Makalah Samurai (uts).docx

  • Uploaded by: Faisal Fahmi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Samurai (uts).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,877
  • Pages: 13
KAJIAN HISTORIS SAMURAI JEPANG

MAKALAH Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Timur Yang dibina oleh Dra.Ibu Yuliati M.Hum

Conita Zuraida Faisal Fahmi Mohammad Fajarotul Murthosyiya Kevin Yohan Permadi Mushaibah Trysna Windayu

(130731607250) (130731607282) (130731615708) (130731607236) (130731616746)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH Oktober 2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................................i BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2 C. Tujuan ......................................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

A. Sengoku jidai ............................................................................................................... 3 B. Sejarah Samurai ......................................................................................................... 5 BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 10

A. Kesimpulan ............................................................................................................... 10 B. Saran ......................................................................................................................... 10 DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................................... 11

i

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata samurai bearsal dari kata kerja Jepang saburau yang berarti ‘melayani’ (Varley, 2014:xiii). Kata ini digunakan pada zaman dahulu untuk menyebutmpelayanan pribadi yang hampir sama dengan pembantu rumah tangga. Kaum samurai dimulai pada keluarga Yamato, yang muncul sebagai klan terkuat di Jepang pada abad ketujuh Masehi. Mereka yang lahir di keluarga terhormat dan ditugaskan untuk menjaga anggota keluarga kekaisaran. Pada saat Jepang memasuki zaman perang antar-klan, istilah samurai telah berubah, menandakan tentara negara, perwira penjaga perdamaian, dan prajurit profesional: pendeknya, hampir siapa saja yang membawa pedang dan mampu melakukan kekerasan. Samurai adalah istilah prajurit di Jepang sebelum Restorasi Meiji, yang oleh sebagian masyarakat Indonesia menjadi hal yang salah kaprah karena samurai diartikan sebagai pedang dalam masyarakat Jepang (Endah, 2007:82). Pada zamannya, seorang samurai memang menggunakan pedang, namun bukan bernama samurai, melainkan katakana (pedang yang panjang melengkung), sedangkan yang belum menjadi samurai dibekali pedang pendek disebut wakizashi. Seorang samurai memiliki kode etik moral yang disebut bushido. Bhusido menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan, dan lain sebagainya. Dalam semangat bhusido, seorang samurai diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukan dirinya sendiri, karena dengan menaklukkan diri sendirilah seorang baru dapat menaklukkan orang lain. Kekuatan timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual. Bahkan pada zaman dahulu ketika para samurai masih begitu eksis, karena rasa malu yang begitu dalam, apabila seorang samurai melakukan kesalahan yang rasanya tidak pantas, maka demi menjaga kehormatannya mereka tidak segan-segan melakukan seppuku atau bunuh diri yang lebih kita kenal sebagai harakiri. Hal ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya menjaga rasa malu bagi masyarakat Jepang. Oleh karena itu, penulis membuat makalah berjudul Sejarah Samurai Jepang.

1

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Apakah yang dimaksud dengan Sengoku jidai itu? 2. Bagaimanakah sejarah dan Samurai Jepang ?

C.

Tujuan Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun oleh penulis, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam mengenai Sengoku jidai 2. Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam mengenai sejarah Samurai Jepang

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sengoku Jidai Sengoku jidai atau yang disebut juga zaman sengoku dalam sejarah Jepang adalah masa pergolakan sosial, intrik politik, dan konflik militer hampir konstan yang berlangsung sekitar dari pertengahan abad ke-15 ke awal abad ke-17. Zaman ini disebut juga zaman Azuchi-Momoyama atau zaman Shokuho. Istilah zaman Azuchi-Momoyama berasal dari nama istana (kastil) yang menjadi markas kedua pemimpin besar, Nobunaga di Istana Azuchi dan Hideyoshi di Istana Momoyama. Zaman ini dimulai sejak Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi menjadi penguasa Jepang dan berakhir ketika Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan pasukan pendukung Toyotomi Hideyori dalam Pertempuran Sekigahara tahun 1600. Dahulu istana – istana di Jepang terbagi – bagi. Ada 2 istana di Jepang yang menjadi pokok terjadinya Zaman Azuchi-Momoyama, yaitu istana Azuchi dan istana Momoyama. Istana Azuchi dipimpin oleh Nobunaga dan istana Momoyama dipimpin oleh Hideyoshi. Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi dibantu Tokugawa Ieyasu berhasil mempersatukan Jepang. Tahun 1568 M Nobunaga berhasil merampas Kyoto dan mengangkat Ashikaga Yoshiaki sebagai Shogun boneka (Shogun adalah orang yang kekuasaannya ada di tangan majikannya). Jadi kekuasaannya ada di tangan Nobunaga. Sifat dasar Nobunga memang keras, bahkan semasa mudanya dia adalah seorang yang liar dan sulit diatur (Varley, 2014:37). Nobunaga memerintahkan Hideyoshi untuk menundukkan kerajaan di sebelah barat, dan memerintahkan Ieyasu untuk menundukkan kerajaan di sebelah timur dan utara. Sementara dirinya sendiri membereskan bagian pusat. Nobunaga mendapat perlawanan dari kaum padri yang menjadikan biara-biara Buddha sebagai benteng pertahanan. Serangan Nobunaga yang sangat keras terhadap Buddhisme akhirnya dapat menghancurkan biara-biara tersebut. Dia dibantu orang-orang Kristen dari Portugis dengan senjata apinya. Nobunaga mengijinkan pelaksanaan perdagangan bebas, terutama dengan bangsa Portugis dan Spanyol, serta melindungi agama Kristen. Hal itu dilakukan untuk menekan agama Buddha dan mendapatkan senjata api. Tahun 1573 Masehi Nobunaga mendirikan istana Azuchi. Saat Nobunaga melanjutkan masalah penyatuan negeri, dia meninggal karena dibunuh pengikutnya yang bernama Akechi Mitsuhide pada tahun 1582 Masehi. 3

Kekuasaan Nobunaga berpindah ke Toyotomi Hideyoshi. Hideyoshi kemudian membangun istana Momoyama (Fushimi) sebagai tempat tinggalnya, tetapi tempat pemerintahannya ada di istana Osaka (Himeji). Hideyoshi berhasil menyatukan Jepang pada tahun 1590 M setelah menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu. Saat berkuasa Hideyoshi mengontrol kekuasaan para daimyo (orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah) dan menetapkan cara menarik pajak yang disebut Taikokenchi serta mengatur para petani untuk mencegah timbulnya pemberontakan petani. Dengan demikian pembagian antara daimyo dan petani semakin maju. Hideyoshi pun berniat meluaskan kekuasaannya sampai ke Korea pada tahun 1592 M dan 1597 M tetapi gagal. Zaman Azuchi-Momoyama berakhir setelah Toyotomi meninggal dalam pertempuran Sekigahara melawan Tokugawa Ieyasu. Pertempuran Sekigahara adalah pertempuran yang terjadi tanggal 15 September 1600 menurut kalender lunar (21 Oktober 1600 menurut kalender Gregorian) di Sekigahara, distrik Fuwa, Provinsi Mino, Jepang. Pertempuran melibatkan pihak yang dipimpin Tokugawa Ieyasu melawan pihak Ishida Mitsunari sehubungan perebutan kekuasaan sesudah wafatnya Toyotomi Hideyoshi. Pertempuran dimenangkan oleh pihak Tokugawa Ieyasu yang memuluskan jalan menuju terbentuknya Keshogunan Tokugawa. Pihak yang bertikai dalam pertempuran ini terbagi menjadi kubu Tokugawa (Pasukan utara) dan kubu pendukung klan Toyotomi (Pasukan Barat). Klan Toyotomi sendiri tidak memihak salah satu pihak yang bertikai dan tidak ambil bagian dalam pertempuran. Setelah pertempuran selesai, kekuasaan militer berhasil dikuasai pihak Tokugawa sehingga Pertempuran Sekigahara juga terkenal dengan sebutan Tenka wakeme no tatakai (pertempuran yang menentukan pemimpin Jepang). Pada saat terjadinya pertempuran belum digunakan istilah Pasukan Barat dan Pasukan Timur. Kedua istilah tersebut baru digunakan para sejarawan di kemudian hari untuk menyebut kedua belah pihak yang bertikai. Pada tanggal 15 September 1600, kedua belah pihak Pasukan Barat dan Pasukan Timur saling berhadapan di Sekigahara. Pertempuran ini dimenangkan oleh pihak Tokugawa Ieyasu dan berhasil memulai kekuasaan baru di Jepang yaitu Keshogunan Tokugawa yang akan bertahan hingga 250 tahun. Setelah itu barulah zaman Sengoku dilanjutkan dengan zaman Edo.

4

B. Sejarah Samurai Samurai (dikenal juga sebagai bushi) adalah golongan bangsawan militer Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada zaman Pertempuran, atau periode Perang Antarnegeri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Periode ini, yang sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550 – 1600, berkisar antara runtuhnya keshogunan Tokugawa. Sampai pertengahan zaman Sengoku, seseorang yang tak terlahir dalam golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi bila ia bergabung dalam bala tentara sebagai prajurit infanteri, lalu memperoleh perhatian kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap. Marga yang dimaksud di sini adalah keluarga. Pada zaman sengoku tidak semua keluarga menggunakan marga, hanya kaum samurai, bangsawan, pedagang, dan pekerja seni saja yang memiliki marga. Namun bagi kebanyakan orang, golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun samurai berstatus sosial tinggi, secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Pijakan paling bawah pada tangga yang panjang itu menjadi tempat orang – orang yang berhasrat menjadi samurai yaitu kaum ashigaru berikut keluarga. Kaum ashigaru adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, barisan orang – orang tanpa nama yang menjadi bagian terbesar suatu pasukan. Walaupun tidak terlahir sebagai samurai, mereka berkesempatan naik tingkat dan dianggap setara oleh orang – orang yang lebih tinggi kedudukannya. Banyak jenderal dan tokoh tersohor lain pada zaman Pertempuran berasal dari golongan ashigaru. Garis pembatasnya amat kabur sehingga para pakar berselisih paham apakah golongan ashigaru dapat dianggap samurai. Namun, bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagai prajurit rendahan memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, setelah Toyotomi Hideyoshi, anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi penguasa Jepang mengeluarkan titah yang membatasi status samurai hanya kepada mereka yang terlahir sebagai samurai, membuat impian golongan ashigaru menjadi sulit terwujud. Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri atas anggota marga dan 5

pengikut yang telah turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka, semuanya, lebih menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri. Mengkhianati calon sekutu dan daimyo adalah hal yang lumrah bagi seorang pembesar, dan itu membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para komandan memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh klasik adalah Akechi Mitsuhide, seorang jenderal dalam pasukan Oda Nobunaga, yang membunuh sang calon penakluk Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis pekerjaan. Semua bushi, baik laki – laki maupun perempuan dengan sendirinya termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak. Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer samata – mata. Beberapa samurai menjadi cendekiawan termahsyur. Ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka dalam keadaan perang. Orang – orang sangat takut kehilangan junjungan, sementara struktur masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika menjadi tak bertuan atau ronin, seorang petarung kehilangan dukungan atau perlindungan marga. Mereka adalah golongan sosial paling rendah yang berhak menyandang nama keluarga, sebuah kebuah kehormatan yang membedakan mereka dari rakyat jelata (Masao, 2014:xv). Jika seorang pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua pengikutnya menjadi ronin. Seorang pengikut juga dapat dibuang dari marganya karena melakukan kejahatan, misalnya berkelahi atau melanggar peraturan. Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan sering kali berpaling dalam dunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan bersumpah setia kepada marga yang baru. Pada zaman pertempuran, para mantan samurai tak bertuan punya peluang meraih kembali kehormatan mereka. Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapat ini mereka harus membiayai rumah tangga (bagi yang memiliki) dan membeli segala perlengkapan yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran kekayaan yang lazim adalah koku, yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi seseorang untuk makan

6

selama satu tahun. Semua tanah kekuasaan dijabarkan berdasarkan berapa koku beras yang dapat dihasilkan. Satu koku setara 120 liter. Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku (dengan asumsi jatah makannya ditanggung junjungannya). Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya, menyediakan perbekalan, membeli pakan kuda, mengupah para pelayan, dan lain – lain. Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada dasarnya perekonomian ketika itu berlandaskan beras. Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil padi yang mereka tanam untuk para samurai, mereka terpaksa beralih ke biji – bijian lain yang lebih murah, sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk dihitung, lalu disimpan atau dibagikan. Urusan keuangan diserahkan kepada kaum istri karena dipandang rendah oleh para laki – laki samurai. Kaum laki – laki yang mengurus uang hanyalah mereka yang memang dituntut oleh tugas, pengawas dapur benteng misalnya. Pada masa itupun, cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian. Tempat tinggal samurai berupa bangunan serupa barak, namun ada pula yang memiliki rumah pribadi. Penetapan tempat tinggal mereka ditentukan oleh beragam faktor, antara lain pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai muda berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan besar seperti barak di dalam pekarangan benteng. Para samurai yang sudah menikah mungkin memiliki rumah petak sendiri dikawasan khusus pasangan suami – istri, sedangkan mereka yang lebih senior dapat menempati rumah yang berdiri – sendiri. Bagi anak – anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka jalani dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir. Apabila ada tanda – tanda bahwa bayi itu nantinya kidal, lengan kiri akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam jangkauan tangan kanan, segala sesuatu akan dilakukan untuk menghilangkan sifat kidal tersebut. Di Jepang, tidak boleh ada orang yang kidal. Kekidalan adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Terutama antara usia tujuh dan delapan tahun, anak – anak samurai didorong agar bersikap baik dan kooperatif terhadap rekan – rekan bermain mereka, dan diajarkan agar menjauhi sikap suka berkelahi maupun terlalu mementingkan diri sendiri. Pada usia Sembilan dan sepuluh tahun, mereka lebih memusatkan perhatian 7

kepada subjek – subjek akademis seperti membaca dan menulis, meskipun sejak usia tujuh tahun mereka mungkin sudah belajar secara berkala di sekolah kuil. Ketika seorang anak laki – laki serusia tiga belas tahun, ia siap bertempur. Pada kisaran usia belasan awal, seorang calon samurai menjalani upacara yang disebut genpuku atau genbuku. Bagi para putra keluarga bangsawan, upacara ini sering kali mendahului pertempurannya yang pertama. Genpuku adalah upacara akil-balig. Perayaan tersebut diadakan pada ulang tahun ketigabelas atau kelimabelas. Dalam genpuku, untuk anak laki – laki rambutnya untuk pertama kalinya dipotong dengan gaya orang dewasa, yaitu rambut batok kepalanya dicukur habis dan sisa rambutnya dikuncir di atas kepala seperti orang dewasa. Ia juga diberi topi orang dewasa. Dalam beberapa kasus, khususnya jika marganya sedang berperang, topi itu diganti dengan baju tempur. Bagi kaum perempuan keluarga samurai, setidaknya yang berkedudukan senior, genpuku menandai kali pertama alis mereka dicukur dan gigi merek dihitamkan. Yang terakhir itu, dilakukan dengan mengoleskan oksida besi, merupakan tradisi kraton kuno bagi kaum perempuan kelas atas. Itu juga berarti mereka siap menikah, sering kali demi merekatkan persekutuan antar keluarga. “Jalan samurai dapat ditentukan dalam kematian”, demikian ditulis oleh Yamamoto Tsunemoto, mantan pengikut marga Nabeshima. Pepatah sederhana ini yang sering dikutip atau diungkapkan dalam karya – karya mengenai Jepang, menekankan konsep kewajiban para samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi yang terhormat. Pada pertarung kadang – kadang terjun ke suatu pertempuran dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan. Ada sejumlah hal yang lebih buruk dibandingkan kematian, misalnya gagal melayani tuannya dengan baik, atau membawa aib kepada diri sendiri. Jika terluka, seorang petarung pada umumnya akan memilih bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan atau dikalahkan oleh rasa sakit sehingga harus mendapat malu. Samurai yang melakukan bunuh diri setelah kalah perang tidak perlu mengalami rasa malu karena ditawan. Mereka beranggapan bahwa mereka pastinya akan mati, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara mereka sendiri, dengan kehormatan yang tetap utuh.

8

Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku (切腹). Ini adalah pelafalah 2 aksara yang, jika dibalik, dibaca hara-kiri (腹切). Kanji seppuku terdiri dari kanji kiru (切) dan hara (腹), dan kanji hara-kiri sebaliknya. Bagi sementara orang Jepang, istilah seppuku lebih halus jika dibandingkan dengan hara-kiri. Endah (2007:84) menarik kesimpulan sebagai berikut. Bahkan pada zaman dahulu ketika para samurai masih begitu eksis, karena rasa malu yang begitu dalam, apabila seorang samurai melakukan kesalahan yang rasanya tidak pantas, maka demi menjaga kehormatannya mereka tidak segansegan melakukan seppuku atau bunuh diri yang lebih kita kenal sebagai harakiri. Ada bentuk bunuh diri lain, yang dikecam banyak kalangan sebagai kematian sia – sia, adalah jushi. Apabila seorang junjungan meninggal atau tewas di medan tempur, beberapa pengikutnya mungkin memilih bunuh diri daripada harus mengabdi kepada orang lain. Latarbelakang pemikiran mereka adalah bahwa mereka tidak mungkin melayani orang lain sebaik mereka melayani almarhum junjungan mereka, dan bunuh diri dipandang sebagai wujud pengabdian tertinggi. Tetapi dengan bunuh diri, para pewaris menjadi kehilangan sejumlah pengikut berharga yang terpercaya. Sehingga sejak Tokugawa Ieyasu mengeluarkan undang – undang yang melarang para pengikut untuk bunuh diri, jumlah pelaku bunuh diri mulai berkurang. Karena apabila dia sudah berkeluarga dan dia mengikuti junjungannya untuk bunuh diri, maka ancaman aib dan kematian bagi seluruh keluarga. Kaum perempuan melakukan bunuh diri dengan cara sendiri, yang dinamakan ojigi. Mereka harus mengambil belati dan menusukkan ke dalam tergorokan, meskipun ada pula catatan mengenai perempuan yang menghujamkan belati ke dada sendiri. Perlu ditekankan bahwa kesetiaan yang fanatik seperti ini lazim bagi samurai yang lahir dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun – temurun menjadi pengikut marga tersebut.

9

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sengoku jidai atau yang disebut juga zaman sengoku dalam sejarah Jepang adalah masa pergolakan sosial, intrik politik, dan konflik militer hampir konstan yang berlangsung sekitar dari pertengahan abad ke-15 ke awal abad ke-17. Zaman ini disebut juga zaman AzuchiMomoyama atau zaman Shokuho. 2. Asal usul kaum samurai dimulai pada keluarga Yamato, yang muncul sebagai klan terkuat di Jepang pada abad ketujuh Masehi. Kata samurai berarti ‘orang yang melayani’ dan diberikan kepada mereka yang lahir di keluarga terhormat dan ditugaskan untuk menjaga anggota keluarga kakaisaran. Pada saat Jepang memasuki zaman Perang Antar-Klan, istilah samurai telah berubah, menandakan tentara negara, perwira penjaga perdamaian, dan prajurit profesional yang memiliki jiwa ksatria dan pengabdian yang tinggi terhadap atasannya.

B. Saran Dari penulisan diatas penulis berharap adanya saran yang membangun kepada penulis agar untuk karya selanjutnya penulis lebih baik dari sebelumnya.

10

DAFTAR RUJUKAN Endah, W. 2007. Jepang, Kembangkan Tradisi Raih Modernisasi. Dalam Image Jepang di Mata Anak Muda Indonesia: Kumpulan Hasil Lomba Essay 2006 tentang Jepang (hlm.75-85). Jakarta : The Japan Foundation.

Masao, K.2014. The Swordless Samurai: Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI. Jakarta : Redline Publishing.

Varley, P. 2014. Samurai: Sejarah & Perkembangan. Jakarta : Komunitas Bambu.

11

Related Documents

Makalah Samurai (uts).docx
December 2019 14
Samurai
August 2019 48
Seven Samurai
June 2020 24
Samurai Diary
April 2020 16
Samurai-sombrero.pdf
June 2020 10

More Documents from "Stefano Fedele"