BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Pada saat ini Tindakan - tindakan perawatan luka, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir ini. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang praktek perawatan luka ini. Disamping itu pula, isu terkini yang berkait dengan manajemen perawatan luka ini berkaitan dengan perubahan profil pasien, dimana pasien dengan kondisi penyakit degeneratif dan kelainan metabolic semakin banyak ditemukan. Kondisi tersebut biasanya sering menyertai kekompleksan suatu luka dimana perawatan yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai dengan optimal. Dengan demikian, perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan tindakan tindakan perawatan luka yang dimulai dari perawatan luka,tindakan mobilisasi dan ROM dan tindakan balut bidai. Perawat juga dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis.
1.2 RUMUSAN MASALAH 1 Menjelaskan Tentang Tindakan – Tindakan Dengan Sistim Musculoskeletal 2 Bagaimana Mobilisasi dan ROM? 3 Bagaimana Balut dan Bidai? 4 Bagaimana Perawatan Luka?
Yang
Berhubungan
1.3 TUJUAN 1 Untuk mengetahui Tindakan – Tindakan Yang Berhubungan Dengan Sistim Musculoskeletal 2 Untuk mengetahui Mobilisasi dan ROM 3 Untuk mengetahui Balut dan Bidai 4 Untuk mengetahui perawatan luka.
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. TINDAKAN - TINDAKAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN SISTIM MUSCULOSKELETAL 2.1.1. MOBILISASI A. Pengertian Mobilisasi Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup aktivitasnya guna mempertahankan kesehatannya (A.Aziz, 2006). Sebaliknya keadaan imobilisasi adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini salah satunya dsebabkan oleh berada pada posisi tetap dengan gravitasi berkurang seperti saat duduk atau berbaring. Memindahkan pasien merupakan suatu kegiatan yang dilakukan pada klien (pasien) dengan kelemahan fungsional untuk berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau dari tempat tidur ke brangkar. B. Tujuan Mobilisasi a. Melatih otot skelet untuk mencegah kontraktur atau sindrom disuse, b. Mempertahankan kenyamanan pasien, c. Mempertahankan kontrol diri pasien, d. Memindahkan pasien untuk pemeriksaan(diagnostik, fisik, dll.), e. Memungkinkan pasien untuk bersosialisasi, f. Memudahkan perawat yang akan mengganti seprei (pada pasien yang toleransi dengan kegiatan ini), dan g. Memberikan aktifitas pertama (latihan pertama) pada pasien yang tirah baring (memindahkan pasien dari tempat tidur ke kursi roda). C. Mengatur Posisi Posturing / mengatur dan merubah posisi adalah mengatur pasien dalam posisi yang baik dan mengubah secara teratur dan sistematik. Hal ini
2
merupakan salah satu aspek keperawatan yang penting. Posisi tubuh apapun baik atau tidak akan mengganggu apabila dilakukan dalam waktu yang lama. (potter dan perry, 2005). D. Tujuan Mengatur Posisi a. Mencegah nyeri otot b. Mengurangi tekanan c. Mencegah kerusakan syaraf dan pembuluh darah superficial d. Mencegah kontraktur otot e. Mempertahankan tonus otot dan reflek f. Memudahkan suatu tindakan baik medic maupun keperawatan E. Macam-macam pengaturan posisi pasien 1. Posisi supinasi (telentang) posisi supinasi adalah posisi pasien berbaring terlentang dengan kepala dan bahu sedikit elevasi dengan menggunakan bantal. 2. Posisi lateral (side-lying) posisi lateral adalah posisi klien berbaring pada salah satu sisi bagian tubuh dengan kepala menoleh ke samping. 3. Posisi dorsal recumbent posisi dorsal recumbent adalah posisi terlentang dengan kedua kaki ditekuk dan tumit atau telapak kaki menempel pada tempat tidur dan kedua kaki direnggangkan. 4. Posisi trendelenberg posisi trendelenberg adalah memberikan posisi kepala lebih rendah dari pada posisi kaki. 5. Posisi sims posisi sims adalah posisi dimana pasien berbaring miring ke salah satu sisi, baik kekanan atau kekiri. 6. Posisi lithotomic posisi lithotomi adalah posisi dimana pasien terlentang dengan mengangkat kedua kaki dan ditarik ke atas abdomen 7. Posisi pronasi (telungkup)
3
posisi pronasi adalah posisi dimana klien berbaring di atas abdomen atau
tengkurap dengan kepala menoleh ke samping.
8. Posisi genu pektoral (knee-chest) posisi klien dengan berlutut kedepan dengan kepala dan dada teratas rileks pada tempat tidur. 9. Posisi fowler posisi duduk, dimana pasien istirahat diatas tempat tidur dengan tubuh agak dinaikan keatas dan derajat ketinggian (75 – 90) derajat. 10. Posisi semi fowler yang dimaksud dengan sikap semi fowler adalah sikap dalam posisi setengah duduk 15 derajat sampai dengan 60 derajat. 11. Posisi ortopnea posisi ortopnea merupakan adaptasi dari posisi fowler tinggi, klien duduk di tempt tidur atau di tepi tempat tidur degan meja yang menyilang di atas tempat tidur. 12. Posisi dangling posisi klien dengan duduk diatas tempat tidur dan kaki berjuntai. 2.1.2 ROM (Range Of Motion) A.Pengertian ROM ROM ( Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal, dan frontal. Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan ke belakang. Potongan transversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah. Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligamen,otot,dan konstruksi sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk setiap potongan. Pada potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jarijari tangan dan siku) dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal, gerakannya adalah abduksi dan adduksi (lengan dan tungkai) dan eversi dan inversi (kaki). Pada potongan transversal, gerakannya adalah pronasi dan
4
supinasi (tangan), rotasi internal dan eksternal (lutut), dan dorsifleksi dan plantarfleksi (kaki). Ketika mengkaji rentang gerak, perawat menanyakan pertanyaan dan mengobservasi
dalam
mengumpulkan
data
tentang
kekakuan
sendi,
pembengkakan, nyeri, keterbatasan gerak, dan gerakan yang tidak sama. Klien
yang
memiliki
keterbatasan
mobilisasi
sendi
karena
penyakit,
ketidakmampuan, atau trauma membutuhkan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilisasi. Latihan tersebut dilakukan oleh perawat yaitu latihan rentang gerak pasif. Perawat menggunakan setiap sendi yang sakit melalui rentang gerak penuh. Gerakan dapat dilihat sebagai tulang yang digerakkan oleh otot ataupun gaya eksternal lain dalam ruang geraknya melalui persendian. Bila terjadi gerakan, maka seluruh struktur yang terdapat pada persendian tersebut akan terpengaruh, yaitu: otot, permukaan sendi, kapsul sendi, fasia, pembuluh darah dan saraf. Pengertian ROM lainnya adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan
terjadinya
kontraksi dan pergerakan
otot,
dimana klien
menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). B.
Tujuan ROM (Range Of Motion)
Adapun tujuan dari ROM (Range Of Motion), yaitu : 1.
Meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas dan kekuatan otot
2.
Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan
3.
Mencegah kekakuan pada sendi
4.
Merangsangsirkulasidarah
5.
Mencegahkelainanbentuk, kekakuandankontraktur
C.
Manfaat ROM (Range Of Motion)
Adapun manfaat dari ROM (Range Of Motion), yaitu :
5
1.
Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan
pergerakan 2.
Mengkaji tulang, sendi, dan otot
3.
Mencegah terjadinya kekakuan sendi
4.
Memperlancar sirkulasi darah
5.
Memperbaiki tonus otot
6.
Meningkatkan mobilisasi sendi
7.
Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
D.
Prinsip Latihan ROM (Range Of Motion)
Adapun prinsip latihan ROM (Range Of Motion), diantaranya : 1.
ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari
2.
ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.
3.
Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring.
4.
Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
5.
ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagianbagian yang di curigai mengalami proses penyakit.
6.
Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah di lakukan.
E.
Jenis-jenis ROM (Range Of Motion)
ROM dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 1.
ROM Aktif ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif).Kekuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan
cara
menggunakan
otot-ototnya
secara
aktif. Sendi
yang
digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.
6
2.
ROM Pasif ROM Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian
klien
sesuai
dengan
rentang
gerak
yang
normal
(klienpasif).Kekuatanotot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (Suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otototot dan persendian dengan menggerakkan otot oranglain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. F.
Indikasi dan Sasaran ROM
1.
ROM Aktif : a. Indikasi : 1. Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif da
menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan atau tidak. 1. Pada
saat
pasien
memiliki
kelemahan
otot
dan
tidak
dapat
menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan A-AROM (ActiveAssistive ROM, adalah jenis ROM Aktif yang mana bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan bantuan untuk menyelesaikan gerakan). 3. ROM Aktif dapat digunakan untuk program latihan aerobik.
7
4. ROM Aktif digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas diatas dan dibawah daerah yang tidak dapat bergerak. b.Sasaran : 1. Apabila tidak terdapat inflamasi dan kontraindikasi, sasaran ROM Aktif serupa dengan ROM Pasif. 2. Keuntungan fisiologis dari kontraksi otot aktif dan pembelajaran gerak dari kontrol gerak volunter. 3 Sasaran spesifik: a. Memelihara elastisitas dan kontraktilitas fisiologis dari otot yang terlibat b. Memberikan umpan balik sensoris dari otot yang berkontraksi c. Memberikan rangsangan untuk tulang dan integritas jaringan persendia d. Meningkatkan sirkulasi e. Mengembangkan koordinasi dan keterampilan motorik 2.
ROM Pasif a. Indikasi : 1) Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut yang apabila dilakukan pergerakan aktif akan menghambat proses penyembuhan 2) Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya keadaan koma, kelumpuhan atau bed rest total
b. Sasaran : 1) Mempertahankan mobilitas sendi dan jaringan ikat 2) Meminimalisir efek dari pembentukan kontraktur 3) Mempertahankan elastisitas mekanis dari otot 4) Membantu kelancaran sirkulasi 5) Meningkatkan pergerakan sinovial untuk nutrisi tulang rawan serta difusi persendian 6) Menurunkan atau mencegah rasa nyeri
8
7) Membantu proses penyembuhan pasca cedera dan operasi 8) Membantu mempertahankan kesadaran akan gerak dari pasien G.
Kontraindikasi dan Hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan ROM
Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan ROM 1.
Latihan ROM tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan cedera.Gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas gerakan yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan memperlihatkan manfaat terhadap penyembuhan dan pemulihan. Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang salah, termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan
2.
ROM tidak boleh dilakukan bila respon pasien atau kondisinya membahayakan (life threatening). ROM dilakukan secara hati-hati pada sendi-sendi besar, sedangkan AROM pada sendi ankle dan kaki untuk meminimalisasi venous stasis dan pembentukan trombus. Pada keadaan setelah infark miokard, operasi arteri koronaria, dan lain-lain, AROM pada ekstremitas atas masih dapat diberikan dalam pengawasan yang ketat
H.
Keterbatasan dalam Latihan ROM
1.
ROM Aktif a.
Untuk otot yang sudah kuat tidak akan memelihara atau meningkatkan kekuatan.
b.
Tidak akan mengembangkan keterampilan atau koordinasi kecuali dengan menggunakan pola gerakan.
2.
I.
ROM Pasif tidak dapat : a.
Mencegah atrofi otot
b.
Meningkatkan kekuatan dan daya tahan
c.
Membantusirkulasi
Prosedur ROM 1.
Cuci tangan untuk mencegah transfer dari organism.
2.
Jaga privasi klien dengan menutup pintu atau memasangb sketsel
9
3.
Beri penjelasan kepada klien mengenai apa yang akan anda kerjakan dan mintalah klien untuk bekerja sama
4.
Atur ketinggian bed yang sesuai agar memudahkan perawat dalam bekerja,
terhindar
dari
masalah
pada
body
alignmen
dan
pergunakanlah selalu perinsip-perinsip body mekanik 5.
Posisikan klien dengan posisi supinasi dekat dengan perawat, dan buka bagian tubuh yang akan digerakkan
6.
Rapatkan kedua kaki dan letakkan kedua lengan pada masing-masing tubuh
7.
Kembalilah pada posisi awal setelah masing-masing gerakan. Ulangi masing-masing gerakan 3 kali
8.
Selama latihan pergerakan kaji pada : a. Kemampuan untuk mentoleransi gerakan b. Rentang gerak ( ROM ) dari masing-masing persendian yang bersangkutan
9.
Setelah latihan pergerakan kaji pada denyut nadi dan ketahanan terhadap latihan
10. Catat dan laporkan setiap terdapat masalah-masalah yang tidak diharapkan atau terjadi perubahan-perubahan pada pergerakan klien, misalnya adanya kekakuan dan kontraktur. J.
Macam-macam Gerakan ROM
Ada berbagai macam gerakan ROM, yaitu : 1. Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian. 2. Ekstensi, yaitu bertambahnya sudut persendian 3. Hiperekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut. 4 .Abduksi, yaitu gerakan menjauhi dari garis tengah tubuh. 5. Adduksi, yaitu gerakan mendekati garis tengah tubuh. 6. Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat dari tubuh 7 .Eversi, yaitu perputaran bagian telapak kaki ke bagian luar, bergerak membentuk sudut persendian. 8. Inversi, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam bergerak membentuk sudut persendian.
10
9. Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke bawah. 10. Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke atas. 11. Oposisi, yaitu gerakan menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama. Gerakan ROM Berdasarkan Bagian Tubuh Menurut Potter & Perry, (2005), ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebaga berikut : 1.
Leher, Spina, Serfikal Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Menggerakan dagu menempel ke dada,
rentang 45°
Ekstensi
Mengembalikan kepala ke posisi tegak,
rentang 45°
Hiperektensi
Menekuk
kepala
ke
belakang
sejauh rentang
mungkin, Fleksi lateral
40-45°
Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh rentang mungkin kearah setiap bahu,
Rotasi
2.
40-45°
Memutar kepala sejauh mungkin dalam rentang gerakan sirkuler,
180°
Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Menaikan lengan dari posisi di samping rentang
Bahu
Ekstensi
Hiperektensi
tubuh ke depan ke posisi di atas kepala,
180°
Mengembalikan lengan ke posisi di samping
rentang
tubuh,
180°
Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku rentang tetap lurus,
Abduksi
45-60°
Menaikan lengan ke posisi samping di atas rentang
11
kepala dengan telapak
tangan jauh dari 180°
kepala, Adduksi
Menurunkan
lengan
ke
samping
dan rentang
menyilang tubuh sejauh mungkin, Rotasi dalam
320°
Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan rentang menggerakan
lengan
sampai
ibu
jari 90°
menghadap ke dalam dan ke belakang, Rotasi luar
Dengan siku fleksi, menggerakan lengan rentang sampai ibu jari ke atas dan samping kepala,
Sirkumduksi
Menggerakan
lengan
dengan
lingkaran rentang
penuh,
3.
90°
360°
Siku Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Menggerakkan siku sehingga lengan bahu rentang bergerak ke depan sendi bahu dan tangan 150° sejajar bahu,
Ektensi
Meluruskan siku dengan menurunkan tangan,
rentang 150°
4.
Lengan bawah Gerakan
Penjelasan
Rentang
Supinasi
Memutar lengan bawah dan tangan sehingga rentang telapak tangan menghadap ke atas,
Pronasi
Memutar
lengan
bawah
sehingga
tangan menghadap ke bawah,
5.
70-90° telapak rentang 70-90°
Pergelangan tangan Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian rentang dalam lengan bawah,
12
80-90°
Ekstensi
Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari, rentang tangan, lengan bawah berada dalam arah 80-90° yang sama,
Hiperekstensi Membawa permukaan tangan dorsal ke rentang belakang sejauh mungkin, Abduksi
Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu rentang jari,
Adduksi
6.
89-90°
30°
Menekuk pergelangan tangan miring ke arah rentang lima jari,
30-50°
Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Membuat genggaman,
rentang
Jari- jari tangan
90° Ekstensi
Meluruskan jari-jari tangan,
rentang 90°
Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke belakang rentang sejauh mungkin, Abduksi
Adduksi
30-60°
Mereggangkan jari-jari tangan yang satu rentang dengan yang lain,
30°
Merapatkan kembali jari-jari tangan,
rentang 30°
7.
Ibu jari Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Mengerakan ibu jari menyilang permukaan rentang 90° telapak tangan,
Ekstensi
menggerakan ibu jari lurus menjauh dari rentang 90° tangan,
Abduksi
Menjauhkan ibu jari ke samping,
rentang 30°
Adduksi
Mengerakan ibu jari ke depan tangan,
rentang 30°
13
Oposisi
Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama.
8.
-
Pinggul Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Mengerakan tungkai ke depan dan atas,
rentang 90-120°
Ekstensi
Menggerakan kembali ke samping tungkai rentang yang lain,
90-120°
Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang tubuh,
rentang 30-50°
Abduksi
Menggerakan tungkai ke samping menjauhi rentang tubuh,
Adduksi
30-50°
Mengerakan tungkai kembali ke posisi rentang media dan melebihi jika mungkin,
Rotasi
Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai rentang
dalam
lain,
Rotasi luar
Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai rentang
Sirkumduksi
9.
30-50°
90°
lain,
90°
Menggerakan tungkai melingkar
-
Lutut Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Mengerakan tumit ke arah belakang paha,
rentang 120-130°
Ekstensi
Mengembalikan tungkai kelantai,
rentang 120-130°
10. Mata kaki Gerakan
Penjelasan
Dorsifleksi
Menggerakan
Rentang kaki
sehingga
menekuk ke atas,
jari-jari
kaki rentang 20-30°
14
Plantarfleksi
Menggerakan
kaki
sehingga
jari-jari
kaki rentang
menekuk ke bawah,
45-50°
11. Kaki Gerakan
Penjelasan
Rentang
Inversi
Memutar telapak kaki ke samping dalam,
rentang 10°
Eversi
Memutar telapak kaki ke samping luar,
rentang 10°
12. Jari-Jari Kaki Gerakan
Penjelasan
Rentang
Fleksi
Menekukkan jari-jari kaki ke bawah,
rentang 30-60°
Ekstensi
Meluruskan jari-jari kaki,
rentang 30-60°
Abduksi
Menggerakan jari-jari kaki satu dengan rentang 15° yang lain,
Adduksi
K.
Merapatkan kembali bersama-sama,
rentang 15°
Pemeriksaan Kekuatan Otot Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot secara manual (manual muscle testing, MMT).Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan mengontraksikan kelompok otot secara volunteer.Lansia yang tidak mampu mengontraksiakan ototnya secara aktif dan volunteer, tidak tepat apabila diberikan MMT standar. Pemeriksaan kekuatan otot menggunakan MMT akan membantu penegakan diagnosis klinis, penentuan jenis terapi, jenis alat bantu yang diperlukan, dan prognosis. Penegakan diagnosis dimungkinkan oleh beberapa penyakit tertentu yang hanya menyerang otot tertentu pula. Jenis terapi
dan
alat
bantu
yang
diperlukan
oleh
lansia
juga
harus
mempertimbangkan kekuatan otot. Diharapkan program terapi dan alat bantu yang dipilih tidak menyebabkan penurunan kekuatan otot atau menambah beratnya penyakit lansia. Pengkajian keseimbangan untuk lansia : 1.
perubahan posisi atau gerakan keseimbangan
15
bangun dari kursi ( dimasukkan dalam analisis )* tidak bangun dari duduk dengan satu kali gerakan , tetapi mendorong tubuhnya ke atas dengan tangan atau bergerak kebagian depan kursi terlebih dahulu , tidak stabil pada saat berdiri pertama kali. Duduk ke kursi ( dimasukkan dalam analisis )* Menjatuhkan diri di kursi , tidak duduk di tengah kursi Keterangan ()* : kursi yang keras dan tanpa lengan Menahan dorongan pada seternum (
pemeriksa
mendorong sternum perlahahn-lahan sebanyak 3 kali ) Menggerakkan kaki, memegang obyek untuk dukungan ,
kaki tidak menyentuh sisi sisi nya Mata tertutup
Sama seperti di atas (periksa kepercayaan pasien tentang input penglihatan untuk keseimbangannya) Perputaran leher Menggerakkan
kaki
,
menggenggam
obyek
untuk
dukungan , kaki tidak menyentuh sisi-sisinya , keluhan vertigo , pussing atau keadaan tidak stabil. Gerakan mengapai sesuatu Tidak mampu untuk mengapai sesuatu dengan bahu fleksi sepenuhnya sementara berdiri pada ujung-ujung jari kaki, tidak stabil, memegang sesuatu untuk dukungan Membungkuk Tidak mampu untuk membungkuk, un tuk mengambil obyek-obyek kecil(missal: pulpen) dari lantai, memegang suatu obyek untuk bias berdiri lagi, memerlukan usahausha multiple untuk bangun. 2.
komponen gaya berjalan atau gerakan Meminta klien untuk berjalan pada tempat yang ditentukan= ragu-ragu, tersandung, memegang obyek untuk dukungan.
16
Ketinggian langkah kaki(melangkah kaki pada saat melangkah) Kaki tidak naik dari lantai secara konsisten(mengeser atau mnyeret kaki), menggakat kaki terlalu tinggi( > 2 inchi). Kontinuitas langkah kaki( lebih baik dioverfasi dari samping
pasien)Setelah
langkah-langkah
awal,
tidak
konsisten memulai mengangkt satu kaki sementarakaki yang lain menyentuh lantai. Kesimetrisan langkah ( lebih baik diobservasi dari sampingpasien ) Panjangnya langkah yang tidak sama( sisi yang patologis biasanya memilki langkah yang lebih panjang
:
masalah
terdapat
pada
pinggul,
lutut,
pergelangang kaki atau otot sekitarnya ). Pengyimpangan jalur pada saat berjalan (lebih baik di observasi dari belakang klaen )Tidak berjalan dalam garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi. Berbalik Berhenti sebelum mulai berbalik, jalan sempoyongan memegang obyek untuk dukungan. L.
Proses Pelaksanaan MMT 1.
Lansia
diposisikan
sedemikian
rupa
sehingga
otot
mudah
berkontraksi sesuai dengan kekuatannya. Posisi yang dipilih harus memungkinkan kontraksi otot dan gerakan mudah diobservasi. 2.
Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian yang menghambat.
3.
Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
4.
Lansia mengontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada segmen proksimal.
5.
Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik palpasi pada tendon atau perut otot.
6.
Memberikan tahanan pada otot yang dapat bergerak dengan luas gerakan sendi penuh dan dengan melawan gravitasi.
17
7.
Melakuakan pencatatan hasil MMT
M. Kriteria hasil pemeriksaan MMT 1.
Normal (5) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan tahanan maksimal.
2.
Good (4) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan tahanan sedang (moderat).
3.
Fair (3) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi tanpa tahanan.
4.
Poor (2) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa melawan gravitasi.
5.
Trace (1) tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi
6.
Zero (0) kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi
2.2. BALUT DAN BIDAI A. Pengertian Balut Dan Bidai Balut bidai adalah tindakan memfiksasi /mengimobilisasi bagian tubuh yang mengalami cidera dengan menggunakan benda yang bersifat kaku maupun fleksibel sebagai fiksator /imobilisator. Balut bidai adalah pertolongan pertama dengan pengembalian anggota tubuh yang dirsakan cukup nyaman dan pengiriman korban tanpa gangguan dan rasa nyeri ( Muriel Steet ,1995 ). Balut bidai adalah suatu cara untuk menstabilkan /menunjang persendian dalam menggunakan sendi yang benar /melindungi trauma dari luar ( Barbara C, long ,1996) B. Tujuan Pembidaian 1.
Mencegah gerakan bagian yang stabil sehingga mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
2.
Mempertahankan posisi yang nyaman.
3.
Mempermudah transportasi organ
4.
Mengistirahatkan bagian tubuh yang cidera.
18
5.
Mempercepat penyembuhan.
6.
Memperrtahankan posisi bagian tulang yang patah agar tidak bergerak
C.
7.
Memberikan tekanan
8.
Melindungi bagian tubuh yang cedera
9.
Memberikan penyokong pada bagian tubuh yang cedera.
10.
Mencegah terjadinya pembengkakan
11.
Mencegah terjadinya kontaminasi dan komplikasi
12.
Memudahkan dalam transportasi penderita.
Tujuan Pembalutan 1.
Menghindari bagian tubuh agar tidak bergeser dari tempatnya
2.
Mencegah terjadinya pembengkakan
3.
Menyokong bagian badan yang cidera dan mencegah agar bagian itu tidak bergeser
4.
Menutup agar tidak kena cahaya, debu dan kotoran
5.
Menahan sesuatu seperti :menahan penutup luka, menahan bidai menahan bagian yang cedera dari gerakan dan geseran, menahan rambut kepala di tempat
6.
Memberikan tekanan, seperti terhadap :kecenderungan timbulnya perdarahan atauhematoma, adanya ruang mati (dead space)
D.
7.
Melindungi bagian tubuh yang cedera.
8.
Memberikan "support" terhadap bagian tubuh yang cedera.
Indikasi Pembidaian 1.
Fraktur (Patah Tulang) a.
Fraktur terbuka yaitu tulang yang patah mencuat keluar melalui luka yang terdapat pada kulit.
b.
Fraktur tertutup yaitu tulang yang patah tidak sampai keluar melalui luka yang terdapat di kulit. Kemungkinan patah tulang harus selalu dipikirkan setiap terjadi kecelakaan akibat benturan yang keras. Apabila ada keraguan, perlakuan korban sebagai penderita patah tulang. Pada fraktur terbuka tindakan pertolongan harus hati-hati, karena selain
19
bahaya infeksi gerakan tulang yang patah itu dapat melukai pembuluh-pembuluh
darah
sekitarnya
sehingga
terjadi
perdarahan baru. 2.
Terkilir Terkilir merupakan kecelakaan sehari-hari, terutama di lapangan olah raga. Terkilir disebabkan adanya hentakan yang keras terhadap sebuah sendi, tetapi dengan arah yang salah. Akibatnya, jaringan pengikat antara tulang (ligamen) robek. Robekan ini diikuti oleh perdarahan di bawah kulit. Darah yang berkumpul di bawah kulit itulah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan. Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada sendi yang mengalami terkilir : a.
Terjadi peregangan dan memar pada otot atau ligamen, jenis ini digolongkan terkilir ringan.
b.
Robekan pada ligamen, ditandai dengan rasa nyeri, bengkak dan memar biasanya lebih berat dari pada jenis tang pertama. Jenis ini digolongkan terkilir sedang.
c.
Ligamen sudah putus total sehingga sendi tidak lagi stabil. Biasanya terjadi perdarahan sekitar robekan, yang tampak sebagai memaryang hebat.
3.
Luka terbuka
4.
Penekanan untuk menghentikan pendarahan
Kecurigaan fraktur bisa dimunculkan jika salah satu bagian tubuh diluruskan. 1.
Pasien merasakan tulangnya terasa patah /mendengar bunyi “krek”
2.
Ekstremitas yang cidera lebih pendek dari yang sehat /mngalami angulasi abnormal.
3.
Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cidera
4.
Posisi ekstremitas yang abnormal
5.
Memar
6.
Bengkak
7.
Perubahan bentuk
8.
Nyeri gerak aktif dan pasif
20
9.
Nyeri sumbu
10. Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan ekstremitas yang mengalami k. cidera (krepitasi ) 11. Fungsiolaesa 12. Perdarahan bisa ada /tidak. 13. Hilangnya denyut nadi /rasa raba pada distal lokasi cidera. 14. Kram otot sekitar lokasi cidera.
E.
Kontra indikasi 1.
Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran nafas, pernafasan dan sirkulasi penderita sudah distabilkan. Jika terdapat gangguan sirkulasi dan atau gangguan yang berat pada distal daerah fraktur, jika ada resiko memperlambat sampainya penderita ke rumah sakit, sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan.
F.
2.
Hipermobilitas
3.
Efusi Sendi
4.
Inflamasi
5.
Fraktur humeri dan osteoporosis
Penanganan balut dan bidai 1.
Luka Terbuka Pada luka terbuka, terjadi cedera pada kulit yang menyebabkan jaringan di bawah kulit tersebut mengalami paparan terhadap dunia luar, sehingga risiko terjadinya infeksi meningkat. Contoh dari luka terbuka antara lain luka tusuk, luka tembak/tembus, luka sayat, luka serut/cakar, luka lecet/ laserasi, dan luka amputasi. Penanganan pada luka terbuka perlu dilakukan segera terutama jika disertai
perdarahan
yang
parah
karena
dapat
menyebabkan
syok. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan penanganan luka adalah:
21
a.
Pastikan kondisi lingkungan sekitar penolong dan korban aman. Jika kondisi tidak aman (di tengah jalan, reruntuhan, dll) segera pindahkan korban ke tempat yang aman.
b.
Gunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan
c.
Pastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi pasien
d.
Jika terlihat perdarahan yang parah, segera aktifkan SPGDT dengan menghubungiambulans
Setelah itu, mulai dilakukan penanganan pada luka dengan langkah-langkah berikut: a.
Pastikan lokasi dan jumlah bagian tubuh yang terluka dengan memeriksa keseluruhantubuh korban (expose)
b.
Jika memungkinkan tidak melukai korban lebih jauh, lepaskan perhiasan, jam tangan, atau aksesoris lainnya pada bagian tubuh korban
yang
terluka
karena
dapat
terjadi
pembengkakan
dan
mengganggu aliran darah c.
Bersihkan luka dengan mengalirkan air bersih hingga tidak ada kotoran yang menempel
d.
Lakukan kontrol perdarahan agar perdarahan berhenti. Berikut adalah beberapa cara untuk mengontrol perdarahan: 1)
Penekanan Langsung (Direct Pressure) Penekanan langsung pada luka adalah cara yang paling b
aik untuk menghentikan perdarahan, kecuali pada luka di mata. Cara untuk melakukan penekanan langsung adalah dengan menggunakan kasa atau kain yang diletakkan di atas luka lalu ditekan. Jika perdarahan tidak berhenti, tambahkan kain atau kasa baru di atas yang lama kemudian ditekan kembali. Penekanan langsung dapat juga dilakukan dengan menggunakan tangan penolong bila memang tidak ada kain/kassa. Penekanan tidak hanya dilakukan dengan kuat, tetapi juga dalam waktu yang cukup lama untuk menghentikan perdarahan (sekitar 20 menit atau lebih). Jika perdarahan tidak berhenti, dapat dilakukan
22
balut tekan dengan cara menaruh benda padat seperti kasa tebal di atas luka kemudian dibalut.
2)
Elevasi Jika luka terdapat di area tangan/kaki, tinggikan posisi tangan/kaki hingga di atas ketinggian jantung korban. Hal ini dilakukan untuk mengurangi aliran darah ke area luka sehingga perdarahan dapat melambat. Cara ini tidak boleh dilakukan pada korban dengan patah tulang/cedera karena dapat memperparah kondisi patah tulang/cederanya.
3)
Penekanan dengan Jari Penekanan dengan ujung permukaan jari dilakukan di pembuluh darah sebelum area luka untuk mengurangi aliran darah ke area luka.2,4. Elevasi dan penekanan dengan jari adalah cara yang kurang efektif untuk menghentikan perdarahan, tetapi dapat membantu dalam prosesnya.
4)
Torniket (Tourniquets) Cara ini hanya digunakan jika perdarahan masih terus berlanjut walaupun cara lain seperti penekanan langsung, balut tekan, dll sudah dilakukan dan hanya dapat dipasang di tangan/kaki.Penggunaan torniket dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena tidak adanya aliran darah pada area luka dan bawahnya dan berakibat hilangnya fungsi dari tangan/kaki.3 Berikut adalah cara memasang torniket: a)
Lingkarkan kain 5-10cm di atas area luka kemudian diikat
b)
Letakkan batang kayu kecil atau pensil di bawah simpul ikatan
c)
Kecangkan ikatan kain dengan memutar batang kayu hingga perdarahan berhenti
d)
Ikat ujung batang kayu agar kain tidak kembali kendur Tiap 10-15 menit, torniket dapat dikendurkan selama 1-2 menit agar aliran darah tidak sepenuhnya hilang di area luka dan bawahnya.
2.
Luka bakar
23
Luka bakar dapat terjadi akibat suhu yang sangat tinggi, paparan
kimia,
radiasi
(UV,
terapi)
dan
juga
dari
listrik.4 Penanganan luka bakar yang dapat dilakukan adalah:
a.
Jauhkan sumber panas dari korban
b.
Dinginkan luka bakar dengan cara mengalirkan air atau merendam area luka bakar jika memungkinkan selama 20 menit
c.
Lepaskan pakaian dan aksesoris lainnya seperti jam tangan dan cincin yang berada di sekitar area luka bakar dengan hati-hati
d.
Jika korban terluka parah, merasa sangat kesakitan, melibatkan mata atau lebih dari setengah lengannya segera aktifkan SPGDT dengan menelepon ambulans terdekat
e.
Balut area luka bakar dengan pembungkus plastik bersih
Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan dalam penanganan luka bakar: a.
Memecahkan bula atau mencabut kulit yang terkelupas
b.
Melepaskan secara paksa apapun yang sudah melekat pada kulit akibat luka bakar
c.
Mengoleskan krim, pasta gigi, mentega, atau apapun ke area luka bakar karena dapat menyebabkan infeksi Penggantian Balutan
Dalam mengganti balutan, perawat harus menggunakan APD. Balutan atau kasa yang menempel pada luka dapat dilepas tanpa menimbulkan sakit jika sebelumnya dibasahi dengan larutan salin atau bial pasien dibiarkan berandam selama beberapa saat dalam bak rendaman. Pembalut sisanya dapat dilepas dengan hati-hati memakai forseps atau tangan yang menggunakan sarung tangan steril. Kemudian luka dibersihkan dan didebridemen untuk menghilangkan
24
debris, setiap preparat topikal yang tersisa, eksudat, dan kulit yang mati. Selama penggantian balutan ini, harus dicatat mengenai warna, bau, ukuran, dan karakteristik lain dari luka.(Smeltzer, 2001)
3.
Venous ulcer Strategi utama dalam penatalaksanaan Insufisiensi Vena dan
Hypertensi Vena (sebagai penyebab utama venous ulcer) adalah: a.
Terapi Kompressi (Compression Therapy). Terapi kompresi merupakan suatu modalitas yang bertujuan
untuk
memberikan
tekanan
eksternal
pada
ekstrimitas bawah untuk memfasilitasi aliran balik vena. Modalitas ini telah digunakan sejak abad ke 17 (dalam bentuk stocking tali yang keras). Pada abad ke 21 terapi kompressi measih menjadi pilihan utama dalam manajemen venous ulcer (Cullum, et al 2003;
Kantor
and
Margolis,
2003).
Dan
dapat
pula
diaplikasikan pada LEVD yang disertai dengan dermatitis akut dan cellulitis (WOCN Society, 2005). Mekanisme kerja terapi kompressi pada dasarnya adalah memberikan tekanan dari mata kaki ke lutut dan memberikan tekanan untuk mensuport calf muscle pump saat ambulasi dan dorsofleksi. Oleh karena itu terapi ini meningkatkan aliran balik vena.
Sebagai
tambahan
terapi
kompresi
memberikan
tekanan pada jaringan superficial sehingga meningkatkan tekanan interstisial sehingga mencegah kebocoran plasma yang pada akhirnya akan mengurangi edema. Besar tekanan atau Level of Compression yang diberikan merupakan factor penting dalam terapi. Besar tekanan merupakan jumlah tekanan yang diberikan terhadap
25
jaringan. Umumnya besar tekanan berkisar antara 20-60 mmHg pada mata kaki. Tekanan sebesar 30-40 mmHg pada mata kaki biasa digunakan untuk venous ulcer. Tekanan sebesar ini dilaporkan efektif dalam mengontrol hypertensi vena dan mencegah pembentukan edema tungkai pada kebanyakan pasien dengan venous disease (de Arujo et al, 2003; Kunimot, 2001b; Paquette and Falanga, 2002; Phillips, 200). b.
Peninggian tungkai (Limb elevation). Peninggian tungkai merupakan prosedur yang sangat sederhana namun sangat efektif dalam meningkatkan aliran balik vena dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Modalitas ini sangat penting bagi pasien dengan venous ulcer bahkan esensisal bagi pasien dengan venous ulcer yang tidak dapat mentoleransi terapi kompressi. Pasien sebaiknya dianjurkan untuk meninggikan kakinya (lebih tinggi dari jantung) selama 1-2 jam, dua kali sehari (lebh baik sebelum tidur). Selanjutnya pasien juga dianjurkan untuk menghindari berdiri lama atau duduk lama dengan posisi kaki menggantung (dependent). Bila harus berdiri atau duduk lama, maka sebaiknya disertai dengan “jalan-jalan ringan”. Untuk memastikan pasien melaksanakan modalitas ini dapat dibuatkan ‘leg-up chart’ dan dievaluasi setiap kunjungan (Kunimot, 2001b; Wipke-Tevis and Sae-Sia, 2004).
4.
Luka kanker Berikut
beberapa
tindakan
yang
dapat
dilakukan
perawat
untuk
mengendalikan gejala dalam perawatan luka kanker; a.
Eksudat yang berlebihan; dapat digunakan balutan yang menyerap eksudat banyak seperti hidroselulosa (Aquacel), foam, gammge dan lainnya. Usahakan balutanyang digunakan tidak melekat pada luka
26
untuk menghindari perdarahan ketika membuka balutan. Eksudat juga akan menyebabkan kulit sekitar luka lecet, untuk itu dapat digunakan film barrier atau cream (zink cream atau metcovazin cream dll). b.
Bau tidak sedap; ditimbulkan akibat infeksi bakteri. Balutan yang dapat digunakan adalah yang mengandung silver yang dapat mengurangi pertumbuhan bakteri, dan efektif mengontrol bau. Charcoal dressing (Carboflex dll) juga dapat digunakan untuk mengontrol bau. Jika bahan yang digunakan terlalu mahal maka dapat digunakan metode alami menggunakan madu asli atau pasta gula yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri (6). Penggunakan aromaterapi untuk lingkungan sekitar juga dapat membantu mengendalikan bau tidak sedap dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien.
c.
Nyeri; disebabkan kerusakan saraf akibat kanker atau akibat dressing yang melekat pada kulit. Obat anti nyeri/ analgetik dapat diberikan sebelum perawatan dan memilih balutan yang tidak lengket pada luka akan membantu mengurangi nyeri pada pasien luka kanker.
d. Perdarahan; diakibatkan oleh sel kanker yang merusak pembuluh darah kapiler. Memilih balutan/dressing yang tidak melekat pada luka akan mengurangi resiko perdarahan ketika membuka balutan. Selain itu juga dapat digunakan balutan yang mengandung kalsium alginat (kaltostat, suprasorb A, seasorb dll) yang dapat menghentikan perdarahan minor. Jika perdarahan tidak berhenti maka dapat digunakan adrenalin dan tekan lembut pada daerah yang perdarahan. e.
Gatal; disebakan oleh kulit yang meregang dan ujung saraf yang teriritasi oleh kanker. Dapat diberikan anti histamin, TENS machine ( membantu
merangsang
otak
mengeluarkan
endorphin/painkiller),
menggunakan lembaran hidrogel untuk menghidrasi kulit dan krim mentol. G.
JENIS PEMBIDAIAN 1. Tindakan pertolongan sementara a Dilakukan ditempat cidera sebelum ke rumah sakit b.Bahan untuk bidai bersifat sederhana dan apa adanya
27
c.Bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dan meghindarkan kerusakan yang lebih berat. d. Bisa dilakukan oleh siapapun yang sudah mengetahui prinsip dan tehnik dasar pembidaian 2. Tindakan pertolongan definitif a. Dilakukan di fasilitas layanan kesehatan, klinik / RS b. Pembidaian dilakukan untuk proses penyembuhan fraktur /dislokasi menggunakan alat dan bahan khusus sesuai standar pelayanan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih. H.
JENIS-JENIS BIDAI 1.
Bidai keras: Merupakan bidai yang paling baik dan sempurna dalam kesdaan
darurat.kesulitannya
adalah
mendapatkan
bahan
yang
mempunyai syarat dilapangan. 2.
Bidai Traksi:
Bidai
bentuk
jadi
dan berfariasi tergantung
dari
pembuatannya hanya dipergunakan oleh tenaga yang terlatih khusus umumnya dipakai pada patah tulang paha. 3.
Bidai improvisasi: Bidai yang cukup dibut dengan bahan cukup kuat dan ringan untuk menopang ,pembuatannya sangat tergantung dari bahan yang tersedia dan kemampuan improvisasi si penolong. Contoh :pasien luka kecelakaan
4.
Gendongan /belat dan bebat: Pembidaian dengan menggunakan pembalut umumnya dipakai misalnya dan memanfaatkan tubuh penderita ebagai sarana untuk menghentikan pergerakan daerah cidera contoh pada pasien fraktur pada tangan.
I.
MACAM BIDAI 1.
Mitela a Bahan mitela terbuat dari kain berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai ukuran. Panjang kaki antara 50-100 cm. b. Pemabalutan ini dipergunakan pada bagian kaki yang berbentuk bulat atau untuk menggantung bagian tubuh yang cedera.
28
c. Pembalutan ini bisa dipakai pada cedera dikepala, bahu, dada, siku, telapak tangan dan kaki, pinggul serta untuk menggantung lengan. 2.
Dasi a. Pembalut ini adalah mitela yang dilipat-lipat dari satu sisi segitiga agar menjadi beberapa lapis dan bentuk seperti pita dengan kedua ujung ujungnya lancip dan lebarnya antara 5-10 cm. b. Pembalut ini bisa dipakai pada saat membalut mata, dahi rahang, ketiak, lengan, siku, paha, serta lutut betis, dan kaki yang terkilir.
3.
Pita (Gulungan) a.
Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kasa, bahan elastic. Bahan yang paling sering adalah dari kasa karena mudah menyerap air, darah, dan tidak mudah bergeser (kendur).
b.
Macam-macam pembalut yang digunakan adalah sebagai berikut; 1)
Lebar 2,5 cm : untuk jari-jari
2)
Lebar 5 cm : untuk leher dan pergelangan tangan.
3)
Lebar 7,5 cm : untuk kepala, lengan atas dan bawah, betis dan kaki.
J.
4)
Lebar 10 cm : untuk paha dan sendi panggul.
5)
Lebar 15 cm : untuk dada, perut, punggung.
PROSEDUR DASAR PEMBIDAIAN 1.
Persiapan penderita a.
Menenangkan
penderita
,jelaskan
bahwa
akan
memberikan
pertolongan. b.
Pemeriksaan mencari tanda fraktur /dislokasi
c.
Menjelaskan prosedur tindakan yang dilakukan
d.
Meminimalkan
gerakan
daerah
luka.
Jangan
/memindahkan korban jika keadaan tidak mendesak.
29
menggerakkan
e.
Jika ada luka terbuka tangani segera luka dan pendarahan dengan menggunakan cairan antiseptik dan tekan perdarahan dengan kassa steril
f.
Jika mengalami deformitas yang berat dan adanya gangguan pada denyut nadi ,sebaiknya dilakukan telusuran pada ekstremitas yang mengalami deformitas. Proses pelurusan harus hati-hati agar tidak memperberat .
g.
Periksa kecepatan pengisian kapiler. Tekan kkuku pada ekstremitas yang cedera dengan ekstremitas yang tidak cedera secara bersamaan. Periksa apakah pengembalian warna merah secara bersamaan /mengalami keterlambatan pada ekstremitas yang cedera. Jika terjadi gangguan sirkulasi segera bawa ke RS.Jika terjadi edema pada daerah cedera ,lepaskan perhiasan yang dipakai penderita .
h.
jika ada fraktur terbuka dan tampak tulang keluar. Jangan pernah menyentuh dan membersihkan tulang tersebut tanpa alat steril karena akan memperparah keadaan .
2.
Persiapan alat a.
Bidai dalam bentuk jadi /bidai standart yang telah dipersiapkan
b.
Bidai sederhana (panjang bidai harus melebihi panjang tulang dan sendi yang akan dibidai )contoh :papan kayu, ranting pohon.
c.
Bidai yang terbuat dari benda keras (kayu) sebaiknya dibalut dengan bahan yang lebih lembut (kain, kassa, dsb)
d.
Bahan yang digunakan sebagai pembalut pembidaian bisa berasal dari pakaian atau bahan lainnya. Bahan yang digunakan harus bisa membalut dengan sempurna pada ekstremitas yang dibidai namun tidak terlalu ketat karena dapat menghambat sirkulasi.
K.
TINDAKAN PELAKSANAAN PEMBIDAIAN 1.
Pembidaian meliputi 2 sendi, sendi yang masuk dalam pembidaian adalah sendi dibawah dan diatas patah tulang .Contoh :jika tungkai bawah mengalami fraktur maka bidai harus bisa memobilisasi pergelangan kaki maupun lutut
30
2.
Luruskan posisi anggota gerak yang mengalami fraktur secara hatihati dan jangan memaksa gerakan ,jika sulit diluruskan maka pembidaian dilakukan apa adanya
3.
Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan dapat dilakukan traksi,tapi jika pasien merasakan nyeri ,krepitasi sebaiknya jangan dilakukan traksi, jika traksi berhasil segara fiksasi,agar tidak beresiko untuk menciderai saraf atau pembuluh darah.
4.
Beri bantalan empuk pada anggota gerak yang dibidai
5.
Ikatlah bidai diatas atau dibawah daerah fraktur ,jangan mengikat tepat didaerah fraktur dan jangan terlalu ketat
L.
PRINSIP PEMBERIAN BALUT BIDAI 1. Prinsip pembalutan a. Rapat dan rapi b. Jangan terlalu longgar c. Ujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui funsi sirkulasi d. Bila ada keluhan terlalu erat longgarkan 1. Prinsip pembidaian a.
Lakukan pembidaian pada tempat dimana anggota badan mengalami cedera.
b.
Lakukan pembidaian pada dugaan terjadinya patah tulang.
c.
Melewati minimal dua sendi yang berbatasan
d.
Untuk pemasangan spalk pada saat pemasangan infuse pada bayi dan anak-anak yang hiperaktivitas
M. PERALATAN 1.
Pembalut yang sesuai (Mitella/dasi/pita)
2.
Spalk
3.
Plaster
4.
Kasa steril
5.
Handscoon dalam bak instrumen
6.
Betadine dan cairan desinfektan dalam kom
7.
Bengkok
8.
Korentang
31
9. N.
Gunting plester
KOMPLIKASI 1. Dapat menekan jaringan pembuluh darah / syaraf dibawahnya bila bidai terlalu ketat 2. Bila bidai terlalu longgar masih ada gerakan pada tulang yang patah 3. Menghambat aliran darah 4. Memperlambat transportasi penderita bila terlalu lama melakukan pembidaian 5. Bula, kegagalan flap/graf 6. Risiko perdarahan/hematima yang meningkatkan 7. Infeksi gram negatif, infeksi Candida 8. Nyeri dan perdarahan saat penggantian balutan 9. Iritan/dermattis kontak alergi
O.
PERSIAPAN 1. PERSIAPAN PASIEN a.
Menenangkan penderita ,jelaskan bahwa akan memberikan pertolongan.
b.
Pemeriksaan mencari tanda fraktur /dislokasi
c.
Menjelaskan prosedur tindakan yang dilakukan
d.
Meminimalkan gerakan daerah luka. Jangan menggerakkan /memindahkan korban jika keadaan tidak mendesak.
e.
Jika ada luka terbuka tangani segera luka dan pendarahan dengan menggunakan cairan antiseptik dan tekan perdarahan dengan kassa steril
f.
Jika mengalami deformitas yang berat dan adanya gangguan pada denyut nadi ,sebaiknya dilakukan telusuran pada ekstremitas yang mengalami deformitas. Proses pelurusan harus hati-hati agar tidak memperberat .
g.
Periksa kecepatan pengisian kapiler. Tekan kuku pada ekstremitas yang cedera dengan ekstremitas yang tidak cedera secara bersamaan. Periksa apakah pengembalian warna merah secara
32
bersamaan /mengalami keterlambatan pada ekstremitas yang cedera. h.
Jika terjadi gangguan sirkulasi segera bawa ke RS
i.
Jika terjadi edema pada daerah cedera ,lepaskan perhiasan yang dipakai penderita
j.
Jika ada fraktur terbuka dan tampak tulang keluar. Jangan pernah menyentuh dan membersihkan tulang tersebut tanpa alat steril karena akan memperparah keadaan .
2.
PERSIAPAN LINGKUNGAN Menyiapkan lingkungan aman dan nyaman
Q.
PROSEDUR KERJA 1. Memberi salam 2. Jelaskan prosedur kepada klien dan menanyakan keluhan yang dirasakan. 3. Mencuci tangan 4. Menjaga privasi klien dengan membuka bagian yang akan dilakukan tindakan atau menutup tirai. 5. Melihat bagian tubuh mana yang akan dibalut. 6. Atur posisi klien tanpa menutupi bagian tubuh yang akan dilakukan tindakan. 7. Lepaskan pakaian yang menutupi tempat untuk mengambil tindakan. 8. Perhatikan tempat yang akan dibalut dengan menjawab pertanyaan berikut: a Bagian dari tubuh mana b.Apakah ada luka terbuka atau tidak c.Bagaimana luas luka tersebut d. Apakah perlu membatasi gerak tubuh tertentu atau tidak e. Memakai sarung tangan steril f. Pilih jenis balutan yang akan dipergunakan atau dikombinasi. g. Sebelum dibalut, jika luka terbuka, perlu diberi desinfektan. h. Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan hal berikut:
33
1) Dapat membatasi pergeseran atau gerak tubuh lainnya 2) Sesedikit mungkin membatasi gerak tubuh yang lain 3) Tidak mengganggu peredaran darah misalnya pada saat membalut berlapis-lapis i. Cara melakukan pembalutan 1. Cara membalut dengan mitela o
Salah satu mitela dilipat 3-4 cm sebanyak 1-3 kali.
o
Pertahankan sisi yang telah terlipat terletak diluar bagian yang akan dibalut, lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi diikat.
o
Salah satu ujung bebas lainnya ditarik dan dapat diikat pada lipatan, diikat pada tempat lain, atau dapat dibiarkan bebas. Hal ini tergantung pada tempat dan kepentingan.
2. Cara membalut dengan dasi o Pembalut mitela dilipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan masing-masing ujung lancip. o Bebatkan pada tempat yang akan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikat. o Diusahakan agar balutan tidak mudah kendur dengan cara sebelum diikat arahnya saling menarik. o Kedua ujungnya diikatkan secukupnya. 3. Cara membalut dengan pita o
Berdasarkan besar bagian tubuh yang akan dibalut, maka dipilih pembalut pita dengan ukuran lebar yang sesuai.
o
Balutan pita yang biasanya terdiri atas beberapa lapis, dimulai dari salah satu ujung yang diletakkan dari proksimal kedistal menutup sepanjang bagian tubuih yang akan dibalut, kemudian dari distal ke proksimal dibebatkan dengan arah bebatan saling
34
menyilang dan tumpang tindih antara bebatan yangn satu dengan bebatan berikutnya. o
Kemudian ujung yang didalam ditarik dan diikat dengan ujung yang lain.
R.
EVALUASI 1.
Mencatat tindakan pemasangan perban dan respon klien dalam catatan keperawatan.
2.
Mencatat warna, kehangatan, nadi, dan mati rasa.
3.
Mencatat hasil tindakan perawatan luka yang mencakup data subyektif dan obyektif, analisa dan planning.
4.
Evaluasi hasil pembalutan ; mudah lepas/longgar, terlalu ketat (mengganggu peredaran darah / gerakan)
5.
Evaluasi perasaan klien.
2.3. PERAWATAN LUKA A. Pengertian Luka Secara definisi suatu luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera atau pembedahan. Luka ini bisa diklasifikasikan
berdasarkan
struktur
anatomis,
sifat,
proses
penyembuhan dan lama penyembuhan. Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul : 1.Hilangnya
seluruh
atau
sebagian
fungsi
organ 2. Respon stres simpatis 3. Perdarahan dan pembekuan darah 4. Kontaminasi bakteri 5. Kematian sel Sedangkan klasifikasi berdasarkan struktur lapisan kulit meliputi: superfisial, yang melibatkan lapisan epidermis; partial thickness, yang melibatkan lapisan epidermis dan dermis; dan full thickness yang
35
melibatkan epidermis, dermis, lapisan lemak, fascia dan bahkan sampai ke tulang. Berdasarkan proses penyembuhan, dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: a. Healing by primary intention Tepi luka bisa menyatu kembali, permukan bersih, biasanya terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang. Penyembuhan luka berlangsung dari bagian internal ke ekseternal. b. Healing by secondary intention Terdapat sebagian jaringan yang hilang, proses penyembuhan akan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi pada dasar luka dan sekitarnya. c. Delayed primary healing (tertiary healing) Penyembuhan luka berlangsung lambat, biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual. Berdasarkan klasifikasi berdasarkan lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2-3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tandatanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu. Luka insisi bisa dikategorikan luka akut jika proses penyembuhan berlangsung sesuai dengan kaidah penyembuhan normal tetapi bisa juga dikatakan luka kronis jika mengalami keterlambatan penyembuhan (delayed healing) atau jika menunjukkan tandatanda infeksi. B. Mekanisme Terjadinya Luka 1.
Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)
2.
Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
36
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak. 3.
Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4.
Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5.
Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6.
Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7.
Luka Bakar (Combustio)
C. Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka : 1.
Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
2.
Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
D. Proses Penyembuhan Luka 1.
Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa terjadi tumpang tindih (overlap)
2.
Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis jaringan yang rusak serta penyebab luka tersebut
3.
Fase penyembuhan luka :
a.
Fase inflamasi :
37
Hari ke 0-5 Respon segera setelah terjadi injuri Pembekuan darah Untuk mencegah kehilangan darah Karakteristik : tumor, rubor, dolor, color, functio laesa Fase awal terjadi haemostasis Fase akhir terjadi fagositosis Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi b.
Fase proliferasi or epitelisasi Hari 3 – 14 Disebut juga dengan fase granulasi adanya pembentukan jaringan granulasi pada luka Luka nampak merah segar, mengkilat Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi : Fibroblasts, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid Epitelisasi terjadi pada 24 jam pertama ditandai dengan penebalan lapisan epidermis pada tepian luka Epitelisasi terjadi pada 48 jam pertama pada luka insisi
c.
Fase maturasi atau remodeling Berlangsung dari beberapa minggu sampai dengan 2 tahun Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan (tensile strength) Terbentuk jaringan parut (scar tissue) 50-80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya Terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular and vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
E. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka 1.
Status Imunologi
2.
Kadar gula darah (impaired white cell function)
3.
Hidrasi (slows metabolism)
4.
Nutriisi
38
Kadar albumin darah (‘building blocks’ for repair, colloid osmotic
5.
pressure oedema) 6.
Suplai oksigen dan vaskularisasi
7.
Nyeri (causes vasoconstriction)
8.
Corticosteroids (depress immune function)
F. Pemilihan Balutan Luka Balutan luka (wound dressings) secara khusus telah mengalami perkembangan yang sangat pesat selama hampir dua dekade ini. Revolusi dalam perawatan luka ini dimulai dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Professor G.D Winter pada tahun 1962 yang dipublikasikan dalam jurnalNature tentang keadaan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka. Menurut Gitarja (2002), adapun alasan dari teori perawatan luka dengan suasana lembab ini antara lain: 1
Mempercepat fibrinolisis Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab.
2.
Mempercepat angiogenesis Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan Merangsang lebih pembentukan pembuluh darah dengan lebih cepat.
3.
Menurunkan resiko infeksi Kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perawatan kering.
4.
Mempercepat pembentukan Growth factor Growth factor berperan pada proses penyembuhan luka untuk Membentuk stratum corneum dan angiogenesis, dimana produksi Komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang lembab.
5.
Pada keadaan lembab, invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.
39
2.3.1 Perawatan Luka Bersih Perawatan luka bertujuan untuk meningkatkan proses penyembuhan jaringan juga untuk mencegah infeksi. Luka yang sering ditemui oleh bidan di klinik atau rumah sakit biasanya luka yang bersih tanpa kontaminasi misal luka secsio caesaria, dan atau luka operasi lainnya. Perawatan luka harus memperhatikan teknik steril, karena luka menjadi port de entre nya mikroorganisme yang dapat menginfeksi luka. A.
PERSIAPAN
1.
Mencuci tangan
2.
Menyiapkan alat-alat dalam baki/trolley Alat Steril dalam bak instrumen ukuran sedang tertutup:
Pinset anatomis (2 buah)
Pinset chirurgis (2 buah)
Handscoon steril
Kom steril (2 buah)
Kassa dan kapas steril secukupnya
Gunting jaringan/ Gunting Up Hecting (jika diperlukan) Alat Lain:
Gunting Verband/plester
Plester
Nierbekken (Bengkok)
Lidi kapas
Was bensin
Alas / Perlak
Selimut Mandi
Kapas Alkohol dalam tempatnya
Betadine dalam tempatnya
Larutan dalam botolnya (NaCL 0,9%)
Lembar catatan klien
Setelah lengkap bawa peralatan ke dekat klien
40
B. MELAKUKAN PERAWATAN LUKA 1. Mencuci tangan 2. Lakukan inform consent lisan pada klien/keluarga dan intruksikan klien untuk tidak menyentuh area luka atau peralatan steril. 3. Menjaga
privacy
dan
kenyamanan
klien
dan
mengatur
kenyamanan klien 4. Atur posisi yang nyaman bagi klien dan tutupi bagian tubuh selain bagian luka dengan selimut mandi. 5. Basahi plester yang melekat dengan was bensin dengan lidi kapas. 6. Lepaskan plester menggunakan pinset anatomis ke 1 dengan melepaskan ujungnya dan menarik secara perlahan, sejajar dengan kulit ke arah balutan. 7. Kemudian buang balutan ke nierbekken. 8. Simpan pinset on steril ke nierbekken yang sudah terisi larutan chlorin 0,5% 9. Kaji Luka: 10. Jenis, tipe luka, luas/kedalaman luka, grade luka, warna dasar luka, fase proses penyembuhan, tanda-tanda infeksi perhatikan kondisinya, letak drain, kondisi jahitan, bila perlu palpasi luka denga tangan non dominan untuk mengkaji ada tidaknya puss.
11. Membersihkan luka: Larutan NaCl/normal salin (NS) di tuang ke kom kecil ke 1 Ambil pinset, tangan kanan memegang pinset chirurgis dan tangan kiri memegang pinset anatomis ke-2 Membuat kassa lembab secukupnya untuk membersihkan luka (dengan cara memasukkan kapas/kassa ke dalam kom berisi NaCL 0,9% dan memerasnya dengan menggunakan pinset) Lalu mengambil kapas basah dengan pinset anatomis dan dipindahkan ke pinset chirurgis
41
Luka dibersihkan menggunakan kasa lembab dengan kassa terpisah untuk sekali usapan.Gunakan teknik dari area kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi.
12. Menutup Luka
Bila sudah bersih, luka dikeringkan dengan kassa steril kering yang diambil dengan pinset anatomis kemudian dipindahkan ke pinset chirurgis di tangan kanan.
Beri topikal therapy bila diperlukan/sesuai indikasi
Kompres dengan kasa lembab (bila kondisi luka basah) atau langsung ditutup dengan kassa kering (kurang lebih 2 lapis)
Kemudian pasang bantalan kasa yang lebih tebal
Luka diberi plester secukupnya atau dibalut dengan pembalut dengan balutan yang tidak terlalu ketat.
13. Alat-alat dibereskan 14. Lepaskan sarung tangan dan buang ke tong sampah 15. Bantu klien untuk berada dalam posisi yang nyaman 16. Buang seluruh perlengkapan dan cuci tangan. C. DOKUMENTASI 1.
Hasil observasi luka
2.
Balutan dan atau drainase
3.
Waktu melakukan penggantian balutan
4.
Respon klien
2.3.2 Perawatan Luka Basah Balutan basah kering adalah tindakan pilihan untuk luka yang memerlukan debridemen (pengangkatan benda asing atau jaringan yang mati atau berdekatan dengan lesi akibat trauma atau infeksi sampai sekeliling jaringan yang sehat) Indikasi : luka bersih yang terkontaminasi dan luka infeksi yang memerlukan debridement A. Tujuan : Membersihkan luka terinfeksi dan nekrotik
42
Mengabsorbsi semua eksudat dan debris luka Membantu menarik kelompok kelembapan ke dalam balutan.
B. Persiapan alat : 1. Bak balutan steril : Kapas balut atau kasa persegi panjang Kom kecil 2 buah 2 pasang pinset (4 buah) atau minimal 3 buah (2 cirurgis dan 1 anatomis) Aplikator atau spatel untuk salaep jika diperlukan Sarung tangan steril jika perlu 2. Perlak dan pengalas 3. Bengkok 2 buah Bengkok 1berisi desinfektan 0,5 % untuk merendam alat bekas Bengkok 2 untuk sampah 4. Larutan Nacl 0,9 % 5. Gunting plester dan sarung tangan bersih 6. Kayu putih dan 2 buah kapas lidi C. Prosedur : 1.
Jelaskan prosedur yang akan dilakuakan
2.
Dekatkan peralatan di meja yang mudah dijangkau perawat
3.
Tutup ruangan sekitar tempat tidur dan pasang sampiran
4.
Bantu klien pada posisi nyaman. Buka pakaian hanya pada bagian luka dan instruksikan pada klien supaya tidak menyentuh daerah luka atau
peralatan.
5.
Cuci tangan
6.
Pasang perlak pengalas di bawah area luka
7.
Pakai sarung tangan bersih, lepaskan plester dengan was bensin menggunakan lidi kapas, ikatan atau balutan. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan sejajar
43
kulit dan mengarah pada balutan. Jika masih terdapat bekas plester di kulit bersihkan dengan kayu putih 8.
Angkat balutan kotor perlahan-lahan dengan menggunakan pinset atau sarung tangan, pertahankan permukaan kotor jauh dari penglihatan klien. Bila terdapat drain angkat balutan lapis demi lapis
9.
Bila balutan lengket pada luka lepaskan dengan menggunakan normal salin ( NaCl 0,9 % )
10.
Observasi karakter dari jumlah drainase pada balutan
11.
Buang balutan kotor pada sampah, hindari kontaminasi permukaan luar kantung, lepaskan sarung tangan dan simpan pinset dalam bengkok yang berisi larutan desinfektan
12.
Buka bak steril, tuangkan larutan normal salin steril ke dalam mangkok kecil. Tambahkan kassa ke dalam normal salin
13.
Kenakan sarung tangan steril
14.
Inspeksi keadaan luka, perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan atau penutup kulit dan karakter drainase ( palpasi luka bila perlu dengan bagian tangan yang nondominan yang tidak akan menyentuh bahan steril )
15.
Bersihkan luka dengan kapas atau kassa lembab yang telah dibasahi normal salin. Pegang kassa atau kapas yang telah dibasahi dengan pinset. Gunakan kassa atau kapas terpisah untuk setiap usapan membersihkan. Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi
16.
Pasang kassa yang lembab tepat pada permukaan kulit yang luka. Bila luka dalam maka dengan perlahan buat kemasan dengan menekuk tepi kasa dengan pinset. Secara perlahan masukan kassa ke dalam luka sehingga semua permukaan luka kontak dengan kassa lembab
17.
Luka ditutup dengan kassa kering. Usahakan serat kassa jangan melekat pada luka. Pasang kassa lapisan kedua sebagai lapisan penerap dan tambahkan lapisan ketiga
18.
Luka difiksasi dengan plester atau dibalut dengan rapi,
44
19.
Lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat yang telah disediakan, dan simpan pisnet yang telah digunakan pada bengkok perendam
20.
Bereskan semua peralatan dan bantu pasien merapikan pakaian, dan atur kembali posisi yang nyaman
21.
Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
22.
Dokumentasikan hasil, observasi luka, balutan dan drainase, termasuk respon klien.
Perhatian : -
Pengangkatan balutan dan pemasangan kembali balutan basah kering dapat menimbulkan rasa nyeri pada klien
-
Perawat harus memberikan analgesi dan waktu penggantian balutan sesuai dengan puncak efek obat
-
Pelindung mata harus digunakan jika terdapat resiko adanya kontaminasi ocular seperti percikan dari luka
45
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan Dan Saran
Tindakan- tindakan yang berhubungan dengan sistim musculoskeletal adalah
tindakan perawatan luka terbuka dan tertutup,tindakan mobilisasi
dan ROM dan tindakan bidai dan balutan. Yang berdasarkan pengetahuan dan
keterampilan
yang
adekuat
terkait
dengan
pengkajian
yang
komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis.
46
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika Bobak, K. Jensen. 2005. Perawatan Maternitas. Jakarta: EGC. Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah. Jakarta: EGC. Effendy, Christantie dan Ag. Sri Oktri Hastuti. 2005. Kiat Sukses menghadapi Operasi. Yogyakarta: Sahabat Setia. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC
47