Makalah Modul Biologi Oral Ii Fixxxxxxx.docx

  • Uploaded by: Ramadhan Galang
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Modul Biologi Oral Ii Fixxxxxxx.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,293
  • Pages: 19
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ........................................................................................................ 2 1. 1 Latar Belakang ............................................................................................ 2 1. 2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2 1. 3 Tujuan ......................................................................................................... 3 2. Pembahasan ........................................................................................................ 4 2.1 Penyebab Penonjolan Edentolous Ridge ..................................................... 4 2.2 Proses Penyembuhan Luka .......................................................................... 5 2.3 Proses Penyembuhan Luka Pasca Operasi pada Struktur Gingiva .............. 5 2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca operasi pada Struktur Tulang Alveolar . 9 2.5 Faktor yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka .......................... 13 3. Penutup ............................................................................................................. 17 3. 1 Kesimpulan ............................................................................................... 17 3. 2 Saran ......................................................................................................... 17 4. Daftar Pustaka ................................................................................................... 18

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Manusia selalu aktif dalam beraktivitas dan dapat menyebabkan luka. Luka adalah suatu kerusakan kontinuitas jaringan tubuh yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Perawatan luka adalah suatu tindakan untuk membantu menciptakan kondisi luka yang baik pada daerah luka untuk penyembuhan dengan mengeluarkan debris, seperti benda asing dan jaringan lunak yang mengalami defitalisasi yang apabila terus menerus dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya infeksi. Proses penyembuhan luka dapat terjadi secara spontan tanpa pengobatan, ada juga beberapa bahan perawatan yang dapat membantu mendukung proses penyembuhan jaringan (1). Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan. Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler, dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi klinik saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan yang telah berhasil memberikan kesembuhan. Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endogen seperti umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik.

1.2. Rumusan Masalah 1. Apa saja struktur gingiva? 2. Apa saja struktur tulang alveolar? 3. Bagaimana proses penyembuhan pada gingiva dan tulang alveolar? 4. Bagaimana proses penyembuhan luka dari aspek seluler dan molekuler?

2

1.3. Tujuan 1. Mampu menjelaskan struktur gingiva 2. Mampu menjelaskan struktur tulang alveolar 3. Mampu menjelaskan penyembuhan pada gingiva dan tulang alveolar 4. Mampu menjelaskan proses penyembuhan luka dari aspek seluler dan molekuler

3

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Penyebab Penonjolan Edentolous Ridge Salah satu kelainan yang dapat mengganggu fungsi dari gigi tiruan adalah adanya penonjolan tulang (eksostosis). Eksostosis adalah suatu pertumbuhan benigna jaringan tulang yang keluar dari permukaan tulang. Secara khas keadaan ini ditandai dengan tertutupnya tonjolan tersebut oleh kartilago. Penonjolan di daerah midline rahang atas disebut torus palatinus sedangkan penonjolan dilateral rahang bawah disebut torus mandibularis. (Basa S, dkk, 2010), (. Gustav O Kruger. 1979). Patogenesis dari eksostosis ini masih diperdebatkan, yang dapat dipengaruhi faktor genetik misalnya umur dan jenis kelamin atau faktor lingkungan misalnya trauma setelah pencabutan gigi dan tekanan kunyah. (Kurtzman GM, 2006). Penonjolan tulang berhubungan dengan meningkatnya umur dan jenis kelamin, hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Aree Jainkittivong dkk. (2000) yang menunjukkan prevalensi penonjolan tulang tertinggi terjadi pada umur 60 tahun dan pada kelompok umur yang lebih tua yaitu sebesar 21,7%. Distribusi penonjolan tulang berdasarkan jenis kelamin didapat bahwasanya laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 1,66:1.( Jainkittivong A, 2000) Sementara itu dari penelitian yang dilakukan oleh Firas dkk (2006) dan Sawair dkk (2009) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi eksostosis yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. (Quran FAM, dkk, 2006), (Sawair FA, dkk, 2009) Eksostosis umumnya lebih banyak terjadi pada maksila dibandingkan dengan mandibula dengan perbandingan 5,1:1. (Jainkittivong A, 2000), (Basha S, Dutt SC. 2011). Eksostosis juga dapat terjadi setelah pencabutan gigi. Penonjolan ini harus dihilangkan untuk persiapan pemakaian gigitiruan. Apabila tidak dihilangkan maka akan mempengaruhi jaringan lunak, stabilitas gigitiruan, retensi gigitiruan, adaptasi gigitiruan, dan dapat mengganjal basis gigitiruan sehingga harus dihilangkan dengan tindakan bedah. (Gustav O Kruger., 1979), (Fragiskos D. 2007) . Tindakan bedah yang dilakukan untuk persiapan pemakaian gigi tiruan disebut bedah preprostetik yaitu alveolektomi dan alveoplasti.

4

2.2 . Proses Penyembuhan Luka Proses penyembuhan luka dapat dibagi menjadi empat fase, fase-fase tersebut akan terjadi secara berkesinambungan dan tumpang tindih yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Fase proliferasi ditandai dengan adanya proses angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi, fibroplasia, deposisi kolagen, reepitelisasi, dan kontraksi

luka.

Penampang

histologis

dari

proses

penyembuhan

luka

akan

memperlihatkan adanya perubahan pada area luka seperti penurunan jumlah sel radang, pembentukan pembuluh darah baru, peningkatan jumlah sel epitel, serta peningkatan jumlah sel fibroblas dan serabut kolagen. Derivat makrofag seperti sitokin Transforming Growth Factor-β (TGF-β), PlateletDerived Growth Factor (PDGF) dan Fibroblast Growth Factor (b-FGF), akan memicu fibroblas untuk melakukan proliferasi dan mensintesis glikosaminoglikan, proteoglikan, dan kolagen yang berfungsi untuk merekonstruksi jaringan. Fibroblas merupakan sel yang tidak aktif dengan laju proliferasi dan metabolisme yang lambat serta banyak ditemukan di jaringan ikat pada gingiva yang secara aktif akan mensintesis komponen matriks saat proses penyembuhan luka. Fibroblas akan masuk ke area luka setelah 3 hari terjadinya luka dan akan lebih dominan setelah hari ke 6-7. Luka pada gingiva dapat sembuh secara klinis dalam waktu beberapa minggu, namun penyembuhan sempurna dan pembentukan bundel serabut gingiva membutuhkan waktu beberapa bulan. 2.3 . Proses Penyembuhan Luka Pasca Operasi pada Struktur Gingiva 2.3.1. Struktur gingiva Jaringan gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang melapisi tulang alveolar pada rahang atas dan rahang bawah serta mengelilingi leher gigi. Secara klinis gingiva merupakan satu-satunya komponen periodonsium yang dapat dilihat langsung di dalam rongga mulut. Jaringan gingiva secara anatomi dibagi menjadi gingiva tepi (marginal gingiva), gingiva cekat (attached gingiva) yaitu bagian gingiva yang melekat pada tulang alveolar dan bagian papila interdental (interdental papillae) atau gingiva interdental yaitu bagian gingiva yang terletak disela-sela antar gigi. Fungsi gingiva yaitu menyangga gigi, melindungi tulang alveolar dan ligamen periodontal dari serangan bakteri, trauma, atrisi dan sejumlah besar stimulus (Gorrel. 1998).

5

Gingiva tepi membentuk cuff sebesar 1-2 mm dan terletak disekitar leher gigi. Dearah cuff dapat dipisahkan dari gingiva menggunakan sonde tumpul. Bagian ini disebut juga free gingiva. Gingiva cekat (attached gingiva) meluas dari lekuken gingiva bebas (free gingiva groove) hingga pertautan mukogingiva (muccogingiva junction) untuk selanjutnya bertemu dengan mukosa alveolar. Gingiva cekat melekat pada bagian tulang plat korteks prosesus yang berada dibawahnya. Pertemuan antara gigi dan gingiva (dentino gingiva juction) merupakan hubungan struktural antara jaringan keras dan jaringan lunak yang disebut epitel attachment (junction epithelial), yang berada di dasar kantong gingiva atau gingiva sulkus. Gingiva sulkus adalah bagian yang terletak diantara free gingiva dan gigi. Pada gingiva sulkus, makanan dapat terjebak di celah ini. Gingiva sulkus mempunya kedalaman ± 3mm (Goldman, H.M dan Cohen, D.W., 1980) Gingiva dapat ditentukan oleh warna, tekstur permukaan, bentuk, konsistensi dan sulkusnya (Goldman, H.M dan Cohen, D.W., 1980). a. Warna Warna gingiva sehat adalah merah muda (coral pink). Warna ini ditentukan oleh warna mukosa oral yang kemerahan dengan permukaan epitelium yang tipis dan berkeratinisasi. Warna gingiva juga dipengaruhi oleh adanya pigmentasi dan aliran darah pada jaringan. b. Tekstur Permukaan Gingiva tepi mempunyai permukaan yang pada umunnya halus yang berbeda dengan gingiva cekat. Tekstur permukaan seperti kulit jeruk, strippling terlihat pada permukaan fasial dan sering tidak terlihat pada usia lanjut dan bayi. Stippling dapat dilihat dengan cara mengeringkan gingiva. c. Bentuk Bentuk gingiva tergantung kondisin dan ukuran interdental serta kondisi dan ukuran gigi. Ujung papila gingiva sering terdapat pada bagian insisal atau bagian oklusal gingiva. Pinggir gingiva normal tipis. d. Konsistensi Konsistensi gingiva dapat diamati dengan menggunakan instrumen tumpul. Gingiva tepi terlihat lunak, sedangkan gingiva cekat adalah kenyal seperti berpegas dan rapat melekat pada dasar jaringan keras. e. Sulkus Gingiva

6

Pengukuran kedalaman sulkus gingiva dilakukan dengan probe periodontal. Kedalaman sulkus gingiva antara 1-2 mm. Jika dimasukkan probe tidak berdarah.

2.3.2. Proses penyembuhan fase hemostasis Fase hemostasis adalah proses respon vaskuler pada daerah yang mengalami luka. Saat terjadi luka di jaringan, maka sel endotel pada pembuluh darah akan mengalami kerusakan. Kerusakan yang paling ringan adalah gangguan pada pembuluh darah kapiler yang ada di permukaan superfisial. Keluarnya darah dari vaskuler tersebut akan mengawali mekanisme hemostasis dengan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah di daerah perifer dan mulai terjadi proses pembekuan darah atau coagulation cascade (Mardiyantoro F, et al. 2018). Pembekuan darah akan melalui dua jalur, yaitu jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik. Dari jalur intrinsik, serat kolagen yang terpapar oleh karena kerusakan sel endotel, akan merangsang faktor XII menjadi faktor XII aktif. Selanjutnya faktor XII aktif akan mengubah faktor XI menjadi faktor XI aktif. Faktor XI aktif bersama kalsium dan faktor VIII akan mengubah faktor IX menjadi IX aktif. Pada jalur ekstrinsik, pembuluh darah 7

yang terluka akan mengeluarkan protein tromboplastin. Tromboplastin bersama faktor VII, V, kalsium, faktor IX aktif dari jalur intrinsik akan mengubah faktor X menjadi faktor X aktif. Faktor X dibantu kalsium dan faktor V akan mengubah protrombin menjadi thrombin. Thrombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Thrombin juga akan mengubah faktor XIII menjadi faktor XIII aktif yang akan mengubah fibrin monomer menjadi fibrin polimer atau benang-benang fibrin (Mardiyantoro F, et al. 2018).

2.3.3. Fase Inflamasi Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka dan merupakan periode penting dalam mempersiapkan lingkungan sekitar luka untuk proses penyembuhan. Fase inflamasi berlangsung hingga 3 sampai 5 hari Pada fase vaskular, terjadi vasokonstriksi awal pembuluh darah. Aliran darah akan bergerak lamban menuju daerah yang terkena jejas dan hal ini dapat meningkatkan pembekuan darah. Beberapa menit kemudian, histamin dan prostaglandin pada sel darah putih akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dinding pembuluh darah meloloskan sel plasma dan leukosit menuju jaringan intertisial (Peterson et al., 1998:59). Ketika terjadi perdarahan, sel inflamasi bermigrasi ke tempat yang terluka melalui gerakan kemotaksis. Fase inflamasi ditandai dengan infiltrasi dari neutrophil, makrofag, dan limfosit secara berurutan (Gosain dan DiPietro, 2004; Broughton et al., 2006; Campos et al., 2008). Fungsi penting neutrophil adalah pembersihan dengan menyerang mikroba dan debris di area luka. Makrofag memiliki banyak peran dalam penyembuhan luka. Pada luka awal, makrofag melepaskan sitokin yang merangsang respon inflamasi dengan mendatangkan dan mengaktifkan leukosit. Makrofag juga bertanggung jawab untuk menginduksi dan membersihkan sel yang apoptosis. Dengan dibersihkannya sel apoptosis proses akan berlanjut ke tahap reparatif yang merangsang keratinosit, fibroblast, dan angiogenesis untuk mendorong regenerasi jaringan yang menunjukkan memasuki fase proliferatif (Meszaros et al., 2000; Mosser dan Edwards, 2008). Limfosit T bermigrasi ke luka mengikuti sel inflamasi dan makrofag dan memuncak pada fase proliferatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel CD4+ (Sel T helper)

8

berperan positif pada penyembuhan sedangkan Sel CD8+ (sel T suppressor sitotoksik) berperan menghambat penyembuhan luka (Swift et al., 2001; Park dan Barbul, 2004). 2.3.4. Fase Proliferatif Fase proliferative umumnya mengikuti dan overlap dengan fase inflamasi ditandai oleh proliferasi epitel dan migrasi matrix ke dalam luka (re-epitelisasi). Dalam reparasi dermis, sel fibroblast dan endotel adalah sel yang paling menonjol dan mendukung pertumbuhan kapiler, pembentukan kolagen dan jaringan granulasi di lokasi jejas. Dalam wound bed fibroblast menghasilkan kolagen serta glikosaminoglikan dan proteoglikan yang merupakan komponen utama matriks ekstraselular (Gosain dan DiPietro, 2004; Campos et al., 2008). 2.3.5. Fase Remodelling (Maturasi) Fase remodelling merupakan tahap akhir penyembuhan luka. Pada tahap ini serat kolagen secara acak dihancurkan dan digantikan dengan serat kolagen baru dengan orientasi lebih baik dalam menahan tensile force luka. Wound strength meningkat lambat tapi tidak sebesar peningkatan pada tahap fibroplastik. Kekuatan luka tidak pernah lebih dari 80-85% dari jaringan yang tidak mengalami injury. Karena serat kolagen yang berorientasi baik lebih efisien, maka hanya dibutuhkan sedikit, sehingga kelebihan kolagen dihilangkan, dan luka yang memungkinkan jaringan parut menjadi lebih lunak. Saat metabolisme luka menurun, vaskularisasi juga menurun, sehingga eritema hilang. Elastin yang ditemukan pada kulit normal dan ligamen tidak digantikan selama penyembuhan luka, sehingga injury pada jaringan tersebut menyebabkan hilangnya fleksibilitas sepanjang jaringan parut. Kontraksi luka adalah proses akhir yang dimulai pada akhir tahap fibroplastik dan berlangsung selama awal remodeling. Pada beberapa kasus, kontraksi luka berperan pada penyembuhan luka. Walaupun mekanismenya belum jelas, selama kontraksi luka, bagian tepi luka bermigrasi ke arah satu sama lainnya. Pada luka yang tidak atau tidak akan digantikan oleh proses aposisi, kontraksi luka akan mengurangi ukuran luka (Enoch dan Price, 2004). 2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca Operasi pada Struktur Tulang Alveolar 2.2.2. Penyembuhan tulang 2.1 Fase inflamasi/Reaksi

9

Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk : (1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran pada tempat fraktur, (2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan (3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan osifikasi endokondral yang mengiringinya. (Kaiser 1996). Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi juga berperan faktor- faktor inflamasi yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu. 2.2 Fase proliferasi Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.

10

2.3 Fase Pembentukan Kalus Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkanuntuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi dari osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis selama penyembuhan fraktur. 2.4 Stadium Konsolidasi Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal. 2.5 Stadium Remodelling. Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada anak-anak. 11

a. Alveolectomi Penonjolan tulang (eksostosis) merupakan suatu pertumbuhan benigna pada jaringan tulang yang keluar dari permukaan tulang (Rasyid, 2013). Eksostosis adalah tonjolan tulang pada prosesus alveolaris yang biasanya berbentuk membulat,tajam bila diraba, terasa sakit bila diraba dan tidak dapat digerakkan. Penyebab eksostosis tersebut dikarenakan adanya proses resorpsi tulang pada usia lanjut yang terjadi secara fisologis serta tidak teratur. Sehingga sisa tulang dari hasil resorpsi inilah yang tajam dan mungkin ada yang tumpul. Eksostosis ini harus dihilangkan untuk persiapan pemakaian gigi tiruan karena eksostosis dapat mengganggu retensi, stabilitas serta kenyamanan pada pasien yang akan menggunakan gigi tiruan tersebut . Agar tidak mengganggu retensi, stabilitas dan kenyamanan pasien pengguna gigi tiruan maka perlu dilakukan pengambilan pada eksostosis tersebut. Pembedahan yang digunakan untuk mengambil eksostosis yaitu dengan alveolektomi. Alveolektomi merupakan salah satu tindakan bedah preprostetik. Bedah preprostetik sendiri dapat diartikan sebagai suatu tindakan bedah minor yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan tulang alveolar rahang agar dapat menjadi lebih baik untuk penempatan gigi tiruan atau alveolectomi dapat diartikan sebagai suatu tindakan pembuangan seluruh maupun sebagian prosesus alveolaris. Tujuan dilakukan bedah preprostetik ialah untuk mendapatkan gigi tiruan dengan retensi, stabilsasi, estetik dan fungsi yang lebih baik (Ghos, 2006). b. Indikasi dan Kontraindikasi Alveolektomi 1. Indikasi a. Menghilangkan alveolar ridge yang runcing yang dapat menyebabkan : neuralgia, gigi tiruan tidak stabil, gigi tiruan sakit pada waktu dipakai. b. Menghilangkan tuberositas untuk mendapatkan gigi tiruan yang stabil dan enak dipakai. c. Pengambilan eksostosis yang menggangu pada pembuatan gigi tiruan. d. Pengambilan undercut atau tulang yang tajam. e.

Pada kasus dengan kelainan eksostosis, torus palatinus maupun torus mandibularis yang besar yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan,estetis, dan pemakaian gigitiruan. (Rasyid, 2013).

12

c.

Kontraindikasi a. Tulang kortikal yang tipis b. Pada pasien yang memiliki bentuk prosesus alveolaris yang tidak rata, tetapi tidak mengganggu adaptasi gigi tiruan baik dalam hal pemasangan, retensi maupun stabilitas. c. Pada pasien yang memiliki penyakit sistemik yang tidak terkontrol yaitu penyakit kardiovaskuler, Diabetes Mellitus (DM) dan aterosklerosis d. Periostitis atau radang akut periosteum. e. Periodontitis, merupakan penyakit periodontal yang parah, yang mengakibatkan kehilangan tulang (Rasyid, 2013)

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka Terhambatnya proses penyembuhan luka dapat terjadi akibat dari kerusakan pada satu atau lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi faktor intrinsik dan ekstrinsik. 1. Faktor intrinsik Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi. infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosis dari infeksi jika nilai kultur luka melebihi nilai normal. kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama menunggu pasien diberi antibiotika spektrum luas. kadang-kadang benda asing dalam luka adalah sumber infeksi. suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. suplai darah dapat terbatas karena kerusakan pada pembuluh darah. hipoksia mengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan tubuh. neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen peroksida untuk membunuh bakteri patogen. emikian juga fibroblast dan fagositosis terbentuk lambat. satu-satunya aspek yang dapat meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah angiogenesis. 2. Faktor ekstrinsik Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi malnutrisi, perubahan usia, dan penyakit seperti diabetes melitus. Malnutrisi dapat 13

mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. kekurangan protein menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. kekurangan lemak dan karbohidrat memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein dirubah menjadi energi selama malnutrisi. kekurangan vitamin menyebabkan terlambatnya produksi dari kolagen, respon imun, dan respon koagulasi. penderita tua yang mengalami penurunan respon inflamasi yang memperlambat proses penyembuhan. Usia tua menyebabkan penurunan sirkulasi migrasi sel darah putih pada sisa luka dan fagositosis terlambat. itambah pula kemungkinan penderita mengalami gangguan yang secara bersamaan menghambat penyembuhan luka seperti diabetes melitus. Perokok meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. lebih lanjut kondisi ini membatasi jumlah oksigen dalam luka. Faktor-Faktor spesifik yang mempengaruhi penyembuhan luka terdiri dari : 1.

Usia Anak-anak dan orang dewasa lebih cepat proses penyembuhan luka daripada

orang tua. Hal ini terkait perubahan perubahan yang terjadi pada orang tua, vaskular telah terjadi arterosclerosis dan atropi kapiler yang akan mengganggu kelancaran aliran darah menuju daerah luka. Selain itu orang tua juga lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. 2. Nutrisi Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada tubuh. pada luka memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral (Fe, Zn). Bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah pembedahan jika mungkin. penderita gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena suplai darah jaringan adipose tidak adekuat. Pasien sangat membutuhkan nutrisi yang cukup untuk kesembuhan lukanya seperti protein, vitamin C, dan vitamin A, serta mineral. Bila nutrisi tersebut tidak terpenuhi maka proliferasi dan pembentukan epitel sel baru akan terhambat. 3. Infeksi

14

Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan penyembuhan luka. sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat. 4. Sirkulasi dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang gemuk (Obesitas) penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh karena suplai darah pada jaringan adipose tidak adekuat. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi, atau diabetes melitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik. 5. Lokasi luka Lokasi luka berhubungan erat dengan banyak sedikitnya vaskularisasi di daerah tersebut. vaskularisasi yang baik sangat dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi inflamasi, reaksi ini bertujuan untuk debridement jaringan yang mati dan mengontrol infeksi. vaskularisasi pada tiap-tiap bagian tubuh tidaklah sama sehingga proses penyembuhan akan berbeda. luka di daerah kepala, leher atau badan akan sembuh lebih cepat daripada di ekstremitas (Hasselt, 556) 6.

Obat Obat obatan yang dikonsumsi pasien akan memperlambat proses penyembuhan

luka. Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin, dan anti neoplasmik / anti kanker mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat tubuh seseorang rentan terhadap infeksi luka. Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat sintesis kolagen. pasien yang minum steroid mengalami penurunan kekuatan pertautan luka, menghambat kontraksi, dan menghalangi epitelisasi.

15

Dengan demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama. 7. Sistem kekebalan tubuh atau imunitas Imunitas pasien yang lemah akan sangat berpengaruh terhadap kondisi luka. Reaksi fagositosis

dan sistem kolagen akan terganggu seperti terlihat pada pasien

penderita HIV/AIDS. 8.

Gaya Hidup a. Merokok Gaya hidup yang buruk seperti merokok dapat menurunkan jumlah hemoglobin yang berguna

untuk

mengangkut

oksigen

dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Merokok juga menyebabkan

yang

sangat

aliran

darah tidak lancar karena terjadi peningkatan agregat platelet dalam sistem sirkulasi darah. Sebaiknya

gaya hidup yang sehat seperti olah raga akan

mempercepat kesembuhan luka. b. Kebiasaan buruk Pasca dilakukan pembedahan / ekstraksi yang menyebabkan adanya inflamasi akan selalu ada post instruksi dan larangan larangan yang harus dipatuhi oleh pasien guna mempercapat terjadinya penyembuhan luka, apabila telah dilakukan ekstraksi gigi dilarang menghisap hisap daerah yang telah dilakukan ekstraksi, mengonsumsi makanan atau minuman yang dingin, dan dilarang kumur kumur berlebihan. Hal tersebut dapat menyebabkan rusaknya blood clott yang telah terbentuk.

16

BAB 4 PENUTUP 4.1. Kesimpulan Regenerasi merupakan proses yang begitu penting artinya bagi kehidupan makhluk hidup. Tanpa regenerasi maka tubuh organisme tak akan ada yang sempurna. Beberapa faktor yang merangsang pembelahan mitosis adalah faktor pertumbuhan. Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena adanya kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi secara berkesinambungan. tulang selalu mengalami pembongkaran dan penggantian sel-sel lama dengan sel-sel baru. Regenerasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperature, makanan, system syaraf, usia, dan lain-lain.

4.2. Saran Menyadari bahwa penyusun masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penyusun berharap untuk selanjutnya lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber–sumber yang lebih bervariatif.

17

DAFTAR PUSTAKA Basa S, Uckan S, Kisnisci R. Preprosthetic and oral soft tissue surgery. United Kingdom: Wiley-blackwell, 2010: 321-23. Basha S, Dutt SC. Buccal-sided mandibular angel exostosis. Contemp Clin Dent 2011; 2(3): 237-9. Broughton G 2nd, Janis JE, Attinger CE (2006). The basic science of wound healing (retraction of Witte M., Barbul A. In: Surg Clin North Am 1997; 77:509-528). Plast Reconstr Surg 117(7 Suppl):12S-34S. Campos AC, Groth AK, Branco AB (2008). Assessment and nutritional aspects of wound healing. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 11:281-288. Enoch, S., and Price, P., 2004. Cellular Molecular And Biochemical Differences In The Physiology Of Healing Between Acute Wounds, Chronic Wounds And Wounds In The Elderly. Worldwide wounds. Com Fragiskos D. Oral surgery, 1st ed., Heidelberg: Springer, 2007: 243-61. Gustav O Kruger. Preprosthetic surgery. The C V Mosby Company, St Louis, Toronto, London, 1979 Goldman, H.M dan Cohen, D.W., 1980, Periodontal Therapy, Ed-6, Mosby co.,St.Louis Ghosh.2006.Preprosthetic Oral and maxillofacial Surgery in Donoff B,. Manual of Oral and Maxillofacial Surgery. St. Louis Mosby Gorrel, 1998, Periodontal Disease and Diet in Domestic Pets Gosain A, DiPietro LA (2004). Aging and wound healing. World J Surg 28:321-326. Jainkittivong A, Langlais RP. Buccal and exostoses: Prevalence and concurrence with tori. J Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2000; 90: 48-52. Kurtzman GM, Silverstein LH. A Technique for surgical mandibular

exostosis

removal. Compendium 2006; 27(10):520-5. Mardiyantoro F, et al. 2018. Penyembuhan Luka Rongga Mulut. 1st ed. UB Press. Meszaros AJ, Reichner JS, Albina JE (2000), Macrophage-induced neutrophil apoptosis. J Immunol 165:435-441. Mosser DM, Edwards JP (2008). Exploring the full spectrum of macrophage activation. Nat Rev Immunol 8:958-969

18

Park JE, Barbul A (2004). Understanding the role of immune regulation in wound healing. Am J Surg 187:11-16. Peterson et al. (1998). Eicosapentaenoic and docoshexaenoic acids alter rat spleen leukocyte fatty acid composition and prostaglandin E2 production but have different effects on lymphocyte functions and cell-mediated immunity. Lipids 33: 171-180. Quran FAM, Dwairi ZN. Torus palatinus and torus mandibularis in edentulous patients. J of Contemporary Dental Practice 2006; 7(2): 1. Rasyid, A. 2013. Prevalensi tindakan alveolektomi berdasarkan jenis kelamin, umur, dan regio yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2011-2012. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Sawair FA, Shayyab MH. Prevalence and clinical characteristics of tori and jawexostoses in a teaching hospital in Jordan. J Saudi Med (2009); 30(12): 15571562.. Swift ME, Burns AL, Gray KL, DiPietro LA (2001). Age-related alterations in the inflammatory response to dermal injury. J Invest Dermatol 117:1027-1035.

19

Related Documents


More Documents from "Anonymous 3OM8PhIv"