Makalah Korupsi.docx

  • Uploaded by: Shindy
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Korupsi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,563
  • Pages: 12
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seperti halnya dengan semua gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat saja. Berbicara mengenai korupsi, sama saja membicarakan semut di tengah lautan. Menyinggung masalah korupsi berarti menyinggung pula masalah pelanggaran dan kejahatan jabatan, latar belakangnya, faktor-faktor penyebabnya sampai pada penanggulangannya. Adapun arti korupsi adalah perbuatan dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan Negara atau daerah atau keuangan suatu badan yang menerima bantuan keuangan Negara, yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan/wewenang yang ada padanya. Inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan hal-hal yang dikategorikan sebagai perbuatan korupsi pada umumnya meliputi penggelapan uang, menerima atau meminta upeti, menerima hadiah atau janji, ikut serta urusan pemborongan, dan sebagainya. Sekarang yang menjadi pertanyaan, kapan korupsi di Indonesia ini timbul? Penjelasan mengenai sejarah korupsi di Indonesia akan diuraikan pada bab pembahasan. Korupsi sebagai suatu gejala yang umum di dunia yang sulit diberantas. Bahkan ada yang menyatakan demokrasi sendiri dengan sistem pemilunya merupakan narasumber korupsi. Pemberantasan korupsi merupakan masalah yang paling sulit dan kompleks. Sudah banyak tulisan, seminar, symposium, dan diskusi mengenai hal ini, tetapi masalahnya tetap tidak terpecahkan. Oleh karena itu, sudah tiba waktunya disusun suatu sistem, metode, dan pola pemberantasan korupsi yang konsepsional. Yang seharusnya masalah itu dikembalikan kepada “rakyat” melalui wakil-wakilnya di MPR, dituangkan ke dalam GBHN, yang tidak hanya bertumpu pada satu segi yaitu usaha represif, tetapi terutama dalam usaha preventif. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijalankan dan diterapkan dengan konsekuen, maka walaupun jelas tidak akan memberantas korupsi secara tuntas, namun paling kurang akan mengakibatkan kembalinya uang Negara sebagian, melalui pidana denda, perampasan barang dan hasil korupsi, uang pengganti dan pengembalian utang kepada Negara, yang pada gilirannya akan dipakai sebagai dana pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. 1.2 Tujuan a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila yang dibina oleh Bapak Abdul Muid Aris Shofa S.T., M.T. b. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari korupsi. c. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana sejarah korupsi yang terjadi di Indonesia. 1

d. Mahasiswa dapat mengetahui siapa dan seperti apa perilaku koruptif. e. Mahasiswa dapat mengetahui bentuk-bentuk korupsi menurut UU TIPIKOR. f. Mahasiswa dapat mengetahui perbandingan korupsi yang ada di Indonesia dengan korupsi di Negara lain. g. Mahasiswa dapat mengetahui strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi. 1.3 Rumusan Masalah a. Apa pengertian dari korupsi? b. Bagaimana sejarah korupsi yang terjadi di Indonesia? c. Siapa saja yang memiliki perilaku koruptif? d. Apa saja bentuk-bentuk kejahatan korupsi menurut UU TIPIKOR? e. Bagaimana perbandingan korupsi di Indonesia dengan Negara lain? f. Apa saja strategi pemberantasan korupsi?

2

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Korupsi Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptus atau corrumpere, yang artinya menyalahgunakan, menyimpang, menghancurkan, mematahkan. Apa yang disalahgunakan? Kewenangan atau kekuasaan (misuse of power). Menyimpang dari apa? Dari aturan hukum dan norma atau moral. Menghancurkan atau mematahkan apa? Menghancurkan atau mematahkan kepercayaan (trust). Ini berarti bahwa kata korupsi mengandung makna yang sangat negatif karena mengacu pada suatu perilaku yang destruktif dan sangat merugikan (Abidin & Siswadi, 2015). Menurut Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas, 2011:1), Korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang bersifat kompleks, sehingga sulit untuk didefinisikan secara tepat ruang lingkupnya. Pengamatan dalam kehidupan sehari-hari fenomena korupsi dapat terjadi secara tidak kentara (subtle) antara hubungan dua individu sampai dengan hubungan yang kompleks seperti dalam suatu korporasi. Pada tingkat hubungan antara individu, korupsi terjadi ketika salah satu individu melakukan penipuan (cheating) terhadap individu lainnya (Wibowo, 2013). Namun demikian, Kemendiknas mencoba mendefinisikan korupsi sebagai istilah yang mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestic maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi (Wibowo, 2013). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), juga disebutkan bahwa korupsi itu berarti busuk, palsu, dan suap. Disebutkan pula bahwa korupsi itu merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah Negara menjadi bangkrut dengan efek luar biasa, seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai (Wibowo, 2013). Kartono (1983) memandang korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan, guna mengambil keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara Dari pendapat Kartono tersebut, kita bisa memahami bahwa korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan Negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya dengan alas an hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Secara singkat, tulis Kartono, korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat tau pegawai, demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi dan keluarga, sanak saudara, dan teman (Wibowo, 2013). 3

Alatas (1983) menyatakan bahwa tindak korupsi adalah jika seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta, dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan si pemberi (Wibowo, 2013). Sementara itu KPK (2006) mendefinisikan korupsi sebagai semua penyalahgunaan penggunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian Negara dan oleh karena itu dianggap sebagai tindak pidana. Korupsi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dan melanggar etika serta merugikan pihak lain (Wibowo, 2013). Berdasarkan beberapa pendapat sebagaimana yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang yang ada pada seseorang khususnya pejabat atau pegawai negeri, demi keuntungan pribadi, keluarga, rekanan, dan teman atau kelompoknya. Korupsi merupakan perilaku tercela sekaligus patut menjadi musuh bersama (comme enemy). Itu karena korupsi tidak saja mengahambat pembanguna, tetapi juga merugikan Negara, merusak sendi-sendi kebersamaan, dan mengkhianati cita-cita perjuangan bangsa (Wibowo, 2013). Pengertian korupsi dapat menjadi lebih luas lagi. Perbuatan seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up, memberi hadian sebagai pelican dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain (Wibowo, 2013). 2.2 Sejarah Korupsi di Indonesia Setelah Negara RI memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mempunyai kemerdekaan politik, kebebasan ekonomi dan budaya, dan sejak itulah pemerintahan ada di tangan bangsa Indonesia sendiri, tetapi hukum yang berlaku masih hukum peninggalan Belanda. Memang istilah korupsi pada waktu itu tidak dikenal, tetapi apabila kenyataannya ada penyelewengan oleh oknum-oknum tertentu (status kepegawaian pada waktu itu masih kacau atau belum jelas), biasanya disebut OKB atau orang Kaya Baru, dan terhadap ini belum dapat ditindak, sebab harus dilihat dulu siapa OKB tersebut, apakah ada pelindungnya atau tidak (Situmorang, 1990). Kata-kata korupsi baru mulai dikenal setelah tahun 1950. Pada waktu itu pemerintah dengan sistem Kabinet Parlemen, partai-partai yang memegang kekuasaan silih berganti mendominir pemerintahan dan cirri utamanya setiap penggantian Perdana Menteri dan Kbinet banyak menimbulkan perubahan-perubahan peraturan khususnya di bidang moneter dan perekonomian. Keadaan ini yang membuat tidak stabil perekonomian Negara, sedang kenyataan kemajuan di dunia makin pesat setelah Perang dunia kedua. Hal inilah yang merangsang manusia di bumi ini untuk dapat menyelaraskan dalam kenikmatan kemajuan abad-abad yang mutakhir, dan di sinilah dikategorikan karena keadaan sosial-ekonomi suatu Negara berkembang. Maka korupsi pun dapat menjadi-jadi kalu tidak ditanggulangi secara tuntas (Situmorang, 1990).

4

Tetapi apakah benar korupsi tersebut timbul setelah kita merdeka? Hal ini tidak benar. Sebagai bukti perbuatan atau tindakan semacam, sudah ada pada zaman colonial. Buktinya: Kitab Undang-undang Pidana sudah memuat pasal-pasal umpamanya: BAB VIII; Kejahatan Terhadap Kekuasaan Pemerintah (Misdrijven tegen het openbaar gezag), BAB XXVIII; Kejahatan Jabatan (Ambstmisdrijven) dan lainnya lagi. Hanya di sini secara tegas tidak ada sebutan dengan kata korupsi, tetapi pengertian tindakan tersebut adalah sama dengan tindakan korupsi. Jelaslah sekarang bahwa tindak pidana korupsi bukanlah cirri dari Negara yang sedang berkembang, khususnya di bidang sosial ekonominya, tetapi juga terjadi di Negara-negara lain yang sudah maju, hanya kadang-kadang mereka menakamakannya dengan SKANDAL (misalnya, skandal pembelian pesawat terbang di Jepang) (Situmorang, 1990). Di Indonesia, khususnya di zaman dulu, istilah yang sebenarnya dapat diartikan korupsi sudah berjalan dalam tata kehidupan suatu lingkungan, khususnya lingkungan feudal. Pada masa itu dikenal kata-kata “hangaturake upeti, nyaosake pisunsum, asok glondong pangareng-areng, bulu bakal bulu dadi”. Artinya bagi suatu daerah atau kadipaten yang telah menyerah atau mengaku takluk, maka sebagai tanda kesetiaaan tersebut daerah atau kadipaten yang menyerah setiap habis panen (setahun sekali) memberikan upeti tanda menyerah di bawah kekuasaan raja-raja atau penguasa yang menang. Selain hal tersebut, di dalam kalangan masyarakat tertentu dahulu juga dikenal adanya tindakan keharusan menyetorkan atau pungutan secara paksa baik berupa uang atau in natura kepada pimpinan atau jagoan setempat. Kedua hal tersebut sebenarnya merupakan bibit-bibit atau sumber dari korupsi. Pada waktu Negara kita baru dalam tahapan pertama kemerdekaan, di mana kondisi sosial politik, sosial budaya dan sosial ekonomi belum stabil, maka bibit-bibit yang terkandung selama ini seakan-akan disebarkan di suatu pesemaian yang subur (Situmorang, 1990). 2.3 Perilaku Koruptif (Lembaga Negara dan Warga Negara) Sebelum membahas perilaku koruptif, akan dibahas terlebih dahulu siapa saja orang yang melakukan perilaku korupsi. Kembali pada pokok persoalan yaitu korupsi, dalam perundang-undangan yang sekarang berlaku yang disebut korupsi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau orang lain yang bertindak mempengaruhi dan atau menyuap pegawai negeri tersebut dan dapat merugikan keuangan Negara atau daerah atau mengacaukan perekonomian Negara (Situmorang, 1990). Timbullah kemudian beberapa pertanyaan, diantaranya siapa dan yang mana yang disebut pegawai negeri? Pasal 2 dari UU No. 3/1971 menyebutkan: Pegawai Negeri yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini, meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah, atau menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat. Sedangkan penjelasan dari Undang-undang tersebut berbunyi sebagai berikut: Maka pengertian pegawai negeri dalam Undang-undang ini sebagai subjek 5

tindak pidana korupsi, meliputi bukan pengertian pegawai negeri menurut hukum administrasi, melainkan juga pengertian pegawai negeri menurut perumusan seperti yang dimaksud dalam pasal 2 berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini. Pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi yang menerima tugas tertentu dari Negara, dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut di atas (Situmorang, 1990). Dalam rumusan ini tidak termasuk orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu Perseroan Terbatas, Firma, CV dan sebagainya yang seluruh modalnya dari modal swasta (Situmorang, 1990). Kemudian siapakah yang dimaksud dengan orang lain di luar pegawai negeri, atau dapatkah orang yang bukan pegawai negeri dikenakan tindak pidana korupsi? Jawabannya dapat. Dalam pasal 1 ayat 1 a disebutkan: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dan seterusnya. Jelas di sini dibatasi bahwa barangsiapa itu harus pegawai negeri, karena barangsiapa di sini menyangkut perbuatan yang langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, jelasnya di sini, barangsiapa yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dimaksudkan tidak harus berpredikat pegawai negeri sesuai pasal 2, tetapi asal perbuatannya memperkaya tersebut dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sudahlah masuk dalam perumusan tindak pidana korupsi (Situmorang, 1990). Korupsi memiliki 5 komponen, yakni (1) korupsi adalah suatu perilaku, (2) perilaku itu terkait dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, (3) dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, (4) melanggar hukum atau menyimpang dari norma atau moral, dan (5) terjadi atau dilakukan dalam public office setting (lembagalembaga pemerintah) maupun private office setting (korporasi-jorporasi swasta) (Abidin & Siswadi, 2015). Yang dimaksudkan dengan public office setting bukan hanya mengacu pada lembagalembaga eksekutif, tetapi juga termasuk legislative dan yudikatif. Bahkan partai-partai politik pun dapat dikategorikan ke dalam setting itu, karena para politisi dari partai-partai politik (yang bukan anggota lembaga legislative maupun yudikatif) langsung maupun tidak langsung memiliki akses dalam penyusunan keputusan-keputusan pemerintah. Sedangkan private office setting mengacu pada perusahaan atau korporasi swasta, khususnya yang terlibat dalam penyuapan atau gratifikasi terhadap para pejabat pemerintah yang duduk di dalam public office setting (Abidin & Siswadi, 2015). Beberapa contoh korupsi yang sering ditemukan di Indonesia dan melibatkan para pelaku dari kedua setting tersebut antara lain sebagai berikut. Pengusaha dari sebuah korporasi memberi suap kepada para pejabat, politisi, dan aparat penegak hukum untuk mempermudah dan memperlancar usaha mereka. Di partai-partai politik para politisi bekerja sama dengan pejabat pemerintah dan perusahaan swasta untuk mendapatkan dana kampanye dan memenangkan kandidat dalam pemilihan umum (pemilu calon legislative dan calon presiden) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan cara-cara koruptif. Dalam sistem 6

peradilan para hakim, jaksa, polisi, dan petugas-petugas pengadilan serta kehakiman meminta atau menerima suap dari tersangka atau terdakwa (baik pejabat pemerintah maupun pihak swasta), dengan imbalan pembebasan atau keringanan hukuman (Abidin & Siswadi, 2015). 2.4 Bentuk-Bentuk Kejahatan Korupsi Menurut UU TIPIKOR Di Indonesia sebetulnya telah ada rumusan hukum dalam bentuk Undang-Undang (UU) yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan atau memberi batasan tentang korupsi. UU yang dimaksud adalah UU 31/1999jo UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini terdapat 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi sebagaimana tercermin dalam 30 pasal dalam UU itu. Ke-30 bentuk tindak pidana tersebut dapat dikelompokkan menjadi 7, yaitu: a. Kerugian keuangan Negara, yaitu “…. perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Jenis tindak pida ini dilakukan bukan hanya oleh para pegawai negeri dan penyelenggara Negara, tetapi juga oleh para pengusaha. Akibat perbuatan mereka, secara langsung Negara dan masyarakat dirugikan. b. Suap menyuap, yaitu “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara …. dengan maksud supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau pejabat Negara… karena atau berhubungan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya” Memberi suap biasanya dilakukan dengan tujuan mempermudah suatu urusan, mendapatkan fasilitas atau privilese, dan hal itu bertentangan dengan prosedur yang seharusnya. Sedangkan menerima suap dilakukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau mendapatkan fasilitas yang berasal dari orang yang memberi suap. c. Penggelapan dalam jabatan, antara lain “melakukan pemalsuan buku-buku atau daftardaftar untuk pemeriksaan administrasi pegawai negeri atau penyelenggara Negara” dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Contoh korupsi jenis ini antara lain adalah birokrat/pejabat yang melakukan manipulasi pembukuan atau laporan keuangan agar diperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara melanggar hukum. d. Pemerasan, yaitu “memaksa atau meminta seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan”, sehingga orang itu merasa terancam dengan paksaan atau permintaan itu. Pada praktiknya permintaan secara paksa maupun secara halus dapat menyebabkan orang lain memberi atau terpaksa memberi karena takut, merasa tidak nyaman, atau terancam. e. Perbuatan curang, yaitu melaporkan pembayaran atau pengeluaran suatu proyek tidak secara sebenarnya, tetapi dilebih-lebihkan, dan kelebihannya digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Namun, membiarkan orang lain melakukan perbuatan curang pun termasuk dalam kategori perbuatan curang.

7

f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu “turut serta pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian dikerjakan dalam waktu yang bersamaan”. Jenis tindakan koruptif ini antara lain berupa penunjukan perusahaan milik sendiri, teman, atau keluarga yang tidak didasarkan pada lelang terbuka atau profesionalisme perusahaan yang ditunjuk, melainkan berdasarkan pertemanan atau kekerabatan (kolusi atau nepotisme). g. Gratifikasi, yaitu “…pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya…” (UU No. 20/2001) (Situmorang, 1990). 2.5 Perbandingan Korupsi di Indonesia dan Negara lain Perbedaan korupsi yang terjadi di Indonesia dengan Negara lain sangatlah berbeda. Ada yang unik dibalik kasus-kasus korupsi yang merajalela di tanah air. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Adnan Pandu Praja mengungkap keunikan itu, yakni tindakan korupsi biasanya dilakukan secara berjamaah dalam satu keluarga. Seperti dalam kasus korupsi Al-quran oleh Zulkarnain Djabar yang mengajak anaknya Dendy Prasetya, serta kasus korupsi Wisma Atlet dimana M Nazaruddin juga mengajak istrinya Neneng Sri Wahyuni (Liputan6, 15 Desember 2013) Adnan mengatakan bahwa unikanya Indonesia adalah korupsi dilakukan secara berjamaah yaitu dengan mengajak istri, anak, dan bapat. Sedangkan di Negara lain tidak. Hal tersebut sangat menghawatirkan (Liputan6, 15 Desember 2013) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang saat ini sudah melihat kejahatan korupsi secara serius dengan mejatuhkan hukuman yang berat bagi pelaku korupsi untuk efek jera. Hal itu bisa menjadi secercah cahaya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Adnan mengatakan bahwa pengadilan sudah mulai melihat korupsi secara serius sehingga dapat menjadi lebih baik (Liputan6, 15 Desember 2013) 2.6 Strategi Pemberantasan Korupsi Korupsi sebagaimana telah diuraikan, merupakan bentuk tindakan yang merugikan berbagai pihak, khususnya rakyat kecil, lantaran memakai dana pemerintah hanya untuk kepentingan pribadi. Begitu berbahayanya korupsi, maka tidak ada jalan lain kecuali semua pihak segera menghentikan tindak korupsi tersebut. Harus dimulai gerakan memutus mata rantai korupsi sejak dini melalui pendidikan. Korupsi harus mulai diberangus dari akarakarnya melalui pendidikan, khususnya pendidikan antikorupsi (Wibowo, 2013). Menurut Uhar Suharsaputra (2012), pendidikan merupakan instrument penting dalam pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkat produktivitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa. Pendidikan mampu memberikan pencerahan di samping sarana transformasi dan humanisasi. Pendidikan mampu mentransfer perangai buruk manusia pada hal-hal yang positif, atau dengan kata lain pendidikan mampu merubah 8

manusia yang berkarakter buruk menjadi mereka yang berkepribadian dan berkarakter mulia. Itu karena pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Wibowo, 2013). Penerapan pembinaan antikorupsi pada jalur pendidikan sangat penting untuk diwujudkan, karena melalui pendidikan inilah berlangsung pembinaan terhadap generasi muda. Apabila satuan pendidikan dalam proses penyelengaraan pendidikannya menanamkan dan membina sikap anti-korupsi maka tidak akan melahirkan generasi yang dapat mengatakan TIDAK pada korupsi (Wibowo, 2013). Menyadari pendidikan sebagai sarana efektif memutus mata-rantai korupsi, maka sejak tahun 2012 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama Komisi Pemberantasan Korupsi membuat program pendidikan anti korupsi, dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kemendikbud dengan penuh optimis menargetkan pada akhir tahun 2012, pendidikan antikorupsi sudah bisa masuk menjadi kurikulum mata pelajaran di sekolah-sekolah (Wibowo, 2013). Pendidikan anti korupsi adalah usaha sadar dan terencana untuk meweujudkan proses belajar mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai anti korupsi. Dalam proses tersebut, maka pendidikan antikorupsi bukan sekedar media bagi transfer pengalihan pengetahuan (kognitif), namun juga menekankan pada upaya pembentukan karakter (afektif), dan kesadaran moral dalam melakukan perlawanan (psikomotorik), terhadap penyimpangan perilaku korupsi (Wibowo, 2013). Tujuan pendidikan antikorupsi untuk membangun karakter teladan agar anak tidak melakukan korupsi sejak dini. Anak-anak juga dapat menjadi promotor pemberantas korupsi. Karena itu, sejak usia dini para generasi muda perlu ditanamkan mental antikorupsi serta nilai-nilai yang baik. Untuk mewujudkan pendidikan antikorupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tatanan moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari (Wibowo, 2013). Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2012), terdapat nilai-nilai yang diinternalisasikan dalam pendidikan antikorupsi yaitu: Tabel 1. Nilai-nilai Acuan dalam Pendidikan Antikorupsi (Diambil dari Kemendikbud, 2012) No 1.

Nilai Kejujuran

Deskripsi Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya 9

2.

Kepedulian

3.

Kemandirian

4.

Kedisiplinan

5.

Tanggung Jawab

6.

Kerja Keras

7.

Kesederhanaan

8.

Keberanian

9.

Keadilan

dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Tindakan yang mewujudkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bersahaja, sikap dan perilaku yang tidak berlebihan, tidak banyak seluk-beluknya, tidak banyak pernik, lugas, apa adanya, hemat, sesuai kebutuhan, dan rendah hati. Mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya. (tidak takut, gentar, kecut) dan pantang mundur. Sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak/tidak pilih kasih, berpihak/berpegang kepada kebenaran, sepatutnya, tidak sewenangwenang, seimbang, netral, objektif dan proporsional.

(Wibowo, 2013).

10

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptus atau corrumpere, yang artinya menyalahgunakan, menyimpang, menghancurkan, mematahkan. Korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang yang ada pada seseorang khususnya pejabat atau pegawai negeri, demi keuntungan pribadi, keluarga, rekanan, dan teman atau kelompoknya. Pada waktu Negara kita baru dalam tahapan pertama kemerdekaan, di mana kondisi sosial politik, sosial budaya dan sosial ekonomi belum stabil, maka bibit-bibit yang terkandung selama ini seakan-akan disebarkan di suatu pesemaian yang subur. Korupsi memiliki 5 komponen, yakni (1) korupsi adalah suatu perilaku, (2) perilaku itu terkait dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, (3) dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, (4) melanggar hukum atau menyimpang dari norma atau moral, dan (5) terjadi atau dilakukan dalam public office setting (lembagalembaga pemerintah) maupun private office setting (korporasi-jorporasi swasta). Perbedaan korupsi yang terjadi di Indonesia dengan Negara lain sangatlah berbeda. Ada yang unik dibalik kasus-kasus korupsi yang merajalela di tanah air. Keunikan itu, yakni tindakan korupsi biasanya dilakukan secara berjamaah dalam satu keluarga. Begitu berbahayanya korupsi, maka tidak ada jalan lain kecuali semua pihak segera menghentikan tindak korupsi tersebut. Harus dimulai gerakan memutus mata rantai korupsi sejak dini melalui pendidikan antikorupsi 3.2 Saran Saran yang dapat kami berikan bagi pembaca yang ingin membuat makalah tentang “Nilai dan Prinsip Perilaku Antikorupsi” ini adalah agar mencari lebih banyak lagi refrensi dari berbagai sumber, baik dari buku maupun dari jurnal ilmiah lainnya, sehingga makalah yang anda buat dapat lebih baik dari makalah ini. Mungkin hanya ini saran yang dapat kami sampaikan semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

11

DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z., Siswadi, A. G. P. 2015. Psikologi Korupsi. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Ketteng, A. M. 2013. Beda Korupsi RI dengan Negara Lain, KPK: Dilakukan Berjamaah. (online). (http://news.liputan6.com/read/774900/beda-korupsi-ri-dengan-negara-lain-kpkdilakukan-berjamaah). Diakses 30 September 2017 Situmorang, V. M. 1990. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil. Jakarta:PT Rineka Cipta Wibowo, A. 2013. Pendidikan Antikorupsi Di Sekolah. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

12

Related Documents

Makalah
June 2020 40
Makalah
July 2020 39
Makalah
October 2019 94
Makalah
July 2020 62
Makalah
November 2019 85
Makalah
October 2019 95

More Documents from ""