Makalah Komunikasi Anak, Bayi, Keluarga

  • Uploaded by: Dian Agusti Tanjung
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Komunikasi Anak, Bayi, Keluarga as PDF for free.

More details

  • Words: 7,219
  • Pages: 32
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK “KOMUNIKASI PADA BAYI, ANAK DAN KELUARGA”

BAB II PEMBAHASAN A. Prinsip Komunikasi Komunikasi adalah kontak atau hubungan atau penyampaian beritaatau penerimaan

berita

yang

dilakukan

oleh

dua

orang

atau lebih

yangmemungkinkan pesan atau berita itu bias diterima atau dipahami. Komunikasi

terapeutik

adalah

hubungan

interpersonal

perawat-klien

(anak) merupakan proses belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosionalklien. ( Stuart G. W. 1998). Secara umum komunikasi kesehatan merupakanupaya sistematis yang secara positif mempengarui praktek-praktek kesehatan populasi besar. Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah melakukanperbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktek dan pada gilirannya status kesehatan. Komunikasi kesehatan yang efektif merupakan suatu kombinasi antara seni dan ilmu.Pendekatan

komunikasi

kesehatan

diturunkan

dari

disiplin

ilmu meliputipemasaran sosial, antropologi, analisis perilaku, periklanan, komunikasipendidikan, serta ilmu-ilmu sosial yang lain. Hal ini saling melengkapi, salingtukar menukar prinsip dan tehnik umum satu sama lain sehingga masing-masing memberikan sumbangan yang unik bagi metodelogi komunikasi kesehatan. a. Tujuan komunikasi pada anak dan bayi Tujuan berkomunikasi dengan bayi, yaiti: 1.

Memberi rasa aman pada bayi.

2.

Memenuhi kebutuhan bayi akan kasih sayang, dan melatih bayi mengembangkan kemampuan bicara , mendengar, dan menerima rangsangan. Tujuan komunikasi pada anak:

1. Melatih keterampilan penggunaan pancaindra

2. Meningkatkan keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotor 3. Sebagai bentuk pembelajaran dan permainan dalam melakukan hubungan dengan orang lain 4. Mengembangkan konsep diri

b. Prinsip komunikasi pada bayi Anda tentu sudah tahu, meskipun bayi belum bisa berbicara, namun ia harus aktif diajak berkomunikasi sebagai bentuk stimulasi tumbuhkembangnya. Ada berbagai teori mengenai cara berkomunikasi dengan bayi, salah satunya berbicara seperti orang dewasa pada umumnya. Namun, menurut Denis Burnham, pakar bahasa dari Australia, berkomunikasi dengan bayi harus memperhatikan beberapa hal, yaitu pengaturan emosi, ritme, dan struktur karakteristik. Berikut penjelasannya

1. Frekuensi dan Volume Sudah banyak penelitian yang menemukan manfaat berbicara kepada Si Kecil. Diketahui bahwa semakin sering berbicara dengannya dan semakin banyak kata yang dikeluarkan, akan lebih baik bagi anak. Bayi yang mendengar lebih dari 30 juta kata hingga usia 3 tahun, memiliki perkembangan bahasa yang lebih baik. Ia akan lebih cepat berbicara dan memiliki perbendaharaan kata lebih banyak. Namun, tak hanya frekuensinya saja yang perlu diperhatikan, tetapi juga volume Anda ketika berbicara dengannya. Anda dianjurkan untuk berbicara jangan terlalu cepat dan keras. Berkomunikasi dengan bayi akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara bernyanyi bersama, membaca cerita, mendongeng, atau membaca puisi atau sajak.

2. Bahasa Tubuh dan Isyarat Visual Menurut Association for the Education of Young Children, menggunakan gerak tubuh dan ekspresi wajah saat berbicara dengannya, dapat membantu bayi lebih memahami kata-kata. Penelitian menunjukkan,

isyarat visual membantu anak-anak mencerna kosakata baru dan meningkatkan kemampuan mereka untuk memahami konteks.

3. Kontak Mata Berbicara dengan siapa pun, kontak mata adalah hal yang penting. Si Kecil pun akan menyadari bahwa ia sedang diajak berbicara. Dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal Current Biology, menyebutkan adanya kontak mata antara orangtua dan bayi mampu meningkatkan rentang konsentrasi bayi pada suatu kegiatan. Hal ini tentu berguna untuknya belajar dan memecahkan masalah dengan lebih baik. (Rosa Ayu Hapsari/Dok. M&B UK) Meski belum bisa berbicara, bayi harus aktif diajak berkomunikasi untuk mendukung perkembangannya. Ada yang bilang, bicaralah seperti orang dewasa pada umumnya kepada bayi. Tetapi, menurut pakar bahasa dari Australia, Denis Burnham, berkomunikasi pada bayi perlu pengaturan emosi, ritme, hingga struktur karakteristik. Memang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika mengajak bayi berkomunikasi. Frekuensi dan volume Penelitian menunjukkan, semakin banyak berbicara pada bayi, semakin banyak kata yang dikeluarkan pula, akan lebih baik bagi bayi. Bayi yang mendapat lebih dari 30 juta kata hingga usia 3 tahun memiliki perkembangan bahasa yang lebih baik sehingga saat sekolah sudah pandai membaca. Berbicara pada anak juga jangan terlalu cepat dan keras seperti membentak bayi. Bisa dengan cara bernyanyi bersama, membaca puisi atau sajak, dan mendorong anak berbicara sesama temannya. Bahasa tubuh dan isyarat visual Menurut Association for the Education of Young Children, menggunakan gerak tubuh dan ekspresi wajah dapat membantu anak memahami kata-kata. Misalnya, memperkenalkan diri sambil tersenyum riang dan melambaikan

tangan. Penelitian menunjukkan, isyarat visual membantu anak-anak mencerna kosakata baru dan meningkatkan kemampuan mereka untuk memahami konteks. Kontak mata Kontak mata juga penting saat berbicara dengan bayi. Bayi akan menyadari ia sedang diajak berbicara. Dalam sebuah penelitian di Current Biology, adanya kontak mata antara orangtua dan bayi meningkatkan rentang perhatian bayi atau jangka waktu bayi dapat berkonsentrasi pada suatu kegiatan. Rentang perhatian yang panjang akan membantu bayi belajar bahasa dan memecahkan suatu masalah lebih baik saat memasuki usia sekolah. Ibu atau ayah bisa memberikan kontak mata ketika mengajak bayi berbicara sambil bermain.

c. Prinsip komnikasi pada anak Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers, seperti : 1. Perawat

harus

mengenal

dirinya

sendiri

yang

berarti

menghayati,memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut. 2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima percaya,dan menghargai. 3. Perawat harus memahami dan menghayati nilai yang dianut oleh klien 4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan klien baik fisik maupun mental. 5. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan klien bebas berkembang tanpa rasa takut. 6. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan klien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap,tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah masalah yang dihadapi. 7. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan ,maupun frustasi. 8. Mampu

menentukan

batas

mempertahankan konsistensinya.

waktu

yang

sesuai

dan

dapat

9. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik. 10. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar hubungan komunikasi terapeutik. 11. Mampu berperan sebagai role model. 12. Disarankan

untuk

mengekspresikan

perasaan

bila

di

anggap

mengganggu. 13. Altruisme, mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi. 14. Berpegang pada etika. 15. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggungjawab terhadap orang lain. Karakteristik

Helper

yang

Memfasilitasi

Tumbuhnya

Hubungan

Terapeutik pada Anak Menurut Roger dalam Stuart G.W (1998), ada beberapa karakteristik

seorang

helper

(perawat)

yang

dapat

memfasilitasi

tumbuhnya hubungan yang terapeutik, yaitu: 1.

Kejujuran Kejujuran sangat penting, karena tanpa adanya kejujuran mustahil

bisa terbina hubungan saling percaya. Seseorang akan menaruh rasa percaya pada lawan bicara yang terbuka dan mempunyai respons yang tidak dibuat-buat, sebaliknya ia akan berhati-hati pada lawan bicara yang terlalu halus sehingga sering menyembunyikan isi hatinya yang sebenarnya dengan kata-kata atau sikapnya yang tidak jujur (Rahmat, J.,1996 dalam Suryani,2005).). Sangat penting bagi perawat untuk menjaga kejujuran saat berkomunikasi dengan klien, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan maka klien akan menarik diri, merasa dibohongi, membenci perawat atau bisa juga berpura-pura patuh terhadap perawat. 2.

Tidak membingungkan dan cukup ekspresif Dalam

berkomunikasi

dengan

klien,

perawat

sebaiknya

menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh klien dan tidak

menggunakan kalimat yang berbelit-belit. Komunikasi nonverbal perawat harus cukup ekspresif dan sesuai dengan verbalnya karena ketidaksesuaian akan menimbulkan kebingungan bagi klien.

3.

Bersikap positif Bersikap positif terhadap apa saja yang dikatakan dan disampaikan

lewat komunikasi nonverbal sangat penting baik dalam membina hubungan saling percaya maupun dalam membuat rencana tindakan bersama klien. Bersikap positif ditunjukkan dengan bersikap hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap klien. Untuk mencapai kehangatan dan ketulusan dalam hubungan yang terapeutik tidak memerlukan kedekatan yang kuat atau ikatan tertentu diantara perawat dan klien akan tetapi penciptaan suasana yang dapat membuat klien merasa aman dan diterima dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya (Burnard,P dan Morrison P,1991 dalam Suryani,2005).

4.

Empati bukan simpati Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena

dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan dipikirkan klien (Brammer,1993 dalam Suryani,2005). Dengan bersikap empati perawat dapat memberikan alternative pemecahan masalah karena perawat tidak hanya merasakan permasalahan klien tetapi juga tidak berlarut-larut dalam perasaaan tersebut dan turut berupaya mencari penyelesaian masalah secara objektif.

5.

Mampu melihat permasalahan dari kacamata klien Dalam

memberikan

asuhan

keperawatan,

perawat

harus

berorientasi pada klien (Taylor, Lilis dan Le Mone, 1993), oleh karenaya perawat harus mampu untuk melihat permasalahan yang sedang dihadapi klien dari sudut pandang klien. Untuk mampu melakukan hal ini perawat

harus memahami dan memiliki kemampuan mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian. Mendengarkan dengan penuh perhatian berarti mengabsorpsi isi dari komunikasi (kata-kata dan perasaan) tanpa melakukan seleksi. Pendengar (perawat) tidak sekedar mendengarkan dan menyampaikan respon yang di inginkan oleh pembicara (klien), tetapi berfokus pada kebutuhan pembicara. Mendengarkan dengan penuh perhatian menunjukkan sikap caring sehingga memotivasi klien untuk berbicara atau menyampaikan perasaannya.

6.

Menerima klien apa adanya Seorang helper yang efektif memiliki kemampuan untuk menerima

klien apa adanya. Jika seseorang merasa diterima maka dia akan merasa aman dalam menjalin hubungan interpersonal (Sullivan, 1971 dalam Antai Ontong, 1995 dalam Suryani, 2005). Nilai yang diyakini atau diterapkan oleh perawat terhadap dirinya tidak dapat diterapkan pada klien, apabila hal ini terjadi maka perawat tidak menunjukkan sikap menerima klien apa adanya.

7.

Sensitif terhadap perasaan klien Seorang perawat harus mampu mengenali perasaan klien untuk

dapat menciptakan hubungan terapeutik yang baik dan efektif dengan klien. Dengan bersikap sensitive terhadap perasaan klien perawat dapat terhindar dari berkata atau melakukan hal-hal yang menyinggung privasi ataupun perasaan klien.

8.

Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat

sendiri Perawat harus mampu memandang dan menghargai klien sebagai individu yang ada pada saat ini, bukan atas masa lalunya, demikian pula terhadap dirinya sendiri.

B. Faktor- Faktor yang mempengaruhi komunikasi

a. Factor yang mempengaruhi komunikasi pada bayi 1. Pengetahuan Tingkat pengetahuan seseorang menjadi faktor utama dalam komunikasi. Seseorang dapat menyampaikan pesan dengan mudah apabila ia memiliki pengetahuan yang luas. Seorang komunikator yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi, ia akan lebih mudah memilih kata-kata (diksi) untuk menyampaikan informasi baik verbal maupun non verbal kepada komunikan. Hal ini berlaku juga untuk seorang komunikan. Seorang komunikan dapat merespon atau menginterpretasikan informasi yang diberikan komunikator dengan baik apabila ia memiliki pengetahuan. Pada bayi mungki belum terlalu tampak bagaimana pengetahuan bayi bisa mempengaruhi komunikasi, karena bayi belum bisa mengkomunikasikan dalam bentuk bahasa baru dengan non verbal.

2. Perkembangan Perkembangan ada 2 yaitu: a. Pertumbuhan manusia Pertumbuhan dapat mempengaruhi pola pikir manusia. Bagaimana komunikan menyikapi informasi yang diberikan komunikator dan bagaimana komunikator menyampaikan informasi kepada komunikan. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menyampaikan informasi agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Misalnya cara menyampaikan informasi kepada anak bayi dengan remaja tentu saja berbeda. Ada cara-cara tersendiri yang dapat kita sesuaikan dengan pola pikir yang sesuai dengan pertumbuhannya. Pada bayi bisa dengan gerakan tubuh, seperti menendang dll. b. Keterampilan menguasai bahasa Keterampilan dalam berbahasa ini merupakan salah satu faktor yang sangat terkait dengan pertumbuhan. Pada dengan bayi, bayi memiliki keterampilan bahasa hanya dengan isyarat (non verbal) seperti menangis jika sakit, haus, atau lapar.

3. Hubungan Dan Peran Orang Tua Bayi sudah bisa mendengar dan membedakan semua suara yang ada di sekitarnya sejak masih dalam kandungan. Suara-suara tersebut dapat memengaruhi proses tumbuh kembang janin sampai ketika ia sudah lahir. Itu sebabnya perlu rajin-rajin mengajak bayi bicara sepanjang masa kehamilan. Tidak cuma ibu, ayah pun juga penting untuk terus berkomunikasi dengan calon anaknya. Menurut University of Maryland Medical Center, bayi sudah dapat mendengar suara dari lingkungan luar sejak usia kehamilan 19 sampai 21 minggu. Namun, beberapa bayi baru akan bisa menanggapi suara yang ia dengar pada awal minggu ke-24, sementara yang lainnya mulai di antara usia 26-30 minggu. Sebuah penelitian yang menarik tentang bayi prematur menunjukkan bahwa mereka lebih fokus terhadap suara bernada rendah yang dimiliki oleh ayah daripada suara bernada tinggi khas suara ibu. Selama ini, peran ayah sedikit lebih dinomorduakan dalam memastikan kesehatan janin. Padahal, para ahli kesehatan dari seluruh dunia menekankan pentingnya bagi para calon ayah agar terus proaktif untuk ikut menjaga tumbuh kembang bayi selama dalam kandungan. Ini bukannya tanpa alasan. Semakin banyak penelitian yang membuktikan bahwa peran ayah mengajak bicara bayi ternyata memiliki pengaruh yang jauh lebih besar untuk perkembangan calon buah hatinya. Studi menunjukkan bahwa suara calon ayah yang ia dengar akan terasa menenangkan, baik semenjak masih dalam rahim dan ketika akhirnya bisa bertemu mereka sebagai bayi yang baru lahir. Terlebih lagi, sering-sering mengajak bayi bicara membantu ia belajar. Percakapan yang kita lakukan dengan bayi di trimester ketiga berguna sebagai fondasi kuat bagi perkembangan sosial dan emosional mereka, serta kemampuan bahasa dan ingatan mereka. Dengan kata lain, suara kita sudah membentuk pemahaman mereka tentang dunia. Dan juga bisa memperdengarkan musik atau membacakan cerita untuknya. Pada kenyataannya, semakin cepat kita memandu mereka ke hal-hal yang baik, semakin baik informasi tersebut menempel di otak mereka sampai tua

nanti. Dilansir dari Livestrong, National Association for Music Education menyarankan para calon orangtua untuk memilih dan menyetel musik yang tepat. Sebab, jenis musik yang kita pilih nantinya akan membentuk kemampuan penguasaan bahasa setelah si kecil dilahirkan nanti. Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan keterampilan motorik halus dan kasar bayi di masa perkembangannya. Karena itu, ajaklah calon bayi berkomunikasi sesering mungkin. Tanpa kita sadari, si kecil akan memberikan respon tertentu terhadap suara yang diberikan, baik dengan pergerakan kecil, tendangan halus, dan sebagainya.

4. Lingkungan dan Persepsi Setelah bayi lahir, kebiasaan berkomunikasi ini perlu terus dilanjutkan. Ini dapat membuatnya merasa lebih diperhatikan sehingga perkembangan motoriknya pun bisa lebih cepat. Hindari marah-marah di depan anak, yang masih bayi sekalipun. Sebab, riset membuktikan bayi yang baru berusia enam bulan pun bisa mengenali nada suara yang marah. Para peneliti di University of Manchester, Inggris menyelisik hubungan antara nada suara dan bagian otak yang berhubungan dengan penafsiran sifat emosional vokalisasi. Ternyata, otak manusia pada dasarnya bisa mulai mengenali nada marah sedini usia enam bulan. Bahkan bayi pun sensitif terhadap intonasi suara. Sama seperti orang dewasa akan memproses dan menafsirkan nada bicara seseorang saat berbicara dengan mereka. Sehingga disimpulkan bahwa lingkungan dan persepsi juga sangat mempengaruhi bagiamana komunikasi dengan bayi. Karena bayi senitif dengan intonasi suara.

b. Factor yang mempengaruhi komunikasi pada anak Dalam proses komunikasi kemungkinan ada hambatan selama komunikasi, karena selama proses komunikasi melibatkan beberapa komponen dalam komunikasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: 1. Pendidikan

Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Sebagaimana umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi dan makin bagus pengatahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif akan dapat dilakukannya. Dalam komunikasi dengan anak atau orang tua juga perlu diperhatikan tingkat pendidikan khususnya orang tua karena berbagai informasi akan mudah diterima jika bahasa yang disampaikan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya.

2. Sikap Sikap dalam komunikasi dapat mempengaruhi proses kemungkinan berjalan efektif atau tidak, hal tersebut dapat ditunjukkan seseorang yang memiliki sikap kurang baik akan menyebabkan pendengar kurang percaya terhadap komunikator, demikian sebaliknya apabila dalam komunikasi menunjukkan sikap yang baik maka dapat menunjukkan kepercayaan dari penerima pesan atau informasi. Sikap yang diharapkan dalam komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai dan lain-lain, kesemuanya dapat mendukung berhasilnya komunikasi terapeutik.

3. Usia Tumbuh Kembang Faktor usia ini dapat mempengaruhi proses komunikasi, hal ini dapat ditunjukkan semakin tinggi usia perkembangan anak kemampuan dalam komunikasi

semakin

kompleks

dan

sempurna

yang

dapat

dilihat

perkembangan bahasa anak.

4. Status Kesehatan Anak Status kesehatan sakit dapat berpengaruh dalam komunikasi, hal ini dapat diperlihatkan ketiak anak sakit atau mengalami gangguan psikologis maka cenderung anak kurang komunikatif atau sangat pasif, dengan demikian dalam komunikasi membutuhkan kesiapan secara fisik dan psikologis untuk.

5. Sistem Sosial Sistem sosial yang dimaksud di sini adalah budaya yang ada di masyarakat, di mana setiap daerah memiliki budaya atau cara komunikasi yang berbeda. Hal tersebut dapat juga mempengaruhi proses komunikasi seperti orang Batak engan orang Madura ketika berkomunikasi dengan bahasa komunikasi yang berbeda dan sama-sama tidak memahami bahasa daerah maka akan merasa kesulitan untuk mencapai tujuan dan komunikasi.

6. Saluran Saluran ini merupakan faktor luar yang berpengaruh dalam proses komunikasi seperti intonasi suara, sikap tubuh dan sebagainya semuanya akna dapat memberikan pengaruh dalam proses komunikasi, sebagai contoh apabila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara atau intonasi jelas maka sangat mudah kita menerima informasi ataupun pesan yang disampaikan. Demukian sebaliknya apabila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara yang tidak jelas kita akan kesulitan menerimapesan atau informasi yang disampaikan.

7. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar area, lingkungan dalam hal komunikasi yang dimaksud di sini dapat berupa situasi, ataupun lokasi yang ada. Lingkungan yang baik atau tenang akan memberikan dampak berhasilnya tujuan komunikasi sedangkan lingkungan yang kurang baik akan memberikan dampak yang kurang. Hal ini dapat kita contohkan apabila kita berkomunikasi dengan anak pada tempat yang gaduh misalnya atau tempat yang bising, maka proses komunikasi tidak akan bisa berjalan dengan baik, kemungkina sulit kita berkomunikasi secara efektif karena suara yang tidak jelas, sehingga pesan yang akan disampaikan sulit diterima oleh anak.

C. Komunikasi Berdasarkan Tumbuh Kembang Saat melakukan komunikasi pada anak, perlu diperhatikan aspek - aspek yang meliputi usia tumbuh kembang anak, teknik berkomunikasi, metode dalam

berkomunikasi

dengan

anak

dan

langkah-langkah

dalam

melakukan

komunikasi dengan anak serta peran orang tua dalam membantu proses komunikasi dengan anak sehingga bisa didapatkan informasi yang benar dan tepat. 1. Usia Bayi (0-1 tahun) Komunikasi pada bayi umumnya dapat dilakukan adalah dengan melalui gerakan. Gerakan tersebut sebagai alat komunikasi yang efektif. Selain itu, itu komunikasi pada bayi dapat dilakukan secara non verbal. Perkembangan

komunikasi

pada

bayi

dapat

dimulai

dengan

kemampuan bayi untuk melihat sesuatu yang menarik, ketika bayi digerakkan maka bayi akan berespons untuk mengeluarkan suara-suara. Perkembangan komunikasi pada bayi tersebut dapat dimulai pada usia minggu ke-8 dimana bayi sudah mampu untuk melihat objek atau cahaya, kemudian pada minggu kedua belas sudah mulai melakukan tersenyum. Pada usia ke-16 bayi sudah mulai menolehkan kepala pada suara yang asing bagi dirinya. Pada pertengahan tahun pertama bayi sudah mulai mengucapkan kata-kata awal seperti ba-ba, da-da, dan lainlain. Pada bulan ke sepuluh bayi sudah bereaksi terhadap panggilan terhadap namanya, mampu melihat beberapa gambar yang ada dalam buku. Pada akhir tahun pertama bayi sudah mampu mengucapkan katakata yang spesifik antara dua atau tiga kata. Selain melakukan komunikasi seperti di atas terdapat cara komunikasi yang efektif pada bayi yakni dengan cara menggunakan komunikasi non verbal dengan tehnik sentuhan seperti mengusap, menggendong, memangku, dan lainlain.

2. Usia Todler dan Pra Sekolah (1-2,5 tahun, 2,5-5 tahun) Perkembangan komunikasi pada usia ini dapat ditandai dengan perkembangan bahasa anak dengan kemampuan anak yang sudah bisa memahami kurang lebih sepuluh kata, pada tahun ke-2 sudah mampu memahami 200-300 kata. Pada anak usia ini khususnya usia 3 tahun anak sudah mampu menguasai 900 kata dan banyak kata-kata yang

digunakan seperti mengapa, apa, kapan dan sebagainya. Komunikasi pada usia tersebut sifatnya sangat egosentris, rasa ingin tahunya sangat tinggi, inisiatifnya tinggi, kemampuan bahasanya mulai meningkat, mudah merasa kecewa dan rasa bersalah karena tuntutan tinggi, setiap komunikasi harus berpusat pada dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada usia ini anak masih belum fasih dalam berbicara. Pada usia ini cara berkomunikasi yang dapat dilakukan adalah dengan memberi tahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada mereka untuk menyentuh alat pemeriksaan yang akan digunakan seperti stetoskop, menggunakan nada suara, bicara lambat, jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana, hindarkan sikap mendesak untuk dijawab seperti kata-kata “jawab dong”, mengalihkan aktivitas saat komunikasi, memberikan mainan saat komunikasi dengan maksud anak mudah diajak komunikasi.. Secara non verbal kita selalu memberi dorongan penerimaan dan persetujuan jika diperlukan, jangan sentuh anak tanpa disetujui dari anak, bersalaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan perasaan cemas, menggambar, menulis atau bercerita dalam menggali perasaan dan fikiran anak saat melakukan komunikasi.

3. Usia Sekolah (5-11 tahun) Komunikasi pada anak usia sekolah merupakan proses penyampaian dan transfer informasi yang melibatkan anak usia sekolah, baik sebagai pengirim pesan maupun penerima pesan. Proses ini melibatlan usahausaha untuk mengelompokkan, memilih dan mnegirimkan lambanglambang sedemikian rupa yang dapat membantu seorang pendengar atau penerima berita dalam mengamati dan menyusun kembali makna yang terkandung dalam pikiran komunikator. Pada anak usia sekolah, komunikasi yang terjadi mengalami perbedaan dengan tingkat usia lainnya.

Pada

proses

ini,

anak

usia

sekolah

dapat

saling

mengekspresikan perasaan dan pikirannya sehingga diketahui oleh orang lain.

Perkembangan komunikasi pada anak usia ini dapat dimulai dengan kemampuan anak mencetak, menggambar, membuat huruf atau tulisan yang besar dan apa yang dilaksanakan oleh anak mencerminkan pikiran anak dan kemampuan anak membaca disini sudah muncul, pada usia ke delapan anak sudah mampu membaca dan sudah mulai berfikir tentang kehidupan.

Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia sekolah ini adalah tetap masih

memperhatikan

tingkat

kemampuan

bahasa

anak

yaitu

menggunakan kata-kata sederhana yang spesifik, menjelaskan sesuatu yang membuat ketidakjelasan pada anak atau sesuatu yang tidak diketahui, pada usia ini keingintahuan pada aspek fungsional dan prosedural dari objek tertentu sangat tinggi. Maka jelaskan arti, fungsi dan prosedurnya, maksud dan tujuan dari sesuatu yang ditanyakn secara jelas dan jangan menyakiti atau mengancam sebab ini akan membuat anak tidak mampu berkomunikasi secara efektif.

4. Usia Remaja (11-18 tahun) Perkembangan komunikasi pada usia remaja ini ditunjukkan dengan kemampuan berdiskusi atau berdebat dan sudah mulai berpikir secara konseptual, sudah mulai menunjukkan perasaan malu, pada anak usia sering kali merenung kehidupan tentang masa depan yang direfleksikan dalam komunikasi. Pada usia ini pola pikir sudah mulai menunjukkan ke arah yang lebih positif, terjadi konseptualisasi mengingat masa ini adalah masa peralihan anak menjadi dewasa. Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia ini adalah berdiskusi atau curah pendapat pada teman sebaya, hindari beberapa pertanyaan yang dapat menimbulkan rasa malu dan jaga kerahasiaan dalam komunikasi mengingat awal terwujudnya kepercayaan anak dan merupakan masa transisi dalam bersikap dewasa.

D. Cara Komunikasi a. Cara komunikasi pada bayi a)

Penglihatan Pada waktu lahir, mata bayi belum berkembang sempurna sehingga penglihatannya masih kabur. Dalam usia satuminggu, anak telah mapuh merespon cahaya. Pada usia ini, kemampuan koordinasi otot mata bayi mulai tampak sehingga ia mampu menangkap gerak benda yang digerakan di sekitar matanya dan mengedipkan matanya terhadap sinar yang terang dan suara. Pada usia minggu ke delapan dimana bayi sudah mampu untuk melihat objek atau cahaya, kemudian pada minggu kedua belas sudah mulai melakukan tersenyum dan ia mampuh melihat objek dengan jelas dalam jarak relatif jauh.pada usia enam bulan bayi telah mampu mengidentifikasi warna, mampu melihat beberapa gambar yang terdapat dalam buku.

b) Pendengaran Pada saat lahir, bayi dapat dikatakan masih tuli. Namun, mulai hari ketiga sampai ketuju bayi sudah mampu bereaksi terhadap suara dari lingkungannya. Dalambeberapa hari, bayi telah mampuh membedakan berbagai suara misalnya membedakan suara ibunya dari suara orang lain. Pada usia ke enam belas minggu bayi sudah mulai menolehkan kepala pada suara yang asing bagi dirinya. Pada pertengahan tahun pertama bayi sudah mulai mengucapkan kata-kata awal seperti baba, da-da, dan lain-lain. Pada bulan ke sepuluh bayi sudah bereaksi terhadap panggilan terhadap namanya. Pada akhir tahun pertama

bayi sudah mampu mengucapkan kata-kata yang spesifik antara dua atau tiga kata.

c)

Perabaan Kulit bayi cukup peka sehingga sangat sensitiv terhadap segala sentuhan, tekanan dan suhu.

d)

Penciuman dan pengecapan Hidung dan lidah merupakan indra yang cukup peka pada bayi, sehingga ada kalanya bayi menolak makanan, dan mereka dapat menentukan bau susu ibunya dan merespon terhadap bau susu tersebut dengan menoleh kearah ibunya. Seiring peningkatan usia, kemampuan

penerimaan

rangsang

suara juga

berkembang

sehingga sejak usia tiga bulan, komunikasi dengan bayi mulai dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa.

e)

Wicara Kemampuan bicara pada tahun pertama muncul dalam tiga bentuk, yang lebih dikenal sebagai “bentuk prawicara” (prespeech forms), yaitu: menangis, merengek, dan gerak gerik. Komunikasi dengan bayi dilakukan dengan menggunakan suara, sentuhan dan belaian, ciuman (taktil) ataupun gerakan.

b. Cara komunikasi pada anak Komunikasi dengan anak merupakan sesuatu satu yang penting dalam menjaga hubungan dengan anak ,melalui komunikasi ini pula perawatan dapat memudahkan mengambil berbagai data yang terdapat pada diri anak

yang

selanjutnya

digunakan

dalam

penentuan

masalah

keperawatan atau tindakan keperawatan .Beberapa cara yang dapat digunakan dalam berkomunikasi dengan anak ,antara lain :

a.

Melalui Orang Lain Atau Pihak Ketiga

Cara berkomunikasi ini pertama dilakukan oleh anak dalam menumbukan kepercayaan diri anak ,dengan menghindari secara langsung berkomunikasi dengan melibatkan orang tua secara langsung yang sedang berada disamping anak. Selain itu dapat digunakan cara dengan memberikan komentar tentang mainan , baju yang sedang di pakainya serta hal lainnya ,dengan catatan tidak langsung pada pokok pembicaraan.

c. Bercerita Melalui cara ini pesan yang akan disampaikan kepada anak dapat mudah di terima ,mengingat anak sangat suka sekali dengan cerita ,tetapi cerita yang disampaikan hendaknya sesuai dengan pesan yang akan dapat diekspresikan melalui tulisan maupun gambar.

d. Memfasilitas Memfasilitasi anak adalah bagian cara berkomunkasi, melalui ini ekspresi anak atau respon anak terhadap pesan dapat di terima. Dapat memfasilitasi kita harus mampu mengekspersikan perasaan dan tidak boleh dominan, tetapi anak harus diberikan respons terhadap pesan yang disampaikan melalui mendengarkan dengan penuh perhatian dan jangan merefleksikan ungkapan negative yang menunjukan kesan yang jelek pada anak.

e. Biblioterapi Melalui pemberian buku atau majalah dapat digunakan untuk mengekspresikan perasaan,dengan menceritakan isi buku atau majalah yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan kepada anak

f. Meminta Untuk Menyebutkan Keinginan Ungkapan ini penting dalam berkomunikasi dengan anak ,dengan meminta anak untuk menyebutkan keinginan tersebut dapat diketahui

berbagai keluhan yang dirasakan anak dan keingian tersebut dapat menunjukan perasaan dan pikiran anak pada saat itu

g.

Pilihan Pro Dan Kontra

Penggunaan teknik komunikasi ini sangat penting dalam menentukan atau mengetahui perasaan dan pikiran anak ,dengan mengajukan pada situasi yang menunjukan pilihan yang positif dan negatif sesuai dengan pendapat anak

h.

Penggunaan Skala

Penggunaan skala atau peringkat ini digunakan dalam mengungkapkan perasaan sakit pada anak seperti penggunaan perasaan nyeri ,cemas ,sedih dan lain lain,dengan menganjurkan anak untuk mengekspresikan perasaan sakitnya

i. Menulis Melaui cara ini anak akan dapat mengekspresikan dirinya baik pada keadaan sedih ,marah atau lainnya dan biasanya banyak dilakukan pada abak yang jengkel ,marah dan diam . cara ini dapat dilakukan apabila anak sudah memiliki kemampuan untuk menulis

j.

Menggambar

Seperti halnya menulis menggambar pun dapat digunakan untuk mengungkapkan ekspresinya ,perasaan jengkel marah yang biasanya dapat diungkapkan melalui gambar dan anak akan mengungkapkan perasaannya apabila perawat menanyakan maksud dari gambar yang ditulisnya.

k. Bermain

Bermain alat efektif pada anak dalam membantu berkomunikasi, melalui ini hubungan interpersonal antara anak, perawat dan anak, perawat dan orang di sekitaranya dapat terjalin, dan pesan pesan dapat disampaikan.

E. Komunikasi dengan keluarga yang memiliki bayi dan anak Pola Komunikasi Keluarga Pola komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam keluarga dimana sumber adalah orangtua kepada anaknya ataupun anak kepada orangtua yang mempunyai polapola tertentu. Pola komunikasi keluarga dalam penelitian ini adalah pola komunikasi laissezfaire, pola komunikasi protektif, pola komunikasi pluralistik dan pola komunikasi konsensual a. Pola komunikasi dibagi menjadi :

1. Pola Laissez-faire Pola laissez-faire yang dilakukan di keluarga yang tinggal di permukiman dan yang tinggal di perkampungan termasuk dalam kategori sering. Hal utama yang dilakukan oleh keluarga yang tinggal di permukiman dalam pola laissez-faire adalah saat orangtua membiarkan

anak

bermain

sendiri.

Keluarga

di

perkampungan

membiarkan anak main sendiri didalam dan diluar rumah, hal ini di mungkinkan karena keluarga yang tinggal di perkampungan tinggal diantara keluarga luas.

2. Pola Protektif Keluarga yang tinggal di permukiman maupun yang tinggal di perkampungan. 99,4% responden menyatakan pernah, bahkan cenderung sering dan selalu menggunakan pola komunikasi keluarga dengan pola protektif dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Hal utama yang selalu dilakukan oleh para orangtua adalah menemani bermain dan menjelaskan setiap yang ditanyakan oleh anak-anak mereka. Sebagian dari orangtua mengarahkan anak-anak mereka dengan permainan yang menurut orangtua lebih baik, dan rata-rata anak mereka patuh dan tidak

pernah menolak. Laranganlarangan yang harus diketahui anak, lebih dahulu dijelaskan sebelum anakanak mereka melakukan aktivitas. tinggal di perkampungan termasuk dalam kategori sering dan cenderung kepada selalu digunakan dalam interaksi dengan anggota keluarga, terutama terhadap anak-anaknya. 74% dari responden yang tinggal di dua lokasi penelitian menyatakan sering memberi kebebasan kepada anak-anak mereka dalam bermain, mereka tidak melarang karena mereka menganggap anak-anak sudah mengerti apa yang di lakukan anak-anak mereka. Rata-rata orangtua mempercayai apa yang dilakukan oleh anakanaknya. Mereka beranggapan bahwa anak-anak mereka sudah mengerti apa resiko dari pilihan permainan mereka

3. Pola Pluralistik Keluarga yang tinggal di permukiman dan keluarga yang tinggal di perkampungan termasuk dalam kategori sering dan cenderung dalam kategori selalu di gunakan dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Keluarga yang tinggal di permukiman dan keluarga yang tinggal diperkampungan memberikan kebebasan kepada anak-anak dalam mengemukakan pendapat tentang mainan yang akan di pilih dan membiarkan anak bertanya sesuai dengan perkembangan kemampuannya. Dalam aktivitas bermain, orangtua memberikan kesempatan kepada anakanaknya untuk memilih permainan yang akan di mainkan, orangtua menjelaskan resiko dari akibat permainan tersebut. Larangan tidak dilakukan oleh orangtua apabila permintaan anak sudah disampaikan oleh anak dan orangtua memahami maksud dari permintaan tersebut.

b. Fungsi Sosialisasi Keluarga Fungsi Sosialisasi keluarga dalam keluarga merupakan suatu proses dimana orangtua melakukan penanaman nilai dan norma kepada anakanak atau anggota keluarga. Norma merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan di sosialisasikan kepada anggota keluarga agar mereka mampu berperan menjadi orang dewasa dikemudian hari. Harapan dalam melakukan fungsi sosialisasi keluarga adalah agar anak-anak dalam

setiap keluarga dapat berperilaku sesuai patokan yang berlaku dalam masyarakat. Nilai

yang ditanamkan merupakan hal dasar

yang

fundamental seperti antara lain tentang nilai kejujuran, keadilan, budipekerti, pendidikan dan kesehatan. untuk menegakkan nilai-nilai itu diperlukan sejumlah norma atau aturan berperilaku sebagai patokan bagi anggota masyarakat sehingga dapat mengindahkan nilai dimaksud dalam kehidupan bersama atau masyarakat.

1. Pola Konsensual Pola komunikasi konsensual yang terjadi di keluarga yang tinggal di permukiman dengan keluarga yangdi lakukan saat anak bermain bersama teman-teman sebayanya. Orangtua membiarkan anak memilih teman, tanpa mengarahkan siapa yang harus di pilih sebagai teman. Saat menonton Televisi bersama, anak di biarkan menonton, kalau ada pertanyaan baru di arahkan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan anak. Pada saat anak mandi, beberapa keluarga di permukiman membiarkan anak-anak mereka bermain sambil mandi di kamar mandi, sambil mengajarkan apa yang di lakukan anak saat mandi.

2. Fungsi Sosialisasi Aktif Sosialisasi aktif yang dilakukan orangtua didalam penelitian ini adalah aktif dalam mengarahkan anak-anaknya kepada kehidupan yang sesungguhnya. Orang tua yang tinggal di permukiman cenderung melakukan sosialisasi aktif dengan cara menuntun anak untuk mengerti dan memahami apa yang menjadi norma di lingkungan masyarakat. Keluarga yang tinggal di permukiman maupun yang tinggal di perkampungan termasuk dalam kategori pernah, sering dan bahkan cenderung selalu melakukan fungsi sosialisasi secara aktif dalam memjelaskan arti dari setiap yang ingin di ketahui oleh anakanak mereka. Orangtua mengarahkan anaknya untuk mengenal lingkungan dan nilai-nilai secara baik. Keluarga yang tinggal di permukiman maupun yang tinggal di perkampungan samasama mengarahkan anak untuk melakukan perilaku sopan kepada

siapa saja yang mereka temui, mereka diajarkan untuk mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang yang lebih tua.

3. Fungsi Sosialisasi Pasif Keluarga yang tinggal di permukiman dan di perkampungan lebih menggunakan fungsi sosialisasi pasif pada saatsaat tertentu seperti mengenal teman bermain dengan sendirinya. Mengambil

mainan

di

tempat

main

sendiri.

Data

lapangan

menunjukkan bahwa sosialisasi pasif lebih Dominan di lakukan saat anak bermain bersama teman-teman sebayanya. Orangtua membiarkan anak memilih teman, tanpa mengarahkan siapa yang harus di pilih sebagai teman. Saat menonton Televisi bersama, anak di biarkan menonton, kalau ada pertanyaan baru di arahkan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan anak. Pada saat anak mandi, beberapa keluarga di permukiman membiarkan anak-anak mereka bermain sambil mandi di kamar mandi, sambil mengajarkan apa yang di lakukan anak saat mandi.

4. Fungsi Sosialisasi Radikal Berdasarkan data, 78% keluarga di permukiman dan keluarga di perkampungan menerapkan fungsi sosialisasi radikal dalam kategori sering dan selalu. Data di lapangan menunjukkan bahwa keluarga lebih radikal atau keras kepada anakanaknya apabila menyangkut agama yang dianut. Para orangtua di perkampungan lebih keras dalam mendidik anak-anak mereka dan mewajibkan mengikuti pendidikan qur’ani yang diadakan di lembagalembaga Islam dilingkungan rumah mereka. Bagi keluarga yang beragama Khatolik dan Protestan, mereka menerapkan fungsi sosialisasi radikal pada saat anak ke sekolah minggu di gereja, mereka mendisiplinkan waktu harus ke gereja. Keluarga di permukiman dan di perkampungan melakukan hal yang sama dalam menerapkan sangsi kepada anak-anak mereka

c. Bentuk Komunikasi

Bentuk komunikasi yang muncul dalam komunikasi sehari-hari adalah bentuk verbal ataupun bentuk nonverbal. Hal yang di harapan dalam berkomunikasi adalah terciptanya suatu proses penyampaian verbal pikiran, perasaan dan emosional yang dapat diungkapkan dengan berbagai cara sehingga dimengerti orang lain, dan terjadi perubahan tingkah laku pada individu yang diharapkan tersebut.

1. Komunikasi Verbal Bentuk komunikasi verbal, dilihat berdasarkan penggunaan bahasa, intonansi, nada saat bicara ataupun logat, dialek, merupakan objek dalam memahami bentuk komunikasi verbal. Bentuk komunikasi verbal jika dikaitkan dengan pola komunikasi keluarga dalam penerapan fungsi sosialisasi keluarga terhadap perkembangan anak, dapat dikatakan bahwa bagaimana orangtua, terutama ibu yang mengasuh anak melakukan komunikasi secara verbal kepada anaknya. Data menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pada keluarga yang tinggal di permukiman dan di perkampungan menunjukkan pada taraf sama yaitu dalam kategori pernah dan sering menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah dalam berinteraksi dengan anak-anak maupun dengan anggota keluarga lainnya. Data lapangan menunjukkan bahwa 146 responden (90%) menyatakan pernah dan sering menggunakan bahasa daerah untuk menjelaskan sesuatu kepada anak-anaknya. Bahasa daerah yang dipakai oleh orangtua saat berinteraksi dengan anaknya lebih cenderung mengenai pembiasaan ucapan ataupun perintah singkat seperti ”tole..turu”, (bahasa Jawa yang di gunakan ibu kepada anak laki-laki kesayangan untuk meminta anaknya tidur), “Buyung.. jaan main jauh-jauh yo” (bagi keluarga Minang dalam melarang anak untuk tidak bermain jauh-jauh dari rumah). “neng geulis…” Bahasa daerah bagi keluarga Sunda terhadap anak perempuannya. Penggunaan bahasa yang mudah di mengerti oleh anak termasuk sering di pakai oleh keluarga baik yang tinggal di permukiman maupun keluarga yang tinggal di perkampungan. Nada bicara saat interaksi dengan anak menunjukkan bahwa ratarata

orangtua sering menggunakan nada rendah untuk memberitahu sesuatu kepada anak-anaknya. mereka mencoba merendahkan nada ketika marah kepada anak-anaknya. Begitu juga saat anakanak bertanya tentang mainan, menanyakan kegunaan mainan, rata-rata keluarga menyatakan kepada mereka dengan merendahkan nada bicara ketika anak bertanya. Aktivitas anak dilarang dengan menggunakan kata”jangan”, ”Tidak”, larangan ini disampaikan dengan menekankan kata, sehingga anak menangkap sebagai larangan yang harus dipatuhi.

2. Komunikasi nonverbal Komunikasi nonverbal meliputi komunikasi yang dapat disampaikan dalam berbagai cara, misalnya dengan gerakan anggota tubuh, ekspresi wajah, tatapan mata, penampilan dan gaya gerak. Komunikasi nonverbal sangat membantu dan memperkuat komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal dalam penelitian ini adalah Intonansi, mimik, kinesik, proximiti, haptik, kekasaran, sentuhan. Data menunjukkan bahwa dalam pengucapan kata lebih sering di tekankan pada kata-kata yang ingin dingat oleh anak. Baik keluarga yang tinggal di permukiman maupun keluarga yang tinggal di perkampungan termasuk dalam kategori sering dan selalu menekankan kata-kata penting yang harus di lakukan oleh anak-anak mereka. Dalam menjelaskan kata- kata penting juga termasuk dalam kategori sering dan selalu. Keluarga yang tinggal di permukiman maupun yang tinggal di perkampungan termasuk sering menunjukkan kemarahan kepada anak dengan menggunakan mimik wajah. Begitu juga dalam mengungkapkan rasa sayang kepada anak di ungkapkan dengan mimik wajah yang menunjukkan rasa sayang. Melarang anak untuk tidak melakukan kesalahan atau hal-hal yang keliru, para orangtua menggunakan mimik wajah yaitu dengan mendelikkan mata tanda tidak setuju dengan perbuatan anak. Memeluk anak sambil bermain, sambil menonton televisi termasuk dalam kategori sering dilakukan oleh keluarga yang tinggal di permukiman, sedangkan keluarga di perkampungan tidak pernah melakukan memeluk anak sambil bermain

atau sambil menonton televisi. Saat anak bermain, memanjat kursi atau menaiki tangga, bagi keluarga di permukiman di perhatikan dan selalu dituntun untuk menaiki kursi ataupun tangga. Sedangkan keluarga yang tinggal di perkampungan tidak menuntun anak saat menaiki tangga atau memanjat kursi, hal ini karena mereka selalu membiarkan anakanaknya untuk bermain dengan sendirinya, tanpa di tuntun maupun di perhatiankan secara mendetail. Proximiti atau kedekatan orangtua kepada anak ditunjukkan dengan mengendong pada saat menangis. Keluarga yang tinggal di permukiman dan keluarga yang tinggal di perkampungan menunjukkan perilaku proximiti kepada anaknya dengan mengendong anak ketika merajuk atau ketika mengamuk karena tidak suka dengan mainannya. Rata-rata anak yang tinggal di permukiman maupun di perkampungan menunjukkan kesenangan kepada mainan dilakukan dengan tertawa-tawa dan melonjaklonjak. Anak dari kedua wilayah penelitian menunjukkan kesedihannya

dengan

menangis.

Orangtua

pada

keluarga

di

permukiman termasuk dalam kategori selalu menyentuh wajah anaknya pada saat akan menyisir rambut anaknya, begitu juga pada saat akan mengajak tidur. Belaian pada rambut anak juga sering dilakukan oleh keluarga yang tinggal di permukiman. Mereka juga membiasakan mencium ubun-ubun anaknya. Membelai rambut anak sambil mengatakan ” kamu cakep sayang”, merupakan kata-kata yang termasuk kategori pernah diucapkan oleh orangtua yang tinggal di permukiman maupun di perkampungan. Menciumi anak sambil mengatakan ”anak pinter” merupakan perilaku dan kata-kata yang termasuk dalam kategori pernah dilakukan oleh oranhgtua yang tinggal di permukiman dan di perkampungan. Rata-rata orangtua yang bekerja, ketika mereka pulang sampai dirumah dan bertemu anaknya, mereka membiasakan menyentuh wajah anaknya sambil menyapa berkata ”apa kabar sayang” .

d. Kondisi Anak pada Saat Penelitian di lakukan

a) Perkembangan Fisik Anak Anak dalam penelitian ini adalah anak yang berusia antara 0 s/d 6 tahun yang diasuh oleh orangtua yang lengkap. Umur anak pada penelitian ini berada dalam umur 2 tahun s/d 6 tahun. Perkembangan anak jika dikaitkan dengan usianya, sudah sesuai dengan batas kemampuan anak dalam usia balita. Keluarga di permukiman dan keluarga di perkampungan mempunyai pola yang sama dalam mengadopsi informasi dari puskesmas ataupun dari dokter yang mereka kunjungi. Pengetahuan Ibu dan Ayah pada kedua wilayah penelitian di nilai cukup mengerti dengan perkembangan anak sesuai dengan umur anak. Mereka para orangtua mengerti apa yang harus dilakukan pada saat anak bertambah bulan dan tahun usianya. Keluarga di permukiman memberikan perlakuan sama kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Para orangtua menganggap anak lakilaki maupun anak perempuan adalah sama, sehingga mereka tidak membedakan perilaku dalam pengasuhan. Jika di kaitkan dengan memilih permainan, karena sudah menjadi kebiasaan dan adanya performance media, seperti film kartun ninja, power ranger, Conan, mereka membedakan jenis mainan bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Sedangkan keluarga di perkampungan tidak membuat perbedaan secara spesifik. Perkembangan fisik dan motorik anak, pola pandai berjalan terhadap anak di permukiman dan di perkampungan termasuk pola normal. Perkembangan motorik kasar untuk berjalan lancar antara 11 bulan-16 bulan. Perkembangan fisik lainnya yaitu perkembangan terhadap tumbuh gigi pada umur 6 bulan s/d 12 bulan.

b) Perkembangan Emosi Anak Perkembangan emosi pada anak merupakan proses pengungkapan perasaan dan keinginan anak terhadap sesuatu, termasuk dalam polapola perilaku dalam menghadapi rasa tidak nyaman atau tidak menyenangkan. Perkembangan anak pada anak usia 3-6 tahun di ungkapkan dengan menangis dan berteriak-teriak. Dalam penelitian ini

perkembangan emosi diungkapkan dengan kecengengan dan tindakan yang menunjukkan ketidak sukaan. Hal yang utama yang dituntut dari pengasuh

terutama

ibu

adalah

bagaimana

membaca

dan

memperlakukan keinginan anak agar terjalin kembali kesamaan makna, sehingga anak tidak menunjukkan kemarahan ataupun kejengkelan terhadap sesuatu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang tinggal di permukiman terlihat bahwa ibu membujuk anak lebih dengan cara mengendong anak, menciumi wajah anak, membujuk sambil memuji, begitu juga dengan keluarga yang di perkampungan hampir melakukan hal yang sama. Ibu-ibu dari keluarga yang tinggal di permukiman memiliki cara lain yaitu memberikan kue yang di sukai anak yang telah di siapkan di dalam kulkas ataupun di meja makan. Juga memberikan mainan yang sangat di sukai anak, seperti mobil-mobilan ataupun boneka.

c) Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif anak yang tunjukkan dengan bisa bicara, ratarata anak dari keluarga di permukiman maupun keluarga di perkampungan bisa bicara pada umur 6 bulan s/d 15 bulan. Ada beberapa keluarga mengalami perkembangan bicara anak mereka pada umur di atas 15 bulan, hal ini karena anak mereka pernah mengalami sakit secara fisik seperti: panas yang berakibat pernah mengalami kejang 1 kali, dan akibat yang bisa mereka amati dan mereka ceritakan adalah anak mereka lama bisa bicara. Perkembangan kognitif lainnya adalah pola pertanyaan anak pada saat melihat atau menonton televisi. Perkataan yang muncul adalah ”apakah itu”, data menunjukkan bahwa 49% responden mengatakan bahwa anak mereka selalu menggunakan kata tersebut. Dan 18% responden mengatakan bahwa anak mereka menggunakan pertanyaan ”kenapa begitu”, serta 25.5% anak-anak di kedua wilayah penelitian menanyakan ” setiap apa yang di tonton” kepada orang yang mendampingi mereka menonton, serta 6,5% menanyakan ” tokoh di film” yang mereka tonton. Berdasarkan data

tersebut dapat di jelaskan bahwa secara perkembangan kognitif anak balita yang termasuk dalam perkombangan kognitif tahap praoperasional, dimana pada tahap ini anak berada pada apa yang di sebut dengan ”object permanent” yang arti pada masa ini anak akan mengartikan objek yang tampak sesuai dengan kemampuannya, sehingga dia ingin tahu dan akan bertanya dengan menggunakan pertanyaaan ”apakah itu?”, ”kenapa begitu”, ”itu Siapa?’, dan lain sebagainya. Berdasarkan teori Piaget, mengatakan bahwa hal-hal yang perlu di perhatikan pada anak masa ini adalah membatasi objek yang akan di lihat secara indera mereka, kepada halhal yang mudah dicerna mereka. Sehingga orangtua harus mendampingi setiap aktivitas anak, baik dalam menonton televisi maupun dalam melihat lingkungan sosial yang mereka lihat.

d) Perkembangan Psikososial Anak Perkembangan psikososial anak dalam bermain menunjukkan bahwa anak mengembangkan jiwa sosial dalam cara bermain, dengan cara bermain dengan temannya bertukar mainan, bermain sepeda, bermain petak umpet, main manten-mantenan, ada anak yang bermain sendiri dan ada anak bermain bersama bapak atau ibunya di rumah. Secara perkembangan psikososial anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya,

anak-anak

pada

keluarga

yang tinggal

di

permukiman maupun di perkampungan memasuki masa psikososial normal. Data menunjukkan anak bermain sendiri, hal ini di sebabkan karena ada aturan orangtua yang harus mereka patuhi sehingga mereka dibatasi bermain, yang berakibat mereka akhirnya bermain sendiri. Ada anak bermain bersama orangtua, hal ini karena orangtua yang menyadari

pengaruh

lingkungan

terhadap

anaknya,

mereka

meluangkan waktu untuk menemani anak-anak mereka bermain di rumah. Keluarga yang tinggal di permukiman lebih menyadari pengaruh lingkungan, sehingga pola protektif terhadap anak di seimbangkan dengan meluangkan waktu untuk bermain bersama.

Perkembangan psikososial lainnya adalah adaptasi anak dalam keluarga. Pada kedua wilayah penelitian menunjukkan bahwa mereka ketika bertemu dengan anggota keluarga dari keluarga luas (extended family) perilaku awal mereka adalah malu-malu, kemudian setelah lima menit berikutnya baru mereka bisa akrab dan bermain dengan ceria. Penanaman nilai dalam pembinaan anggota keluarga merupakan tanggungjawab yang tidak kalah pentingnya bagi keluarga. hal ini termasuk dalam indikator perkembangan psikososial anak terhadap kehidupan bermasyarakat. Keluarga di permukiman mengajak anakanak mereka ikut dalam pengajian minggu yang mereka lakukan di lingkungan tempat tinggal, sedangkan keluarga yang tinggal di perkampungan tidak mengajak anak ikut kepengajian lingkungan, tetapi mereka mengaji bersama di rumah dengan anggota keluarga lainnya. Ada juga keluarga di permukiman mengatakan bahwa dengan menegakkan disiplin dalam setiap aktivitas anak dan mengajarkan berdo’a kepada sang pencipta merupakan cara memberikan contoh penanaman nilai pada anak.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Komunikasi pada dasarnya harus memperhatikan kematangan orang atau klien yang diajak berbicara berdasarkan tingkatan usia, dalam hal ini yaitu kesempurnaan indra, kesempurnaan dan kematangan otak , kematangan psikologi sehingga pada akhirnya kita dapat menyesuaikan gaya bahasa, tekanan suara, dan jenis bahasa yang kita gunakan. Dalam melakukan komunikasi perawat perlu memperhatikan berbagai aspek diantaranya adalah usia tumbuh kembang anak, cara berkomunikasi dengan anak, metode dalam berkomunikasi dengan anak tahapan atau langkah-langkah dalam melakukan komunikasi dengan anak serta peran orang tua dalam membantu proses komunikasi dengan anak sehingga bisa didapatkan informasi yang benar dan akurat. Komunikasi dengan anak merupakan sesuatu satu yang penting dalam menjaga hubungan dengan anak ,melalui komunikasi ini pula perawatan dapat memudahkan mengambil berbagai data yang terdapat pada diri anak yang selanjutnya digunakan dalam penentuan masalah keperawatan atau tindakan keperawatan .

DAFTAR PUSTAKA Hidayat, Aziz Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan anak 1. Salemba Medika: Surabaya. Muhith, Abdul, dkk. 2018. Aplikasi Komunikasi Terapeutik Nursing & Health. Yogyakarta : ANDI https://lifestyle.kompas.com/read/2018/04/20/121200820/calon-ayah-seringseringlah-ajak-bayi-bicara-sejak-dalam-kandungan?page=all https://beritagar.id/artikel/gaya-hidup/bayi-bisa-mengenali-suara-marah DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Indonesia Professional Books, Jakarta. Guhardja S 1996 Studi Transisi Keluarga, Konsumsi Pangan dan Gizi dan Perkembangan Kecerdasan Anak Intitut Pertanian Bogor, Bogor. Gunarsa. 2002. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Cetakan keenam. BPK Gunung Mulia, Jakarta. Kusnendi. 2008 Model-model Persamaan Struktural, satu dan multigroup sample dengan LISREL. Alfabeta, Bandung. Limbong. 1996, Hubungan Pola Komunikasi Keluarga dengan Perkembangan Kemampuan Sosialisasi dan Perkembangan Kemampuan Komunikasi Anak Usia Prasekolah pada Ibu Bekerja dan Ibu tidak Bekerja di Jakarta. [tesis], Program Studi Psikologi UI, Jakarta. Mulyana R. 2005. Membangun Iklim Komunikasi Keluarga, Jurnal MAPI September 2005, Jakarta. Rakhmat J. 2007. Psikologi Komunikasi. Remaja Karya, Bandung. Rambe. 2004. “Alokasi Pengeluaran Rumahtangga dan Tingkat Kesejahteraan (kasus di Kecamatan Medan Kota Sumatera Utara).” [tesis] Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Reardon KK 1987. Interpersonal Communication Where Winds Meet. Wadsworth Publishing Company, California. Riduwan. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Alfabeta, Bandung. Turner B & West C, 2006, The Family Communication Sourcebook, SAGE Publication, Inc. Widodo AM 2009. “Pengaruh Komunikasi Keluarga Terhadap Pencegahan Remaja dalam Menyimpan Gambar Porno di Handphone” (tesis) Unitomo, Surabaya.

Related Documents


More Documents from "sri wulandari"

La Mirada Del Amor
November 2019 22
Rumus.docx
June 2020 6
Teori Opqol.docx
June 2020 4
Lp Kad.docx
June 2020 3
Soal Uts Kritis.docx
June 2020 5