Makalah Pengolahan Lumpur Klp 8.docx

  • Uploaded by: ratifa
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Pengolahan Lumpur Klp 8.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,292
  • Pages: 22
MAKALAH TEKNIK PENGOLAHAN LUMPUR

Di Susun Oleh: KELOMPOK 7 Muaemana

D121 16 007

Melin Febrina

D121 16 303

Muhammad Raihan

D121 16 509

DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2019

i

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah ini dengan judul “Teknik Pengolahan Lumpur”. Dalam penulisan makalah ini kami banyak menghadapi kesulitan dan hambatan tetapi berkat dorongan dan dukungan dari teman-teman, sehingga kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya. Namun walaupun makalah ini selesai tentulah masih banyak kekurangan hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang kami miliki, oleh karena itu kritik dan saran yang mengarah kepada perbaikan isi makalah ini sangat kami harapkan.

Gowa, 24 Maret 2019

Penulis

ii

DAFTAR ISI SAMPUL ..............................................................................................................................

i

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................

ii

DAFTAR ISI .........................................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 2.1 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3.1 Tujuan dan Manfaat Penulisan ..................................................................................

1 2 2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 2.2 2.3 2.4

Pengertian Lumpur .................................................................................................... Sumber Lumpur ........................................................................................................ Karakteristik Lumpur ................................................................................................ Proses Pengolahan Lumpur ....................................................................................... 2.4.1 Pemekatan atau Pengentalan Lumpur (Sludge Thickening) ............................. 2.4.2 Stabilisasi Lumpur (Sludge Stabilization)........................................................ 2.4.3 Pengeluaran Air (Slugde Dewatering) ............................................................. 2.4.4 Pembuangan Akhir (Slugde Lanfilling) ...........................................................

3 4 4 5 5 8 10 16

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................................... B. Saran ..........................................................................................................................

18 18

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................

19

iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumb erdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk kepentingan lainnya, seperti pertanian dan indutri. Oleh karena itu keberadaan air dalam masyarakat perlu dipelihara dan dilestarikan bagi kelangsungan kehidupan. Air tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan. Tanpa air tidaklah mungkin ada kehidupan. Semua orang tahu betul akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan. Namun, tidak semua orang berpikir dan bertindak secara bijak dalam menggunakan air dengan segala permasalahan yang mengitarinya. Malah ironisnya, suatu kelompo masyarakat begitu sulit mendapatkan air besih sedangkan segelitir kelompok masyartakat lainnya dengan mudah menghamburkan-hamburkan air. Di daerah perkotaan Indonesia, rumah tangga merupakan pemakai air bersih terbesar, sekitar 68 persen total produksi air diserap oleh rumah tangga (Djayadiningrat, 1992). Mayoritas pemakai air bersih adalah rumah tangga dengan cakupan sebesar 93% (PDAM, 2012). Air bersih sebagai kebutuhan dasar (basic need) perkotaan diproduksi oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan hasil samping produksi tersebut adalah berupa lumpur (sludge). Lumpur PDAM setelah melalui tahapan proses sludge drying bed, kemudian lumpur disimpan dalam bak penampungan yang semakin lama semakin penuh, sehingga akhirnya lumpur tersebut harus dibuang ke lingkungan. Dipastikan bahwa lumpur tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah khususnya tanaman disekitarnya. Maka untuk memastikan unsur-unsur apa saja dan berapa kadar unsur tersebut dilakukan analisis agar diketahui konsentrasinya. Pada dasarnya, lumpur merupakan bagian dari tanah yang terbawa hanyut oleh aliran air sungai. Tanah tersusun dari empat bahan utama, yaitu : bahan mineral, bahan organik, air, dan udara (Saeni, 1989). Parameter yang diuji meliputi pengujian

1

kadar logam yang berbahaya maupun unsur-unsur essensial yang dapat membantu menyuburkan tanah. Lumpur yang akan dibuang ke lingkungan harus memenuhi beberapa kriteria tertentu, yakni salah satunya tidak mencemari lingkungan, maka lumpur yang akan dibuang perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk mengetahui suatu kadar sesuai parameter yang akan diuji, yakni menganalisis kadar Mg, Cu, Fe, P, K, dan Cd. Selain mengukur kadar logam berat sebagai 2 pencemar yang berbahaya, dilakukan juga uji parameter meliputi beberapa unsur esensial yang dapat membantu menyuburkan tanah atau unsur hara makro dan mikro. Sehingga data tersebut dapat memberikan gambaran kepada masyarakat sekitar bahwa lumpur tersebut berbahaya atau berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan campuran pupuk.

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses pengolahan lumpur? 2. Apa saja unit-unit pada pengolahan lumpur? 3. Bagaimana karakteistik lumpur yang akan di buang ke lingkungan?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui bagaimana proses pengolahan lumpur. 2. Mengetahui unit-unit pengolahan lumpur. 3. Karakteristik lumpur yang akan di buang ke lingkungan.

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Lumpur Lumpur adalah campuran cair atau semi cair antara air dan tanah. Lumpur terjadi saat tanah basah. Secara geologis, lumpur ialah campuran air dan partikel endapan lumpur dan tanah liat. Jumlah lumpur dapat diketahui berdasarkan jumlah pemakaian bahan kimia untuk proses flokulasi (flocculation), kekeruhan (turbidity), dan jumlah air baku. Produksi lumpur meningkat pada musim hujan 4 akibat peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh erosi, hal tersebut merupakan salah satu ciri air permukaan. Jumlah pemakaian bahan kimia untuk penanganan kekeruhan tergantung pada tingkat kekeruhan, dengan demikian pemakaian bahan kimia yang meningkat mengindikasikan adanya peningkatan produksi lumpur. Pada umumnya lumpur masih memiliki kadar air yang cukup tinggi. Lumpur yang banyak mengandung padatan diperoleh dari hasil proses pemisahan padatcair dari limbah yang sering disebut dengan sludge atau lumpur encer. Didalam sludge tersebut sebagian besar mengandung air dan hanya beberapa persen berupa zat padat. Umumnya persentase kandungan air tersebut dapat mencapai 95-99% (Muhammad, 2010). Pada dasarnya, lumpur merupakan bagian dari tanah yang terbawa hanyut oleh aliran air sungai. Tanah tersusun dari empat bahan utama, yaitu : bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan-bahan penyusun tersebut jumlahnya masing-masing berbeda untuk setiap jenis tanah ataupun setiap lapisan tanah. Pada tanah lapisan atas yang baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah) umumnya mengandung 45% (volume) bahan mineral, 5% bahan organik, 20-30% udara, 30-30% air. Bahan organik dalam tanah pada umumnya ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya sekitar 3-5% tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali (Achmad, 2004). Adapun bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya juga pada pertumbuhan tanaman adalah:  Sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah

3

 Sumber unsur hara N, P, K, unsur mikro dan lain-lain.  Menambah kemampuan tanah untuk menahan air.  Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara.  Sumber energi bagi organisme. Bahan organik dalam tanah terdiri dari bahan organik kasar dan bahan organik halus atau humus. Humus terdiri dari bahan organik halus berasal dari hancuran bahan organik kasar serta senyawa-senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan organik tersebut melalui kegiatan mikroorganisme dalam tanah. 2.2 Sumber Lumpur Berdasarkan sumbernya, lumpur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu primary raw sludge dan waste activated sludge (WAS). Primary raw sludge berasal dari padatan yang diendapkan pada proses pengendapan primer (primary sedimentation). Sementara itu, waste activated sludge ialah flok-flok yang terbentuk dari gabungan mikroorganisme dan sebagian polutan yang teroksidasi selama proses aerasi, yang mengendap di dalam tangki sekunder (secondary clarifier).

2.3 Karakteristik Lumpur Seperti halnya di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), walaupun berbeda sifat atau karakteristiknya, PDAM pun menimbulkan lumpur (sludge) yang volume hariannya relatif besar, tergantung pada debit air yang diolah dan konsentrasi kekeruhan air bakunya. Makin besar debitnya dan makin tinggi konsentrasi padatannya, baik padatan kasar (coarse solid), padatan tersuspensi (suspended solid) maupun koloid, makin besar juga volume lumpurnya (Mary dan Azikin, 2003). Lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan air di PDAM secara umum berasal dari unit filtrasi. Lumpur yang dihasilkan umumnya berwarna cokelat pekat dan lumpur tersebut sifatnya diskrit maupun flok. Diskrit yaitu lumpur yang butir-butirannya terpisah tanpa koagulan, mayoritas lumpur ini mengandung pasir, grit, dan pecahan kerikil berukuran kecil. Sebaliknya, lumpur yang berupa flok,

4

yaitu kimflok (chemiflocc) sangat besar volumenya terutama di PDAM besar air bakunya sangat keruh, didominasi oleh koloid. Lumpur dari filtrasi ini memanfaatkan Sludge Drying Bed kemudian dibuang ke tanah-tanah yang cekung sebagai bahan urugan (Muhammad, 2010). Karakteristik lumpur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sumber lumpur, jenis industri penghasil air limbah, proses di IPAL, sifat fisik, komposisi kimia serta tingkat pengolahan yang telah ditentukan (Muhammad, 2010).

2.3 Proses Pengolahan Lumpur 2.3.1 Pemekatan atau Pengentalan Lumpur (Sludge Thickening) Proses pengentalan lumpur bertujuan untuk meningkatkan kekentalan atau kandungan padatan dalam lumpur dengan cara pengeluaran air. Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari unit pengolahan air limbah masih encer dengan kandungan padatan antara 0,5-1,0% atau kandungan air 99,599%, sehingga perlu dipekatkan secara gravitasi hingga 2-3% atau kandungan air 97-98% dengan menggunakan thickener. Pada proses pengentalan tersebut lumpur sebelumnya perlu dikondisikan dengan cara fisika maupun fisikakimia, agar dapat menggumpal sehingga air lebih mudah dipisahkan. Pemisahan air dari lumpur kimia-fisika lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan lumpur biologi. Hal ini disebabkan air yang terkandung dalam lumpur biologi adalah hasil perlakuan biologi yang 80% merupakan air sel bakteri. Konsentrasi lumpur sangat mempengaruhi kinerja alat pengeluaran air dan kandungan air dalam lumpur pekat (cake). Bagian-bagian dati alat thickening dapat di lihat pada gambar 2.1 berikut ini:

5

Gambar 2.1 Bagian-bagian alat thickener Metode thickening yang umum: • Gravity Pengentalan lumpur secara gravitasi adalah salah satu metode yang umum digunakan. Unit pengental gravitasi bekerja dengan gaya gravitasi seperti halnya dengan tangki pengendap lainnya. Prinsip dasar dan bentuk unit ini juga menyerupai tangki pengendap yang biasa, perbedaannya hanya pada nilai beban permukaan yang lebih rendah. Alat ini berbentuk tangki bundar dilengkapi dengan penggaruk lumpur, seperti yang terlihat pada gambar 2.1 adalah salah satu contoh alat thickener.

Gambar 2.2 Alat Thickener

Pada umumnya diameter tanki tidak lebih dari 25 m dengan kedalaman sekitar 4 m, dengan maksimum hydraulic overflow rate antara 15,5-31 m3/m2, hari untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur biologi antara 4-8 m3/m2, hari, begitu pula untuk lumpur campuran kimia-fisika dengan biologi sekitar 6-12 m3/m2, hari.

6

Dari data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa dengan alat ini kepekatan lumpur kimia-fisika dapat mencapai kadar padatan kering 5-10% atau kandungan air 90-95%, sedangkan untuk lumpur biologi hanya mencapai kadar padatan kering antara 2-3% kandungan air antara 97-98%. Hasil pengentalan yang diperoleh untuk lumpur campuran dari lumpur kimia – fisika dan lumpur biologi mencapai kepekatan dengan kadar padatan kering 2-8% atau kandungan air 92-98%,. Unit pengental gravitasi umumnya digunakan sebagai unit pertama di dalam bagian penanganan lumpur. Kelebihan dengan cara ini adalah mudah dalam pengoperasian dan perawatan (maintenance). Kelemahan dengan cara ini adalah seringkali timbul lumpur yang naik ke atas (sludge floating) akibat dari terlalu lama lumpur berada dalam bak lumpur karena tidak cepat dikeluarkan. Hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerobik sehingga menghasilkan gas. Gas tersebut akan membawa sekelompok lumpur ke permukaan. Ciri-ciri lumpur tersebut adalah berbau dan berwarna hitam. Proses • Flotation Prinsip kerja sama dengan proses flotasi untuk pengolahan air limbah. Alat penggaruk lumpur terdapat di sebelah atas maupun di bagian bawah. Dibandingkan dengan pemekatan lumpur secara gravitasi, alat ini lebih sukar pengoperasiannya dan diperlukan pula penambahan bahan kimia polimer untuk meningkatkan konsentarasi lumpur dari 85% menjadi 98%. Dengan terkonsentrasinya lumpur dapat meningkatkan efisiensi alat. Pemakaian bahan kimia polimer untuk memekatkan lumpur biologi sekitar 2-5 kg berat kering polimer/ mg zatpadat. Penggunaan rasio udara-padatan sangat mempengaruhi kinerja sistem ini, pada umumnya nilai rasio udarapadatan bervariasi, maksimum pada kisaran dari 2-4% untuk mengapungkan zat padat. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 4-6% atau kandungan air 94-96% untuk lumpur biologi dengan

7

penambahan bahan kimia polimer, sedangkan tanpa penambahan bahan kimia polimer kadar padatan kering hanya mencapai 3-5% atau kandungan air 95-97%. Kelebihan cara ini adalah waktu tinggal jauh lebih singkat yaitu sekitar 15 – 30 menit dan hasil lumpur lebih pekat, sehingga volume lumpur lebih sedikit. Kelemahan cara ini adalah cara pengoperasian lebih sulit, biaya operasional tinggi, karena ada penambahan bahan kimia, biaya perawatan relatif tinggi dan penggunaan listrik cukup besar. Sistem penyapuan lumpur (scrapper) menggunakan rantai sering bermasalah karena terdapat bagian yang bergesekan. Permasalahan scrapper dapat diatasi dengan mengganti rantai penggerak secara periodik. • Centrifugation Metode ini sering digunakan untuk limbah padat yang berasal dari proses pengolahan biologis pertumbuhan tersuspersi. Secara umum dapat digunakan

bersama-sama

dengan

pengental

gravitasi

untuk

lebih

berkonsetrasi dan meningkatkan kadar padat seperti disebutkan sebelumnya bukan hanya memainkan peran dan fungsi untuk mengentalkan lumpur, tetapi membantu dalam proses dewatering juga.

2.3.2 Stabilisasi lumpur (sludge stabilization) Merupakan upaya mengurangi kandungan senyawa organik dalam lumpur atau mencegah aktivitas mikroorganisme. Tujuan stabilisasi lumpur adalah agar lumpur menjadi stabil dan tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun saat pembuangan ke lingkungan. Stabilitasasi lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain adalah sebagai berikut:  Digestasi anaerobik

Proses ini merupakan suatu proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara anaerobik. Stabilisasi ini biasanya hanya untuk lumpur biologi dan dilakukan sebelum proses pengeluaran air dari lumpur. Dengan

8

proses digestasi ini, sekitar 50% senyawa organik dalam lumpur dapat diubah menjadi gas bio yang tersusun dari metan (CH4) dan CO2 apabila di dalam senyawa organik tersebut terdapat kandungan sulfur, maka dihasilkan H2S. Produk gas bio ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan lumpur sisa yang diperoleh bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Digestasi lumpur dilakukan dalam tangki tertutup dengan sistem pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem pengadukan. Waktu retensi yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban padatan antara 2-4 kg/m3. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau kandungan air 95-98% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume lumpur dengan penguraian dalam artian pengurangan lumpur diubah menjadi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai

energi

panas.

Kelemahan

dari

sistem

ini

adalah

cara

pengoperasiannya agak sulit.

Gambar 2.3 Anaerobic Sludge Digestion

9

 Stabilisasi aerobik

Pada prinsipnya proses ini sama seperti proses lumpur aktif pada pengolahan air limbah, yaitu degradasi senyawa organik dalam lumpur terjadi secara aerobik. Proses stabilisasi aerobik dapat dilakukan dalam suatu tangki terbuka, sebelum ataupun setelah dilakukan proses pengeluaran air dari dalam lumpur. Metode stabilisasi aerobik lumpur yang sudah mengalami proses pengeluaran air merupakan bentuk pengomposan yang banyak dilakukan di industri. Proses stabilisasi dilakukan dengan beban padatan berkisar antara 1,6-4,8 kg/m3,jam dengan waktu retensi 10-15 hari. Udara dimasukkan ke dalam tanki untuk mensuplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dapat diperhatikan minimal 1-2 mg/L. Dengan pengaturan pH, kelembaban suhu dan penambahan nutrisi yang sesuai, maka lumpur hasil proses stabilisasi dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2,5-7% atau kandungan air 93-97,5% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisikabiologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah lebih mudah dalam pengoperasian dan mudah dalam pengontrolan. Kelemahan dari sistem ini adalah banyak membutuhkan energi, yaitu energi listrik untuk pembangkit oksigen.

2.3.3 Pengeluaran Air (Sludge Dewatering) Tujuan proses pengeluaran air lumpur ialah menghilangkan sebanyak mungkin air yang terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan. Persyaratan kadar padatan kering lumpur yang diinginkan tergantung pada penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya berkisar 30%. Proses pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain menggunakan alat: a) Belt press b) Filter press

10

c) Screw press d) Drying bed e) Centrifugal f) Rotary drum vacuum filter Berikut adalah penjelasannya: a) Belt Press Proses pengeluaran air lumpur yang digunakan di industri antara lain belt filter press. Tipe alat ini banyak digunakan di industri pulp dan kertas. Pengeluaran air dari lumpur yang dapat dilakukan dengan alat ini melalui 2 tahapan:  Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone) Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas lembaran wire. Pengeluaran air dilakukan tanpa tekanan, hanya mengandalkan gravitasi sampai mencapai kadar padatan tertentu, selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan.  Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone) Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau wire sambil ditekan oleh rol secara bertahap di daerah pressing zone, dengan tekanan meningkat sejalan dengan mengecilnya rol. Pada saat dijepit, air diperas ke luar sampai akhir daerah bertekanan, yang selanjutnya memasuki daerah pengelupasan lumpur dari belt atau wire (share zone). Sebelum difungsikan kembali di daerah pengeluaran air, belt atau wire perlu dicuci dahulu. Umumnya kadar padatan kering yang bisa dicapai antara 30-40% atau kandungan air 60-70%, untuk lumpur kimia-fisika dan 22-30% atau kandungan air 70-78%, untuk lumpur biologi. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan polimer perlu dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Alat pengering lumpur dirancang untuk beban 150-300 kg padatan kering/m lebar wire per jam untuk lumpur yang sulit dipisahkan airnya, sedangkan untuk lumpur yang mudah dipisahkan airnya 250-500 kg

11

padatan kering/m lebar wire/jam. Belt penjepit baik bagian atas maupun bawah, setelah melepaskan lumpur, perlu dicuci, sebelum difungsikan kembali di daerah pengeluaran air. Kelebihan alat ini adalah kapasitas olah yang besar dan kandungan padatan kering yang relatif tinggi. Kelemahan yaitu membutuhkan biaya operasional yang relatif tinggi karena penggunaan bahan kimia polielektrolit yang tinggi dan kebutuhan energi listrik yang besar. Disamping itu maintenance membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan operasional lebih sulit karena permasalahan di belt/wire dan tracking sistem (alat pengarah belt/wire). b) Filter Press Prinsip kerja sistem ini adalah memberi tekanan pada lumpur yang berada di antara lempengan-lempengan filter (filter plate). Tekanan diberikan melalui gaya hidrolik di kedua sisi lempengan. Filter ini tersusun dari plate and frame filter berjumlah banyak, dimana bagian dalam dari frame tersebut ditarik oleh filter kain yang bersambungan. Setelah frame terkunci karena tekanan hidrolik atau tekanan tangan, lumpur akan tertekan masuk dari tabung suplai ke dalam ruang filtrasi. Air yang tersaring karena tekanan itu akan jatuh dari frame, lumpur akan mengental karena kehilangan air dan tersiasa di bagian dalam. Penambahan tekanan berkisar antara 1-10 kgf/cm2, tetapi karena resistan tekanan yang masuk bertambah besar, maka akan terbentuk cukup adonan di bagian dalam. Apabila sudah terjadi kondisi seperti ini maka pengisian lumpur dihentikan. Tipe alat penyaring tekanan ini umumnya digunakan di industri kecil, antara lain seperti industri tekstil. Kelebihan dari sistem ini adalah sederhana dalam konstruksi dan biaya operasional yang relatif lebih rendah. Kelemahan adalah hanya dapat digunakan untuk penanganan lumpur yang sedikit. c) Drying Bed Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak pengering lumpur. Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering secara

12

gravitasi dan penguapan sinar matahari. Lumpur yang berasal dari pengolahan air limbah secara langsung tanpa proses pemekatan terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed seperti pada gambar 2.3. Deskripsi bak pengering berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20 cm dan batu kerikil sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring (filtrat) di bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak pengering dibuat saluran atau pipa pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan kerikil (diameter 10-30 mmÆ) setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5 mmÆ) setebal 20-30 cm. Media penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar untuk ditembus air. Pasir, ijuk dan kerikil merupakan media penyaring yang sering digunakan.

Gambar 2.3 Pengeringan lumpur Pengisian lumpur ke bak pengering sebaiknya dilakukan 1 kali sehari dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm. Mengingat keterbatasan daya tembus panas matahari, maka kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur masuk terlalu banyak, permukaan lumpur tampak mengering tetapi lapisan bawah masih basah, sehingga pengurangan air perlu waktu berhari-hari. Jika saringan tersumbat maka air tidak dapat keluar, sehingga pengurangan kadar air tidak terjadi. Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan sistem pengeringan alami dengan matahari, maka air akan keluar melalui saringan

13

dan penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan penyaring (pasir) tersumbat maka proses pengurangan air hanya tergantung kecepatan penguapan. Kecepatan pengurangan air pada bak pengering lumpur seperti ini bergantung pada penguapan dan penyaringan, dan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari, hujan, ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan struktur kolam pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari. Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya operasional relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau kandungan padatan yang tinggi. Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan sangat tergantung cuaca. d) Screw Press Screw press menghasilkan lumpur kering (cake) dengan kadar padatan kering 30 – 70% atau kandungan air 30-70%. Apabila lumpur yang akan diolah berasal dari campuran lumpur kimia-fisika dengan lumpur biologi, maka perlu ditambahkan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya berasal dari lumpur kimia-fisika tanpa penambahan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), dengan pemakaian umumnya sekitar 1-2 ppm. Besarnya tekanan yang dihasilkan tergantung dari pengaturan perbedaan jarak antara puncak ulir tekan sepanjang poros dengan kekuatan tekan flange penahan yang ditentukan oleh kondisi dan jumlah pegas yang digunakan. Alat screw press sangat hemat energi. Penggunaan alat screw press makin banyak diterapkan di industri khususnya industri pulp dan kertas. e) Centrifugal Pada prinsipnya alat ini memisahkan padatan dalam lumpur dari cairan melalui proses sedimentasi dan sentrifugasi. Ada beberapa tipe sentrifugasi tetapi yang umum digunakan adalah tabung horizontal berbentuk kerucut-

14

silindris yang di dalamnya dilengkapi juga dengan screw conveyor yang dapat berputar. Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih lambat dibandingkan dengan putaran tabung horizontal. Lumpur masuk melalui suatu tabung yang tak bergerak terletak sepanjang garis pusat tabung, kemudian didorong keluar oleh conveyor dan didistribusikan ke bagian sisi tabung. Lumpur mengendap dan dipadatkan oleh adanya kekuatan centrifugasi, kemudian dibawa oleh conveyor ke daerah pengeringan dalam tabung di bagian yang runcing, cairannya yang telah terpisah dikeluarkan di bagian yang lainnya. Pada sistem ini padatan kering mencapai sampai 50% atau kandungan air 50%. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan koagulan polimer adalah untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Pemakaian koagulan polimer antara 2 – 6 kg/ton padatan lumpur kering. Biaya investasi dan operasi alat sentrifugal mahal, karena diperlukan bahan kimia pengkondisi dan konsumsi energi listrik yang tinggi. Biaya pemeliharaannya juga tinggi jika dibandingkan dengan alat yang lain. f) Rotary Drum Vacuum Filter Penyaringan terjadi pada permukaan drum yang berputar. Drum berputar ini dibagi dalam beberapa bagian yang masing – masing berada di bawah tekanan vakum. Sekitar 20 – 40% bagian drum akan terendam lumpur dan mengambil zat padat membentuk padatan lumpur yang menempel di permukaan karena diserap pompa vakum. Sebelum bagian drum dengan padatan lumpur yang menempel terendam kembali, padatan tersebut akan terlepas setelah dicuci. Lumpur kimia-fisika dapat dikeluarkan airnya sampai mencapai padatan kering sebesar 7-9% atau kandungan air 91-93% tanpa perlu dikondisikan dahulu dengan bahan kimia. Lumpur biologi mencapai padatan kering sebesar 4-9% atau kandungan air 91-96%, sedangkan lumpur campuran mencapai padatan kering sebesar 59% atau kandungan air 91-95%. Beban lumpur kimia – fisika umumnya 30 kg padatan kering /m2 jam, sedangkan untuk lumpur biologi atau lumpur

15

campuran bebannya lebih kecil yaitu 10 -20 kg padatan kering/m2jam dengan hasil padatan kering sekitar 15% dan sebelumnya perlu dikondisikan terlebih dahulu. Kelebihan dari cara ini adalah kapasitas pengolahan yang besar. Kelemahannya adalah pencapaian padatan kering yang masih rendah dan alat ini lebih cocok digunakan untuk lumpur yang berserat.

2.3.4 Pembuangan Akhir (Sludge Landfilling) Pada tahap akhir, lumpur dibuang ke lingkungan dengan aman dan tidak menimbulkan dampak negatif lingkungan. Pembuangan langsung ke lingkungan dapat menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sludge landfilling merupakan tahap akhir dari pengelolaan lumpur. Pemerintah Republik Indonesia memiliki peraturan tentang pembuangan lumpur B3 yang sangat ketat dengan sangsi yang berat. Pengelompokan Lumpur B3 antara lain dilakukan berdasarkan: 

jenis senyawa kimia yang dikandungnya (sumber tidak spesifik)



jenis industri penghasil lumpur (sumber tidak spesifik)

Pembuangan akhir limbah lumpur B3 harus dilakukan di lokasi yang ditunjuk oleh pemerintah. Pihak industri dapat membuat fasilitas khusus, walaupun persyaratan dan prosedur rumit. Lokasi pembuangan akhir limbah padat atau landfill merupakan lokasi khusus yang diperuntukkan sebagai tempat penimbunan lumpur dengan desain yang dilengkapi sistem tempat pengumpulan dan pengolahan lindi. Syarat-syarat lokasi penimbunan cake menurut persyaratan landfill yang baik adalah: Lokasi Landfill (Kep-01/Bapedal/09/1999) 

Daerah yang bebas dari banjir seratus tahunan



Bukan kawasan lindung



Sesuai Rencana Tata Ruang (RTR) ditetapkan sebagai lokasi baik untuk peruntukan industri atau tempat penimbunan limbah, merupakan tanah kosong yang tidak subur, tanah pertanian yang kurang subur atau lokasi bekas pertambangan yang telah tidak berpotensi

16



Nilai permeabilitas Max 10-7 cm/det



Secara geologi dinyatakan aman-stabil tidak rawan bencana



Bukan daerah resapan air tanah tidak tertekan



Bukan daerah genangan air, berjarak 500 m dari aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun, danau, waduk untuk irigasi pertanian dan air bersih

Program pemantauan Landfill yang perlu diperhatikan: 1. Lindi (Leachate) yang dihasilkan dari limbah 2. Jumlah kebocoran lindi yang melewati lapisan landfill 3. Migrasi gas yang melewati lapisan landfill 4. Kualitas air tanah sekitar lokasi landfill 5. Karakteristik gas dalam limbah ( tekanan, suhu, kandungan gas metan) 6. Gas dalam tanah dan atmosfer disekitar lokasi landfill 7. Jumlah dan kualitas lindi dalam tanki pengumpul lindi.

17

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Lumpur adalah campuran cair atau semi cair antara air dan tanah. Lumpur terjadi saat tanah basah. Secara geologis, lumpur ialah campuran air dan partikel endapan lumpur dan tanah liat. Jumlah lumpur dapat diketahui berdasarkan jumlah pemakaian bahan kimia untuk proses flokulasi (flocculation), kekeruhan (turbidity), dan jumlah air baku. Berdasarkan sumbernya, lumpur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu primary raw sludge dan waste activated sludge (WAS). Primary raw sludge berasal dari padatan yang diendapkan pada proses pengendapan primer (primary sedimentation). Sementara itu, waste activated sludge ialah flok-flok yang terbentuk dari gabungan mikroorganisme dan sebagian polutan yang teroksidasi selama proses aerasi, yang mengendap di dalam tangki sekunder (secondary clarifier). Karakteristik lumpur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sumber lumpur, jenis industri penghasil air limbah, proses di IPAL, sifat fisik, komposisi kimia serta tingkat pengolahan yang telah ditentukan (Muhammad, 2010). Umumnya upaya pengelolaan terhadap lumpur meliputi tahap-tahap pengerjaan: 1.

Pengentalan atau pemekatan lumpur (sludge thickening).

2.

Stabilisasi lumpur (sludge stabilization).

3.

Pengeluaran air (sludge dewatering).

4.

Pengeringan lumpur (sludge drying).

3.2 Saran Hendaknya memperhatikan lumpur yang dihasilkan oleh segala pengolahan baik pengolahan air minum maupun pengolahan air limbah. Memperhatikan karakteristik lumpur sebelum membuangnya ke lingkungan yang memiliki resiko yang tinggi jika membiarkannya.

18

DAFTAR PUSTAKA Andrian Bagja P. 2014. Literatur Pengelolaan Lumpur (Sludge). http://andrianxr.blogspot.com/2014 Diakses pada tanggal 1 Maret 2019. Shelvi. 2012. Karakterisasi Lumpur Hasil Pengolahan Air Pdam Tirta Pakuan Bogor. Universitas Pakuan: Bogor. Hermana, Joni. 2011. Perencanaan Detail Unit-Unit Tahap Pengolahan Lumpur Secara Aerobik dan Anaerobik. Institut Teknologi Sepuluh November: Surabaya. Dewi, Suyanet Sari. 2016. Pengolahan Lumpur Aktif dari Proses Pengolahan Air Limbah dengan Teknologi Membran. Institut Teknologi Bandung: Bandung. Azzahra, Sarah. 2010. Teori Activated Slugde, Secondary Clarifing, Gravity Thickener.https://www.academia.edu/12766265/Teori_Activated_Sludge_Se condary_Clarifier_Gravity_Thickener (Diakses pada tanggal 24 Maret 2019)

19

Related Documents


More Documents from "Kurnia Baso"