BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup yang sempurna, itulah ungkapan yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna memang memiliki banyak kelebihan dibanding makhluk hidup yang lainnya. Sebagai ciptaan-Nya yang sempurna, manusia dibekali akal dan pikiran untuk bisa dikembangkan, berbeda dengan hewan yang juga memiliki akal dan pengetahuan tapi hanya sebatas untuk mempertahankan dirinya. Dalam kehidupan, untuk mengatasi masalah manusia memerlukan akal untuk berpikir secara benar dan logis. Berpikir secara logis ialah berpikir tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-ilmu logika. Setiap apa yang akan di perbuat, hendaknya disesuaikan dengan keadaan pada dirinya masingmasing. Jika hal tersebut sesuai dengan kenyataan dan apabila dikerjakan mendapat keuntungan, maka segera dilaksanakan. Berpikir secara logis juga berarti bahwa selain memikirkan diri kita sendiri juga harus memperhatikan lingkungan, serta berpikir tentang akibat yang tidak terbawa emosi. Logika tidak memberikan jaminan bahwa kita akan selalu sampai pada kebenaran karena kepercayaan – kepercayaan yang menjadi titik tolak kita kadang – kadang salah. Namun dengan mengikuti prinsip – prinsip yang tepat, kita perlu mengulang kesalahan – kesalahan yang pernah kita lakukan. Logika tidak mempelajari cara berpikir dari semua ragamnya, tapi pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis. Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Logika merumuskan serta menerapkan hukum-hukum dan patokan-patokan yang harus ditaati agar manusia dapat berpikir benar, efisien dan teratur. Dengan demikian kami mengangkat logika sebagai bahan bahasan dalam makalah ini. Dengan harapan mampu menjadi bahan bacaan yang menarik dan mengandung daya positif.
1.2
1.3
Rumusan Masalah 1.2.1
Apa pengertian dari logika?
1.2.2
Bagaimana sejarah perkembangan logika?
1.2.3
Apa peran logika dalam kehidupan sehari-hari?
Tujuan 1.3.1
Mengetahui apa pengertian logika.
1.3.2
Mengetahui sejarah perkembangan logika secara detail.
1.3.3
Mengetahui peranan logika dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Logika Secara etimologis telah disebutkan bahwa logika berarti pikiran yang dinyatakan dalam bahasa. Jadi, logika adalah ilmu yang mempersoalkan pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk bahasa. Kata “logika” sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, biasanya dalam arti “menurut akal”, seperti kalau orang berkata : “Langkah yang diambilnya itu logis”, atau : “Menurut logikanya ia harus marah”. Akan tetapi logika sebagai istilah berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Logika dapat diartikan sebagai ilmu berpikir yang tepat atau lurus dan, sejauh dapat menunjukkan adanya kekeliruan dalam mata rantai proses berpikir sehingga kekeliruan itu dapat dielakkan, logika pada hakekatnya dapat pula disebut ilmu teknik berpikir. Sebagai ilmu berpikir yang tepat, maka tujuannya ialah untuk memperjalas isi (komprehensi) serta luas (ekstensi) dari suatu pengertian atau term dengan mempergunakan definisi yang tajam. Dengan istilah lain, logika dapat juga disebut ilmu pembahasan ; Belanda leer van de rede, Latin dan Inggris ratio, dan Yunani logos. Logika searti dengan perkataan mantiq yang berasal dari bahasa arab yaitu isim masdar dari mataqa-yantiqu, keduanya samasama berarti : perkataan, ucapan atau pikiran yang dikatakan atau diucapkan. Logika juga mempersoalkan definisi, klasifikasi, predikabel, dan lain-lain disamping mempersoalkan pokok-pokok dan syarat-syarat pemikiran yang benar. Pemikiran dapat berarti konsep atau gagasan pernyataan atau keputusan (judgement) , pertimbangan atau penalaran (reasoning). Dalam peristilahan logika, maka konsep (gagasan) disebut sebagai term, keputusan (pernyataan) disebut sebagai proposisi, dan penalaran (pertimbangan) disebut argumen. Logika, yakni sarana untuk mencari kebenaran yang kemudian berkembang menjadi epistemologi, metodologi, dan filsafat ilmu. Logika yang tadinya merupakan bagian dari filsafat (sebut saja filsafat logika) pada aspek filsafat berkembang menjadi filsafat epistemologi dan metodologi. Lalu, dalam aspek keilmuan, logika berkembang menjadi logika dedukatif, logika induktif, logika probabilitas, logika matematik dan seterusnya. Oleh karena itu, kita mengenal dua macam logika, yaitu logika mayor dan
logika minor. Logika mayor disebut juga epistemologi atau teori ilmu pengetahuan yaitu tinjauan filosofis tentang cara-cara dan metode-metode untuk memperoleh pengetahuan, sedangkan logika minor yang terkenal dengan sebutan logika saja adalah pembahasan keilmuan tentang teknik yang tepat (runtut) agar diperoleh kesimpulan yang konsisten. Secara singkat logika dapat diartikan sebagai ilmu tentang penalaran (penyimpulan). Logika disebut juga ilmu tentang penalaran karena secara sistematis menyelidiki, merumuskan dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati agar orang dapat berpikir teratur, lurus dan tepat. Logika mempunyai hubungan tertantu dengan “berpikir” sejauh mempergunakan kata-kata atau, lebih tepat lagi, kata-kata yang berhubungan satu dengan yang lain dengan tujuan tertentu. Dengan kata lain, makna logika itu baru ada bilamana mengungkapkan “sesuatu” tentang “sesuatu”, baik secara lisan maupun tertulis. Dengan demikian, logika selalu ada hubungannya dengan penggunaan kata-kata atau bahasa. Tanpa kata, ucapan, pernyataan, dan bahasa, tidak ada pikiran, karena, setidak-tidaknya ditinjau dari sudut logis, kata berpikir harus disamakan dengan dialog dalam hati sanubari.
2.2 Perkembangan Logika
2.2.1 Latar Belakang Perkembangan Logika Pada mulanya logika (mantiq) lahir dari gerakan para sofisme; yaitu golongan yang mementingkan perdebatan. Golongan ini terdiri dari ahli-ahli filsafat Yunani sejak abad ke 5 SM . Sebagaimana dikemukakan oleh Mu’in, bahwa peletak batu pertama logika adalah Socrates (470-399 SM), kemudian dilanjutkan oleh Plato (427-347 SM), dan dilengkapi oleh Aristoteles (384-322 SM) yang menyusunnya dengan pembahasan sistematis; bersumber pada filsafat. Maka, Aristoteles digelari ‘guru pertama’ ilmu pengetahuan. Pada perkembangan selanjutnya; abad pertengahan filsafat Islam, lahirlah ahli-ahli filsafat Islam yang turut aktif memberikan sumbangan bagi pengembangan logika yang sempat statis sejak masa Arstoteles. Sumbangan itu dapat dibuktikan dengan masuknya materi baru tentang beberapa persoalan yang berkenaan dengan pembahasan lafaz-lafaz. Maka tampillah pada masa ini, AlFarabi (wafat 950) yang digelari ‘guru kedua’ ilmu pengetahuan, setelah Aristoteles. Ia melakukan tajdid (pembaruan) terhadap logika; yang sebelumnya
hanya merupakan teori-teori, kemudian dipertajamnya secara praktis (amaliah); dalam arti bahwa tiap-tiap qadiyah (proposisi) diverifikasi (diuji) kebenarannya. Aristoteles dan al-Farabi; keduanya adalah tokoh filsafat. Akan tetapi mereka memeroleh gelar sebagai ‘guru’ bukandengan karya filsafatnya, melainkan dengan karya logikanya.Ini membuktikan bahwa karena sedemikian penting peran logika dalam ilmu, sehingga perintisnya digelari sebagai ‘guru ilmu pengetahuan’. Apa yang dilakukan oleh mereka merupakan pintu pembuka bagi konstelasi logika bagi para pemikir periode-periode selanjutnya. Demikian ini memberikan jalan bagi pembahasan logikapada abad baru yang dipelopori oleh Herbert Spencer (1820-1903 M) dengan menggunakan eksperimen-eksperimen yang berdasarkan pancaindra; juga percobaan Descartes (1596-1650 M) dan Immanuel Kant (1724-1804 M) yang dalam banyak pembahasan-nya berpedoman pada logika, dan tidak sedikit sumbangan mereka terhadap ilmu ini. Meskipun logika telah bergerak ke periode modern, melalui tokoh-tokohnya, tetapi hingga sekarang belum ada pemikir yang diberi julukan ‘guru ketiga’ setelah Al-Farabi, seorang pemikir Islam yang cukup terkenal. Selanjutnya, secara periodik, sejarah ringkas logika dapat diperiksa lebih dekat pada penjelasan berikut. 2.2.2 Logika Pada Zaman Yunani Kuno Kaum Sofis beserta Plato telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Socrates dengan “metode bidan” (metode mayeutis)nya juga telah banyak memberikan dasar bagi logika. Namun, penemuan yang sebenarnya baru terjadi (dilakukan) oleh Aristoteles, Theoprastus (372-287 SM) dan kaum Stoa. Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya diberi nama to Organon. Keenam buku itu adalah ; 1. Categoriae (tentang pengertian-pengertian); 2. De Interpretatione (tentang keputusan-keputusan); 3. Analityca Priora (tentang Sillogisme); 4. Analityca Posteriora (tentang pembuktian); 5. Topica (tentang metode berdebat); dan 6. De Shopisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahan berpikir).
To Organon berarti alat; dalam bahasa Inggris berarti a tool. Arti ini sering dijadikan sebagai referensi di kalangan logisi, termasuk logisi modern, untuk mengartikan logika secara terminologis, juga untuk menjelaskan fungsifungsi logika dalam ilmu pengetahuan maupun dalam konteks secara luas. Ini tampak jelas pada penjelasan tentang pengertian logika sebagaimana penjelasan di muka. Theoprastus memperkembangkan logika Aristoteles tersebut. Sedangkan kaum Stoa, terutama Chrisippus (± 280-207 SM) mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis. Logika kemudian mengalami sistematisasi. Hal ini terjadi dengan mengikuti metode ilmu ukur. Ini terutama dikembangkan oleh Galenus (± 130-201) dan Sextus Empiricus (± 200). Kemudian logika mengalami masa dekadensi. Logika menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Namun, masih ada juga karya yang pantas disebut pada masa itu. Karya-karya tersebut adalah Eisagoge dari Porphyrius (± 232305), Fons Scientiae dari Johanes Damascenus (± 674-749) dan komentarkomentar dari Boethius (± 480-524).
2.2.3 Logika Pada Abad Pertengahan (Abad IX-XVI) Pada masa itu masih dipakai buku-buku seperti Interpretatione dan Categoriae (Aristoteles), Eisagoge (Porphyrius) dan buku-buku dari Boethius (Abad XII-XIII). Ada usaha untuk mengadakan sistematisasi dan komentarkomentar (kritik). Usaha ini dilakukan oleh Thomas Aquinas (1224-1274) dan kawan-kawannya. Mereka juga serentak mengembangkan logika yang telah ada. Logika modern muncul dalam abad XIII-XV. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini ialah Petrus Hispanus (1212-1278). Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232-1315), Wilhelmus Ockhman (1295-1349) dan lain-lain. Khususnya Raymundus Lullus menemukan suatu metode logika baru yang disebut Ars Magna; yang merupakan semacam aljabar pengertian. Aljabar ini bermaksud membuktikan kebenaran-kebenaran yang tertinggi. Kemudian logika Aristoteles mengalami perkembangan yang ‘murni’. Logika itu dilanjutkan oleh beberapa tokoh seperti Thomas Hobbes (1588-1679) dalam Levitan-nya dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning
Human Understandingnya. Namun tekanan yang mereka berikan sebenarnya juga berbeda-beda. Di sini ajaran-ajaran Aristoteles telah diberi warna nominalistis yang sangat kuat (Wilhelmus Ockhman dan kawan-kawannya). 2.2.4 Logika Pada Eropa Modern (Abad XVII-XVIII/XX) Masa ini juga dapat disebut masa penemuan-penemuan yang baru. Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan metode induktif. Ini terutama dinyatakan dalam bukunya Novan Organum Scientiarum. W. Leibnitz (1646-1716) menyusun logika aljabar (Ars Magna dari Raymundus Lullus). Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih memberikan kepastian. Logika Aristoteles masih dikembangkan dalam jalur yang murni. Ini dijalankan, misalnya oleh para Neo-Thomis. Tradisi Aristoteles dilanjutkan juga dengan tekanan pada induksi. Hal ini tampak antara lain dalam buku System of Logic ; karya John Stuart Mill (1806-1873). Logika Metafisis mengalami perkembangannya dengan Immanuel Kant (1724-1804). Dia menamainya logika transendental. Dinamakan logika karena membicarakan bentuk-bentuk pikiran pada umumnya, dan dinamakan transendental karena mengatasi batas pengalaman. Kemudian logika menjadi sekadar suatu peristiwa psikologis dan metodologis. Hal ini, misalnya dikembangkan oleh Wilhem Wundt (1832-1920), John Dewey (1859-1952) dan J.M. Baldwin (1861-1934). Pada kurun akhir, logistik pada abad XIX dan XX. Ini terutama diperkembangkan oleh A. de Morgan (1806-1817), G. Boole (1815-1864), W.S. Jevonse (1835-1882), E. Schroder (1841-1902), B. Russel (1872-1970), G. Peano (1858-1932) dan masih banyak nama lain lagi. 2.2.5 Logika di India dan Indonesia Di India, logika lahir karena Sri Gautama (± 563-183 SM) sering berdebat dengan golongan Hindu fanatik yang menentang ajaran kesusilaannya. Dalam Nyaya Sutra, logika diuraikan secara sistematis. Ini pendapat komentar dari Prasastapa (Abad V), kemudian disempurnakan oleh para penganut Buddha lainnya terutama Dignaga (abad VI). Kemudian logika terus diakui sebagai metode berdebat. Kemudian muncullah berbagai komentar seperti yang
dikemukakan Uddyotakara (abad VII), Udayana (abad X) dan lain-lain. Mereka ini hanya menyusun serta meningkatkan sistematisasi ajaran-ajaran klasik saja. Muncullah karya yang disebut Navya Nyaya (Abad XIII). Hal ini merupakan pengintegrasian secara kritis ajaran-ajaran golongan Brahmanisme, Buddhisme, dan Jainisme. Sedangkan di Indonesia, tampaknya logika belum memperoleh perhatian besar. Baru sedikit orang saja yang menaruh perhatian secara ilmiah pada logika. Oleh karenanya, untuk kepentingan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, perhatian tersebut perlu diperbesar, seiring dengan posisi dan peran kuat logika sebagai pisau analisis dan pemecahan berbagai masalah. Memang, disana-sini usaha untuk itu sudah mulai tampak –sebagaimana beberapa sumber yang penulis hadirkan dalam referensi tulisan ini dan membawa hasil juga. Akan tetapi, itu harus diperluas dan dikembangkan lebih jauh dan agresif. Perluasan serta pengembangan ini merupakan usaha raksasa dalam historiografi logika dalam mempertinggi taraf intelegensi setiap orang Indonesia
Logika yang pertama kali ditemukan pada abad ke 5 M, oleh filsuf yunani kuno. Pada masa itu logika masih bernama dialektika dan telah dipergunakan oleh golongan suif untuk perdebatan. Kemudian socrates tekah meletakan batu pertama dari logika, PLATO datang menyempurnakan, ARISTOTELES mesistematikannya dalam buku berjudul organon (alat). ARISTOTELES dianggap guru pertama dari logika, tetapi logika aristoteles in bersifa teoretis. Sedangkan al-farabi merupakan guru kedua dan ia telah memperbarui pembahasan logika serta menjadikan logika praktis. Logika yang di nkembangkan oleh Al- Farabi, teklah menguji kebenaran dari setiap keputusan (qadhiyah, komposisi). Pada abad baru logika telah dikembangjkan oleh Herbert Spencer, descartes dan immanuel Kant. Sedangkan Leibniz merupakan perintis dari logika modern. Dalam logika modern, logika dipelajari sebagai ilmu tersendiri disamping sebagai ilmu yang membantu ilmu-ilmu yang lain dalam rangka penalaran