MAKALAH KUSTA (MORBUS HANSEN) STASE FISIOTERAPI INTEGUMEN
KELOMPOK K :
I DEWA ALIT KAMAYOGA
(1802631012)
PUTU AYU SITA DAMAYANTHI
(1802631017)
NI PUTU WITARI IKAYANI
(1802631054)
GEDE DESY DARMAWAN
(1802631057)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2018
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................................ 1 Daftar Isi ......................................................................................................................................... 2 A. Definisi .................................................................................................................................... 3 B. Etiologi .................................................................................................................................... 3 C. Patofisiologi ............................................................................................................................. 4 D. Tanda Dan Gejala .................................................................................................................... 6 E. Faktor Risiko ........................................................................................................................... 6 F.
Klasifikasi .............................................................................................................................. 10
G. Penatalaksanaan Fisioterapi ................................................................................................... 13 Daftar Pustaka ………………………………………...…………………………………………15
2
KUSTA (MORBUS HANSEN) A. DEFINISI Penyakit
kusta
adalah
penyakit
infeksi
kronik
yang
disebabkan
oleh
kuman Micobacterium leprae (M. Leprae). Kuman tersebut pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2000) kecuali susunan saraf pusat (Depkes, 2015). Pada kebanyakan kasus kusta, orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian memperlihatkan gejala dan cenderung menimbulkan kecacatan. Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) diketahui secara jelas melalui gejala klinis serta pemeriksaan bakteriologi dan patologik. Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menggambarkan transmisi aktif penyakit di masyarakat dan dianggap penting sebab memiliki potensi mengalami kecacatan yang memberikan dampak psikososial pada pasien serta keluarganya (Dayal dan Sanghi, 2010). Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit sacara umum. B. ETIOLOGI Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Mycrobacterium leprae merupakan bakteri aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri khas spesies Mycrobacterium. Bakteri jenis ini biasanya berkelompok dan terkadang ditemukan tesebar satu-satu, umumnya bakteri tersebut hidup dalam sel jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro). Mycrobacterium leprae hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, bakteri ini tidak mudah untuk diwarnai, tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga disebut basil “tahan asam” (Kemenkes, 2015). Penularan penyakit dilakukan melalui kontak langsung dengan penderita dimana untuk penularan kedua pihak harus memiliki lesi baik mikroskopis maupun makroskopis dan adanya kontak berkepanjangan dan berulang, selain itu penularan dapat melalui pernapasan. 3
Proses perkembang biakan Mycrobacterium leprae dalam waktu 2-3 minggu, di luar tubuh manusia bakteri ini dapat bertahan 9 hari kemudian membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi 2-5 tahun atau lebih. Tanda-tanda kusta umumnya muncul setelah 5 tahun. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi progresif, kerusakan permanen terjadi pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata (Kemenkes, 2015).
Gambar .Mycobacterium Leprae C. PATOFISIOLOGI Mekanisme
penularan
Mycobacterium Leprea.
penyakit Morbus
Hansen
diawali
dari
kuman
Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta
mempunyai sifat tahan asam (BTA). Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan. Penyakit lepra dan manisfestasi klinis yang ditunjukkan merupakan suatu proses interaksi dinamis antara Mycrobacterium leprae dengan cell-mediated immunity (CMI) yang secara genetik cenderung mempengaruhi individu. Mycrobacterium leprae
memiliki
keunikan dimana satu-satunya bakteri dengan neurotropism yang lebih sesuai untuk saraf tepi dan tidak dapat dikultur pada media buatan. Penderita multibasiler yang tidak mendapatkan terapi yang tepat menjadi sumber infeksi utama, dimana penderita dapat menghasilkan 107 bakteri/hari melalui droplet dari hidung, mulut, dan nodul ulkus. Tahan terhadap radiasi ultraviolet, iklim yang panas, dan mampu bertahan 6 minggu dalam tanah (Muslistyarini et al, 2018).
4
Permukiman yang padat dan kondisi sosial ekonomi yang buruk mendorong penyebaran lepra. Mukosa pada saluran napas atas diduga menjadi jalan utama bakteri masuk ke dalam tubuh. Luka akibat tusukan, proses tatto, vaksinasi, dan gigitan anjing dipercaya sebagai jalan masuk Mycrobacterium leprae melalui kulit. Waktu intubasi belum diketahui secara pasti dan bervariasi mulai dari bulan hingga 20 tahun atau lebih. Inokulasi transkutan sering menimbulkan lepra tipe TT atau BT dengan periode intubasi pendek, sedangkan bakteri yang masuk melalui saluran napas atas sering menyebabkan tipe BB, BL, dan LL dengan periode intubasi yang panjang (Muslistyarini et al, 2018). Ketika Mycrobacterium leprae
masuk ke dalam tubuh, bakteri akan memasuki
pembuluh limfe dan pembuluh darah untuk mencapai targetnya, yaitu sel Schwann. Mycrobacterium leprae memasuki sel Schwann dengan berikatan dengan G-domain dari rantai 𝛼2 laminin 2 (komponen dari lamina basalis). Bentuk laminin tersebut menghalangi saraf perifer untuk mengenali Mycrobacterium leprae. Sel Schwann akan menelan Mycrobacterium leprae dalam fagosom namun tidak dapat menghancurkan bakteri karena sel Schwann tidak memiliki enzim lisosom. Sel Schwann merupakan pelindung bagi bakteri dari makrofag dan dapat bereplikasi perlahan selama bertahun-tahun. Pengikatan Mycrobacterium leprae dengan sel Schwann menyebabkan demielinisasi dan kehilangan konduksi aksonal. Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa
hipopigmentasi
(semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat
membuat
paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan. 5
D. TANDA DAN GEJALA Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit kusta ditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta yaitu: a. Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih (hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous), penebalan kulit (plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba, suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian. b.
Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik mengalami kelemahan otot (parese) dan kelumpuhan (paralisis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak. Gejala pada penderita kusta yang dapat ditemukan biasanya penderita mengalami demam dari derajat rendah hingga menggigil, nafsu makan menurun, mual dan kadang-kadang diikuti dengan muntah. Penderita kusta juga mengalami sakit kepala, kemerahan pada testis, radang pada pleura, radang pada ginjal, terkadang disertai penurunan fungsi ginjal, pembesaran hati dan empedu, serta radang pada serabut saraf.
Gambar Gejala Morbus Hansen E. FAKTOR RISIKO Timbulnya penyakit kusta diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Kondisi Ekonomi Keluarga Jika seseorang yang termasuk kondisi ekonomi keluarga rendah mempunyai risiko 6,356 kali lebih besar menderita kusta dibandingkan dengan seseorang yang kondisi ekonomi keluarganya baik. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempunyai peran dalam mewujudkan kondisi kesehatan seseorang. Pendapatan yang diterima seseorang akan
6
mempengaruhi daya beli terhadap barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang kebutuhan lainnya seperti sandang dan papan (Ligia, 2006; Dwi, 2012) 2) Tingkat Pengetahuan Merupaka hasil dari penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Secara sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek yang berbeda-beda (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:50). Pengetahuan yang baik diharapkan menghasilkan kemampuan seseorang dalam mengetahui gejala, cara penularan penyakit kusta dan penanganannya. 3) Kebersihan Perorangan Ligia (2006) menyatakan bahwa mandi seminggu sekali di dalam badan air terbuka seperti teluk, danau dan sungai serta mengganti alas tempat tidur (linen) lebih dari dua minggu sekali merupakan faktor risiko kejadian kusta. Dalam penelitian ini kegiatan tersebut termasuk dalam variabel kebersihan perorangan. Menurut hasil penelitian Yudied A. M pada tahun 2007 bahwa personal hygiene meliputi kebiasaan tidur bersama, menggunakan pakaian bergantian, handuk mandi secara bergantian serta BAB di kebun pada masyarakat pragaan menyebabkan penularan penyakit kusta. 4) Riwayat Kontak Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa anak-anak. Insidensi yang rendah pada pasien-pasien yang merupakan pasangan suami istri (kusta yang diperoleh dari pasangannya) memberikan kesan bahwa orang dewasa relatif tidak mudah terkena. Penyakit ini timbul akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi, dan risiko ini menjadi jauh lebih besar bila terjadi kontak dengan kasus lepromatosa. Sekret hidung merupakan sumber utama terjadinya infeksi di masyarakat (Robin Graham Brown, 2005:24). 5) Lama Kontak Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan (James Chin, 2000: 348). Kuman kusta mempunyai masa 7
inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita (Depkes RI, 2007: 9). 6) Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari yang dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan ringan (tidak bekerja, pelajar, pegawai kantor) dan pekerjaan berat (pekerja bangunan, buruh, tukang batu, pekerja bengkel, penjahit, buruh angkut, pembantu, petani dan nelayan). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily Af’idah (2012) tentang analisis faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten Brebes tahun 2010, prosentase jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan yang tidak berisiko sebesar 14,5%. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian kusta. 7) Jenis Kelamin Penyakit kusta dapat menyerang semua orang baik laki-laki maupun perempuan. Lakilaki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. Walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini hampir sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak (Marwali Harahap, 2000: 261). Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 2007: 8). 8) Jarak Rumah Faktor lingkungan Merupakan faktor yang memudahkan seseorang kontak dengan kuman kusta (Mycobacterium leprae). Lingkungan fisik (physical environment) yang ada di sekitar kita sangat berarti bagi kehidupan kita. Kondisi lingkungan sekitar secara terus-menerus memberikan pemaparan pada kita, jika lingkungan sesuai dengan kebutuhan aktivitas manusia, maka dia akan mendorong bagi kondisi yang baik, dan jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan kebutuhan sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Daerah endemitas 8
yang tinggi serta kontak orang-orang dengan penderita dengan kuman kusta akan lebih sering daripada daerah dengan endemitas rendah (Wayne M. meyers, 2000:251). Dua hal yang terkait dengan tempat tinggal, yaitu penataan rumah (yang berhubungan dengan ukuran, tata ruang, dan penampilan) dan kepadatan. Menyangkut kepadatan berarti berhubungan dengan jarak rumah satu dengan yang lain. Kepadatan perumahan selain secara psikososial sering menimbulkan konflik-konflik antar anggota masyarakat, banyaknya hazard yang potensial dapat mengganggu kesehatan fisik maupun mental. Kondisi rumah harus memperhatikan tempat dimana rumah itu didirikan, di desa atau perkotaan, di daerah dingin atau daerah panas dan dibuat sedemikian rupa. Rumah hendaknya terletak di atas tanah yang padat untuk menghindari adanya bahaya-bahaya, tidak di tempat yang terlindung sehingga tidak memungkinkan sinar matahari masuk ke dalam rumah. Di dalam buku peraturan bangunan nasional mengemukakan antara lain bahwa rumah sehat ideal yang diharapkan adalah rumah yang mampu menjamin kesehatan penghuni dan kehidupan keluarganya secara layak. Pengaruh sinar matahari atas kehidupan penghuni di suatu rumah adalah : 1. Jika terlalu banyak sinar matahari: perasaan kurang nyaman karena panasnya suhu udara di dalam ruangan. 2. Jika terlalu sedikit sinar matahari masuk ruangan akan mengakibatkan kumankuman penyakit yang mungkin ada di dalam rumah/ruangan dapat menular dan keadaan di dalam rumah/ruangan menjadi gelap serta pengap. Oleh karena itu perlu dipikirkan berbagai macam cara untuk mengatur banyaknya sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan/rumah. Sinar matahari merupakan salah satu bentuk energi kehidupan, merupakan unsur kebutuhan hidup bagi setiap organisme (Fuad Amsyari, 1981:44). Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan menyebutkan, rumah tunggal merupakan rumah kediaman yang mempunyai persil sendiri dan salah satu dinding bangunan induknya tidak dibangun tepat pada batas persil. Menurut buku Peraturan bangunan Nasional dalam hal jarak rumah tunggal antara yang satu dengan yang lainnya minimal 2 m dengan jarak rumah antara pagar dengan dinding rumah tepat 1 m. Supaya bagian kapling yang terletak antara batas kapling dengan tembok dinding rumah memungkinkan mendapat sinar matahari, udara dan 9
memungkinkan untuk dibersihkan, maka antara pagar batas kapling dengan dinding harus ≥ 1 m. F. KLASIFIKASI Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu: TT
: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti
: Tuberkuloid indefinite
BT
: Borderline tuberkuloid
BB
: Mid borderline
BL
: Borderline lepromatous
Li
: Lepromatosa indefinite
LL
: Lepromatous polar, bentuk yang stabil Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi KLASIFIKA
ZONA SPEKTRUM KUSTA
SI
10
Ridley
dan
TT
BT
BB
BL
LL
Jopling Madrid
Tuberkul
Borderline
Lepromatos
oid WHO
a
Pausibasilar (PB)
Multibasilar (MB)
PB
MB
Puskesmas
Multibasilar berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL,BL dan BB. Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT, dan I. Diagnosis banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel 2 dan 3. Tabel 2.Gambaran klinis, Bakteriologik dan Imunologik Kusta Multibasilar (MB). SIFAT
LEPROMATO
BORDERLINE
MID
SA (LL)
LEPROMATOS
BORDERLINE
A (BL)
(MB)
Lesi -
Bentuk
Makula
Makula
Plakat
Infiltrat difus
Plakat
Dome-shaped
Papul
Papul
(kubah)
Nodul -
Jumlah
Punched-out
Tidak
Sukar
dihitung,
Dapat
dihitung,
terhitung,
masih ada kulit
kulit sehat jelas
praktis tidak
sehat
ada
-
Distribusi
ada kulit sehat
-
Permukaan
Simetris
Hampir simetris
Asimetris
Halus berkilat
Halus berkilat
Agak kasar, agak
-
Batas
-
Anestesi
berkilat Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Biasanya tidak
Tidak jelas
Lebih jelas
jelas
11
BTA -
Lesi kulit
Banyak (ada
Banyak
Agak banyak
Biasanya negative
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
globus) -
Sekret hidung
Banyak (ada glous)
Tes
Negatif
Lepromin
Satu karakteristik dari penyakit kusta yang menjadi penyebab terjadinya cacat adalah terjadinya peradangan yang mengenai saraf (neuritis). Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair respons) atau reaksi antigen antibodi (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi/cacat (Depkes RI, 2007: 90). 37 Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Gambaran klinisnya sangat khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri, dan dapat disertai gangguan fungsi saraf. Namun tidak semua gejala reaksi serupa. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas. Diperkirakan bahwa sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting (Depkes RI, 2007: 89). Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses : a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya: mata). b. Melalui reaksi kusta Secara umum fungsi saraf dikenal ada 3 macam yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba dan fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena (Depkes RI, 2007: 101). Kecacatan merupakan istilah luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Tiap kasus baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya karena menunjukkan kondisi penderita pada saat diagnosis ditegakkan. Angka cacat tertinggi merupakan tingkat cacat untuk penderita tersebut (tingkat
12
cacat umum). Tingkat cacat juga digunakan untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas (Depkes RI, 2007: 103). Untuk indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan di lapangan maka tingkat cacat disesuaikan sebagai berikut: 1. 0 Tidak ada kelainan pada mata akibat kusta. Tidak ada cacat akibat kusta. 2. 1 Anestesi, kelemahan otot, (tidak ada cacat/ kerusakan yang kelihatan akibat kusta). 3. 2 Ada lagophthalmos Ada cacat/ kerusakan yang kelihatan akibat kusta, misalnya ulkus, jari kiting, kaki semper. Sumber: Depkes RI, 2007: 104. Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat. Cacat tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki. Cacat tingkat 1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa pada bercak bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit. Cacat tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat. Untuk mata: 1. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos). 2. Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis). 3. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan. Untuk tangan dan kaki: 1. Luka dan ulkus di telapak 2. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsial dari jari-jari (Depkes RI, 2007: 104). G. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI Tujuan utama program penanganan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit. 1) Intervensi
13
Dalam penanganan modalitas fisioterapi yang diberikan adalah hydroterapi, massage dan terapi latihan.Metode tersebut digunakan untuk melembapkan kulit yang kering dan menghaluskan kulit yang kasar disertai pecah-pecah. a.
Hydroterapi Pemberian modalitas hydroterapi dapat mengurangi kulit yang kering pada kasus xerosis karena hydroterapi bermanfaat untuk membantu meningkatkan sirkulasi pada jaringan kulit dan di bawah kulit, sehingga fungsi hidrasi pada lapisan kulit stratum corneum meningkat sehingga kulit kering berkurang.
b. Massage Pemberian Massage dengan menggunakan lotion dapat mengurangi kulit yang kasar dan pecahpecah sehingga kulit menjadi halus. Kandungan minyak yang terdapat di lotion yang digunakan dapat membantu melembapkan kulit yang kasar dan pecah-pecah sehingga kulit menjadi halus. Sebaiknya lotion yang digunakan mengandung olive oil atau soy bean karena sangat bermanfaat untuk melembapkan kulit. Kandungan yang terdapat pada olive oil adalah vitamin E yang berperan sangat penting bagi kesehatan kulit, yaitu dengan menjaga dan meningkatkan elastisitas dan kelembapan kulit dan mencegah proses penuaan dini (Andriani et al.,2015). Pada soy bean oil mengandung asam lemak tidak jenuh dan Trigliserida yang berfungsi untuk merangsang kelembaban kulit sehingga fungsi kulit meningkat (Gimenez-arnau, 2014). c. Terapi Latihan Pemberian modalitas terapi latihan dapat meningkatkan lingkup gerak sendi. Terapi latihan yang diberikan berupa gerakan pasif, gerakan aktif, dorsi flexi, , dan gerakan aktif resisted. Terapi latihan yang dilakukan dapat perlahan meningkatkan lingkup gerak sendi sekaligus menguatkan kembali otot-otot yang mengalami kelemahan. Adanya peningkatan lingkup gerak sendi mempengaruhi peningkatan elastisitas kulit, serta dengan diberikan terapi latihan, atrofi otot yang terjadi akibat lepra menjadi berkurang (Varkevisser et al., 2009). 2) Edukasi Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien dengan lepra : -
Kualitas kelembahaban, pencahayaan, dan kebersihan ruangan harus diperhatikan Terapi latihan harus rutin dilakukan untuk menjaga lingkup gerak sendi dan kekuatan otot. Diupayakan untuk selalu menjaga kebersihan diri Kelembaban kulit harus tetap dijaga 14
DAFTAR PUSTAKA Bath R M dan Prakash C. (2012). Leprosy : An Overview of Pathophysiology. Review Article. India : Hindawi Publising Corporation. Halaman : 1-6. Dayal R, Sanghi S. (2010). Leprosy in children. In: Kar HK, Kumar B, editors. IAL textbook of leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher (P). Halaman 325-334. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2010; hal. 73-83. 3. Gillis, T. P. (2015). Chapter 93 – Mycobacterium leprae. In Molecular Medical Microbiology (pp. 1655–1668). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-397169- 2.00093-7 Gimenez-arnau, A. M. (2014). Xerosis Means “Dry Skin”: Mechanisms, Skin Conditions, and Its Management, 235–249. https://doi.org/10.1007/978-3- 642-54379-1 Goodheart, H. (2009). Diagnosis Fotografik dan Pelaksanaan Penyakit Kulit. In D. Ramadhani (Ed.) (III, pp. 293–296). New York: Departement of Dermatology Mount Sinai School of Medicine. Hendricks, A. J., Vaughn, A. R., Clark, A. K., Yosipovitch, G., & Shi, V. Y. (2017). Sweat mechanisms and dysfunctions in atopic dermatitis. Journal of Dermatological Science, 1–7. https://doi.org/10.1016/j.jdermsci.2017.11.005 Hiswani, 2001, Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih Dijumpai di Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hugh Cross dan Margaret Mahato, 2006, Pencegahan Cacat Kusta, Terjemahan Laksmi K Wardhani. Jakarta : The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP). International Leprosy Association, 2005, Latapi’s Lepromatosis, International Journal of Leprosy, Volume 73 Nomor 3 September 2005. James Chin, 2000, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Terjemahan oleh I Nyoman Kandun. Jakarta : Infomedika. Kemenkes. 2015. Kusta. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Halaman : 1-2. Legendre D.P,. Muzny, CA, et al. (2012). Hansen’s diseases (leprosy). Medscape reference. Hal: 27- 37. Maria Christiana, 2008, Analisis Faktor Risiko Kejadian Kusta (Studi Kasus di Rumah Sakit Kusta Donorejo Jepara) Tahun 2008. Skripsi : Universitas Negeri Semarang. Marwali Harahap, 2000, Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta : Hipokrates. Noviana Ariyani, 2011, Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Reaksi Kusta. Skripsi : Universitas Airlangga, (http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/8834843011_abs.pdf), diakses 7 Juni 2012. Nur Nasry Noor, 2006, Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, Jakarta : Rineka Cipta. Montoya D, Moddlin RL. Learning from leprosy : insight into the human innate immune response. Vol. 105. Los Angeles: Elsevier: 2010; hal 1-24. 6. Murlistyarini, et al. 2018. Intisari Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Malang : UB Press. Halaman : 43-49. Nunzi E dan Massone C. 2012. Leprosy : A Partical Guide. Italia : Springer Velgar. Halaman : 39-47. Price SA, Wilson LM.Patofisiologi. Edisi VI. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2006; hal. 1580-98. 15
Sardjono OS.Farmakologi dan terapi.Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007; hal. 633-37 Sehgal, Alficia. 2006. Deadly Diseases and Epidemics : Leprosy. USA : Chelsea House Publisher. Halaman : 22- 28.
16