MAKALAH (VAN DEN BOSCH)
OLEH : ADI RAMADHAN HERU AKHIRZAN RINA ROESLI FATHONO H.S SULISTYAWATI
DIBUAT GUNA UNTUK MEMENUHI TUGAS SEJARAH WAJIB
XI IPS 5 SMAN 1 CIKALONG WETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga Makalah Kemiskinan dan Kemajuan Ekonomi pada masa Cultuurstelsel tahun 1830–1870 guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Perekonomian dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Dalam penulisan Makalah tentang Kemiskinan dan Kemajuan Ekonomi pada masa Cultuurstelsel tahun 1830—1870 ini, kami mempunyai banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada Bapak Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. dan Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd. selaku dosen Sejarah Perekonomian yang telah membimbing dan memberi masukan pada kami. Terima kasih juga kami ucapkan kepada penulis yang bukunya telah kami jadikan sebagai rujukan. Tanpa karya mereka penulis tidak dapat menyeleseikan makalah dengan maksimal. Makalah ini mempunyai banyak kekurangan dalam penulisan dan penyusunannya. Oleh karena itu, Penulis mohon saran dan kritik dari dosen dan para pembaca. Kami berharap semoga makalah ini berguna baik bagi para pembaca khususnya Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang dan semoga makalah yang akan datang lebih baik lagi.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................…………………………………… i DAFTAR ISI ...………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ….………………………………………………………. 1 2. Rumusan Masalah ...…………………………......................................... 2 3. Tujuan ………………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN 1. Asal mula/latar belakang adanya cultuurstelse ………………………… 3 2. Kebijakan yang diterapkan dan pelaksanaan cultuurstelsel …………..... 4 3. Kemajuan ekonomi pada masa cultuurstelsel ………………………….. 7 4. Dampak kemiskinan pada masa cultuurstelsel ..………………………. 10
BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan ….....……………………………………………………… 13 DAFTAR PUSTAKA ….....………………………………………………… 13
ii
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pihak Belanda antara 1830 hingga pertengahan abad ke-19 itu mereka namakan “cultuurstelsel” (Leirissa, 2012: 50). Istilah tersebut terbatas pada aspek ekonominya, sehingga kata yang tepat dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah “sistem pembudidayaan”. Dalam historiografi tradisional, istilah tersebut diganti dengan “tanam paksa” yang menunjukkan aspek normatif dari sistem itu, yaitu penderitaan rakyat. Hal tersebut menjadi menonjol karena memang rakyat sangat menderta karena dampak cultuurstelsel sehingga muncullah reaksi dari berbagai pihak. Tidak dapat dipungkiri memang sistem ini juga menguntungkan dan memberi kemajuan ekonomi di desa-desa pada awal-awal pelaksanaannya. Namun, disamping faktor tersebut sebenarnya dari sistem pengelolaannya, Sistem Tanam Paksa juga banyak dipengaruhi faktor politik. Adanya ketergantungan antara Belanda dan Mataram sejak 1755, terutama setelah Perang Diponegoro di mana Belanda membantu pihak Keraton sehingga menjadi salah satu format yang memunculkan sistem ini. Aspek terakhir tersebut menadikan kasus cultuurstelsel di Jawa tidak berbeda dengan yang terjadi di Kepulauan Ambon dan Priangan. Sistem tersebut memang mempunyai maksud untuk menghidupkan VOC. Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai Kemiskinan dan Kemajuan Ekonomi pada masa Cultuurstelsel tahun 18301870. Pada makalah ini terdapat empat permasalahan yang dikaji, yaitu mengenai latar belakang adanya cultuurstelsel, kebijakan yang diterapkan dan pelaksanaannya, kemajuan ekonomi keuntungan yang didapat karena sistem cultuurstelsel dan pada bahasan terakhir berisi mengenai dampak kemiskinan yang disertai reaksi terhadap terjadinya kemiskinan tersebut.
1
2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana asal mula/latar belakang adanya cultuurstelsel? 2. Bagaimana kebijakan yang diterapkan dan pelaksanaan cultuurstelsel? 3. Bagaimana kemajuan ekonomi pada masa cultuurstelsel? 4. Bagaimana dampak kemiskinan pada masa cultuurstelsel?
3. Tujuan Mengetahui asal mula/latar belakang adanya cultuurstelsel Mengetahui kebijakan yang diterapkan dan pelaksanaan cultuurstelsel Mengetahui kemajuan ekonomi pada masa cultuurstelsel Mengetahui dampak kemiskinan pada masa cultuurstelsel.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Asal Mula / Latar Belakang Adanya Cultuurstelsel Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda yang diserahi tugas tugas utama meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung. Beban tugas yang berat tersebut didorong oleh keadaan parah keuangan negeri Belanda karena hutang yang besar. Menurut Poesponegoro (2008: 325) menyatakan bahwa masalah keuangan yang membelit Belanda tidak dapat ditanggulangi Belanda sendiri, pemikiran timbul untuk mencari pemecahan-pemecahannya di koloni-koloninya di Asia, yaitu di Indonesia. Hasil pertimbangan-pertimbangan ini menjadi gagasan Sistem Tanam Paksa yang diintroduksi oleh van den Bosch sendiri. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) merupakan sebuah eksperimen unik dalam rekayasa sosio-ekonomi. Van den Bosch adalah salah satu orang dari Belanda yang diangkat menjadi Komisaris Jenderal yang memiliki kekuasaan luar biasa, yang pada saat itu menguasai sepenuhnya di Indonesia. Ia menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk orang-orang pribumi Jawa guna sebagai bentuk pembaharuan dari sistem sebelumnya yang pernah mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya, yaitu sistem pajak tanah. Sebelumnya, pelaksanaan sistem ini menimbulkan beberapa sikap buruk yang dimiliki dari orang Belanda, diantaranya Belanda tidak dapat menciptakan hubungan baik dengan pihak petani Jawa, sehingga kekerabatan antara mereka tidak terjalin dengan baik. Belanda juga tidak mencoba untuk mendekati para bupati dan kepala desa, yang nantinya dapat membantu mereka untuk mengekspor tanaman-tanaman yang terdapat di Jawa untuk dimanfaatkan pihak Belanda sendiri.
3
Melihat kegagalan dari sistem tersebut, akhirnya Van den Bosch beralih ke sistem yang baru yaitu cultuurstelsel (tanam paksa). Dengan mengamati letak geografis di pulau Jawa yang sangat luas dan memiliki berbagai macam tanaman berharga, Belanda membuat peraturan baru yang jauh berbeda dari sistem sebelumnya. Diantaranya adalah merubah strategi pada pajak yang dikehendaki dengan mengharuskan rakyat Jawa membayarnya dalam bentuk barang, yaitu menyerahkan sebagian hasil-hasil pertanian mereka untuk diserahkan kepada pihak Belanda, bukan lagi dengan menyerahkan dalam bentuk uang yang dilakukan pada masa pajak tanah. Eksperimen yang dilakukan oleh Van den Bosch memiliki alasan tersendiri, yaitu dengan menerapkannya sistem cultuurstelsel ini, maka Belanda akan mendapatkan sebagian hasil panen dari tanaman yang dimiliki rakyat pribumi, Belanda juga akan mendapatkan keuntungan harga seperti gula. Sehingga mampu bersaing dengan pihak luar (Hindia Barat) di pasaran dunia yang dihasilkan dari tenaga budak. Selain itu, keuntungan dari pribumi sendiri adalah memperoleh hak atas kepemilikan tanah yang sebelumnya berada ditangan pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga rakyat pribumi memanfaatkannya untuk menanam kembali tanaman yang digunakan untuk kebutuhan sendiri. Pemerintahan yang diterapkan oleh Van den Bosch masih dianggap kurang efektif, karena Ia menggunakan kekuasaan feodal yang memberikan kuasa penuh kepada buapati, sehingga kekuasaan otoriter berada ditangan pemerintah Hindia Belanda yang merupakan bentukan dari kolonial Belanda. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles justru mencoba menghilangkan struktur itu. Kenyataan yang ada, bahwa sistem feodal tidak dapat bekerja sama dengan baik antara penguasa Belanda dan rakyat pribumi. Hubungan mereka renggang, tidak dapat membagi tugas dengan efektif. Sifat kepemimpinan bupati yang otoritas itu menjadikan alasan mengapa harus dirubah. Karena seharusnya bupati hanya sebagai pengawas atau mandor dalam tanam paksa ini. Kekuasaan dikembalikan kepada pihak Belanda.
4
B. Kebijakan yang Diterapkan dan Pelaksanaan Cultuurstelsel
Pokok-pokok kebijakan cultuurstelsel (Tanam Paksa) menurut Nyoman Dekker (1992: 72) adalah sebagai berikut. 1. Akan dibuat dengan rakyat perjanjian tentang pemberian sebagian dari tanah pertaniannya (sawah) untuk ditanami dengan tumbuh-tumbuhan yang berguna untuk pasar Eropa. 2. Tanah yang diberikan itu meliputi 1/5 dari semua tanah pertanian suatu desa. 3. Tenaga yang dipergunakan untuk menanam tumbuh-tumbuhan itu, tidak akan melebihi tenaga yang diperlukan untuk menanam padi. 4. Tanah yang diberikan itu akan dibebaskan dari landrent. 5. Hasil dari tanaman itu akan diserahkan kepada pemerintah dan jika harganya (yang ditaksir) melebihi pembayaran landrent, maka kelebihannya itu akan diberikan kepada penduduk. 6. Salah tumbuh akan ditanggung oleh pemerintah, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan rakyat disebabkan kurang rajin mengerjakannya. Sedangkan menurut Poesponegoro (2008: 354—355) bahwa ketentuangketentuan pokok Sistem Tanam Paksa yang tertera dalam Standsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22 beberapa tahun setelah tanam paksa mulai dijalankan di Pulau Jawa, berbunyi sebagai berikut.
5
Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa. 1. Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. 2. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi. 3. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. 4. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat. 5. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat. 6. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya. Jika peraturan-peraturan tersebut dilihat dari ketentuan atau aturannya, maka tidak kelihatan membebankan rakyat. Peraturan tersebut seperti memberi beban yang ringan. Namun, yang terpenting bukanlah peraturannya melainkan pelaksanaan cultuurstelsel itu sendiri. Seringkali terjadi banyak penyimpangan, sehingga rakyat banyak dirugikan, kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan nomor 7 tersebut.
Pelaksanaan culturstelsel: 1. Perjanjian dengan rakyat mengenai tanah tidak ditepati. Di dalam perjanjian ini yang seharusnya ada unsur sukarela, di dalam pelaksanaanya mengandung paksaan. Letak dan luasnya tanah ditentukan dengan sewenang-wenang oleh penguasa, membuat istilah perjanjian tidak berarti lagi. 6
2. Di dalam perjanjian, luas tanah itu adalah 1/5 dari tanah pertanian. Tenyata diambil mencapai 1/3 dan bahkan hinga semua tanah desa diambil. Hal tersebut karena pemerintah atau penguasa memerlukan suatu kompleks tanah yang berdampingan antara satu dengan lainnya agar mudah mengadakan pengawasan, mudah mengadakan pengairan, dan sebagainya. 3. Landrent (Pajak tanah) akhirnya hampir dipungut di seluruh jawa. Jadi sama sekali tidak sesuai dengan pokok peraturan terdahulu, bahwa tanah itu dibebaskan dari pajak karena menanam tanaman tertentu yang telah diwajibkan. Namun kenyataannya meski telah bekerja untuk pemerintah, pajak tanah juga tetap dipungut. Tabel 2.1 Penerimaan dari Pajak tanah: Tahun
Penerimaan
1829
f3.305.698
1835
f7.679.359
1840
f9.364.907
Sumber: (Soejono, 2008: 359) Angka-angka tersebut menimbulkan dugaan bahwa dalam praktik bukan orangorang yang melakukan tanam paksa yang dibebaskan dari pembayaran pajak tanah, melainkan tanah yang disediakan untuk penanaman paksa. Berdasarkan pokok peraturan, untuk menanam tanaman-tanaman itu, tenaga yang dipergunakan tidak akan melebihi tenaga untuk menanam padi. Teorinya demikian, tetapi di dalam prakteknya berlainan. Misalnya seperti nila, dikerjakan dalam jangka waktu bulanan dan sering juga tempat mengerjakannya jauh dari desanya. Pekerja membawa makanan sendiri dan pertaniannya sendiri terbengkalai. Jenis-jenis tumbuhan yang diwajibkan oleh pemerintah untuk ditanam ialah tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica, cat, lak. Tanamantanaman sejenis ini menjadikan Indonesia produksi ekspor (Dekker, 1992: 74). Dibanding dengan penyerahan wajib (contingengenteringen) yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka Sistem Tanam Paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Pada masa VOC, pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada para kepala rakyat sendiri, namun selama Sistem Tanam Paksa para pegawai Eropa dan pemerintahan kolonial lengsung melaksanakan
dan mengawasi penanaman paksa tersebut. Hal ini dianggap sebagai peningkatan “efisiensi” dari Sistem Tanam Paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Efisiensi tersebut sebenarnya dapat diartikan sebagai penambahan beban yang dipikul oleh rakyat. Para pegawai Belanda dan para pegawai rakyat memperoleh persentase dari hasil penjualan tanaman dagangan (cultuurprocenten) sehingga makin tinggi ekspor tanaman dagangan yang diwajibkan itu makin tinggi jumlah pendapatan yang mereka peroleh sehingga menimbulkan penyelewengan dan penyimpangan terhadap Sistem Tanam Paksa itu sendiri.
C. Kemajuan Ekonomi pada masa Cultuurstelsel Perkembangan yang tampak dalam masa ini adalah kenaikan produksi hasilhasil tanaman perdagangan yang pesat yang diakibatkan oleh penanaman paksa sejak tahun 1830, antara lain nyata angka-angka ekspor hasil-hasil pertanian. Misalnya, selama tahun 1830 sewaktu penanaman paksa baru dimulai ekspor kopi berjumlah 288 ribu pikul, ekspor gula berjumlah 108 ribu pikul, dan ekspor nila berjumlah 42 ribu pound dalam tahun 1831. Pada tahun 1840, ekspor kopi dari Jawa sudah meningkat sampai 132 ribu pikul dan ekspor gula telah meningkat sampai 1.032 ribu pikul, sedang ekspor nila telah meningkat denga lebih pesat lagi, yaitu 2.123 ribu pon. Kenaikan dalam volume ekspor ketiga tanaman perdagangan yang terpenting selama Sistem Tanam Paksa berlangsung dibarengi dengan kenaikan nilai ekspor ketiga barang dagangan ini. Jika dalam tahun 1830 ekspor kopi dari Jawa berjumlah f4.577.000, dalam tahun 1840 nilai ini sudah mencapai jumlah f37.368.000, ekspor gula dalam tahun 1830 berjumlah 1.558.000, dalam tahun 1840 berjumlah f13.782.000, dan dalam tahun 1830 telah meningkat sampai f6.371.000 (Soejono, 2008: 364). Pemerintah kolonial mengadakan pula penanaman paksa tembakau dan teh, tetapi tidak begitu berhasil dibanding dengan keberhasilan yang dicapai penanaman kopi, gula dan nila. Meskipun demikian, kenaikan ekspor teh dan tembakau dari Jawa cukup mengesankan. Menurut Soejono (2008: 364) bahwa eksop tembakau pada tahun 1830 berjumlah f180.000, tetapi dalam tahun 1840 telah meningkat menjadi f1,2 juta dan dalam tahun 1845 mencapai jumlah f2,3 juta. Demikian pula produksi teh meningkat secara mantap sehingga mencapai volume 1,95 juta pon dalam tahun 1861.
Jika dilihat dari sudut pandang yang positif, Belanda juga memberikan pengaruh baik atau kemajuan bagi rakyat Indonesia. Berikut salah satu contoh tabel mengenai perhitungan angka rata-rata pertumbuhan per tahun menurut bukunya Zanden & Marks, (102) : Tabel 3.1 Perhitungan Angka Rata-rata Pertumbuhan Per Tahun Perhitungan Perkembangan GDP Riil, Jumlah Penduduk, GDP Per Kapita, dan GDP Deflator, 1815—1939 (angka rata-rata pertumbuhan per tahun)
GDP
Penduduk GDP per kapita GDP deflator
1815—1830
2.5
2.3
.2
-.8
1830—1840
2.1
1.3
.7
1.3
1840—1860
.9
1.3
-.4
.4
1860—1880
1.8
1.6
.2
.8
1880—1900
2.3
1.3
1.0
-2.3
1900—1913
3.7
1.1
2.5
1.0
1913—1921
.8
.8
0.0
8.1
1921—1929
1.0
1.0
2.3
-3.8
1929—1939
1.2
1.2
-.3
-5.3
Sumber: (Zanden, 2012: 102) Dari tabel diatas dapat kita analisis, bahwa GDP per kapita meningkat selama periode Sistem Tanam Paksa. Mereka pada dasarnya berpendapat bahwa peningkatan luar biasa dari perolehan ekspor komoditas perdagangan pastilah telah menimbulkan dampak positif bagi kemakmuran ekonomi (Booth 1998: 15—19) dalam bukunya (Zanden & Marks, :102). Kajian rinci tentang perkembangan GDP dan komponen-komponennya dapat diketahui dengan hasil tanaman yang diproduksi oleh pribumi. Seperti halnya ekspor kopi dan gula meningkat dengan sangat cepat, akan tetapi sebagian besar bagian dari pribumi diserahkan kepada Belanda. Indonesia hanya mendapatkan sedikit, karena tidak ada yang berani menentang pihak Belanda. Pada panenan berikutnya akan sama perlakuan Belanda yang semena-mena terhadap Indonesia. Sebenarnya pihak yang memperoleh keuntungan paling besar berada ditangan Belanda, bukan Indonesia yang sebagai tuan rumahnya.
9
D. Dampak Kemiskinan pada masa Cultuurstelsel Ekspor hasil tanaman dagangan mengalami kemunduran setelah tahun 1840, tetapi setelah tahun 1850 meningkat kembali. Setelah selama 10 tahun Sistem Tanam Paksa mengalami perkembangan yang baik dalam produksi maupun ekspor, orang tidak lagi memperhatikan perkembangan ini. Namun mulai menyadari bahwa hal tersebut mengandung kelemahan-kelemahan yang serius, seperti beban pekerjaan yang berat yang diletakkan di atas pundak rakyat, penanaman-penanaman yang kurang cocok dan sebagainya. Tekanan tanam paksa atas rakyat berbeda-beda di setiap daerah. Sebagai contoh di daerah Jepara dan Pasuruan. Keadaan di karesidenan Jepara sangat buruk. Pada tahun 1840 terdapat tekanan yang berat dari banyaknya rodi dan pekerjaan penanaman untuk tebu, nila, teh, nopal, kopi dan untuk penebangan kayu. Sedangkan masih ada pungutan-pungutan dalam bentuk uang. Untuk penanaman tebu misalnya, lahannya terlalu diperluas, orang-orang harus bekerja sampai 15 atau 30 pal (1 pal = 1 ½ km) (Burger, 1956: 199) (Atmosudirdjo, -: ). Dengan demikian penduduk mengabaikan tanah-tanah pertanian mereka sendiri dan tidak mempunyai waktu lagi untuk memotong padi di karesidenan lain. Karena itu dalam pertengahan pertama tahun 1841, sekitar 2000 orang penduduk pindah ke Grobogan. Setelah diambil tindakan penanggulangan, maka penduduknya bertambah lagi. Dalam tahun 1850, orang masih mengeluh tentang terlalu besarnya penanaman-penanaman yang dipusatkan, di mana orang-orang harus bekerja menempuh jarak yang terlalu jauh. Segala kerja paksa itu diberi upah yang tidak cukup. Banyak kerugian yang diperoleh dari Sistem Tanam Paksa ini, dampak tersebut sangat terasa bagi kaum pribumi. Karena mereka tidak tahu aturan main yang dibuat oleh Belanda untuk menguasai wilayah Jawa. Kemiskinan mulai nampak dari sistem ini. Beban yang diletakkan di punggung rakyat oleh sistem itu berat sekali. Karena itu timbullah kemelaratan yang akibatnya dapat pula membawa kematian dan pemusnahan sebagian penduduk daerah tertentu. Contoh dari bahaya kelaparan yang berat dan mengerikan yang pernah terjadi ialah di Cirebon (1844), Demak (1848), Gerobogan (1849) (Dekker, 1992: 77). Keadaan ekonomi yang tidak begitu baik mula-mula terlihat di daerah Cirebon dalam tahun 1843 sewaktu pemerintah kolonial berusaha pula untuk mengekspor beras yang dihasilkan para petani. Petani harus membayar pajak dalam bentuk beras kepada perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah. Pajak tambahan dalam bentuk beras tersebut menjadi beban yang berat bagi rakyat karena penanaman padi relatif sedikit jika dibandingkan dengan kopi, nila dan
teh. Keadaan tersebut bertambah parah setelah terjadinya gagal panen di beberapa daerah pantai utara Jawa pada tahun 1843. Kegagalan panen dan beban pajak beras yang sangat berat mengakibatkan bahaya kelaparan di daerah Cirebon sehingga ribuan keluarga terpaksa mengungsi dari daerah tersebut. Banyak orang yang terlalu lemah untuk mengungsi, sehingga mati di pinggir jalan. Tragedi serupa juga terjadi di Demak sebagai hasil dari kegagalan panen dan dalam bertahun-tahun 1849 dan 1850 di daerah Grobogan. Pengaruh yang dahsyat dari kegagalan panen dan wabah kelaparan jelas tampak dari jumlah penduduk daerah-daerah tersebut yang telah berkurang turun dengan lebih banyak lagi dengan pesat sebagai akibat pengungsian dan kematian sebagian besar dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk Demak, misalnya, telah turun dari 336.000 sampai 120.000, sedangkan jumlah penduduk Grobogan turun dengan lebih banyak lagi, yaitu dari 89.500 sampai 9.000. Di daerah-daerah lain di Jawa Tengah jumlah penduduk banyak berkurang pula karena mati kelaparan dan wabah penyakit. Akibat terjadi kemiskinan tersebut muncullah reaksi terhadap cultuurstelsel oleh beberapa golongan menurut Dekker (1992: 77—79): 1. Rakyat Indonesia Rakyat Indonesia yang menderita akibat Sistem Tanam Paksa mengadakan perlawanan denga sporadis. Pada tahun 1833, perlawanan dan huru-hara terjadi di perkebunan tebu di Pasuruan. Perlawanan semacam ini sering terjadi di Pulau Jawa. Setelah perang Padri selesai, di Sumatra Barat pun dikenakan tanam paksa dan di sinipun terjadi perlawanan (tahun 1941), di Padang (1844) yang dipimpin oleh kaum ulama. Pada tahun 1846, terjadi perlawanan di kebun tembakau dengan dibakarnya tujuh kebun. 1. Kaum Humanis Belanda Eduard Douwes Dekker dan Baron Baron van Hoevel menentang tanam paksa berdasarkan prinsip-prinsip etika-perikemanusiaan. Kemelaratan yang luar biasa yang diakibatkan oleh sistem itu, mereka rasakan seagai suatu yang tidak berperikemanusiaan dan karena itu sistem tersebut harus dihapuskan. Eduard Douwes Dekker atau Multatuli memprotes hal itu melalui melalui karangankarangannya (Max Havelar) dan Baron van Hoevel memprotes melalui gedung parlemen di negeri Belanda.
11
1. Kaum Kapitalis Belanda Kaum kapitalis Belanda menyerang segala macam kekolotan tanam paksa atas dasar filsafat liberal. Kapitalisme menjadi kekuatan pendorong pada jamnnya, berhasil mendobrak penghalang-penghalang di tanah jajahan Indonesia, dengan kemenangan yang menentukan berupa: Undang-undang pokok Agraria Kolonial (1870). Mereka meminta ketentuan yang pasti tentang status tanah di daerah jajahan yang dapat dipakai sebagai dasar hukum bagi penanaman modal partikelir itu. Di Jawa, penanaman paksa untuk berbagai tanaman dagangan setelah tahun 1860 lambat laun mulai dihapuskan. Penanaman paksa untuk lada dihapuskan tahun 1860 dan penanaman paksa untuk teh dan nila dihapuskan dalam tahun 1865. Penghapusan Sistem Tanam Paksa akhirnya tidak terelakkan karena sejak 1840 sudah terbukti tidak begitu menguntungkan. Selain itu, gerakan liberalisme di negeri Belanda yang semakin kuat juga memegang peran pokok dalam usaha penghapusan Sistem Tanam Paksa sekitar tahun 1870.
PENUTUP Kesimpulan Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa memberi keuntungan yang besar terhadap Belanda, terutama pada awal pelaksanaannya. Selain itu, sebenarnya juga membuat kemajuan ekonomi di desa-desa karena tingginya tingkat produksi dan ekspor tanaman-tanaman perdagangan. Setelah tahun 1940, Sistem Tanam Paksa mulai mengalami kemunduran, karena banyaknya penyimpangan. Sistem pajak tanah yang dijalankan tidak diterapkan sebagaimana semestinya. Selain itu, adanya pajak dalam bentuk padi membuat beban rakyat semakin berat. Hal tersebut karena padi bukanlah komoditi yang besar seperti kopi dan teh. Terjadinya gagal panen dan pajak berupa beras yang besar menimbulkan kelaparan dan jumlah masyarakat yang berkurang drastis karena mengungsi dan kepatian. Sehingga timbullah reaksi dari berbagai pihak hingga Sistem Tanam Paksa berakhir.
12
DAFTAR PUSTAKA Atmosudirdjo, P. (tanpa tahun). Sejarah Ekonomi Indonesia dari Segi Sosiologi. Jakarta: Pradnya Paramita. Burger, D. H., & Prajudi. 1962. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Djakarta: Pradnjaparamita. Dekker, N. 1992. Sejarah Pergolakan Indonesia dalam Abad XIX. Malang: FPIPS IKIP MALANG. Leirissa, R. Z., dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Soejono, R.P., & Leirissa, R.Z. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Zanden & Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800—2010 “Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan”. Jakarta: Buku Kompas.
13