DAFTAR PUSTAKA
Contents DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. i BAB I ...................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3
Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
1.4
Manfaat Penulisan .................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3 PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3 2.1
Konsep Penetapan Harga Energi .............................................................. 3
2.2
Metodologi Penetapan Harga Energi ....................................................... 5
2.2.1 Biaya Dasar atau Harga Minimum ............................................................. 5 2.2.2 Nilai Netback .............................................................................................. 8 2.2.3 Harga Efisien .............................................................................................. 9 2.2.4 Harga Finansial ........................................................................................... 9 2.3 2.3.1
Beberapa Masalah dalam Penetapan Harga Energi di Indonesia ........... 10 Alokasi Sumber Energi ....................................................................... 10
2.3.2 Obyektif Sosial ......................................................................................... 11 2.3.3 Masalah Lingkungan ................................................................................ 12 2.4
Harga Energi di Indonesia ...................................................................... 13
2.4.1 Tujuan Penentuan Harga .......................................................................... 13 2.4.2 Penetapan Harga Energi Primer ............................................................... 14 2.4.3 Penetapan Harga Energi Sekunder ........................................................... 15 BAB III ................................................................................................................. 21 PENUTUP ............................................................................................................. 21 3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 21
i
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Energi merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan, oleh karena itu
energi tidak dapat dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan, yang salah satunya adalah
perekonomian
suatu
negara.
Keterkaitan
antara
energi
dengan
perekonomian suatu negara secara umum dapat dilihat dalam beberapa komponen makro
seperti
penerimaan
pemerintah,
penerimaan
ekspor
dan
neraca
pembayaran. Jika kita membicarakan mengenai ekonomi energi maka tidak akan terlepas dari masalah harga. Harga pada kondisi ideal adalah titik temu antara jumlah yang diminta konsumen dengan jumlah yang ditawarkan oleh produsen. Dalam keadaan yang sebenarnya sangat sulit menentukan besarnya permintaan dan penawaran akan energi disuatu negara. Untuk itu diperlukan beberapa pendekatan tertentu, seperti analisa penetapan harga. Analisa penetapan harga sektor energi sangat penting dalam kaitannya dengan kebijakan. Secara bersamaan struktur harga dapat mengontrol permintaan maupun penawaran energi dan, dalam hubungannya dengan kebijakan energi, penetapan harga berdampak langsung terhadap konsumsi energi untuk keperluan industri, transportasi, rumah tangga dan komersial serta pembangkit listrik. Dari sudut ilmu ekonomi murni, penetapan harga sebagai perangkat dalam kebijakan energi dapat menjadi sangat kompleks, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. Berbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan politik di negara ini saling terkait dalam kebijaksanaan penetapan harga. Harga harus dapat berperan sebagai perangkat kebijaksanaan pemerintah saat digunakan mengatur keseimbangan permintaan dan penawaran. Untuk itu konsumen, pemerintah dan produsen perlu memahami dengan benar konsep penetapan harga energi.
1
1.2
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana konsep penetapan harga energi? 2. Bagaimana implementasi konsep penetapan harga energi di Indonesia 3. Apasaja masalah dalam penetapan harga energi di Indonesia dan bagaimana solusinya?
1.3
Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Memahami konsep penetapan harga energi. 2. Mengetahui implementasi konsep penetapan harga energi di Indonesia. 3. Mengetahui masalah dalam penetapan harga energi di Indonesia.
1.4
Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai konsep penetapan harga energi yang dilakukan negara berkembang seperti Indonesia 2. Dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penetapan harga energi di Indonesia.
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1
Konsep Penetapan Harga Energi Tujuan penentuan harga bisa bermacam-macam. Ada yang untuk mem-
peroleh keuntungan setelah dihitung biaya produksinya, termasuk untuk memperoleh kembali nilai investasi pada peralatan yang telah dilakukan, atau ditetapkan cukup rendah di bawah biaya produksi hingga diderita kerugian. Yang terakhir ini adalah untuk mencapai tujuan pemerataan agar mereka yang berpendapatan rendah dapat membelinya. Namun penetapan harga terialu rendah akan menyebabkan banyaknya permintaan hingga melebihi biaya produksinya. Tingkat harga energi secara ekonomi pada intinya harus memenuhi dua kriteria utama dari sisi produsen dan konsumen. Harga bagi produseen harus memenuhi total biaya produksi sumber daya energi. Kriteria produsen secara sederhana diwakili oleh kurva penawaran sumber energi yang terdiri dari komponen long run marginal cost (LRMC), premi pengurasan dan biaya eksternalitas. Jumlah ketiga komponen tersebut merupakan harga minimal yang harus dipenuhi produsen. Komponen paling penting adalah LRMC, karena kurva penawaran idealnya hanya mencerminkan biaya untuk memproduksi suatu barang. Karena berkait dengan barang energi, terutama energi primer yang tidak dapat diperbaharui, harga minimal perlu menambahkan premi pengurasan. Sementara biaya eksternalitas merupakan komponen yang muncul belakangan karena berkaitan dengan semakin maraknya isu lingkungan tentang energi. Biaya marginal jangka panjang (LRMC) didefinisikan sebagai biaya untuk memproduksi satu satuan output bila semua faktor produksi yaitu tenaga kerja, peralatan kapital, dan sumber-sumber alam, dianggap merupakan faktor produksi yang variabel. Bila harga sama dengan LRMC maka inipun juga sama dengan biaya rata-rata jangka panjang (LRMC) minimum. Harga yang terbentuk harus dapat diterima konsumen. Harga ini dapat memberikan alternatif bagi penggunaan energi yang paling baik diantara berbagai jenis energi yang ada. Artinya, konsumen suatu jenis energi bersedia membayar harga minimal paling tinggi sampai dengan harga energi alternatif terbaik
3
berikutnya. Kriteria itu diterjemahkan dalam bentuk kurva permintaan dan menunjukkan harga maksimal yang dapat diterima konsumen yang biasa disebut nilai netback. Dan interaksi antara produsen dan konsumen dengan asumsi pasar persaingan sempurna dinyatakan dalam penggabungan kurva penawaran dan permintaan seperti tampak dalam grafik 2.1 dibawah ini.
Grafik 1 Permintaan dan Penawaran Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa : 1.
terdapat suatu titik dimana menunjukkan posisi keseimbangan antara produsen dan konsumen, titik Pe.
2.
Bagaimanapun bentuk pergerakan harga energi, pergerakan ini akan berhenti pada posisi harga yang sama dengan Pe.
3.
Jika pergerakan sampai pada kurva penawaran yang lebih besar daripada kurva permintaan, atau biaya penawaran yang lebih besar daripada kurva permintaan, atau biaya penawaran lebih besar daripada nilai netback, konsumen akan beralih pada sumber energi alternatif lain yang biaya produksinya lebih rendah.
Dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit mencapai harga pada kondisi keseimbangan. Selain data statistik yang menggambarkan perubahan permintaan maupun penawaran tidak memadai, berbagai distorsi seperti pajak, subsidi, monopolli,
dan
politik
menyulitkan
sebenarnya.
4
penentuan
kondisi
keseimbangan
2.2
Metodologi Penetapan Harga Energi
2.2.1 Biaya Dasar atau Harga Minimum Biaya dasar atau harga minimum, merupakan kriteria yang berasal dari sisi penawaran. Biaya ini dapat pula dikatakan sebagai biaya minimum yang diperlukan produsen untuk memproduksi satu jenis sumber energi. Biaya ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu biaya penawaran (cost of supply), premi pengurasan (depelation allowance), biaya eksternal (external cost) dan biaya transpor (transport cost). a. Biaya Penawaran Dalam menentukan biaya penawaran dilakukan pendekatan dengan menggunakan metode AIC (Average Incremental Cost). Perhitungan AIC hanya memperhitungkan tambahan biaya yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan produksi dalam kurun waktu tertentu. Pada kasus Indonesia BUMN berperan sebagai pemasok tunggal sumber energi tertentu. Untuk itu Bank Dunia memberi saran agar digunakan konsep perhitungan biaya rata-rata penuh (Average Full Cost). AFC adalah AIC dengan penambahan kompensasi untuk produsen. AIC mengukur tambahan biaya investasi dan operasi yang diperlukan untuk memelihara atau mepertahankan output suatu sumber energi pasa suatu tingkat output teitentu yang telah direncanakan dan pada suatu periode waktu teitentu. Jadi AIC adalah nilai tunai (sesudah didiskontokan) jumlah aliran biaya investasi dan operasi serta pemeliharaan, dibagi dengan nilai sekarang volume tambahan produksi. Biaya ini meliputi biaya produksi, transpor dan juga biaya dianalisis. Tetapi tidak termasuk pengeluaran investasi di masa lalu yang telah dikeluarkan seperti peralatan mesin, infrastruktur, atau untuk pengembangan. Rumusnya dapat ditulis sebagai:
Dimana : Ij
= biaya kapital pada tahun j
5
Rj
= biaya operasi pada tahun j dan 0
Qj dan Qo
= tingkat output sumber energi pada tahun j dan 0
I
= tingkat atau suku diskonto
T
= rentang waktu analisa. Tahun mula-mula adalah 0
Langkah atau prosedur penghitungan AIC tersebut adalah sebagai berikut: i.
Taksirlah aliran pengeluaran biaya pengembangan sumber energi, misalnya gas alam atau batubara, dan produksinya untuk memenuhi target perluasan output;
ii.
Hitung nilai tunai aliran tersebut;
iii.
Hitung nilai sekarang dari tambahan produksi yang dapat diprodusir sesudah perluasan tersebut;
iv. Bagilah (ii) dengan (iii), dan diperoleh AIC. b. Premi Pengurasan Premi pengurasan adalah komponen biaya untuk mengukur pertambahan biaya produksi sumber daya energiyang tidak terbarukan. Selain itu juga menggambarkan satu unit sumber energi yang digunakan saat ini tidak akan tersedis lagi dimasa akan datang. Untuk kasus Indonesia diperlukan kebijakan khusus untuk mengatur premi pengurasan karena pemilik energi bukan produsen energi. Prosedur penghitungan premi pengurasan adalah sebagai berikut: i.
Taksir volume permintaan bahan bakar atau energi misalnya gas untuk selama 25- 30 tahun.
ii.
Taksir kapasitas/persediaan bahan bakar tersebut berdasar cadangan yang terbukti (proven reserve) dan cadangan yang mungkin (probable reserve).
iii.
Tentukan saat (waktu) di masa depan di mana permintaan melebihi penawaran; dan ini disebut sebagai "saat pergeseran" (the switching time).
iv.
Tentukan bahan bakar yang menjadi substitusi dari bahan bakar yang sekarang sedang digali. Prakirakan harga bahan bakar substitusi ini.
v.
Hitunglah perbedaan antara harga bahan bakar substitusi dan biaya bahan bakar yang sekarang digali pada saat pergeseran. Diskontokan besarnya perbedaan tersebut, dan hasilnya (nilai sekarang perbedaan tersebut) merupakan premi pengurasan c. Biaya Eksternal
6
Pada dasarnya, biaya eksternal adalah besarnya biaya sosial yang dibebankan kepada masyarakat sebagai akibat tidak langsung kegiatan produksi dan konsumsi sumber energi. Seberapa besar biaya sosial yang dibebankan tergantung batasan ambang batas yang tertuang dalam kebijakan masing-masing negara. Indonesia mamberikan ambang batas pencemaran yang ketat jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Usaha mencari formulasi penentuan ambag batas yang lebih pasti memang terus dilakukan. Di sisi lain tampak proses yang secara bertahap berusaha memasukkan komponen biaya eksternal sebagai biaya internal. Usaha tersebut dilakukan lewat perencanaan yang lebih baik, penambahan peralatan atau iuran yang ditarik pemerintah sebagai kompensasi atas kerusakan lingkungan yang terjadi. Untuk hal terakhir tercermin lewat biaya restribusi, pajak atau biaya izin pembuangan limbah. d. Biaya Transportasi Biaya transportasi atau sering disebut biaya distribusi terjadi karena terdapat masalah jarak antara sumber dan pemakai energi. Energi harus diangkut dari sumbernya supaya dapat dikonsumsi. Biaya transportasi harus dihitung dan dibebankan dalam harga pada titik konsumen. Biaya transportasi dapat mempengaruhi skala ekonomi produksi suatu sumber energi. Biaya transportasi dapat dipengarui oleh beberapa faktor berikut: 1. Biaya transportasi oleh jarak/keadaan geografi titik permintaan. Jarak semakin jauh akan meningkatkan biaya transportasi pada volume penjualan tertentu. 2. Biaya transportasi akan sensitif terhadap banyaknya konsumen. Semakin banyak konsumen, semakin besar pula volume yang harus disediakan. 3. Biaya transportasi dipengaruhi oleh proporsi cadangan yang diolah pada titik permintaan tertentu. Apabila pangsa pasar yang terpenuhi pada titik permintaan relatif kecil dibandingkan dengan besarnya potensi cadangan, sementara potensi permintaan sangat besar, produksi energi dapat ditingkatkan tanpa perlu mengandalkan pasar yang lebih jauh dengan biaya transportasi lebih besar.
7
4. Biaya transportasi dipengaruhi oleh cara penentuan harga. Jika harga pada titik permintaan yang saling berbeda tempat, maka semakin jauh jarak titik tersebut semakin besar pula beban biaya yang harus ditanggung produsen 5. Biaya transportasi sangat dipengaruhi oleh modus transportasi yang digunakan. 2.2.2 Nilai Netback Nilai netback pada dasarnya membahas kemungkinan harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen untuk mendapatkan energi tertentu. Penghitungan mengansumsikan seorang konsumen akan memilih alternatif harga paling murah dan membandingkan secara relatif nilai suatu jenis energi terhadap jenis energi alternatif lainnya. Dengan asumsi pasar persaingan sempurna, seorang konsumen bersedia membeli energi jika harganya lebih kecil atau setidaknya sama dengan biaya produksi. Dalam hal ini Netback harus lebih besar atau sama dengan biaya dasar atau harga minimum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai netback adalah nilai maksimum yang sedia dibayar konsumen dihadapkan dengan harga barang produksi atau biaya dari alternatif terbaik penggunaan energi lainnya. Nilai netback ini dihitung untuk berbagai peralatan kapital yang diperlukan untuk menggunakan berbagai bahan bakar yang berbeda, serta pada berbagai tingkat efisiensi operasi yang berlaku pada masing-masing bahan bakar, dibandingkan dengan biaya penawaran ekonomis dari bahan bakar alternatif terbaik berikutnya. Jelas faktor lokasi sumber energi yang menyangkut biaya transportasi adalah penting, terutama untuk sumber energi gas dan batubara. Idealnya nilai netback ini bisa dihitung untuk berbagai jenis penggunaan industri atau berbagai jenis pembangkit tenaga listrik, berdasarkan berbagai jenis sumber energi, dan pada berbagai lokasi (area). Pada dasarnya ada dua cara untuk menghitung nilai netback ini. Pertama adalah metoda yang didasarkan pada harga produk akhir yang diproduksi dengan menggunakan bahan bakar energi tersebut, dan kedua adalah metoda biaya oportunitas (atau biaya yang dapat dihindari) yang didasarkan pada bahan bakar
8
atau proses alternatif terbaik berikutnya. Metoda yang pertama digunakan bila tak ada distorsi pada harga barang atau produk akhir. Contohnya adalah LPG dan LNG yang merupakan produk internasional yang diekspor; sedangkan metoda kedua digunakan untuk menghitung nilai netback bila distorsi tersebut terjadi. Distorsi harga adalah akibat dari adanya campur tangan pemerintah di pasar berupa pengenaan pajak, pemberian subsidi, penetapan harga maksimum, maupun pembatasan-pembatasan kuantitas. Contohnya adalah harga atau tarif listrik, semen, pupuk, dan lain-lainnya. 2.2.3 Harga Efisien Harga efisien sebenarnya merupakan tingkat harga yang terbentuk saat permintaan sama dengan penawaran, atau saat keseimbangan. Dalam kenyataannya harga efisien sangat sulit ditemui. Meskipun begitu, tingkat harga efisien penting untuk diketahui terutama oleh para pembuat kebijakan. Dengan mengetahui secara pasti harga efisien, pemerintah dapat menetapkan sekaligus menentukan lebih jauh besar surplus ekonomi yang dapat diterima lewat keijakan fiskal tanpa harus merugikan produsen energi. Dalam praktiknya harga efisien dihitung dengan menggunakan metode optimalisasi, yaitu mendefinisikan tujuan dan kendala yang timbul dari usaha menuju optimalisasi. Contohnya adalah sebagai berikut :
Meminimalkan biaya, atau Memaksimalkan keuntungan
2.2.4 Harga Finansial Harga finansial adalah harga patokan atau harga minimal yang muncul di sisi produsen. Mekanismenya adalah proses negosiasi dengan pihak konsumen. Harga maksimum yang dapat diperoleh konsumen merupakan harga finansial tadi. Jika konsumen bersedia membayar pada tingkat harga tersebut berarti konsumen akan membeli. Jika tidak bersedia, maka konsumen akan mencari energi alternatif lain yang dapat mensubstitusi energi tersebut. Harga finansial berhubungan erat dengan sistem perjanjian kerja yang berlaku antara produsen dan pemerintah. Sebagai contoh harga finansial minyak, gas bumi, batubara dan panas bumi di Indonesia. Pengembangan energi primer
9
tersebut dapat diusahakan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan atau berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak operasi bersama dan kontrak kerja sama. Perhitungan harga finansial akan berbeda bila semua diusahakan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perbedaan formula yang diterapkan pemerintah untuk menghitung bagian BUMN dan pihak investor.
2.3
Beberapa Masalah dalam Penetapan Harga Energi di Indonesia
2.3.1 Alokasi Sumber Energi Seperti telah di jelaskan sebelumnya, penetapan harga harus dapat memenuhi kriteria produsen dan konsumen yaitu long run marginal cost (LRMC) dan nilai netback. Penetapan harga di bawah nilai LRMC mengakibatkan kerugian di pihak produsen dalam jangka panjang. Sementara penetapan harga yang melebihi nilai netback akan merugikan konsumen. Pada kenyataannya penetapan harga di indonesia sangat di pengaruhi berberapa hal yaitu : 1.
variabel ekonomi (efisiensi),
2.
distribusi energi
3.
finansial (inefisiensi)
Harga yang di tetapkan sampai saat ini tidak berada pada tingkat efisien maupun inefesiensi. Subsidipun masih tetap diberlakukan. Dengan kata lain penetapan harga energi di indonesia belum mengarah pada penetapan harga yang efisien. Penetapan harga masih dihubungkan dengan distribusi pendapatan melalui struktur harga energi. Seperti dalam penjelasan harga finansial, inefesiensi alokasi sumber energi terjadi karena distorsi pasar. Kasus distorsi pada umumnya bersumber dari intervensi pemerintah melalui pajak dan subsidi. Namun di sini perlu ditekankan bahwa intervensi tersebut di selenggarakan berkaitan dengan obyektif sosial. Terlepas dari maksud dan tujuan pemerintah, penetapan pajak dan subsidi yang tidak tepat akan menimbulkan inefesiensi bagi perekonomian.
10
Dari kerangka ekonomi mikro, dengan menganggap elastisitas permintaan dan penawaran sama dan moderat, penetapan pajak membuat harga menjadi lebih tinggi dari pada harga keseimbangan. Dampak selanjutnya penetapan pajak tersebut adalah penurunan surplus produsen dan surplus konsumen. Pembahasan subsidi sebenarnya identik dengan pajak. Namun subsidi di sini dianggap negative tax. Output yang dihasilkan saat ini lebih banyak dari pada yang seharusnya terjadi pada posisi keseimbangan. Dalam sejarah penetapan harga di Indonesia, subsidi selalu mendapat perhatian khususnya dalam distribusi kesejahteraan bagi masyarakat yang kurang mampu dan untuk mendorong industrialisasi. 2.3.2 Obyektif Sosial Obyektif sosial merupakan kaidah keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Fungsi atau obyektif sosial terutama masalah subsidi seperti telah di jelaskan sebelumnya, subsidi memang tidak akan mencerminkan tingkat harga energi yang sebenarnya. Namun dalam kebijakan harga, subsidi merupakan salah satu instrumen untuk meratakan penggunaan energi di masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu subsidi juga dapat dijadikan alat untuk mendukung sektor industri. Kebijakan subsidi diberlakukan ketika harga suatu produk energi dinilai tidak sebanding dengan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah indonesia sendiri menerapkan dengan subsidi silang. Suatu produk energi dijual dengan harga tinggi, diatas tingkat harga sebenarnya dan selisih harga digunakan untuk menutup kerugian produk energi yang lain. Contoh klasik di indonesia adalah subsidi produk energi minyak tanah. Minyak tanah merupakan jenis energi yang paling banyak di gunakan, terutama untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Subsidi silang terhadap minyak tanah diberikan premium, bahan bakar yang sering digunakan masyarakat untuk kendaraan bermotor. Subsidi untuk sektor industri diberikan pada bahan bakar solar, jenis energi yang sering di gunakan sektor industri. Namun tampaknya perlu di cermati apakah subsidi solar dan minyak tanah sudah tepat diterima oleh pengguna akhir yang memang betul-betul memerlukan.
11
Data terbaru biro pusat statistik menunjukan bahwa masyarakat berpendapatan menengahpun masih banyak yang mengkonsumsi minyak tanah. Di samping itu, menurut hasil studi yang di lakukan Mark Pitt. Tidak terdapat hubungan yang segnifikan antara harga dengan konsumsi kayu bakar masyarakat yang berpenghasilan rendah. Penggunaan kayu bakar oleh masyarakat berpenghasilan rendah l;ebih disebabkan tingkat pendapatan mereka yang rendah. Bila konsumsi masyarakat lapisan tersebut ingin di ubah ke BBM, maka pendapatan mereka harus ditingkatkan terlebih dahulu. Contoh lain adalah penerapan subsidi tarif listrik. Penerapan tarif listrik di indonesia di bedakan menurut pengguna akhir. Tarif untuk kalangan industri berbeda dengan tarif untuk perkantoran dan rumah tangga. Salah satu fungsi pembedaan tarif ini adalah untuk memberikan subsidi silang di antara berbagai pengguna tersebut. Penetapan tarif untuk golongan industri dan perkantoran tertentu umumnya lebih besar dari pada penetapan tarif untuk golongan rumah tangga tertentu. Tarif untuk berbagi golongan masih di pilah lagi berdasarkan batas daya. Dalam praktik, subsidi dapat dibedakan antara subsidi secara finansial atau secara ekonomi.
Secara finansial subsidi hanya merupakan selisih antara biaya produksi dan biaya distribusi dengan harga produk energi tersebut yang sebenarnya terjadi di pasar.
Sedangkan subsidi secara ekonomi merupakan perbedaan antara harga yang sebenarnya terjadi dari proses produksi dengan harga efisien. Jika selisihnya tidak dijadikan subsidi, dalam subsidi secara ekonomi ini. Seluruh selisih tersebut akan di tanggung oleh masyarakat dan perekonomian sebagai beban inefisiensi.
2.3.3 Masalah Lingkungan Indonesia memasukkan isu lingkungan dalam penetapan harga lewat biaya eksternal dalam struktur biaya produksi. Konsep ini dijalankan untuk mendukung terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Berbagai komponen biaya yang berhubungan dengan isu lingkungan dalam praktik digunakan untuk kegiatan
12
penanggulangan dampak negatif terhadap lingkungan. Di samping itu juga untuk tujuan konservasi sumber daya energi, sehingga keberadaanya dapat terus terjamin untuk masa akan datang. Biaya ekstenal yang dikeluarkan produsen energi terkait erat dengan ambang batas pencemaran yang ditentukan oleh otoritas lingkungan. Di indonesia, pelaksanaanya harus memenuhi persyaratan analisa mengenai dampak lingkungan dan pencegahannya memerlukan biaya yang sudah termasuk dalam struktur biaya energi. 2.4
Harga Energi di Indonesia
2.4.1 Tujuan Penentuan Harga Tujuan penentuan harga adalah sebagai berikut : 1.
untuk memperoleh keuntungan setelah dihitung biaya produksinya,
2.
untuk memperoleh kembali nilai investasi pada peralatan yang telah dibeli, atau peralatan yang telah ditetapkan cukup rendah di bawah biaya produksi hingga diderita kerugian.
3.
untuk mencapai tujuan pemerataan agar mereka yang berpendapatan rendah dapat membelinya. Namun penetapan harga terialu rendah akan menyebabkan banyaknya
permintaan hingga melebihi biaya produksinya. Sebagai contoh adalah penetapan harga minyak tanah (kerosin) yang terialu rendah. Di zaman Orde Lama, BBM yang dianggap sebagai komoditi yang strategis dan vital merupakan bahan kebutuhan pokok dan harganya ditetapkan sangat rendah, hingga permintaan jauh melebihi penawarannya. Antrian dan penjatahan harus dilakukan, hingga muncul pasar gelap dengan harga transaksi yang sangat tinggi dibandingkan dengan harga resminya yang ditetapkan terialu rendah. Kebijakan ini akan memacu pengurasan sumber alam energi terialu cepat. Hal inipun seharusnya tidak terjadi pada sumber energi utama lainnya, misalnya batu bara. Perlu dipertimbangkan bahwa, manakah yang lebih tinggi antara manfaat yang diperoleh dari konsumsi di dalam negeri dengan manfaat atau hasil yang bisa diperoleh dengan meng-ekspornya. Atau secara ekonomika populer dikatakan bahwa biaya oportunitas konsumsi dalam negeri adalah penggunaannya untuk ekspor. Harga suatu komoditi ditentukan bersama oleh unsur kekuatan pasar yaitu
13
permintaan dan penawaran, serta oleh intervensi atau penentuan harga oleh pemerintah. 2.4.2 Penetapan Harga Energi Primer 1.
Minyak Bumi Sejak tahun1970-an hingga saat ini Indonesia mengenal dan menerapkan
dua model penetapan harga minyak mentah di pasar internasional. Kedua model penetapan harga tersebut adalah : GSP (Government Sale Price) Harga GSP diterapkan sejak tahun 1968 – 1986 saat harga minyak mentah di pasar dunia menunjukkan perkembangan menggembirakan. Harga GSP berpedoman pada harga yang telah ditetapkan OPEC. ICP (Indonesia Crude Price) Karena harga minyak dunia terus berfluktuasi maka Indonesia menetapkan patokan harga baru, yaitu Indonesia Crude Price. Perhitungan ICP dibuat berdasarkan harga basket minyak mentah dunia yang dikeluarkan oleh Asian Petroleum Price Index (APPI). 2.
Gas Bumi Harga gas bumi diusahakan memenuhi kriteria produsen dan konsumen.
Namun dalam penetapan harga gas bumi terdapat beberapa kendala, diantaranya adalah teknis pemurnian gas bumi dan pencairan dalam bentuk LNG ekspor sehingga membuat biaya teknologi gas bumi masih sangat mahal. Pada prinsipnnya harga gas bumi Indonesia ditentukan berdasarkan hasil negosiasi antara produsen dan konsumen. Namun harga pemakaian gas bumi untuk konsumen tertentu, seperti rumah tangga yang disalurkan oleh Perusahaan Gas Negara (PGN), ditetapkan oleh pemerintah setelah dibandingkan dengan harga BBM tertentu yang menjadi saingan gas bumi. Langkah ini untuk mendorong pemakaian gas bumi lebih banyak di tingkat konsumen. 3.
Batubara Harga yang berlaku untuk batubara sesuai dengan harga yang terjadi di
pasar internasional. Pemerintah sendiri pernah menetapkan harga energi batubara konsumsi domestik tidak melebihi harga CIF batubara impor Asia Pasifik dan 65 persen harga minyak bakar domestik. Untuk ekspor, batubara Indonesia tetap mengacu pada harga pasar dengan memperhatikan pesaing yang ada terutama 14
Australia dan Kanada. Harga untuk dalam negeri terutama ditetapkan melalui negosiasi antara produsen dan konsumen dengan memperhatikan ROR yang wajar untuk produsen batubara. 4.
Panas Bumi Harga jual panas bumi sebagai energi primer di Indonesia terbagi menjadi
dua sistem, yakni berdasarkan pola pengusahaan industri panas bumi nasional lewat harga jual uap hasil produksi Pertamina dan harga jual uap hasil produksi Kontrak Operasi Bersama pengembangan swasta dengan Pertamina. Pada saat ini keekonomian panas bumi memang hanya untuk pembangkit listrik. Harga jual uap Pertamina ditetapkan sebesar 80 persen dari harga eceran minyak bakar dalam negeri (Rp/liter) dan dengan faktor konversi 0,28 untuk mengubah menjadi Rp/kWh. Sedangkan besarnya harga jual dari Kontrak Operasi Bersama (KOB) ditetapkan dan dieskalasi dalam suatu indeks. Penetapan harga dibuat dalam serangkaian formula yang diatur dalam kontrak berdasarkan hasil negosiasi antara konsumen PLN dan KOB. Penetapan harga seperti itu dilakukan untuk panas bumi dari Salak dan Darajat. 5.
Air Energi air adalah bentuk energi primer yang dapat diperbarui. Peranannya
sangat besar terutama dalam pengadaan listrik untuk masyarakat. Penggunaannya sebagai sumber pembangkit listrik merupakan usaha untuk mendukung diversifikasi energi. Diharapkan penggunaan energi air dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM. 2.4.3 Penetapan Harga Energi Sekunder 1. Bahan Bakar Minyak Konsep penetapan harga BBM di Indonesia secara umum terdiri dari tiga metode, yaitu border price, Harga Pokok Penjualan (HPP) BBM, dan harga pemerintah. Hal lain yang berkaitan erat dengan penetapan harga BBM adalah masalah subsidi. Penetapan harga metode border pricemengacu padapenetapan harga eks kilang Singapura. Penetapan harga ini diasumsikan berlaku pada harga yang kompetitif. Dengan asumsi tersebut harga BBM dari kilang singapura menggunakan posted price yang dipublikasikan secara rutin. Harga ini kemudian
15
ditambah komponen biaya seperti transportasi, pajak, subsidi dan sebagainya. Semua itu menjadi harga jual di Indonesia (landed price). Tabel 1 merupakan contoh Posted Price Singapura pada awal 1998. Tabel 1. Harga BBM impor (singapore posting) Januari 1998 Produk Harga (Ekivalen RP/Liter) Avgas
1.152.20
Avtur
1.004.25
Premium
1.124.09
minyak tanah
1.004.25
minyak solar
1.102.95
minyak diesel
931.10
minyak bakar
750.15
Sumber: Laporan Rutin Pasar Minyak Singapura. PLATTS, 1998
Tabel 2. Harga Jual Eceran Dalam Negeri Bahan Bakar Minyak Bumi dan Perhitungan Besarnya Subsidi Ekonomi Produk Harga Besarnya Subsidi Ekonomi Avgas
420
420-1.152.20=(732.2)
Avtur
420
420-1.004.25=(584.25)
Premium
700
700-1.124.09=(424.09)
minyak tanah
280
280-1.004.25=(724.25)
minyak solar
380
380-1.102.95=(722.95)
minyak diesel
360
360-931.10=(571.1)
minyak bakar
240
240-750.15=(510)
Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi. Keppres No. 1/1993
Sistematika perhitungan harga BBM di Indonesia pertama kali dimulai dengan mencari harga pokok penjualan produksi BBM dalam satuan rupiah per liter. Dalam konsep ekonmi mikro perhitungan itu merupakan nilai biaya rata-rata (average cost) produksi BBM. HPP dihitung dengan mengurangi pendapatan penjualanb BBM dalam negeri setelah itu dikurangi biaya-biaya kemudian dibagi dengan besarnya volume BBM.
16
Sisi biaya dikelompokan dalam biaya pengadaan minyak mentah dan produk serta biaya operasi. Biaya pengadaan minyak mentah dan produk merupakan biaya yang dominan dalam struktur biaya bbm yang terdiri atas pembelian minyak mentah, impor BBM, perubahan persediaan, dan nilai nonBBM. Sedangkan biaya operasi terdiri dari atas biaya pengolahyan, biaya distribusi, biaya angkutan laut, biaya umum dan aministrasi, biaya bunga dan biaya penyusun. Harga BBM berdasarkan ketetapan pemerintah adalah harga yang ditetapkan dan diberlakukan untuk konsumsi nasional. Tabel 2 merupakan contoh harga yang ditetapkan pemerintah, dan tetap dipakai sampai dengan februari 1998, seperti tertera dalam Keppres No. 1/1993 tentang Harga jual eceran dalam negeri Bahan bakar minyak bumi. Nilai HPP yang diperoleh setelah dikurangi harga rata-rata Pertamina disebut laba bersih minyak (LBM). Nilai LBM negatif mencermikan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan. Bila positifberrarti mencerminkan laba bersih. Terlihat diatas untuk mempertaankan supaya hargadengan seperti tertera dalam Keppres no.1/1993, LBM merupakan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan agar harga tidak berubah. Total subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah agar harga tidak berubah. Total subsidi yang harus dikeluarkan kemudian dibagi menurut proporsi dalam struktur BBM. Tabel 3
merupakan contoh penetapan HPP BBM yang kemudian
mnenghasilkan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Prinsip subsidi yang seharusnyya dilakukan sekarang untuk avtur, avgas, dan minyak bakar mengacu pada harga pasar, sementara premium diatas harga pasar karena jenis BBM ini dipakai oleh masyarakat berpenghasilan menengah keatas. Subsidi ekonomi adalah perbedaan antara harga efisien BBM yang dicerminkan oleh border price eks kilang singapurayang dianggap efisien dikurangi harga BBM yang ditetapkan pemerintah. Harga BBM dilihat dari alur produksi –konsumsi terbentuk setelah melalui tiga proses. Pertama, kegiatan eksplorasi dan produksi. Kedua, kegiatan operasi kilang. Ketiga, kegiatan operasi distribusi.
17
Kegiatan pertama masuk dalam kegiatan industri hulu, sedangka kegiatan kedua da ketiga masuk dalam kegiatanindustri hilir. Harga yang dihadapi kegiatan eksplorasi-produksi adalah harga pasar, walaupun sebagian kecil terdiri atas DMO (Domestic Market Obligation) yang merupakan bagian dari produksi minyak Indonesia yang harus disetor untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan harga tertentu. Sedangkan kegiatan operasi kilang dan distribusi menghadapi harga yang telah disubsidi, bukan harga pasar sebenarnya. Tabel 3 memperlihatkan sekali lagi komponen biaya terbesar dalam penetapan harga pokok ppenjualan BBM adalah biaya pembelian minyak mentah dari pasar internasional. Proporsinya sekitar 75% dari total biaya. Untu menghindari gejolak harga minyak domestik, perlu dipertimbangkan alternatif penetapan harga BBM dengan menggunakan ceiling price dan floor price. Cara ini dilakukan beberapa negara berkembang pada tahapan awal atau masa transisimenuju harga pasar. Ceiling price adalah batasan harga tertinggi dan floor price adalah batasan harga terendah yang dapat ditetapkan pemerintah. Tabel 3. Penetapan HPP BBMTahun Anggaran 1998/1999 Rupiah/Ekivalen
Rupiah /Liter
Rupiah
Dolar AS
(juta)
(ribu)
1. Penjualan BBM Domestik
19.066.913
19.066.913
366.561
Jumlah Penapatan
19.066.913
19.066.913
366.561
(juta) I Pendapatan
A. Biaya Pengadaan Minyak Mentah dan Produk 1. Pembelian Minyak 19.946.336 57.908 Mentah
3.975.651
2. Impor Minyak Mentah
7.807.906
1.567.212
150.688
3. Impor BBM
7.366.815
1.473.651
141.780
4. Pembelian BBM
3.590.253
751.051
69.456
18
383.901
5. Perubahan Persediaan
-1.519.826
-1.565.769
-29.908
6. Nilai non BBM
-8.672.429
-1.754.234
-165.890
Jumlah
28.519.056
1.454.713
5.994.781
548.764
1. Biaya Pengolahan
2.350.749
901.245
289.632
45.193
2. Biaya Distribusi
1.460.748
1.020.760
88.908
28.904
3. Biaya Angkutan Laut
2.129.647
321.876
40.942
4. Biaya umum dan Adm.
90.312
90.780
1.738
5. Biaya Bunga
195.642
59.242
27.212
6. Biaya Penyusutan
363.670
363.254
6.992
Jumlah
6.590.768
2.959.790
726.300
125.057
Jumlah Biaya
35.`09.524
1.507.812
6.720.890
647.908
(Subsidi)/LBM
16.267.098
17.587.568
6.720.347
-308.901
B. Biaya Operasi
3.751
Sumber: Seminar Indonesian Institute For Energy Economics 2. Energi Listrik Konsep perhitungan utama menggunakan metode biaya pembangkitan terendah. Secara umum, harga energi listrik yang sampai ke pemakai akhir terdiri atas komponen biaya pembangkitan, biaya transmisi, dan biaya distribusi. Variabel yang paling menentukan harga listrik dari ketiga komponen tersebut adalah biaya pembangkitan listrik. Selama ini dipakai metode biaya pembangkitan terendah untuk menentukan besarnya harga listrik di lokasi pembangkitan. Secara umum metode ini terdiri dari tiga variabel utama, yaitu biaya modal, biaya operasi dan perawatan, serta
19
biaya bahan bakar. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan basarnya komponen biaya dalam penentuan biaya beberapa jenis pembangkit listrik. Tabel 4 Biaya Pembangkitan Listrik Tahun 1989-1990 Buaya Biaya Biaya Bahan Total Modal O&M Jenis Pembangkit Bakar Listrik Mills/k Mills/kWh Mills/kWh Mills/kWh Wh PLTD MFO
12,3
2,6
31,2
46,1
PLTU Batubara
12,8
2,8
19,8
35,3
PLTU MFO
10,0
2,1
29,9
42,0
7,8
1,7
23,9
33,4
PLTU Gas Bumi
12,6
2,7
26,3
41,6
PLTG HSD
21,4
4,6
101,3
127,3
PLTG Gas Bumi
21,4
11,4
52,4
85,2
PLTP
8,0
1,7
33,4
43,1
PLTG Combined Cycle
Sumber : Energy Pricing Policy Study (EPPS),1990 Penentuan tarif dasar listrik (TDL) sebenarnya merupakan upaya yang sangat penting dilakukan, bila dikaitkan dengan struktur dan tingkat harga. Pada prinsipnya penentuan TDL berdasarkan diskriminasi harga dan harga mark-up dari biaya finansial. Kriteria penetapan TDL bertujuan untuk : 1. Memenuhi sebagian kebutuhan pendanaan untuk investasi yang menjamin tersedianya tenaga listrik secara efisien dan berkelanjutan 2. Menjamin keadaan keuangan pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan agar sehat dan wajar 3. Menyempurnakan penggolongan dan struktur tarif listrik, sehingga tenaga listrik untuk masing-masing golongan tarif semakin mendekati nilai keekonomian
20
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Dalam penetapan harga energi secara ekonomi, pada intinya harus memenuhi dua kriteria utama dari sisi produsen dan konsumen.
Dalam metodologi penetapan harga energi ada empat hal yang harus diketahui yaitu: 1. Biaya dasar atau harga minimum yang merupakan biaya minimum yang diperlukan produsen untuk memproduksi satu jenis sumber energi. Biaya dasar dapat dibagi menjadi tiga yaitu biaya penawaran (cost of supply), premi pengurasan (depelation allowance), biaya eksternal (external cost) dan biaya transpor (transport cost). 2. Nilai netback yang merupakan nilai maksimum yang sedia dibayar konsumen dihadapkan dengan harga barang produksi atau biaya dari alternatif terbaik penggunaan energi lainnya. 3. Harga efisien yang merupakan tingkat harga yang terbentuk saat permintaan sama dengan penawaran, atau saat keseimbangan. 4. Harga finansial yang merupakan harga patokan atau harga minimal yang muncul di sisi produsen.
Di Indonesia ada beberapa masalah yang dijumpai dalam hal penetapan energi. Masalah tersebut ialah alokasi sumber energi, objektif sosial, masalah lingkungan dan harga energi di Indonesia.
Solusi dari permasalahan dalam penetapan harga energi adalah ketegasan pemerintah dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan energi. Ketegasan ini mencakup dalam pemberhentian pemberian subsidi BBM, melakukan pengembangan terhadap energi alternatif yang bukan hanya sekedar penelitian saja dan memperketat perjanjian dengan pihak asing.
21
DAFTAR PUSTAKA Yusgiantoro, Purnomo. Ekonomi Energi. LP3ES. 2000. Jakarta \http:// herrypradana.wordpress.com//, diakses 15-03-2014 http://jieb.feb.ugm.ac.id//, diakses 15-03-2014 http://koran.bisnis.com//, diakses 15-03-2014
22