Makalah Pi Kel.5.fix-1.docx

  • Uploaded by: Nita Purnama Sari
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Pi Kel.5.fix-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,766
  • Pages: 20
MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

KOORDINASI KEBIJAKAN Disusun Oleh :

Zhellyn Aurelly Cahyadi ( C1A016002) Nita Purnama Sari

( C1A016030)

Jemmy Setiawan

( C1A016066 )

Hildayatur Rahmi.B

( C1A016024 )

Kelas 5B

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BENGKULU 2018

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang lain yang membacanya. Terlepas dari semua itu, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Penyusun

Koordinasi Kebijakan | ii

DAFTAR ISI

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA ....................................................................... 1 KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1 1.1

Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2

Rumusan Masalah ....................................................................................................... 3

1.3

Tujuan.......................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 4 2.1

Pengertian Koordinasi Kebijakan................................................................................ 4

2.2

Pentingnya Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal............................................... 4

2.3

Dinamika Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia ............................ 8

2.4

Tantangan Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia ......................... 15

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 16 3.1

Kesimpulan................................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 1

Koordinasi Kebijakan | iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Koordinasi kebijakan ekonomi, khususnya fiskal dan moneter menjadi isu penting akhir-akhir ini, karena krisis ekonomi ataupun keuangan semakin sering terjadi, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Sehingga koordinasi kebijakan ekonomi menjadi semakin penting agar kebijakan ekonomi yang diambil dapat efektif mencapai sasaran yang ingin dicapai. Selain itu semakin banyak bank sentral yang independen dari pemerintah, seperti halnya di Indonesia, oleh karena itu menjaga koordinasi fiskal dan moneter semakin tidak mudah dalam pengelolaan ekonomi suatu negara. Gelombang globalisasi yang membuat ekonomi ataupun pasar keuangan terintegrasi pada skala global, membuat arus perdagangan barang dan jasa, modal, investasi dan tenaga kerja semakin meningkat sehingga ekonomi dunia juga berkembang semakin maju. Namun demikian liberalisasi ekonomi telah membuat ekonomi dunia juga semakin komplek dan volatilitas ekonomi ataupun keuangan juga semakin tinggi, sehingga resiko yang dihadapi oleh agen ekonomi semakin meningkat, yang berarti mengelola ekonomi juga semakin tidak mudah. Dengan demikian otoritas ekonomi menghadapi masalah dan tantangan yang semakin berat untuk menjaga stabilitas ekonomi makro ataupun sistem keuangan. Oleh karena itu koordinasi fiskal dan moneter yang baik bukan lagi suatu pilihan, tapi keharusan. Meski demikian krisis keuangan global 2008 yang lalu, serta disambung dengan krisis ekonomi Eropa 2010 menunjukkan bahwa untuk mengatasi krisis ekonomi ataupun ancaman krisis ekonomi kadang diperlukan koordinasi kebijakan yang lebih luas baik dalam skala beragam kebijakannya (macroprudential) ataupun wilayahnya (antar negara). Koordinasi kebijakan ekonomi internasional kadang diperlukan untuk mengatasi krisis keuangan ataupun ekonomi yang besar. Apalagi pada saat ini, di era demokrasi, tuntutan masyarakat akan kehidupan yang maju, adil dan sejahtera semakin tinggi. Dengan demikian tujuan akhir dari kebijakan ekonomi suatu negara yang tentunya adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya mendapatkan perhatian yang semakin besar, khususnya di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu koordinasi dari semua kebijakan baik ekonomi ataupun non ekonomi agar kesejahteraan sosial dapat dicapai. Koordinasi Kebijakan | 1

Sementara itu tujuan dari kebijakan ekonomi makro suatu negara adalah tercapainya kondisi ekonomi yang “bebas inflasi” (noninflationary) dan tumbuh stabil (stable growth). Dengan demikian diharapkan tingkat pengangguran dan inflasi rendah dapat dicapai, serta ekonomi bisa tumbuh sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Untuk itu kebijakan ekonomimoneter dan fiskal yang dilaksanakan oleh bank sentral dan Kementerian Keuangan memegang peranan penting. Meski demikian tujuan dan implikasi dari kedua kebijakan tersebut seringkali saling tidak sama bahkan bertentangan, sehingga dapat mengakibatkan hasil dari masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal, bahkan bisa saling meniadakan. Oleh karena itu, koordinasi antar kedua kebijakan tersebut sangat penting dalam pengelolaan ekonomi, agar bauran kebijakan (policy mix) dapat memberikan dampak optimal dalam perekonomian. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia mengalami evolusi yang menarik. Berkembang mengikuti kondisi ekonomi dan politik, baik domestik maupun internasional. Pada masa Orde Lama, dimana otoritas moneter masih merupakan bagian dari pemerintah, koordinasi fiskal dan moneter tidak menjadi isu penting, karena semuanya ditangan pemerintah hingga 1968, bahkan masih terus berlanjut dengan keberadaan Dewan Moneter hingga tahun 1999 yang lalu. Keberadaan Dewan Moneter yang dipimpin oleh Menteri Keuangan, menjadikan kebijakan moneter dan fiskal dipimpin oleh orang yang sama. Sehingga tidak ada masalah koordinasi fiskal dan moneter. Namun dalam perkembangannya, dengan diluncurkannya Undangundang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak lagi merupakan bagian dari pemerintah, namun bank sentral yang independen dari pemerintah. Hal tersebut membuat masalah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter muncul, menjadi isu penting dalam pengelolaan ekonomi.

Bahkan dalam

perkembangannya akhir-akhir ini, sejak krisis keuangan global 2008, dapat dilihat bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang baik saja tidak cukup meskipun diperlukan, perlu koordinasi kebijakan yang lebih luas, agar resiko sistemik yang dihadapi dalam suatu perekonomian dapat dikelola dengan baik. Oleh karena itu pengelolaan macroprudential diperlukan, bukan hanya antara fiskal dan moneter, namun juga dengan lembaga keuangan keuangan ataupun pasar keuangan lainnya. Oleh karena itu buku ini akan membahas berbagai perkembangan baik secara teoritis, maupun empiris perkembangan koordinasi fiskal dan moneter di Indonesia, demikian juga sejarah, masalah, tantangan dan masa depannya di Indonesia. Koordinasi Kebijakan | 2

1.2

1.3

Rumusan Masalah -

Apa yang dimaksud dengan koordinasi kebijakan ?

-

Bagaimana pentingnya koordinasi kebijakan fiskal dan moneter ?

-

Bagaimana dinamika koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di indonesia ?

-

Apa saja tantangan Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia ?

Tujuan -

Untuk mengetahui apa itu koordinasi kebijakan

-

Untuk mengetahui pentingnya koordinasi kebijakan fiskal dan moneter

-

Untuk mengetahui dinamika koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di indonesia

-

Untuk mengetahui Tantangan Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia

Koordinasi Kebijakan | 3

BAB II PEMBAHASAN 2.1

Pengertian Koordinasi Kebijakan Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan kegiatan-kegiatan pada satuansatuan yang terpisah ( dapartemen atau bidang-bidang fungsional ) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Sedangkan kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan daar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Disini yang akan dibahas adalah kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan Fiskal

adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui APBN. Kebijakan moneter adalah kebijakan yang diambil oleh Bank Sentral atau Bank Indonesia dengan tujuan memelihara dan mencapai stabilitas nilai mata uang yang dapat dilakukan antara lain dengan pengendalian jumlah uang yang beredar dimasyarakat dan penetapan suku bunga. Jadi, Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter adalah proses pengintegrasian antara pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi untuk menjaga kestabilan perekonomian suatu negara. 2.2

Pentingnya Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal Perdebatan mengenai pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada dasarnya tidak terlepas dari adanya perbedaan penekanan dalam peran dan pencapaian tujuan masing-masing kebijakan. Perbedaan penekanan tujuan tersebut dapat mengakibatkan hasil dari masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal atau bahkan saling meniadakan (set-off). Oleh karena itu, kedua otoritas perlu menerapkan strategi bauran kebijakan (policy mix) yang optimal dalam rangka mencapai stabilitas makro dan pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak tahun 1990-an, tujuan kebijakan moneter lebih difokuskan pada stabilitas harga dengan beberapa pertimbangan. Pertama, segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi (aggregate demand) dalam jangka pendek akan menciptakan inflasi (the short-run Phillip Curve) sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka panjang (Kydland and Prescott, 1977). Kedua, rational economic agent memahami bahwa shocks pembuat kebijakan dalam mendorong inflasi dapat menimbulkan permasalahan time-inconsistency (Barro and Gordon, Koordinasi Kebijakan | 4

1983). Ketiga, kebijakan moneter mempunyai tenggat waktu (time lag) dalam mempengaruhi variabel ekonomi, sehingga menuntut kebijakan moneter yang forward looking (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena mengurangi ekspektasi inflasi. Keempat pertimbangan di atas mencerminkan bahwa penetapan stabilitas harga akan mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Namun, di sisi lain pencapaian kebijakan moneter yang tidak dilakukan secara terukur juga dapat mengakibatkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat (tight) dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran. Sebaliknya, kebijakan moneter yang terlalu longgar (loose) dapat menimbulkan tekanan inflasi yang mengganggu daya beli masyarakat dan pada gilirannya kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, tujuan kebijakan fiskal lebih difokuskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi mendorong pertumbuhan ekonomi yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya defisit fiskal yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi makro. Traclet (2004) menunjukkan berbagai dampak dari defisit fiskal yang kronis dan besarnya utang pemerintah yang tidak terkendali, antara lain: Pertama, defisit fiskal dapat meningkatkan rasio utang sehingga dapat meningkatkan beban utang pemerintah dan menurunkan investasi yang produktif. Kedua, Peningkatan jumlah obligasi pemerintah yang dikeluarkan untuk menutup defisit fiskal dapat menciptakan crowdingout effect, yaitu penurunan investasi swasta yang produktif, sehingga membahayakan kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Dan ketiga, defisit fiskal yang kronis dapat mengakibatkan tingginya inflasi. Pengalaman empiris negara-negara di Amerika Latin pada akhir tahun 1980-an menunjukkan bahwa pembiayaan defisit fiskal yang besar dan terjadi terus-menerus melalui penciptaan uang baru oleh bank sentral telah mengakibatkan hiper inflasi dan resesi ekonomi yang dalam. Pada periode tahun 1988-1991, defisit fiskal pemerintah Peru telah mengakibatkan peningkatan jumlah uang beredar sebesar 1.052,6% per tahun. Pesatnya pertumbuhan uang beredar tersebut tanpa diikuti peningkatan produksi merupakan penyebab melesatnya laju inflasi di negara tersebut hingga mencapai 1.694,3%. Hiper inflasi tersebut telah mengakibatkan anjloknya daya beli masyarakat dan tingginya biaya transaksi ekonomi sehingga Peru mengalami resesi ekonomi yang dalam. Pengalaman negara-negara Afrika, beberapa negara Eropa dan Koordinasi Kebijakan | 5

negara-negara Amerika Latin lainnya juga menggambarkan pola yang sama, yaitu defisit fiskal yang berlebihan yang mengakibatkan tingginya uang beredar dan hiper inflasi. Beberapa data empiris tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan moneter yang longgar melalui penciptaan uang baru untuk pembiayaan defisit dapat mengakibatkan terjadinya hiper inflasi dan gangguan stabilitas ekonomi makro. Uraian di atas kembali mencerminkan perlunya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal. Oleh sebab itu menarik untuk menelaah bagaimana hasil bauran kebijakan (policy mix) dari kedua otoritas tersebut. Secara teoritis, terdapat 4 pilihan bauran kebijakan moneter dan fiskal, yaitu: (i)

Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter longgar;

(ii)

Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter ketat;

(iii)

Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter longgar; dan

(iv)

Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter ketat. Masing-masing otoritas memiliki dua pilihan kebijakan, yaitu: kebijakan ketat

maupun kebijakan longgar (a tight or a loose policy). Ketika keduanya bersama-sama memilih kebijakan pengetatan maka tingkat inflasi cenderung rendah dan jumlah lapangan kerja juga rendah (pengangguran tinggi), sedangkan ketika kedua otoritas kebijakan memutuskan untuk bersama-sama membuat kebijakan yang longgar maka tingkat inflasi cenderung tinggi dan angka pengangguran cenderung rendah. Sementara itu, apabila salah satu otoritas kebijakan membuat kebijakan pengetatan sedangkan yang lain membuat kebijakan pelonggaran atau sebaliknya, maka tingkat pengangguran dan inflasi cenderung berada pada tingkat sedang. ketat dan kebijakan fiskal longgar, atau bauran kebijakan moneter longgar dan kebijakan fiskal ketat. Nilai hasil bauran (payoff) untuk kebijakan moneter ketat dan kebijakan fiskal longgar sama dengan nilai payoff untuk kebijakan moneter longgar dan kebijakan fiskal ketat. Namun dari studi empiris Bennett dan Loayza (2002) yang membandingkan berbagai negara terlihat bahwa dalam jangka panjang, kombinasi kebijakan moneter longgar dan fiskal ketat lebih sehat daripada kebijakan moneter ketat dan fiskal longgar. Hal ini disebabkan kebijakan moneter longgar dan fiskal ketat tidak berkompromi terhadap fiscal sustainability dan tidak memperlemah kapasitas investasi sektor swasta (crowding-out effect). Hasil kajian yang dilakukan Petit (1989) di Italia, Javed dan Sahinoz (2005) di Turki dan penelitian lainnya di berbagai negara menunjukkan bahwa koordinasi Koordinasi Kebijakan | 6

kebijakan moneter dan fiskal akan berdampak positif terhadap kondisi ekonomi makro suatu negara. Untuk kasus Indonesia, penelitian yang dilakukan Goeltom dan Simorangkir (2005) dengan menggunakan model game theory menunjukkan bahwa cooperative game antara kebijakan moneter dan fiskal memberikan hasil kerugian terkecil (minimum loss) dibandingkan dengan non-cooperative game seperti akan diuraikan pada bagian lain. Dalam prakteknya, terdapat pilihan model koordinasi moneterfiskal, seperti dikemukakan Blinder (1982), dimana masing-masing model koordinasi tersebut mempunyai implikasi yang berbeda. Kebijakan Moneter dan Fiskal berada dalam ”Satu Atap” Dengan koordinasi

(i)

seperti ini, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter ditentukan oleh satu institusi yang membawahi baik otoritas moneter maupun otoritas fiskal. Koordinasi dapat memberikan manfaat yang lebih baik apabila objektif dan metode yang digunakan untuk mencapai objektif tersebut mempunyai ketidakpastian yang kecil. (ii)

Dua otoritas kebijakan yang independen dalam model ini masing-masing otoritas fiskal dan otoritas moneter mengambil kebijakan secara independen, tanpa adanya dominasi satu otoritas terhadap otoritas lainnya. Sebagai contoh, karena tekanan terhadap anggaran pemerintah yang semakin berat, otoritas fiskal mengurangi subsidi atau meningkatkan pajak. Di sisi lain karena tekanan terhadap inflasi yang besar otoritas moneter mengambil kebijakan moneter yang ketat. Dengan menggunakan pendekatan game theory, Blinder menunjukkan bahwa

tanpa koordinasi akan diperoleh Nash equilibrium yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan adanya koordinasi. Hasil ini didasarkan pada asumsi bahwa otoritas fiskal dan moneter saling mengetahui preferensinya. (i) LeaderFollower Dengan sistem ini, salah satu otoritas akan mengambil suatu kebijakan sedangkan otoritas yang lain akan menyesuaikan dengan kebijakan yang diambil oleh otoritas yang bergerak pertama. Sebagai contoh, otoritas fiskal terlebih dahulu mengambil kebijakan mengenai defisit anggaran dan kemudian diikuti oleh kebijakan moneter didasarkan pada kebijakan fiskal yang telah diambil. Ataupun sebaliknya, otoritas moneter mengambil kebijakan moneter terlebih dahulu dan kemudian diikuti oleh kebijakan fiskal didasarkan pada kebijakan moneter yang telah diambil. Dengan sistem

leader-follower,

keputusan

yang

diambil

oleh

leader

tentu

saja

Koordinasi Kebijakan | 7

mempertimbangkan respon yang akan diambil olehfollower. Sebagai contoh, apabila otoritas fiskal bertindak sebagai leader tentu saja akan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang ekspansif, karena otoritas moneter akan meningkatkan suku bunga apabila kebijakan fiskal yang ekspansif tersebut dianggap memberikan tekanan yang cukup besar terhadap inflasi. 2.3

Dinamika Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia Dalam perjalanannya, interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi nasional dan juga global. Secara garis besar, sejarah perjalanan interaksi kedua kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi: 1) periode pemerintahan Orde Lama; 2) periode pemerintahan Orde Baru; 3) periode setelah Krisis Moneter 1997; dan 4) periode setelah Krisis Finansial Global 2008. 1. Periode Pemerintahan Orde Lama Pada tahun 1828, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan De Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang. Dan sekarang kita kenal sebagai Bank Indonesia Peran BI dalam pelaksanaan kebijakan moneter tidak dapat dilepaskan dari intervensi pemerintah melalui Dewan Moneter. UU No. 11 Tahun 1953 juga menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan moneter. Pemerintah yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Menteri. Prawiro (1998) mencatat bahwa pelaksanaan kebijakan moneter pada periode Orde Lama cenderung dipengaruhi oleh kondisi politik. Pemerintah Orde Lama menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif yang berujung pada defisit anggaran pemerintah. Kebijakan fiskal yang ekspansif tersebut dipicu oleh: 1. Pengeluaran Militer Aksi pembebasan Irian Barat pada tahun 1961 dan konfrontasi terhadap Malaysia di tahun 1963, serta aksi-aksi militer domestik untuk menumpas beberapa kerusuhan dan pemberontakan menyebabkan pengeluaran pemerintah untuk militer meningkat pesat dan menguras sumber daya negara yang terbatas. 2. Impor Beras Kekurangan pasokan beras dialami masyarakat pada tahun 19571965. Akibatnya, Indonesia menjadi salah satu pengimpor beras terbesar di dunia Koordinasi Kebijakan | 8

yang menyebabkan cadangan devisa negara terkuras. Impor beras terus dilakukan karena penghentian impor menyebabkan masyarakat panik sehingga memperparah inflasi yang sudah tinggi. 3. Subsidi Sebagai pelindung nilai terhadap inflasi, pemerintah menyediakan subsidi besar terhadap banyak barang konsumsi, khususnya produkproduk minyak dan beras. Pada tahun 1965, lebih dari seperlima penghasilan pemerintah dialokasikan untuk mensubsidi produkproduk minyak. 4. Proyek Mercu Suar Pembangunan monumen publik, yaitu Monumen Nasional, dan proyek-proyek besar lainnya, seperti gedung-gedung dan stadion olah raga yang megah. 5. Dana Bebas (Discretionary Funds) Departemen dan proyek-proyek dapat memperoleh dana yang besarnya tergantung kebijaksanaan presiden. Defisit anggaran tersebut kemudian dibiayai dengan pinjaman dari BI. Uang yang beredar meningkat tajam jauh melebihi kebutuhan riil perekonomian sehingga mendorong melambungnya harga. Akibatnya, inflasi menjadi tidak terkendali hingga mencapai 635% pada tahun 1966. Keadaaan ini dikenal dengan periode hiperinflasi. Ekonomi Indonesia dapat dikatakan mandeg, tidak tumbuh (PPSK BI, 2003). Pengalaman masa Orde Lama menunjukkan bahwa meskipun tidak ada masalah dalam koordinasi kebijakan fiskal dan moneter karena pengambilan kebijakan berada dalam kewenangan Menteri Keuangan yang juga sebagai ketua Dewan Moneter. Namun kebijakan yang tidak pruden dan tidak bertanggung jawab serta lemahnya pengawasan telah membuat kebijakan fiskal defisit (“boros”) dimana pengeluaran tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai, dibarengi dengan kebijakan moneter yang tidak bertanggung jawab telah membuat inflasi tidak terkendalikan dan ekonomi mandeg.

2. Masa Pemerintahan Orde Baru Pada tanggal 3 Oktober 1966, untuk mengatasi kondisi hiperinflasi, pemerintah secara resmi meluncurkan program stabilisasi. Intisari dari program tersebut terkait dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang diambil adalah (Prawiro, 1998): Koordinasi Kebijakan | 9

1. Kebijakan Fiskal Pemerintah menerapkan anggaran berimbang dengan cara menghentikan proyek-proyek yang tidak produktif dan fokus pada kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Pemerintah juga melakukan reorganisasi dalam sistem perpajakan yang kuno dan tidak efisien. 2. Kebijakan Moneter Pemerintah menerapakan kebijakan moneter yang agak paradoks, yaitu kebijakan uang ketat (termasuk kredit ketat) yang dibarengi dengan kebijakan kredit longgar pada jenis investasi yang diseleksi, seperti rehabilitasi dari fasilitas-fasilitas yang telah tersedia atau proyek-proyek yang memiliki potensi paling besar untuk memperluas kapasitas produksi negara. Pada tahun 1968 pemerintah berusaha mendorong produksi dengan menggalakkan investasi dalam negeri dan luar negeri. Undangundang penanaman modal dalam negeri dan asing disusun dalam bentuk UU PMA dan UU PMDN. Di tahun yang sama, pemerintah mulai mendirikan pasar modal yang ditujukan untuk meningkatkan peranan sektor keuangan dalam mendukung pembangunan ekonomi. Dalam perkembangannya, investasi baik dari dalam maupun luar negeri meningkat sehingga produksi barang bertambah. Jumlah uang dapat dikendalikan melalui pelaksanaan anggaran berimbang dan produksi barang meningkat sehingga tingkat inflasi dapat terkendali. Inflasi menurun dari 635% di tahun 1966 menjadi 10% tahun 1969 dan bahkan hanya 2,5% di tahun 1971. Program stabilisasi yang dilakukan pemerintah dapat dikatakan berhasil memperbaiki kondisi perekonomian (Nopirin, 1996). Di pertengahan tahun 1970, harga minyak di pasaran dunia meningkat hingga hampir empat kali lipat. Hal ini memberikan dampak positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Positif karena hasil dari minyak meningkatkan penerimaan

pemerintah

sehingga

dapat

dipergunakan

untuk

membiayai

pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dari sisi fiskal. Negatif karena peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar dari sisi fiskal. Kondisi ini mengharuskan kebijakan moneter untuk melakukan penyerapan ekspansi moneter dari sisi fiskal tersebut agar tidak menimbulkan kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat meningkatkan inflasi (PPSK BI, 2003).

Koordinasi Kebijakan | 10

Pada tahun 1974, dari sisi moneter, pemerintah mulai melaksanakan kebijakan kredit selektif. Hal ini dilakukan agar jumlah uang beredar tetap terkendali sehingga inflasi dapat tetap terjaga. Setiap tahun BI menyusun rencana ekspansi kredit secara nasional dengan menghitung jumlah uang beredar yang sesuai dengan perkiraan laju inflasi dan pertumbuhan output. Pagu kredit setahun ke depan bagi masing-masing bank ditetapkan berdasarkan rencana kredit yang disampaikan oleh tiap bank kepada BI sebelumnya. Pagu individual bank tersebut pada akhirnya akan menjadi dasar untuk penyaluran kredit likuiditas yang disediakan BI sesuai dengan sektor/program yang sudah ditetapkan (PPSK BI, 2003). Di tahun 1981-1982, kondisi ekonomi dunia mengalami penurunan. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan perdagangan antar negara maju. Amerika mengalami dobel defisit, yaitu defisit anggaran belanja dan defisit neraca pembayaran, yang berujung pada langkah proteksi. Kondisi resesi dan aksi proteksi tersebut merupakan hambatan bagi ekspor Indonesia. Akibatnya, dana pemerintah untuk pembangunan ekonomi menjadi terbatas. Pemerintah kemudian melakukan serangkaian kebijakan penyesuaian untuk menghadapi situasi tersebut, seperti devaluasi, penjadwalan proyek, dan kebijakan yang terpenting adalah kebijakan deregulasi perbankan (Nopirin, 1996). Setelah kebijakan deregulasi tersebut diberlakukan, sektor perbankan dan keuangan di Indonesia berkembang pesat. Pemerintah pun kemudian menyadari bahwa tidak bisa mengandalkan penerimaan dari minyak saja. Untuk itu, pemerintah berusaha meningkatkan pendapatan dari pajak dengan memberlakukan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. UU ini mulai diberlakukan pada tahun 1984. Sebelum UU diberlakukan, sekitar 30% dari pajak yang diterima berasal dari sumbersumber non migas. Dua tahun kemudian, pada tahun 1986-1987 ketika Indonesia menghadapi krisis harga minyak yang jatuh, sistem perpajakan baru sudah mulai berjalan dengan lancar. Di tahun 1988, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 yang pada intinya merupakan paket penyempurnaan kebijakan-kebijakan sebelumnya di bidang keuangan, moneter, dan perbankan. Langkah-langkah yang ditempuh, di antaranya, adalah penurunan cadangan minimum dari 15% menjadi 2% dan pemberian kelonggaran ijin pendirian bank-bank baru dan bank campuran. Akibatnya, sektor perbankan dan keuangan di Indonesia berkembang sangat pesat Koordinasi Kebijakan | 11

(PPSK BI, 2003). Paket Kebijakan 27 Oktober diikuti dengan pelaksanaan Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 yang bertujuan meningkatkan pengerahan dana masyarakat melalui pengembangan pasar modal, lembaga pembiayaan dan asuransi. Pihak swasta diberikan kesempatan lebih luas untuk menyelenggarakan bursa efek atau pasar modal, usaha asuransi dan lembaga-lembaga pembiayaan lain. Sebagai dampak dari liberalisasi di sektor keuangan dengan diberlakukannya paket-paket kebijakan tersebut, aliran dana yang masuk ke perekonomian Indonesia, khususnya pinjaman luar negeri swasta, meningkat sangat besar dan pesat. Di satu sisi, besarnya aliran dana luar negeri tersebut dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun, di sisi lain, aliran dana luar negeri tersebut juga menimbulkan sejumlah masalah. Untuk menghindari dampak negatif dari membanjirnya aliran dana luar negeri tersebut, BI melakukan penyerapan kelebihan likuiditas sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam negeri. Namun, kenaikan suku bunga ini malah makin meningkatkan masuknya aliran dana luar negeri, khususnya dalam bentuk surat-surat berharga berjangka pendek. Akibatnya, jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai bentuk dan jangka waktu semakin membesar. Kondisi ekonomi juga diperburuk dengan tidak dijalankannya proyek-proyek swasta yang dibiayai dari pinjaman luar negeri tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang sehat (good corporate governance). Hal inilah yang menjadi penyebab utama dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia di tahun 1997 (PPSK BI, 2003). Pengalaman masa Orde Baru hingga munculnya krisis ekonomi 1997 menunjukkan bahwa koordinasi fiskal dan moneter yang terjaga dengan baik, sehingga secara umum stabilitas ekonomi makro terjaga dengan baik, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rata-rata sekitar 7,5% per tahun, ternyata menyimpan potensi krisis ekonomi yang serius. Kebijakan fiskal yang “berimbang”, namun dengan catatan bahwa utang dari luar negeri dimasukkan sebagai penerimaan pembangunan, disertai dengan deregulasi sektor moneter tanpa pengawasan dan pengaturan yang baik telah menimbulkan permasalahan ekonomi yang besar Demikian juga masuknya dana asing jangka pendek yang besar jika tidak dikelola dengan baik menimbulkan resiko yang besar, capital outflow yang besar dalam jangka pendek. Sehingga krisis ekonomi yang bermula dari Thailand dengan cepat masuk ke Indonesia dan menyebabkan ambruknya ekonomi Koordinasi Kebijakan | 12

Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia adalah yang terparah, terlama dan biayanya termahal di Asia.

3. Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997 Krisis tahun 1997 berdampak sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Untuk mencegah hancurnya sektor perbankan, dana sangat besar disuntikkan oleh pemerintah (melalui BI) ke sektor ini, yang kemudian memicu kenaikan laju inflasi. Di sisi lain, BI harus menyerap kelebihan likuiditas di masyarakat dengan memberlakukan kebijakan moneter kontraktif, yang kemudian menyebabkan naiknya suku bunga dan secara umum menimbulkan persoalan lain di pasar keuangan (PPSK BI, 2003). Resep umum yang diterapkan oleh negara-negara di Asia dalam menghadapi krisis adalah menjaga kestabilan makroekonomi dengan cara (Sabirin, 2000): 1. Di bidang moneter: Memberlakukan kebijakan moneter ketat yaitu kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan; 2. Di bidang fiskal: Mengurangi pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi; 3. Di bidang pengelolaan dunia usaha (corporate governance): Memberlakukan kebijakan yang akan memperbaiki kemampuan pengelolaan baik di sektor publik atau swasta. Termasuk di dalamnya upaya untuk mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif lainnya; 4. Di bidang perbankan: Memberlakukan restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk mencapai 2 hal, yaitu mengatasi dampak krisis dan menghindari terjadinya krisis di masa yang akan datang. Pengalaman dalam mengatasi krisis ekonomi yang dimulai 1997 yang lalu menunjukkan bahwa meskipun koordinasi fiskal dan moneter penting, namun tidak berarti dapat dilakukan dengan mudah jika bank sentral independen dari pemerintah. Lemahnya koordinasi kebijakan bisa menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan ekonomi. Oleh karena itu perlu dijaga agar koordinasi antara Koordinasi Kebijakan | 13

otoritas fiskal dan moneter dapat berjalan dengan baik, sehingga stabilitas ekonomi makro dapat terjaga dengan baik, dan pembangunan ekonomi dapat berhasil mensejahterakan dan memajukan masyarakat. Namun demikian ternyata seiring dengan ekonomi yang semakin terbuka, dan juga pasar keuangan yang semakin terintegrasi pada tingkat global. Maka koordinasi fiskal dan moneter yang baik dalam pengelolaan ekonomi sudah tidak mencukupi lagi. Perlu koordinasi yang lebih luas untuk menjaga stabililtas ekonomi makro dan membangun ekonomi.

4. Periode Setelah Krisis Finansial Global Perbankan Indonesia yang sehat dan kuat setelah restrukturisasi sektor perbankan yang dilakukan sejak krisis 1997 menjadi modal besar bagi Indonesia dalam menghadapi krisis finansial global di tahun 2008. Sehingga pasar keuangan Indonesia dapat bertahan dengan cukup baik menghadapi krisis global tersebut. Selain itu berbagai kebijakan yang diambil oleh otoritas dalam menjaga stabilitas ekonomi dan menjaga pertumbuhan ekonomi dapat membawa Indonesia dengan cukup baik melewati krisis global tersebut. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia sewaktu krisis tersebut berlangsung yang terkait dengan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal adalah (Adiningsih et.al., 2011): 1. Kebijakan moneter a. BI rate diturunkan secara bertahap dari 8,75 persen pada awal semester I 2009 hingga 7 persen di akhir semester II 2009. Kemudian BI menghentikan pemotongan suku bunga, menjaganya tetap berada di kisaran 6,5 persen sejak Agustus 2009. b. BI melakukan kebijakan intervensi pasar valuta asing. Tujuannya adalah untuk menjaga kestabilan nilai tukar, terutama pada saat ada faktor-faktor yang dapat berdampak negatif pada mata uang Indonesia. Namun, intervensi ini hanya dilakukan saat himbauan tidak efektif dalam mempengaruhi pasar. 2. Jaminan atas Simpanan (Deposit Guarantees) Pemerintah menerbitkan dua peraturan pemerintah tentang jaminan simpanan di bank yang secara efektif meningkatkan jumlah simpanan yang dijamin dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar. 3. Stimulus Fiskal Pemerintah Menyediakan paket stimulus berjumlah total Rp 71,3 triliun pada tahun 2009.

Koordinasi Kebijakan | 14

2.4

Tantangan Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia 1. Otoritas moneter dan fiskal umumnya mempunyai tujuan kebijakan yang berbeda. Perdebatan mengenai pentingnya koordinasi antar kebijakan moneter dan fiskal terkait dengan adanya perbedaan penekanan tujuan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Perbedaan penekanan pada kedua kebijakan tersebut dapat mengakibatkan hasil akhir kedua kebijakan tidak optimal bagi perekonomian. Pembiayaan fiskal defisit yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi (hyper inflation). Sebaliknya, kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. 2. Otoritas moneter dan fiskal mempunyai pandangan yang berbeda mengenai bagaimana kebijakan moneter dan fiskal mempengaruhi perekonomian. Banyaknya tantangan yang dihadapi perekonomian nasional dapat menghambat harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal. Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan dapat mendorong pemerintah melakukan kebijakan fiskal discretionary dan pada lanjutannya akan mendorong peningkatan laju inflasi. Sementara itu, kebijakan moneter yang terlalu ketat dalam rangka memerangi inflasi dapat mendorong perekonomian ke resesi yang dalam. Sehubungan dengan hal tersebut perlu ada keseimbangan antara tujuan kebijakan moneter dan fiskal (striking the balance) dengan melihat kapasitas ekonomi. Sebagai contoh, pemerintah memandang bahwa pemotongan pajak dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan tanpa berdampak buruk terhadap investasi. Sementara itu, otoritas moneter mungkin memandang pemotongan pajak tersebut dapat mengakibatkan peningkatan defisit anggaran sehingga terjadi crowding out investasi swasta. 3. Otoritas moneter dan fiskal mempunyai prediksi yang berbeda mengenai kondisi (state) perekonomian. Kemungkinan perbedaan prediksi dapat terjadi karena adanya perbedaan landasan teori ekonomi maupun variabel-variabel prakiraan (forecasting) yang digunakan. Hal

di atas mencerminkan sulitnya merumuskan bentuk koordinasi yang

universal untuk dapat diterapkan di suatu negara.

Koordinasi Kebijakan | 15

BAB III PENUTUP 3.1

Kesimpulan - Pengalaman empiris di beberapa negara menunjukkan bahwa pembiayaan fiskal defisit yang berasal dari bank sentral dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan laju inflasi dan instabilitas makroekonomi. - Secara hukum koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiscal di Indonesia telah berjalan baik, beberapa pasal di dalam Undang Undang Bank Indonesia telah secara tegas mengatur koordinasi kebijakan moneter dan fiskal khususnya yang terkait dengan inflasi sebagai tujuan kebijakan moneter dan permasalahan ekonomi dan APBN. - Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif atau mengutamakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat mengakibatkan social lost yang lebih besar terhadap perekonomian nasional. Demikian juga halnya dengan kebijakan moneter yang terlalu ketat atau mengutamakan inflasi tanpa memperhatikan pertumbuhan ekonomi dapat mengakibatkan social lost yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia. - Koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal memberikan social lost yang lebih kecil terhadap perekonomian dibandingkan jika tidak berkoordinasi. - Banyaknya permasalahan perekonomian nasional saat ini, seperti tingginya pengangguran dan kemiskinan, berpotensi mengganggu koordinasi kebijakan moneter dan fiskal. Keinginan pemerintah untuk memerangi pengangguran dapat mengakibatkan kebijakan fiscal terlalu ekspansif sehingga dapat meningkatkan inflasi yang merupakan tujuan akhir kebijakan moneter. Sejalan dengan tantangan tersebut, maka diperlukan memelihara keseimbangan antara tujuan kebijakan moneter dan fiskal (striking the balance) yang sesuai dengan kapasitas perekonomian. - Implikasi kebijakan dari temuan tersebut adalah diperlukan koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang lebih erat lagi, seperti mempertahankan dan meningkatkan peran tim koordinasi BI dan Departemen Keuangan, serta mengembangkan tim koordinasi tersebut hingga ke daerah-daerah dengan melibatkan Pemerintah Daerah.

Koordinasi Kebijakan | 16

DAFTAR PUSTAKA https://www.bi.go.id/id/moneter/koordinasi-kebijakan/contents/default.aspx www.academia.edu/6620693/kordinasi_dan_interaksi_kebijakan_fiskal-moneter

Koordinasi Kebijakan | 1

Related Documents

Pi
July 2020 22
Pi
May 2020 26
Pi
May 2020 47
Pi
May 2020 30
Pi
April 2020 40
Pi
June 2020 20

More Documents from ""

Makalah Pi Kel.5.fix-1.docx
November 2019 13
Pertanian.pptx
November 2019 8
Ppt Lpei.pptx
November 2019 17
Ppt Pi Kel.5.fix.pptx
November 2019 13