Mei 1980 pemerintah membangun Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berlokasi di Jakarta. Selanjutnya pada 17 Mei diperingati sebagai hari buku nasional 4. Era Reformasi. Setelah Reformasi bergulir tahun 1998, kebebasan penerbitan dan pers mulai diperoleh kembali. Pada 1999, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalam undang-undang yang menyangkut kebebasan pers, tidak ada lagi penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran pada pers nasional. Setelah itu, terjadilah booming penerbitan media massa yang menghasilkan potret dunia penerbitan di Indonesia yang jauh lebih terbuka dibandingkan masa-masa sebelumnya. Fenomena ini ditandai dengan munculnya media-media baru baik cetak maupun elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Namun, di sisi lain, beberapa pihak beranggapan bahwa tidak ada keseimbangan antara kebebasan pers/penerbitan dengan tanggung jawab sosial. Media menjadi bebas untuk mengeksploitasi informasi bersifat sensasional tanpa ada penegakan terhadap peraturan perundangan serta etika jurnalistik yang berlaku. Oleh karena itu keberadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindaklanjuti kebijakan mengenai konten perlu segera diberikan wewenang yang memadai. Dari sisi karya, misalnya terkait dengan komik, di masa ini ditandai dengan munculnya generasi baru komikus Indonesia seperti Is Yuniarto dengan komik Wind Rider-nya pada pertengahan akhir 2000-an. Selain itu, tidak sedikit buku terbit dan kemudian menjadi bestseller alias laris manis di pasaran dan terus diperbincangkan publik. Novel-novel ini banyak juga yang lantas diadaptasi menjadi film, antara lain Laskar Pelangi, Jakarta Undercover, Habibie & Ainun, serta karya-karya Raditya Dika yang juga sukses secara komersial dan mencetak tren sastra pribadi di dunia penerbitan. Memasuki era digital dan Internet, timbul dilema dalam keberlangsungan karya penerbitan cetak. Pada era digital, sumber informasi yang mudah diakses lewat berbagai media, tidak hanya media cetak, membuat daya tarik konsumen terhadap karya penerbitan cetak mulai menurun, terganti oleh karya cetak digital. Pada era ini, banyak penerbit di Indonesia mulai memanfaatkan format buku digital (e-book) untuk pembacanya. Era ini juga ditandai dengan munculnya penerbitpenerbit mandiri (self-publisher) yang memberikan kemudahan kepada penulis untuk menerbitkankarya kreatifnya dan memasarkannya secara mandiri. Penerbitan mandiri memiliki prinsip bahwa setiap penulis berhak menerbitkan buku seperti apapun yang mereka kehendaki.
Konsep pelayanan penerbitan self-publisher adalah membantu mewujudkan impian penulis menerbitkan buku secara gratis dan mudah. Bila dilihat dari sejarah pendiriannya, keberadaan self-publisher di Indonesia sudah dimulai pada 2008 dengan berdirinya komikoo.com. Komikoo adalah portal pertama di Indonesia yang memuat komik online dengan konten swadaya dari para anggotanya. Keberadaannya sebagai pelopor situs komik Indonesia online memberikan kesempatan kepada komikus (penulis) berbakat untuk berekspresi atau menampilkan karya-karyanya. Perkembangan kondisi pasar dan tingginya penetrasi penggunaan Internet di Indonesia juga menjadi alasan berdirinya platform startup self-publishing online pertama di Indonesia bernama Nulisbuku.com oleh Aulia Halimatussadiah (Ollie) dan teman-temannya pada 2010. Pendiriannya dilatarbelakangi kesulitan yang dialami beberapa penulis untuk menerbitkan buku yang mengalami penolakan dari penerbit besar karena dianggap tidak sesuai dengan selera pasar. B. Sejarah Buku Buku adalah sahabat manusia dan menjadi tanda kemajuan suatu bangsa. Kamu bisa berbicara dengan tokoh-tokoh terkenal diseluruh dunia dari segala zaman melalui buku bacaan,seluruh dunia dapat kamu jelajahi dengan rajin mebaca buku. Sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan dan apasaja dapat kamu ketahui dengan banyak membaca buku bacaan. Pengertian buku dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan fungsinya. Menurut bentuknya, buku merupakan kumpulan halaman atau lembar tulis yang dicetak, di himpun menjadi satu serta mempunyai bentuk tertentu. Menurut fungsinya, buku merupakan alat penghubung kebudayaan dalam bentuk hasil tulisan, cetakan yang terkumpul menjadi satu. Zaman dahulu, adat istiadat, doa, petuah, perintah raja dan undang-undang disampaikan dari mulut kemulut. Karena makin lama makin banyak dan dirasakan perlu untuk menuliskan hal tersebut agar jangan mudah dilupakan maka orang menuliskan di dalam sebuah kumpulan tulisan, dan timbulah apa yang disebut buku. Pada mulanya buku hanya di tulis dengan tangan dan mengerjakan hanya satu orang. Hal ini snagat memakan waktu, lambat, dan jumlah buku yang dihasilkan pun sedikit, kalaupun sekiranya ada yang menyalin, salinanya dari naskah yang asli. Akibatnya selain jumlah bukunya sedikit juga akan terdapat keslahan-kesalahan yang dibuat oleh penyalin itu. Pekerjaan ini dilakukan orang mesir, terutama di perpustakaan alexandria. Di Roma orang sudah maju mengerjakan buku. Mereka tidak menyalin, tetapi mendiktekan dan beberapa orang menyalinnya. Dengan demikian. Buku yang dihasilkan akan lebih banyak, dan kesalahan yang terjadi akan sedikit berkurang. Bahan buku ada bermacam-macam sesuai dengan tingkat kemajuan dan pengetahuan manusia. Mula-mula sekali. Bahan yang dipakainya adalah batu bata dan dinding yang digambari, maka kemudian diusahakan bahan yang lebih mudah dan ringan seperti clay table, tanah liat berbentuk persegi yang digambari. Kemudian di gambar dan disimpan. Pekerjaan semacam ini didapati di mestopotamia dan babilonia-nivich di perpustakaan Assubanipal. Tiga abad kemudian, di mesir didapatkan bahan baru untuk menulis, yaitu papyrus karena clay table berat dan
mudah pecah papyrus banyak tumbuh disepanjang sungai Nil. Panjang nya 1 setengah meter, besarnya sebesar ibu jari, Atas anjuran raja untuk memperbanyak koleksi perpustakaan, maka didapatkan bahan perkamen tersebut. Bahan perkamen yang paling baik ialah vellum, yaitu kulit binatang yang masih dalam perut . bahan yang paling akhir ialah kertas, yang berasal mula dari cina. Pada mulanya alat tulis menulis disana ialah sutra dan bamboo. Pada abad ke 7, kertas oleh orang islam disebarkan kebarat, yaitu setelah turkistan ditaklukan, pada abad ke 11 dan 12, pembuatan kertas meluas dari arab ke baghdad, terus ke eropa ( spanyol). Kemudian pada abad 15 di temukan system percetakan oleh Gutten Meinz Jerman.
C. Konsep Dasar Buku Buku teksadalah buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa untuk diasimilasikan. MenurutLange dalam(Tarigan,2009 12) Buku teksadalahbuku standar/buku setiap cabang studi dan dapat terdiri atas dua tipe yaitu buku pokok/utama dan buku suplemen atau tambahan.Berdasarkan pengertiandiatas dapat ditarik kesimpulan bahwa buku adalah buku yang terdiri dua tipe yaitu buku pokok dan suplemenyangdigunakan untuk menunjang pelajaran tertentu,disusun secara sistematisguna memberikan pemahaman sesuai kebutuhanpembacanya yaitu pesarta didik. Struktur konseptual dasar yang digunakan untuk memecahkan atau menangani suatu masalah dengan merancang sebuah ide untuk menciptakan keteraturan dan kejelasan arah tindakan. Tekhnis perencanaan harus dilaksanakan agar desain buku dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Buku saku merupakan buku yang dapat dibaca dimanapun dan dapat dibawa kapanpun pengguna melakukan aktifitas, karena itu bentuk ,jenis kertas, penjilidan buku, atau tekhnik cetak yang digunakan tentunya akan berbeda dengan bentuk buku yang lainnya. Rancang desain buku saku di pilih sebagai aplikasi yang berguna untuk menyertai setiap bermain longboard yang akan di lakukan oleh para pemain longboard. D. Komponen Penerbitan, Percetakan dan Buku 1. Komponen Penerbitan Komponen secara umum didefinisikan sebagai suatu tatanan kesatuan yang utuh dan menyeluruh antara segenap unsur yang saling memengaruhi. Ekosistem yang dimaksud dalam proses pemetaan Ekonomi Kreatif adalah sebuah sistem di mana setiap unsur yang berada di dalamnya memiliki hubungan timbalbalik sehingga membentuk sebuah lingkungan yang saling bergantung dan memberikan manfaat. komponen subsektor penerbitan adalah sebuah sistem yang menggambarkan hubungan saling ketergantungan antara setiap peran di dalam proses penciptaan nilai kreatif khususnya di industri penerbitan dan antara peran-peran tersebut dengan lingkungan sekitar yang mendukung terciptanya nilai kreatif. Di dalam komponen ini, terdapat aktivitas utama, aktivitas pendukung, peranan dan pelaku yang terlibat di dalamnya, serta keluaran dari setiap proses rantai nilai kreatif.
Komponen ini menjelaskan keterkaitan antar tiap-tiap komponennya dalam sebuah siklus. Rantai nilai kreatif menjelaskan proses pertambahan nilai dalam penciptaan karya kreatif hingga dikonsumsi oleh pasar. Karya kreatif yang dihasilkan kemudian diapresiasi di dalam lingkungan pengembangan (nurturance environment) yang merupakan lingkungan di mana proses penciptaan karya kreatif dapat bertumbuh dan berkembang dengan menghasilkan orang-orang kreatif baru untuk berkarya dan mendorong orang-orang kreatif yang pernah berkarya untuk kembali menghasilkan karya-karya kreatif berikutnya komponen dalam pengembangan industri penerbitan meliputi empat komponen utama, yaitu: a) Rantai Nilai Kreatif (Creative Value Chain). Rantai nilai kreatif merupakan sebuah proses penciptaan nilai tambah yang didukung oleh Industri utama (core indsustry) sebagai penggerak dan backward-andforward linkage industry merupakan industri yang mendukung proses penciptaan nilai tambah di industri kreatif utama. Rantai nilai dalam industri penerbitan meliputi proses kreasi, produksi, distribusi, dan penjualan. b) Lingkungan Pengembangan (Nurturance Environment). Lingkungan pengembangan adalah lingkungan yang dapat menggerakkan dan meningkatkan kualitas proses penciptaan nilai kreatif meliputi pendidikan dan apresiasi. Mata rantai pendidikan adalah proses pembelajaran yang meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang sangat berpengaruh pada penciptaan orang kreatif. Kegiatan pendidikan ini meliputi: pendidikan formal, yaitu pendidikan di sekolah yang diperoleh secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas; nonformal, yaitu pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; dan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Mata rantai apresiasi merupakan tanggapan terhadap karya, orang kreatif, serta proses penciptaan nilai kreatif yang menstimulasi peningkatan kualitas , orang, dan proses kreatif tersebut. Apresiasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu apresiasi oleh pasar (konsumen, audiens, dan customer); dan apresiasi terhadap orang, karya, dan proses kreatif. Kegiatan apresiasi oleh pasar dapat ditunjukkan dari konsumsi serta tanggapan pasar terhadap karya, orang, dan proses kreatif, sedangkan kegiatan apresiasi untuk orang dan karya kreatif dapat berupa penghargaan, pemberian insentif, dan juga apresiasi terhadap HaKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Apresiasi oleh pasar dapat ditingkatkan melalui proses peningkatan literasi masyarakat terhadap kreativitas, sedangkan kegiatan apresiasi untuk orang dan karya kreatif dapat ditingkatkan dengan mengkomunikasikan orang serta karya kreatif tersebut kepada masyarakat. Dengan adanya kegiatan apresiasi yang baik, maka orang-orang kreatif akan terdorong untuk terus berkreasi. c) Pasar (Market). Dalam ekosistem penerbitan dapat dibedakan menjadi konsumen umum yang dapat dikategorikan sebagai konsumen sekolah, rumah
tangga, perguruan tinggi, profesi, kelompok hobi, dan pemerintah. Sedangkan konsumen ahli dapat dikelompokkan menjadi pakar, pengamat, dan peneliti. d) Pengarsipan (Archiving). Sistem pengarsipan yang telah diterapkan di Indonesia adalah sistem ISSN (International Standard Serial Number) yang diperuntukkan bagi publikasi berkala media cetak ataupun elektronik dan ISBN (International Standard Book Number) yang diperuntukkan bagi identifikasi buku. Kedua standar ini merupakan adaptasi dari standar internasional yang diberikan oleh lembaga yang berwenang. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pemantauan atas seluruh publikasi terbitan berkala yang diterbitkan di Indonesia. Oleh karena itu PDII menerbitkan ISSN yang merupakan tanda pengenal unik setiap terbitan berkala yang berlaku global. Sedangkan Perpustakaan Nasional merupakan satu-satunya lembaga di Indonesia yang berwenang untuk mengeluarkan ISBN. Dengan adanya sistem pengarsipan ini, maka publikasi di Indonesia dapat terdokumentasikan dengan baik. Keempat komponen dalam ekosistem saling berinteraksi dan merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap komponen dalam ekosistem mempunyai peran yang berbeda dan saling mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam setiap komponen tersebut. 2. Komponen Percetakan Proses produksi dalam rantai nilai kreatif penerbitan adalah proses pencetakan konten. Proses produksi ataupun reproduksi dapat dilakukan langsung oleh penerbit yang dimiliki percetakan atau bermitra dengan perusahaan percetakan lainnya. tiga komponen berikut: a) Pracetak: Proses pracetak adalahproses pengolahandan revisi naskah. Kegiatan dalam proses ini adalah proses setting, edit huruf, tata letak, dan desain untuk dibuat draf contoh (dummy). b) Cetak: Dalam tahap ini draf contoh yang telah disetujui dicetak menjadi produk massal menggunakan mesin pencetak sesuai jumlah yang ditetapkan masingmasing penerbit. c) Pascacetak: Proses pascacetak adalah proses pemotongan, penyusunan, pelipatan serta pengemasan buku hingga siap diedarkan dan dijual di toko-toko buku maupun tempattempat penjualan lainnya. Jenis pencetakan dalam proses produksi dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu secara konvensional dengan menggunakan plat filmatau secara digital. Secara keseluruhan, harga produksi ditentukan oleh biaya produksi, sedangkan biaya produksi bergantung pada jenis bahan mentah, seperti ukuran kertas, jenis kertas, dan kualitas tinta.Pencetakan memiliki batas minimum hargatergantung pada segmentasi produk. Pencetakan biasanya berjumlah antara 2.000-20.000 eksemplar untuk buku, sedangkan untuk surat kabar minimal 150.000 eksemplar. Namun, pencetakan digital memungkinkan proses Print on Demand (PoD) yaitu mencetak sesuai permintaan. Pencetakan ini tentunya lebih menguntungkan bagi penerbit-penerbit kecil, walau harga produk buku satuannya akan lebih mahal dibandingkan dengan yang dicetak secara massal. Di Indonesia, penggunaan mesin percetakan yang berteknologi tinggi hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan percetakan besar. Tidak semua perusahaan
penerbitan memiliki percetakan sendiri. Perusahaan penerbit kecil terkadang harus bekerja sama dengan beberapa percetakan untuk mencetak konten yang diajukan. Selain itu, penerbit kecil cenderung hanya mampu menggunakan teknologi rendah, yang berdampak pada produktivitas yang rendah dan kualitas yang kurang. Hampir 65% mesin dan peralatan cetak di Indonesia sudah berusia lebih dari 20 tahun. Hal ini memberi pengaruh besar terhadap kinerja dan kualitas produk-produk percetakan, seperti produksi buku yang tertinggal (Print Media, 2012). Berbagai kondisi ini menciptakan keadaan monopolistik yang menguntungkan berbagai perusahaan besar, namun merugikan kondisi industri dalam jangka panjangnya. 3. Komponen Buku Dalam sebuah buku terdiri dari beberapa komponen utama yang mendukung terbentuknya sebuah buku secara utuh dan keseluruhan. Komponen ini dapat di katakan komponen umum yaitu sebagai berikut: a) Cover depan Halaman depan buku yang biasanya terbuat dari bahan yang lebih tebal berbeda dengan halaman isi, dan diletakkan pada bagian depan dan bagian belakang sebuah buku. Pada bagian sampul depan sebuah buku biasanya terdapat judul (topic) buku, nama pengarang atau penerbit, sedangkan pada bagian sampul belakang tercantum syinopsis buku dari alamat instansi yang menerbitkan buku tersebut. Jenis penyampulan ada dua macam yaitu soft cover dan hard cover. b) Fitur dan isi Bagian yang membahas buku dan informasi apa saja yang disampaikan oleh pembuat buku dan akan di dukung dengan berbagai foto untuk memudahkan informasi mengenai buku tersebut. c) Cover belakang Pada sampul bagian belakang tercantum syinopsis yaitu berisi ringkasan dari keseluruhan isi buku. Biasanya terletak pada sampul bagian belakang buku dan alamat instansi yang menerbitkan buku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
David, Fred R, Manajemen Strategis: Konsep.Seventh Edition. PT. IntanSejati, Klate Journal of Communication and Media Technologies Volume: 1 – Issue: 4 – October – 2011. Possition Paper Komisi Pengawas Persaingan Usaha Terhadap Kebijakan Perbukuan Nasional Roger Wimmer & Joseph Dominick, Mass Media Research. Wadsworth, New York, 2011 Thompson (2010) dalam Betina Liz, ―Using Social Media for Branding in Publishing‖, Online