Makalah Parasit W. Bancrofti.docx

  • Uploaded by: intan permata sari
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Parasit W. Bancrofti.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,482
  • Pages: 17
MAKALAH PARASITOLOGI Wuchereria bancrofti

OLEH : 1. INTAN PERMATA SARI (162500011) 2. MELISA RISTIANA (1625000 3. PUTRA BAGUS S. (1625000

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (MIPA) UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA 2016

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kesempatan agar dapat menyelesaikan tugas penulisan makala biologi Parasitologi dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulisan makala yang berjudul Wuchereria bancrofti ditulis untuk melihat, mengkaji dan meneliti tentang penyakit pada manusia yang disebabkan oleh parasit. Selain itu juga bertujuan untuk menyelesaikan tugas makalah dalam bab Nematoda Jaringan mengenai W. bancrofti oleh guru Pembimbing Biologi Parasitologi, Dra. Ngadiani, M.Kes. Selain itu dengan penulisan makalah biologi ini dapat memperoleh banyak pelajaran. Tentunya dalam penulisan makalah biologi ini tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar, ada beberapa halangan yang menghambat proses penulisan makalah ini. Tetapi dengan niat, semangat dan usaha yang sungguh-sungguh, kami dapat mengatasi hambatanhambatan tersebut sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan. Mohon maaf apabila dalam penulisan materi atau penyajian ini ada yang kurang baik dan tidak sesuai, penjelasan yang mungkin kurang berkenan dihati para pembaca. Penulis berharap dengan terselesaikannya penulisan makalah ini, para pembaca dapat mengetahui berbagai macam hal mengenai penyakit pada manusia yang disebabkan oleh parasit W. bancrofti.

Surabaya, 01 Oktober 2017

Penulis

DAFTAR ISI Kata Pengantar

v

Daftar Isi

vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 2 1.3 Tujuan................................................................................................................... 2 1.4 Manfaat................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Klasifikasi Cacing Filaria .................................................................................... 3 2.2 Tinjauan Tentang Filariasis ................................................................................. 4 2.3 Daur Hidup Cacing Filaria .................................................................................. 5 2.4 Prinsip patologis penyakit filariasis .................................................................... 6 2.5 Diagnosis ............................................................................................................. 6 2.6 Upaya Pencegahan, Pengobatan, dan Prognosis ................................................ 7

BAB III PENUTUP A.Kesimpulan ............................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin. Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus penderita filariasis khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997) seperti di Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Untuk memberantas filariasis sampai tuntas, WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020) yaitu program pengeliminasian filariasis secara masal. Program ini dilaksanakan melalui pengobatan masal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis untuk mencegah kecacatan. WHO sendiri telah menyatakan filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia. Di Indonesia sendiri, telah melaksanakan eliminasi filariasis secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 Kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahunnya. Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata. Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya, diharapkan program Indonesia Sehat Tahun 2010 dapat terwujud salah satunya adalah terbebas dari endemi filariasis.

1

1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain sebagai berikut. 1.

Apa yang dimaksud dengan filariasis ?

2.

Bagaimana mekanisme terjadinya filariasis ?

3.

Bagaimana diagnosis terjadinya filariasis ?

4.

Bagaimana upaya pencegahan, pengobatan dan prognosis ?

1.3 Tujuan Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengacu pada rumusan masalah di atas sebagai berikut. 1.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan filariasis. 2.Untuk mengetahui mekanisme terjadinya filariasis. 3.Untuk mengetahui upaya pencegahan, pengobatan dan prognosis.

1.4 Manfaat Manfaat penyusunan makalah ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui segala sesuatu tentang filariasis, bagaimana mekanisme terjadinya filariasis, dan bagaimana upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasi filariasis. Dengan demikian, diharapkan masyarakat ikut memberantas penyakit ini secara aktif sehingga tidak menjadi endemi di masyarakat.

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Klasifikasi Cacing filaria (Wuchereria bancrofti) Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nemathelminthes. Bentuk cacing ini giling memanjang, seperti benang maka disebut filarial. Cacing filaria penyebab penyakit gajah berasal dari genus wuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai penyebab penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori. 

Kingdom

:Animalia

Classis

:Secernentea

Ordo

:Spirurida

Family

: Onchocercidae

Genus

:Wuchereria

Species

:Wuchereria bancrofti

 1.

Klasifikasi ilmiah

Ciri-ciri cacing Filaria

Cacing dewasa (makrofilaria), bentuknya seperti benang berwarna putih kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih susu.

2.

Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65 – 100 mm, ekornya berujung tumpul, untuk makrofilarial yang jantan memiliki panjang kurang lebih 40 mm, ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria berukuran panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.

3.

Tempat hidup Makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar limfe. Sedangkan pada malam hari mikrofilaria terdapat di dalam pembuluh darah tepi, dan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat-alat dalam, misalnya: paru-paru, jantung, dan hati.

3

2.2 Tinjauan Tentang Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble, 1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa disebut mikrofilaria (Gambar 1.).

A

B

C

Gambar 1. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti (A), Brugia malayi (B), dan Brugia timori (C). (Sumber : Juni Prianto L.A. dkk., 1999)

Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya berukuran ±250µ, cacing betina dewasa berukuran panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa berukuran panjang ±40mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999). Di ujung daerah kepala membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa bibir (Oral stylet) seperti terlihat pada Gambar 2. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori, mikrofilarianya berukuran ±280µ. Cacing jantan dewasa panjangnya 23mm dan cacing betina dewasa panjangnya 39mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999). Mikrofilaria dilindungi oleh suatu selubung transparan yang mengelilingi tubuhnya. Aktifitas mikrofilaria lebih banyak terjadi pada malam hari dibandingkan siang hari. Pada malam hari mikrofilaria dapat ditemukan beredar di dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal ini terjadi karena mikrofilaria memiliki granula-granula flouresen yang peka terhadap sinar matahari. Bila terdapat sinar matahari maka mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam kapilerkapiler paru-paru. Ketika tidak ada sinar matahari, mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam sistem pembuluh darah tepi.

4

Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah pada waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun.

Gambar 2. Struktur tubuh mikrofilaria W. bancrofti (Sumber : Elmer R. Noble dan Glenn A. Noble, 1989)

Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki-laki lebih dmudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat hidup pada kucing, kera, kuda, dan sapi. Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya. Wuchereria bancrofti yang ada di daerah pedesaan dapat ditularkan oleh berbagai macam spesies nyamuk. Di Irian Jaya, Wuchereria bancrofti terutama ditularkan oleh Anopheles farauti yang menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Di daerah pantai di NTT, Wuchereria bancrofti ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia malayi yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, dan Mansonia dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi, Brugia malayi ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya. Brugia timori ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur.

4

2. 3 Daur Hidup Cacing Filaria ( Wuchereria bancrofti) Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu: 1.

Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.

2.

Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang lebih 7 bulan.

Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II.

5

Pada hari ke sepuluh dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh

limfe,

sehingga

akan

menyumbat

pembuluh

limfe

dan

akan

terjadi

pembengkakan. Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terkena filariasais,sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Cacing yang diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di dalam tubuh nyamuk. Makhluk mini itu berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu, pada stadium 3, larva mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk.Nyamuk pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan ”memindahkan” larva infektif tersebut. Bersama aliran darah, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari dia berada didalam kapiler alat-alat dalam seperti pada paru-paru, jantung dan hati, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh.Pemeriksaan darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan malam hari. Setelah dewasa (Makrofilaria) cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangi cairan limfe sehingga terjadi pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di tangan, payudara, atau buah zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa mengalir sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak, mengakibatkan pembesaran tangan. Pada saat dewasa (Makrofilaria) inilah, cacing ini menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah. Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut dapat menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk. Jika nyamuk itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini. 5

2.4 Prinsip patologis penyakit filariasis Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (makrofilaria). Cacing dewasa akan melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya. Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Setelah terjadi infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadinya proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi. Maka hal tersebut dilakukan oleh cacing dewasa (Makrofilaria) yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.

2.5 Diagnosis Bentuk

menyimpang

dari

filariasis

(eosinoffilia

tropikal)

ditandai

oleh

hipereosinivilia, adanya microfilaria di jaringan tetapi tidak terdapat di dalam darah, dan titer antibody antifilaria yang tinggi. Microfilaria mungkin ditemukan di cairan limphatik. Tes serologi telah tersedia tetapi tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan. 1. Diagnosis Parasitologi 1.1 Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsenrasi knott, membran filtrasi. 6

Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00) mengingat periodisitas mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai disaluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor. 1.2 Teknik biologi molekular dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection. 2. Radiodiagnosis 2.1 pemerikasaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak gerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh W. bancrofti. 2.2 Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. 3. Diagnosis Imunologi Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang mengandung antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W. bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan teah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif, mikrofilaria sring tidak ditemukan lagi di dalam darah. Kadang kadang mikrofilaria tidak dijumpai didalam darah, tetapi ada didalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.

6

2.6 Upaya Pencegahan, Pengobatan, dan Prognosis a. Upaya Pencegahan Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk, menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M. b. Upaya Pengobatan dan Prognosis Selama lebih dari 40 tahun, dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat pilihan paling baik untuk pengobatan perorangan maupun masal. DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Pengobatan ditujukan untuk membunuh parasit, mencegah kesakitan dan mencegah transmisi. Hingga saat ini, DEC merupakan satusatunya obat yang efektif, aman dan relatif murah. Dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 har. Dosis harian obat tersebut dapat diberikan dalam tiga kali pemberian sesudah makan. Umumnya dengan dosis ini akan menghilangkan mikrofilaria tapi untuk benar-benar bebas dari parasitnya diperlukan beberapa kali pengobatan. Program eliminasi filariasis melalui pengobatan masal di daerah endemis (prevalensi ≥ 1%) telah dicanangkan oleh organisasi kesehatan dunia. Obat yang dianjurkan adalah kombinasi DEC 6 mg/kgBB dan albendazol 400 mg yang diberikan sekali setiap tahun selama 5-10 tahun pada penduduk diatas usia 2 tahun. Obat lain yang juga dipakai dan saat masih terus diuji coba adalah invermektin. Invermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkannya lebih ringan dibanding DEC. Diberikan sebagai dosis tunggal 400 ug/kg berat badan, dapat sebagai obat tunggal (setiap 6 bulan sekali) atau dikombinasikan dengan dietil-karbamasin (diberikan setahun sekali). Pengobatan kombinasi memberikan efek lebih baik.

7

Pengobatan akan memberikan kesembuhan pada penderita mikrofilameria, stadium akut, limfedema stadium 1-2, kiluria, dan stadium dini elefantiasis. Bila sudah mencapai hidrokel dan elefantiasis lanjut biasanya ditanggulangi dengan cara pembedahan. Untuk mengurangi serangan akut oleh infeksi bakteri dan jamur serta mencegah perkembangan lanjut limfedema maka pada penderita lifedema perlu diajarkan cara membersihkan kaki dengan air dan sabun terutama didaerah lipatan kulit dan sela jari. Bila ditemukan luka harus segera diobati dengan antibiotik dan antimikotik. Kelangsungan hidup filaria didalam tubuh hospes dipengaruhi oleh adanya Wolbachia yang merupakan endobakteri dari famili ricketsiaceae. Endobakteri ini berperan pada perkembangan, reproduksi dan kelangsungan hidup parasit filaria dalam tubuh hospes sehingga dapat dijadikan target pada pengobatan filariasis. Pengobatan DEC pada filariasis akan membunuh parasit sehingga keluarnya Wolbachia atau molekul lipopolisakrida menyebabkan efek samping pengobatan. Anitibiotik golongan makrolid (tetrasiklin, doksisiklin) efektif membunuh Wolbachia dalam parasit filaria. Pemberian antibiotik pada filariasis dapat membunuh Wolbachia dan parasit filaria serta mengurangi efek samping pengobatan DEC. c. Efek Samping Obat Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Pertama bersifat farmakologis, tergantung dosisnya. Angka kejadian sama baik pada yang terinfeksi filariasis maupun tidak. Kedua adalah respon hospes yang terinfeksi terhadap kematian parasit, sehingga sifatnya tidak tergantung pada dosis obat tapi pada jumlah parasit yang mati dalam tubuh hospes. Ada dua jenis reaksi : Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria transien, reaksi alergi, muntah, serangan asma. Reaksi ini terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan berlangsung tidak lebih dari 3 hari. Demam dan reaksi sistemik jarang terjadi dan tidak terlalu habat pada dosis kedua dan seterusnya. Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien limfedema, hidrokel, funikulitis dan epididimitis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian dan berlangsung lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan. Reaksi lokal cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adeno-limfangitis, berhubungan dengan keberadaan cacing dewasa atau larva stadium 4 dalam tubuh hospes. 7

Efek samping pengobatan DEC pada penderita filariasis bankrofti lebih ringan daripada penderita filariasis malayi. Hal ini disebabkan kemampuan DEC untuk membunuh filaria lebih lambat pada W. bancrofti. Pemantauan pengobatan DEC dosis tunggal 6 mg/kg pada penderita mikrofilaremi W. bancrofti dan B. Timori menunjukkan penurunan yang signifikan jumlah mikrofilaria hari ke-5 pada penderita mikrofilaremia W. bancrofti dibandingkan dengan hari ke-3 pada penderita mikrofilaremia. B. Timori.

7

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berikut adalah kesimpulan dalam makalah ini: 1. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam sistem limfe dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada, dan skrotum. Dapat didiagnosis dengan cara deteksi parasit dan pemeriksaan USG pada skrotum. 2. Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin. 3. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan melakukan 3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan Albendazol dan Ivermektin selain dilakukan pemijatan dan pembedahan.

8

DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, et al. 1997. Kamus Lengkap Biologi. Jakarta : Erlangga. Entjang, Indan. 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Penerbit Alumni. Noble, Elmer R. & Glenn A. Noble. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan Edisi Kelima. Yogyakarta :Gajah Mada University Press. Prianto, Juni L.A., dkk. 1999. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Schnurrenberger, Paul R., William T. Hubbert. 1991. Ikhtisar Zoonosis. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Yatim, Wildan. 2003. Kamus Biologi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Natadisastra, Djaenuddin, dkk. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC Chaerudin P. Lubis, Syahril Pasaribu. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Anak. Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2002. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 435-441 Herdiman T. Pohan. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III. 2004. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Depkes RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis & Schistosomiasis, 2002, Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.

Related Documents

Parasit
October 2019 18
Eimeria (parasit)
May 2020 18
Parasit Lisa.docx
June 2020 13
Penyakit Parasit
June 2020 19

More Documents from ""