Makalah Saitifikasi Jamu Fix.docx

  • Uploaded by: Indra Rizki Purnomo
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Saitifikasi Jamu Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,047
  • Pages: 25
BAB 1 PENDAHULUAN

Pengobatan tradisional telah berkembang secara luas di banyak negara dan semakin populer. Di berbagai negara, obat tradisional bahkan telah dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam pelayanan kesehatan strata pertama. Negara-negara maju, yang sistem pelayanan kesehatannya didominasi pengobatan konvensional, dewasa ini juga menerima keberadaan pengobatan tradisional, walaupun mereka menyebutnya dengan pengobatan komplementer/alternatif (complementary and alternative medicine), misalnya Amerika Serikat dan negaranegara Eropa.Pengobatan tradisionaljuga banyak dipraktikkan di berbagai negara di Asia, misalnya Cina, Korea, India, Jepang, termasuk Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan tanaman obat dan ramuan jamu dari berbagai suku yang tersebar di berbagai wilayah indonesia, mulai Sabang sampai Merauke. Jamu adalah warisan leluhur bangsa yang telah dimanfaatkan secara turun temurun untuk pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 49,53% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan karena sakit. Dari penduduk yang mengkonsumsi jamu, sebanyak 95,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Hasil Riskesdas tahun 2010 juga menunjukkan bahwa dari masyarakat yang mengkonsumsi jamu, 55,3% mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan (infusum/ decoct), sementara sisanya (44,7%) mengkonsumsi jamu dalam bentuk serbuk, rajangan, dan pil/kapsul/tablet (Badan Litbang Kesehatan, 2010). Meskipun jamu secara sosial budaya telah diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai cara pengobatan tradisional, namun jamu belum dapat diterima dengan baik oleh kalangan profesi medis sebagai alternatif terapi. Hal demikian dapat dipahami karena pada umumnya jamu belum mempunyai bukti ilmiah yang kokoh terkait khasiat dan keamanannya. Di pihak lain profesi medis (dokter dan dokter gigi) berkewajiban untuk menjalankan keputusan klinis (pilihan terapi) berbasis bukti (evidence-based medicine). Hal ini sejalan dengan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal 44 ayat 1 mengamanatkan bahwa dokter

1

dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi. Pasal 51 huruf a mengamanatkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Penjabaran lebih rinci mengenai standar pelayanan kedokteran ini diterjemahkan dalam PerMenkes No. 1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, yang secara prinsip menganut filosofi evidence-based medicine. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memuat pelayanan kesehatan tradisional dalam bab (bagian) tersendiri, yakni Bagian Ketiga tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional mulai Pasal 59 sampai dengan Pasal 61. Pasal 59 membagi pelayanan kesehatan tradisional menjadi pelayanan kesehatan tradisional berbasis keterampilan dan pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan. Pasal 60 mengamanatkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional harus aman dan bermanfaat. Pasal 61 mengamanatkan bahwa masyarakat diberi kesempatan untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional. Tentunya, yang dimaksud pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan dalam Pasal 59 UU No. 36 tahun 2009 adalah obat tradisional. Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia lebih dikenal dengan nama “jamu”. Salah satu arahan Presiden RI untuk pengembangan Jamu Indonesiapada Gelar Kebangkitan Jamu Indonesia tahun 2008 adalah melakukan penelitian dan pengembangan jamu dan mengintegrasikan pelayananan kesehatan komplementer alternatif berbasis jamu sebagai sistem ganda (dual system) di fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk menjamin tersedianya Jamu yang aman, berkhasiat dan bermutu, Pemerintah Indonesia melakukan langkah danupaya untuk menjamin keamanan Jamu. Untuk memperkuat data dan informasi ilmiah tentang Jamu utamanya formula Jamu.

2

Pemerintah Indonesia melaksanakan Program Saintifikasi Jamu atau Scientific Based Jamu Development, yaitu penelitian berbasis pelayanan yang mencakup Pengembangan Tanaman Obat menjadi Jamu Saintifik, meliputi tahaptahap : 1.Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat secara tradisional. 2.Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif/ komplementer. 3.Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan. 4.Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Jamu saintifik yang dihasilkan dari program digunakan untuk terapi komplementer di fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat jika mereka menginginkan untuk mengonsumsi Jamu saja sebagai subyek dalam upaya preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif. Pengembangan Tanaman Obat menjadi Jamu Saintifik. 1.Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan tanaman obat secara tradisional. 2.Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif/komplementer. 3.Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan. Program Saintifikasi Jamu, di mana menggunakan pendekatan penelitian berbasis pelayanan, merupakan suatu upaya terobosan (breakthrough) dalam rangka mempercepat penelitian jamu di sisi hilir (sisi pelayanan). Sebagaimana kita ketahui, penelitian terkait jamu (tanaman obat Indonesia) sudah banyak sekali dikerjakan di sisi hulu, yakni penelitian terkait budidaya dan studi pre-klinik, baik in-vitro maupun in-vivo (uji hewan), sementara uji klinik pada manusia terkait khasiat dan keamanan masih sangat terbatas (Badan Litbang Kesehatan, 2011). Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa baru terdapat enam fitofarmaka yang sudah mendapat ijin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) (Anonim, 2011).

3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH OBAT TRADISIONAL Keberadaan jamu tidak bisa dilepaskan dengan sejarah peradaban di Indonesia. Hal ini dapat diketahui sebelum Abad ke 18, dengan ditemukannya fosil di tanah Jawa berupa lumpang, alu dan pipisan yang terbuat dari batu menunjukkan, bahwa penggunaan ramuan untuk kesehatan telah dimulai sejak zaman mesoneolitikum. Penggunaan ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak abad 5 M antara lain relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Candi Penataran abad 8-9 M. Usada Bali merupakan uraian penggunaan jamu yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Sansekerta dan Bahasa Bali di daun lontar pada tahun 991-1016 M. Istilah djamoe dimulai sejak abad 15-16 M yang tersurat dalam primbon di Kartasuro. Uraian jamu secara lengkap terdapat di Serat Centini yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Adipati Anom Mangkunegoro III tahun 18101823. Pada tahun 1850 R. Atmasupana II menulis sekitar 1734 ramuan jamu. Djamoe merupakan singkatan dari djampi yang berarti doa atau obat dan oesodo (husada) yang berarti kesehatan. Dengan kata lain djamoe berarti doa atau obat untuk meningkatkan kesehatan. Pemanfaatan jamu di berbagai daerah dan/atau suku bangsa di Indonesia, selain Jawa, belum tercatat dengan baik. Menurut Pols (2010) sejak zaman penjajahan Belanda pada awal abad ke-17, para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris ataupun Jerman tertarik mempelajari jamu sampai beberapa di antaranya menuliskannya ke dalam buku, misalnya “Practical Observations on a Number of Javanese Medications” oleh dr. Carl Waitz pada tahun 1829. Isi buku antara lain menjelaskan bahwa obat yang lazim digunakan di Eropa dapat digantikan oleh herbal/tanaman (jamu) Indonesia, misalnya rebusan sirih (Piper bettle) untuk batuk, rebusan kulit kayu manis (Cinnamomum) untuk demam persisten,

4

sedangkan daunnya digunakan untuk gangguan pencernaan. The Weltevreden Military Hospital pada tahun 1850, seorang ahli kesehatan Geerlof Wassink membuat kebun tanaman obat dan menginstruksikan kepada para dokter agar menggunakan herbal untuk pengobatan. Hasil pengobatan tersebut dipublikasikan di Medical Journal of the Dutch East Indies. Seorang ahli farmasi, Willem Gerbrand Boorsma yang saat itu bertugas sebagai direktur “Kebun Raya Bogor” pada tahun 1892 berhasil mengisolasi bahan aktif tanaman dan membuktikan efeknya secara farmakologis yaitu morfin, kinin dan koka. Pada abad ke-19 diterbitkan buku tentang pemanfaatan jamu di Indonesia oleh dr. Cornelis L. van der Burg yaitu Materia indica. Penemuan teori baru tentang bakteri oleh Pasteur dan ditemukannya sinar X pemanfaatan jamu menurun drastis pada awal tahun 1900. Pada akhir tahun 1930, dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo menganjurkan penggunaan jamu sebagai upaya preventif untuk menggantikan obat yang sangat mahal. Pada tahun 1939, IDI mengadakan konferensi dan mengundang dua orang pengobat tradisional untuk mempraktikkan pengobatan tradisional di depan anggota IDI. Mereka tertarik untuk mempelajari seni pengobatan tradisional Indonesia dan pada tahun yang sama, di Solo diadakan konferensi I tentang jamu yang dihadiri juga oleh para dokter. Penggunaan jamu meningkat tajam saat penjajahan Jepang. Pada kurun waktu tersebut, terdapat tiga pabrik jamu besar yaitu PT Jamoe Iboe Jaya (1910), PT Nyonya Meneer (1919) dan PT Sido Muncul (1940). Pada tahun 1966, diadakan konferensi II tentang jamu, juga di Solo untuk mengangkat kembali penggunaan jamu setelah hampir 20 tahun terlupakan terutama akibat perang dunia II yang berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Sejak saat itu, banyak pabrik jamu bermunculan terutama di Jawa Tengah. Banyaknya pendirian industri jamu, pemerintah melindungi konsumen dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/MENKES/PER/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisonal. Guna menjamin peningkatan penggunaan dan pengawasan terhadap obat tradisional, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 584/MENKES/SK/VI/1995 tentang Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).

5

Pada abad ke-21, para pakar jamu baik peneliti di institusi pendidikan, lembaga pemerintah maupun industri jamu terus berjuang agar jamu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berbagai seminar tentang jamu dan/atau obat tradisional Indonesia mulai meningkat. Masing-masing

kementerian

berlomba-lomba

menyusun peta jalan (road map) tentang jamu/obat tradisional Indonesia. Siapa sebenarnya yang menjadi koordinator penyusunan peta jalan tersebut juga tidak jelas, sampai akhirnya disepakati akan dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Ekonomi dan Industri yang akan menyiapkan peristiwa nasional Hari Kebangkitan Jamu dan Jamu dijadikan brand Indonesia pada tahun 2007. Selanjutnya, dikeluarkan keputusan Menteri Kesehatan No. 381/MENKES/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional dan Peraturan Menteri Kesehatan No.1109/MENKES/PER/IX/2007

tentang

Penyelenggaraan

Pengobatan

Komplementer-Alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. Pada tanggal 27 Mei 2008, Hari Kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan Presiden Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudoyono, di Istana Merdeka sekaligus meresmikan jamu sebagai brand Indonesia. Jamu seakan mewarnai kembali kebijakan pemerintah setelah pencanangan tersebut yaitu dalam bentuk Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Pada pasal 48 ayat 1 disebutkan bahwa dari 17 upaya kesehatan tercantum upaya pelayanan kesehatan tradisional yaitu pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pada saat bersamaan, kementerian kesehatan menyusun Standar Pelayanan Medik Herbal yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 121/MENKES/SK/II/2008 diikuti dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 261/Menkes/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi pertama. Pada tahun 2007, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI memprakarsai isian kuesioner riskesdas 2007 tentang pemanfaatan jamu oleh masyarakat Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa 35,7% masyarakat menggunakan jamu dan lebih dari 85% di antaranya mengakui bahwa jamu bermanfaat bagi kesehatan (Kemenkes 2010). Riskesdas 2010

6

ternyata menunjukkan peningkatan hasil yaitu 59,12% dari 35,7% dan 95,6% dari 85% (Kemenkes 2010). Selain pencapaian hasil yang bermakna dalam riskesdas 2007 dan 2010, disiapkan pula program saintifikasi Jamu untuk membuktikan secara ilmiah bahwa jamu efektif untuk indikasi tertentu dengan metode penelitian berbasis pelayanan.

2.2 UNDANG-UNDANG TERKAIT PENGEMBANGAN SAINTIFIKASI JAMU UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memuat pelayanan kesehatan tradisional dalam bab (bagian) tersendiri, yakni bagian Ketiga tentang pelayanan Kesehatan Tradisional mulai Pasal 59 sampai Pasal 61. Dimana Pasal 59 membagi pelayanan kesehatan

tradisional menjadi pelayanan kesehatan tradisional

berbasis keterampilan dan pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan. Pasal 60 mengamanatkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional harus aman dan bermanfaat. Pasal 61 mengamanatkan bahwa masyarakat diberi kesempatan untuk mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional. Tentuya, yang dimaksud pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan dalam Pasal 59 UU No. 36 Tahun 2009 adalah obat tradisional. Menjembatani amanah UU No. 36 Tahun 2009 dan juga amanah Presiden RI tentang Pengembangan Jamu Indonesia dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, maka dibuatlah program terobosan yang disebut “Saintifikasi Jamu” yang dituangkan dalam PERMENKES No. 003 Tahun 2010.

2.3 PERMENKES No. 003 TAHUN 2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU Saintifikasi Jamu adalah salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan untuk memberikan bukti ilmiah Jamu sehingga dapat dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal. Saintifikasi Jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Saintifikasi jamu diatur dalam PERMENKES No. 003 Tahun 2010. Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan yang telah

7

mendapat izin atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

A. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan dalam saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau Swasta, meliputi: 1.

Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan

2.

Klinik Jamu

3.

Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T)

4.

Badan Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKMT)/Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKMT)

5.

Rumah sakit yang ditetapkan Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan

Obat Tradisional

(B2P2TOOT),

Badan

Penelitian

dan

Pengembangan

Kesehatan, Departemen Kesehatan ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri ini dan mengikuti ketentuan persyaratan Klinik Jamu tipe A Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun praktik berkelompok dokter atau dokter gigi. Klinik Jamu terdiri dari : a. Klinik Jamu Tipe A b. Klinik Jamu Tipe B Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi : 1) Dokter sebagai penanggung jawab 2) Asisten Apoteker. 3) Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 4) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional

8

ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 5) Tenaga administrasi. b. Sarana yang meliputi: 1) Peralatan medis 2) Peralatan jamu 3) Memiliki ruangan : a) Ruang tunggu. b) Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record). c) Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian. d) Ruang pemeriksaan/tindakan. e) Ruang peracikan jamu. f) Ruang penyimpanan jamu. g) Ruang diskusi. h) Ruang laboratorium sederhana. i) Ruang apotek jamu. Klinik Jamu tipe B harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan meliputi: 1) Dokter sebagai penanggung jawab 2) Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 3) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 4) Tenaga administrasi. b. Sarana yang meliputi: 1) Peralatan medis. 2) Peralatan jamu. 3) Memiliki ruangan: a) Ruang tunggu dan pendaftaran. b) Ruang konsultasi, pemeriksaan/tindakan/penelitian danrekam medis (medical record). c) Ruang peracikan jamu. 4) Tenaga pengobat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) hanya merupakan tenaga penunjang dalam pemberian pelayanan jamu. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Klinik Jamu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

9

B. Perizinan Klinik Jamu harus memiliki izin dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kota setempat. Izin sebagaimana dimaksud diberikan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan. Klinik Jamu harus memiliki kerjasama rujukan pasien dengan rumah sakit. Untuk rujukan pelayanan jamu dilakukan di rumah sakit yang memberikan pelayanan dan penelitian komplementer-alternatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Untuk rujukan pengobatan pasien dapat dilakukan di rumah sakit pada umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menangani pasien santifikasi jamu, dokter atau dokter gigi di rumah sakit rujukan wajib mendiskusikan penyakit pasiennya dengan dokter atau dokter gigi klinik jamu yang merujuknya. Dalam hal diperlukan, dokter atau dokter gigi penerima rujukan di rumah sakit dan dokter atau dokter gigi pengirim rujukan di klinik jamu dapat meminta konsultasi kepada Komisi Daerah dan/atau Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.

C. Ketenagaan Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki: a.

Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya.

b.

Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

c.

Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (SBR- TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

d.

Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (STTPKA/SIK- TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

10

Untuk tenaga pengobat tradisional harus memiliki surat terdaftar/surat izin sebagai tenaga pengobat tradisional di Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jamu yang diberikan kepada pasien dalam rangka penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat diberikan setelah mendapatkan persetujuan tindakan (informed consent) dari pasien. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan dan diberikan secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya yang melakukan penelitian berbasis pelayanan jamu kepada pasien harus melakukan pencatatan dalam rekam medis (medical record). Rekam medis dibuat tersendiri sesuai dengan pedoman pelayanan jamu di fasilitas kesehatan. Pelaksanaan kegiatan penelitian dan etical clearance penelitian jamu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tarif yang ditetapkan di fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai kegiatan saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus murah dan terjangkau oleh masyarakat. Pendapatan yang diperoleh oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah harus merupakan pendapatan Negara bukan pajak dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Pembinaan dan Pengawasan Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehata Kabupaten/Kota bersama organisasi/asosiasi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan Saintifikasi Jamu. Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan, Menteri membentuk Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Komisi Nasional Saintifikasi Jamu) bertugas: 1.

Membina pelaksanaan saintifikasi jamu.

2.

Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu.

3.

Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu.

11

4.

Mengusulkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bahan jamu, khususnya segi budidaya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan yang layak digunakan untuk penelitian.

5.

Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang produksi jamu.

6.

Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek kepenelitiannya.

7.

Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu.

8.

Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik, hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang memerlukannya.

9.

Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen, penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum, serta sertifikasi kompetensi.

10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian-pelayanan termasuk perpindahan metode/upaya antara kuratif dan non kuratif hasil penelitian-pelayanan praktik/Klinik Jamu. 11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan rujukan pelayanan jamu kepada Menteri melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 12. Membina Komisi Daerah Santifikasi Jamu di propinsi atau kabupaten/kota. 13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifikasi Jamu kepada Menteri. 14. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Menteri. (4)Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu di daerah dapat dibentuk Komisi Daerah Saintifikasi Jamu sesuai dengan kebutuhan. Komisi Daerah Saintifikasi Jamu berwenang dan bertugas melakukan pembinaan dalam pelaksanaan saintifikasi jamu di daerah, berkoordinasi dengan Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, dan melakukan pendidikan berkelanjutan di Provinsi.

12

Keanggotaan Komisi Nasional/Daerah Saintifikasi Jamu beranggotakan pakar/ahli bidang masing-masing berasal dari berbagai disiplin ilmu, dari berbagai Institusi yang berkaitan dengan jamu dan organisasi profesi kedokteran/kedokteran gigi yang khusus untuk itu, serta wakil produsen dan konsumen. Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Nasional Saintifikasi Jamu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif kepada fasilitas pelayanan

kesehatan/

tenaga

pengobatan komplementer-alternatif/tenaga

pengobat tradisional yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan ini. Tindakan administratif dilakukan melalui: a.Teguran lisan; atau b.Teguran tertulis; dan c.Pencabutan izin/registrasi tenaga atau fasilitas.

2.4 ARAHAN PRESIDEN RI PENGEMBANGAN JAMU INDONESIA Arahan presiden RI untuk pengembangan Jamu Indonesia pada Munas GP Jamu 2007 dan gelar kebangkitan jamu Indonesia 2008 Pada Gelar Kebangkitan Jamu tahun 2008, Presiden Republik Indonesia menyampaikan empat hal penting terkait dengan pengembangan Jamu yaitu: 1) Membangun sistem yang integratif melalui pengembangan dan pengintegrasian Jamu ke dalam sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berlaku; 2) Meningkatkan penelitian dan inovasi teknologi pengembangan Jamu; 3) Mendorong industri Jamu untuk masuk ke dalam mainstream pasar global dan pasar dalam negeri serta yang juga sangat penting adalah branding Indonesia untuk produk Jamu; 4) Mendorong berkembangnya usaha Jamu melalui usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah. Dalam rangka merumuskan kebijakan dan implementasi teknis dari arahan Presiden tersebut, pengembangan Jamu dari aspek kesehatan, pendidikan dan budaya akan dikoordinasikan langsung oleh Kementerian

13

Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan aspek ekonomi dan bisnis mulai dari kemandirian bahan baku, pengembangan industri, investasi dan promosi “Jamu” pada tingkat global akan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

2.5 MUSYAWARAH GABUNGAN PENGUSAHA OBAT TRADISIONAL 1) Peingkatan produksi, mulai dari bahan baku hingga produk akhir 2) Meningkatkan peran jamu dalam kesehatan, kebugaran dan kecantikan 3) Kemenkes dan BPOM melakukan bimbingan dan kemudahan hal-hal terkait standarisasi mutu jamu serta produksi dan distribusi jamu berkualitas 4) Dilakukan pengawasan atas produk-produk jamu 5) Bersama KADIN dilakukan promosi dan pemasaran jamu Indonesia 6) Ristek dan pegguruan tinggi mengembangkan penelitian dan pengembangan jamu : Integrasikan system kesehatan medis dan komplementer berbasis jam, sebagai “sistem ganda”. Kedua system jangan dikotak-kotakkan Masukkan jamu brand Indonesia dalam mainstream strategi pemasaran Indonesia 7) Kembangkan dan manfaatkan berbagai fasilitas untuk usaha mikro, kecil dan menengah jamu.

2.6 PERAN KOMNAS SAINTIFIKASI JAMU 1.

Membina pelaksanaan saintifikasi jamu

2.

Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu

3.

Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu

4.

Mengusulkan kepada Kepala Badan Litbangkes bahan jamu, khususnya segi budi daya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan yang layak digunakan untuk penelitian

5.

Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di

14

bidang produksi jamu, 6.

Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek penelitiannya,

7.

Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu,

8.

Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik, hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang memerlukannya,

9.

Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen, penentuan dan peleksanaan silabus dan kurikulum serta sertifikasi kompetensi,

10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian pelayanan termasuk perpindahan metode / upaya antara kuratif dan non kuratif hasil penelitian pelayanan praktik/ klinik jamu, 11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan rujukan pelayanan jamu kepada Menteri melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 12. Membina Komisi Daerah Saintifikasi Jamu di Provinsi atau Kabupaten/Kota 13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifikasi Jamu kepada Menteri (permenkes no. 003).

2.7 SASARAN STATEGIS PROGRAM SAINTIFIKASI JAMU Sasaran strategis program saintifikasi jamu antara lain: 1) Tercapainya kebijakan nasional dan kerangka regulasi dalam rangka mengangkat jamu sebagai “brand Indonesia” 2) Terbentuknya sistem pelayanan jamu yang mampu menjamin akses masyarakat terhadap jamu yang aman, berkualitas, dan berkhasiat 3) Terbentuknya sistem dalam rangka penyediaan bahan baku yang berkualitas

15

4) Terbentuknya sistem pendidikan dan pelatihan dalam pendidikan formal (PTI) 5) Terbentuknya sistem penelitian dan pengembangan dalam rangka menjamin kualitas, keamanan dan khasiat jamu

2.8 KEBIJAKAN DAN REGULASI SAINTIFIKASI JAMU Kebijakan dan regulasi saintifikasi jamu yang berlaku antara lain : 1) Mengususlkan kerangka regulasi 2) Mensinergikan pengobatan tradisional atau jamu dengan sistem pelayana kesehatan nasional 3) Memberikan perlindungan medikolegal tenaga kesehatan 4) Mengembangkan pola pembinaan Battra penggunaan jamu (herbalist) 5) Mengembangkan pola pembinaan penggunaan jamu ditingkat rumah tangga (folk health system) 6) Mengembangkan kebijakan untuk mensinkronkan pelaku dalam “Formal Health System” dan “Traditional Health System” 7) Mengembangkan kebijakan untuk perlindungan tanaman obat asli Indonesia 8) Perlindungan HAKI formula jamu Indonesia 9) Mengembangkan kurikulum pendidikan tentang Pengobatan Tradisional Indonesia (PTI)

2.9 TEKNIS PELAYANAN SAINTIFIKASI JAMU Adapun teknis pelayanan saintifikasi jamu sesuai aturan yang berlaku sebagai berikut: 1) Pemberian terapi jamu kepada pasien dalam rangka penelitian berbasis pelayanan dilakukan setelah mendapat persetujuan informed consen dari pasien. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan dan diberikan secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya yang melakukan penelitian berbasis pelayanan jamu kepada pasien harus melakukan pencatatan dalam rekam medis

16

(medical report) yang dibuat tersendiri sesuai dengan pedomanpelayanan jamu di fasilitas kesehatan 3) Pelaksanaan kegiatan penelitian dan Ethical clearance penelitian jamu dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 4) Tarif yang ditetapkan di fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai kegiatan saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus murah dan terjangkau oleh masyarakat. 5) Pendapatan yang diperoleh oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah harus merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2.10 JEJARING SAINTIFIKASI JAMU Surat Keputusan Menteri Republik Indonesia No.381/MENKES/SK/III/ 2007, pemerintah telah menetapkan Kebijakan Obat Tradisional Nasional (Kotranas) yang antara lain bertujuan untuk mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan (sustainable use) untuk digunakan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan. Sebagai implementasi dari kebijakan tersebut adalah melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan (Menkes RI, 2010)

Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan, dengan salah satu tujuan pengaturan saintifikasi jamu seperti yang tertulis pada pasal 4 yaitu mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif melalui penggunaan jamu (Menkes RI, 2010). Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk saintifikasi

17

jamu dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Fasilitas pelayanan kesehatan meliputi klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT). Selain itu meliputi pula klinik jamu, yang dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun praktek berkelompok dokter atau dokter gigi, kemudian meliputi Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T), Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM), dan rumah sakit yang ditetapkan.

2.11 KLINIK SAINTIFIKASI JAMU “HORTUS MEDICUS” B2P2TOOT bermula dari Kebun Koleksi Tanaman Obat, dirintis oleh R.M Santoso Soerjokoesoemo sejak awal tahun kemerdekaan, menggambarkan semangat dari seorang anak bangsa Nusantara yang tekun dan sangat mencintai budaya pengobatan nenek moyang. Beliau mewariskan semangat dan kebun tersebut pada negara. Mulai April 1948, secara resmi Kebun Koleksi TO tersebut dikelola oleh pemerintah di bawah Lembaga Eijkman dan diberi nama “Hortus Medicus Tawangmangu”. Kepmenkes No. 149 tahun 1978 pada tanggal 28 April 1978, yang mentransformasi kebun koleksi menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) sebagai Unit Pelaksana Teknis di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Permenkes No. 491 tahun 2006 tanggal 17 Juli 2006, BPTO bertransformasi menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT). Permenkes No. 003 tahun 2010 pada tanggal 4 Januari 2010 Tentang Saintifikasi JAMU dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Sejak tahun 2010, B2P2TOOT memprioritaskan pada Saintifikasi Jamu, dari hulu ke hilir, mulai dari riset etnofarmakologi tumbuhan obat dan Jamu, pelestarian, budidaya, pascapanen, riset praklinik, riset klinik, teknologi, manajemen bahan Jamu, pelatihan iptek, pelayanan iptek, dan diseminasi sampai dengan peningkatan

18

kemandirian masyarakat. A. Fasilitas yang dimiliki oleh B2P2TOOT Tawang Mangu sebagai berikut: Kebun Tanaman Obat: 

Kebun produksi Karangpandan dengan ketinggian 600 dpl seluas ± 1,85 Ha



Kebun produksi Kalisoro terletak pada 1.200 m dpl seluas ± 2 Ha



Kebun subtropik Tlogodlingo terletak di ketinggian 1.600-1.800 m dpl seluas ± 12 Ha



Kebun Tanaman Obat di Tegalgede Karanganyar seluas ± 0,6 Ha



Kebun Tanaman Obat di Citeureup, Bogor Jawa Barat seluas ± 3 Ha



Etalase Tanaman Obat Indonesia dengan koleksi ± 1000 spesies

Laboratorium Penelitian dan Pengembangan di B2P2TOOT Terdiri Dari: 1. Laboratorium Terpadu, Meliputi: 

Sistematika Tumbuhan



Benih dan Pembibitan



Pengendalian Hama & Penyakit Tanaman



Galenika



Fitokimia



Instrumen



Formulasi



Mikrobiologi



Kultur Jaringan Tanaman



Biomolekuler

2. Laboratorium Pasca Panen 3. Laboratorium Hewan Coba 4. Laboratorium Klinik Saintifikasi Jamu 5. Laboratorium Sediaan Bahan Jamu B. Rumah Riset Jamu Hortus Medicus Terdiri Dari: 1. Klinik Saintifikasi Jamu Klinik Saintifikasi Jamu “Hortus Medicus” adalah klinik Tipe A, merupakan implementasi

peraturan

Menteri

19

Kesehatan

RI

nomor

003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk menjamin jamu aman, bermutu dan berkhasiat. Klinik Saintifikasi Jamu dirintis tahun 2007, dan sejak tanggal 30 April 2012 menempati gedung baru sebagai rintisan Rumah Riset Jamu “Hortus Medicus” sebagai tempat uji klinik dilengkapi dengan rawat inap. Selama tahun 2015 setiap bulannya melayani kunjungan pasien yang jumlahnya ratarata 2.600 pasien. SDM pendukung RRJ “Hortus Medicus” merupakan tenaga terlatih dan ahli di bidangnya, terdiri dari 8 dokter, 3 orang apoteker, 9 orang dari D3 Farmasi, 5 orang perawat, 2 orang Analis Kesehatan (Laboran), 3 orang petugas medical record dan 1 orang Ahli Gizi. RRJ “ Hortus Medicus” telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008. 2. Laboratorium Klinik Setiap harinya melayani 12 – 19 pasien. Kegiatan pemeriksaan Laboratorium klinik sudah menerima sertifikat ISO 9001:2008 sebagai jaminan sistem manajemen mutu sehingga data yang dihasilkan terjamin kebenarannya. 3. Griya Jamu Griya jamu merupakan bagian akhir pelayanan klinik, yaitu bagian penyedia jamu baik berupa kapsul maupun rebusan. Jamu yang digunakan berupa racikan simplisia, serbuk dan juga ekstrak tanaman obat yang telah diteliti keamanan, mutu dan khasiat melalui riset praklinik dan riset klinik. Telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008. Selain pasien, griya jamu juga melayani permintaan dari dokter jejaring Saintifikasi Jamu. C. Sumber Daya Manusia Modal manusia di B2P2TOOT terdiri dari pegawai tetap (PNS dan CPNS) maupun tidak tetap (tenaga yang dikontrak dengan honor bulanan), dinilai sebagai aktor utama dalam implementasi tugas dan fungsi Babe Litbang TOOT Pada Februari 2016, dengan amanah tugas litbang TOOT dan Saintifikasi JAMU, B2P2TOOT memiliki gambaran kepegawaian sebagai berikut. Jumlah total

20

pegawai menurut jenis kepegawaian sebanyak 253, meliputi 96 pegawai tetap (89 PNS dan 7 CPNS) dan 157 pegawai tidak tetap/PTT. Fasilitas yang dimiliki memungkin lembaga ini ini dapat melayani beberapa kegiatan seperti: 1. Pelayanan kepada pasien di Rumah Riset Jamu “Hortus Medicus” 2. Pelayanan pengguanaan laboratorium baik untuk keperluan internal maupun eksternal. 3. Melayani kegiatan magang untuk siswa tingkat SMK, D3 dan S1. 4. Pelayanan Pelatihan Saintifikasi Jamu. 5. Wisata ilmiah litbang tanaman obat dan obat tradisional

21

BAB III KESIMPULAN

1. Saintifikasi Jamu adalah salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan untuk memberikan bukti ilmiah Jamu sehingga dapat dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal. 2. Undang-undang yang terkait dengan Saintifikasi Jamu adalah Permenkes No. 003 Tahun 2010. 3. Arahan Presiden RI menjadikan jamu sebagai “Brand Indonesia” dan di integrasikan dalam pelayanan kesehatan. 4. Memerlukan pelatihan dokter spesialis jamu untuk mencapai “critical mass” (batas minimum masyarakat yang mengikuti program partisipasi dalam penelitian Saintifikasi Jamu). 5. Salah satu implementasi Saintifikasi Jamu adalah tekah didirikannnya Klinik Saintifikasi Jamu “Hortus Medicus” yang merupakan klinik Tipe Jati A di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu.

22

LAMPIRAN

Gambar 1. KLINIK SAINTIFIKASI JAMU

23

Gambar 2. STRUKTUR ORGANISASI TATA KELOLA DAN AREA KINERJA B2P2TOOT

24

DAFTAR PUSTAKA

Permenkes Nomor: 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 12 - 14 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Roadmap Pengembangan Jamu 2011– 2025, Jakarta, 2011. Koperas Jamu KOJAI Sukoharjo. http://wordads.co/?utm_source=houseads &utmcampaign=3-11. Diakses pada tanggal 27 maret 2019

Wahjudi, Agus., dan Andriati, 2016, Tingkat Penerimaan Penggunaan Jamu Sebagai Alternatif Penggunaan Obat Modern Pada Masyarakat Ekonomi RendahMenengah dan Atas, Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik Vol. 29 No. 3, Hal 133145.

Undang-Undang Rebuplik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Presiden RI, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Presiden RI, Jakarta.

Majalah Guru .http://majalah1000guru.net/2015/12/saintifikasi-jamu/. Diakses pada tanggal 26 maret 2019.

Balittro. http://balittro.litbang.pertanian.go.id/?p=189 . Diakses pada tanggal 26 maret 2019.

B2P2TO-OT, http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/index.php?page= postcont&postid=51.Diakses pada tanggal 26 maret 2019. Kementerian Kesehatan RI : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Buku Saku Saintifikasi Jamu, Jakarta, 2011.

25

Related Documents


More Documents from ""