MAKALAH PENERAPAN TERAPI KOMPLEMENTER PADA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS)
NAMA KELOMPOK :
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES WIRA MEDIKA BALI 2018 / 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah Yang Maha Esa atas limpah hidayah, rahmat dan lindungannya, khirnya makalah ini kami selesaikan dengan lancar. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kami. Selain itu kami menyusun makalah ini untuk menambah wawasan untuk memahami tentang Penerapan Terapi Komplementer dan khususnya pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Mungkin masalah yang kami buat ini belum sempurna karna kami juga masih dalam proses belajar, oleh karena itu kami menerima saran/kritikan pembaca supaya makalah selanjutnya bisa lebih baik dari sebelumnya. Dalam makalah ini kami membahas tentang Penerapan Terapi Komplementer dan khususnya pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).. Semoga makalah yang kami buat ini bisa bermafaat bagi pembaca. Demikianlah makalah yang kami susun dan jika ada tulisan atau perkataan yang kurang berkenan (sopan) kami mohon maaf sebesar-besarnya, semoga makalah ini bermanfaat buat pembaca.
Sumenep.20 maret 2019
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................................... 2 Daftar Isi .................................................................................................................................. 3
BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 4 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 5 1.3 Tujuan ................................................................................................................................ 5 1.4 Manfaat .............................................................................................................................. 5
BAB II : PEMBAHASAN 2.1 Definisi Terapi Komplementer .......................................................................................... 6 2.2 Macam-macam Terapi Komplementer .............................................................................. 8 2.3 Peran Perawat dalam Terapi Komplementer ................................................................. ..10 2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS……………………………………..10
BAB III : PENUTUP 3.1 Simpulan .......................................................................................................................... 16 3.2 Saran ................................................................................................................................ 16
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………….....17
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002). Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin terlibat untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup dibandingkan sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat. Di berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya tentang terapi komplementer atau alternatif pada petugas kesehatan seperti dokter ataupun perawat. Masyarakat mengajak dialog perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith et al., 2004). Hal ini terjadi karena klien ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan pilihannya, sehingga apabila keinginan terpenuhi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat menjadi peluang bagi perawat untuk berperan memberikan terapi komplementer. Peran yang dapat diberikan perawat dalam terapi komplementer atau alternatif dapat disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai dengan batas kemampuannya. Pada dasarnya, perkembangan perawat yang memerhatikan hal ini sudah ada. Sebagai contoh yaitu American Holistic Nursing Association (AHNA), Nurse Healer Profesional Associates (NHPA) (Hitchcock
4
et al., 1999). Ada pula National Center for Complementary/Alternative Medicine (NCCAM) yang berdiri tahun 1998 (Snyder & Lindquis, 2002). 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari Terapi Komplementer ? 2. Apa saja macam-macam Terapi Komplementer ? 3. Bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer ? 4. Bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada ODHA ?
1.3 Tujuan 1. Untuk memahami definisi dari Terapi Komplementer. 2. Untuk mengetahui macam-macam Terapi Komplementer. 3. Agar mengetahui bagaimana peran perawat dalam Terapi Komplementer. 4. Agar memahami bagaimana penerapan Terapi Komplementer pada ODHA.
1.4 Manfaat Untuk mengintegrasikan terapi komplementer pada ODHA dan memahami fungsi serta penata laksanaannya
5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Terapi Komplementer Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004). Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai sebuah domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary and alternative medicine/CAM Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002). Terapi komplementer dan alternatif termasuk didalamnya seluruh praktik dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai pencegahan atau pengobatan penyakit atau promosi kesehatan dan kesejahteraan. Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual). Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung kemampuan perawat dalam menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi komplementer. Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu kembali pada teori-teori yang mendasari praktik keperawatan. Misalnya teori Rogers yang memandang manusia sebagai sistem terbuka, 6
kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan pengobatan tradisional yang menggunakan energi misalnya tai chi, chikung, dan reiki. Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini didukung dalam catatan keperawatan Florence Nightingale yang telah menekankan pentingnya mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan dan pentingnya terapi seperti musik dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer meningkatkan kesempatan perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder & Lindquis, 2002). Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak dan tidak dijelaskan dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang berhasil dibuktikan secara ilmiah misalnya terapi sentuhan untuk meningkatkan relaksasi, menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan, mempercepat
penyembuhan
luka,
dan
memberi
kontribusi
positif
pada
perubahan
psikoimunologik (Hitchcock et al., 1999). Terapi pijat (massage) pada bayi yang lahir kurang bulan dapat meningkatkan berat badan, memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons. Sedangkan terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian dan belajar. Terapi pijat juga dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan menurunkan kecemasan pada anak susah makan (Stanhope, 2004). Terapi kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan level plasma prostaglandin selama haid (Fontaine, 2005). Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi. Salah satu aromaterapi berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur (Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh bakteri streptokokus, stafilokokus dan tuberkulosis (Smith et al., 2004). Tanaman lavender dapat mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat membersihkan jerawat dan membatasi kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl menemukan bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh dan berkurang rasa nyerinya dengan meditasi dan imagery (Smith et al., 2004). Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai oksigen, perubahan vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan (Fontaine, 2005). Hasil-hasil tersebut menyatakan terapi komplementer sebagai suatu paradigma baru (Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi komplementer ini beragam sehingga disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi kesehatan holistik mengacu pada 7
integrasi secara menyeluruh dan mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki tujuan hidup, dan pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999). Terapi komplementer dengan demikian dapat diterapkan dalam berbagai level pencegahan penyakit. Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan penyakit ataupun rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun kelompok misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan kreatif (Hitchcock et al., 1999). Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai manfaat selain dapat meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih murah. Terapi komplementer terutama akan dirasakan lebih murah bila klien dengan penyakit
kronis yang harus rutin
mengeluarkan dana. Pengalaman klien yang awalnya menggunakan terapi modern menunjukkan bahwa biaya membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam beberapa bulan setelah menggunakan terapi komplementer (Nezabudkin, 2007). Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi komplementer ataupun yang masih tradisional mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengunjung praktik terapi komplementer dan tradisional di berbagai tempat. Selain itu, sekolah-sekolah khusus ataupun kursuskursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat dibandingkan dengan Cina yang telah memasukkan terapi tradisional Cina atau traditional Chinese Medicine (TCM) ke dalam perguruan tinggi di negara tersebut (Snyder & Lindquis, 2002). Kebutuhan perawat dalam meningkatnya kemampuan perawat untuk praktik keperawatan juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari berkembangnya kesempatan praktik mandiri. Apabila
perawat
mempunyai
kemampuan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
akan
meningkatkan hasil yang lebih baik dalam pelayanan keperawatan.
2.2 Macam-macam Terapi Komplementer Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang menggunakan jarum dalam pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif seperti terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, 8
terapi suara), terapi biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin, hidroterapi colon dan terapi sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, dan terapi lainnya (Hitchcock et al., 1999) National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM) membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima kategori. Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni. Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika, cundarismo, homeopathy, naturopathy. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi biologis, yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan). Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir, terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan, pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet. Klasifikasi kategori kelima ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara biofield dan bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis, 2002). Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup (pengobatan holistik, nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi); manipulatif (kiropraktik, akupresur & akupunktur, refleksi, massage); mind-body (meditasi, guided imagery, biofeedback, color healing, hipnoterapi). Jenis terapi komplementer yang diberikan sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan. Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya seperti meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan kecemasan, mempercepat penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses kematian (Hitchcock et al., 1999). Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu mengetahui pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi komplementer diantaranya untuk membantu mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi klien, menjawab pertanyaan dasar 9
tentang terapi komplementer dan merujuk klien untuk mendapatkan informasi yang reliabel, memberi rujukan terapis yang kompeten, ataupun memberi sejumlah terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Selain itu, perawat juga harus membuka diri untuk perubahan dalam mencapai tujuan perawatan integratif (Fontaine, 2005).
2.3 Peran Perawat Dalam Terapi Komplementer Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung, koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan seperti yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil evidence-based practice. Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam terapi komplementer juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).
2.4 Penerapan Terapi Komplementer pada HIV/AIDS Para pengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), dengan pemenuhan nutrisi dan ketenangan
spiritual
bisa
memperpanjang
harapan
hidup
mereka.
Terapi
alternatif
komplementer, seperti; akupunktur, akupressur, meditasi, dan mengomsumsi tanaman obat dapat menambah daya tahan tubuh dan pertumbuhan sel-sel imun. ketenangan spiritual dan nutrisi peningkat daya tahan membuat virus lebih jinak dan memperlambat perkembangannya dalam tubuh manusia, sehingga memberi kesempatan CD4 yaitu sel pembentuk daya tahan tubuh untuk berkembang dan memperbanyak diri. 10
Akupunktur dan akupressur diberikan untuk memperkuat organ-organ vital, seperti; paruparu, ginjal, lambung, dan limpa, pada masa awal infeksi HIV. Sebelum daya tahan tubuh dan sel- sel CD4 turun karena infeksi HIV. 1. Terapi informasi Untuk mengetahui ‘terapi informasi’, mungkin kita harus mencari arti kata ‘terapi’ terlebih dahulu. Dalam kamus, definisi terapi adalah “usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit”. Tidak disebut “usaha medis” dan juga tidak disebut penyembuhan penyakit. Maka kita bisa paham bahwa terapi adalah lebih luas daripada sekedar pengobatan atau perawatan. Apa yang dapat memberi kesenangan, baik fisik maupun mental, pada seseorang yang sedang sakit dapat dianggap terapi. Kita cenderung menganggap ‘terapi’ sebagai suatu yang fisik: pil, jamu, pijat, akupuntur. Jarang kita dengar ‘informasi dianggap sebagai terapi. Terapi informasi melatarbelakangi semua bentuk terapi lain. Tanpa informasi, bagaimana kita dapat mengetahui tentang berbagai terapi yang ada? Apakah terapi itu efektif? Untuk gejala apa? Dimana terapi itu tersedia? Bagaimana kita dapat memperolehnya? Dan berapa harganya? Terapi informasi bukan sekedar penegtahuan. Kita ambil contoh seseorang yang baru dites HIV dan hasilnya ternyata positif. Setelah lewat rasa terkejut (shock), banyak pertanyaan akan muncul: apa itu AIDS? Apa bedanya dengan HIV? Bagaimana kelanjutanya? Bagaimana penularanya? Apa pengobatanya? Gejalanya apa? Orang yang baru ditentukan terinfeksi HIV (serta keluarga dan sahabatnya) pertama akan merasa mati kutu. Konseling pasca (atau sesudah) tes yang paling sempurna pun tidak mungkin dapat menjawab semua pertanyaan kita dan kita tidak berada dalam keadaan untuk bertanya, atau pun menangkapi jawaban. Pasti kita merasa muram, kita tidak dapat membayangkan masa depan. Apa pengobatan untuk dperesi ini? Bukan obat, bukan pengobatan medis, tetapi jawaban terhadap pertanyaan kita. Informasi, dengan bentuk dan bahasa yang dapat kita pahami dan pada waktu kita perlukan. Informasi akan mengobati ketidakpahaman kita, depresi kita, memulihkan dan menyelakan jiwa kita. Dan seperti halnya berbagai macam terapi, terapi informasi adalah suatu perjalanan, sebuah proses yang akan berlangsung secara terus-menerus. Ketakutan terhadap hal yang tak dikenal adalah macam ketakutan yang buruk. Kita semua pernah mengalami kekhawatiran yang diakibatkan oleh ketakutan kita tahu dampaknya terhadap tidur, nafsu makan, terhadap kemampuan kita untuk melanjutkan kehidupan kita sehari-hari. Kita 11
semua tahu bagaimana ketakutan ini dapat memepengaruhi kesehatan kita sendiri. Adalah terkenal bahwa stres dapat mempengaruhi system kekebalan tubuh kita, jadi dalam keadaan stres, kita lebih mungkin terinfeksi penyakit seperti flu dan ini juga akan menambah rasa khawatir dan takut, terutama bagi odha. Pertolongan perta auntuk mengobati ketakutan terhadap hal yang tak diketahui adalah informasi yang jelas dan tepat. Bila kita mulai memahami apa arti menjadi HIV-positif, kita dapat mulai menerima penyakit ini, mungkin bahwa itu bukan vonis mati, dan mulai merencanakan tanggapan kita sendiri yaitu kumpulan terapi lain yang kita akan mengukutinya. Dengan perncanaan begitu dan tindakanya dan rasa ketakutan kita akan berkurang dan stress yang terkait denganya akan mulai menurun juga. Jadi, informasi untuk membantu kita jadi paham. 2. Terapi spiritual Dewasa ini konsep kedokteran modern mengenai pengobatan ialah dengan pertimbangan aspek biopsikososial. Artinya pengobatan tidak hanya berusaha untuk mengembalikan fungsi fisik seseorang tetapi juga fungsi psikis dan social. Pendekatan ini menepatkan kembali pengobatan spiritual sebagai salah satu cara pengobatan dalam upaya penyembuhan penderita. Di Indonesia pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan agama. Seseorang pemeluk agama islam misalnya cenderung untuk menjalani pengobatan spiritual yang dilaksanakan sesuai ajaran agama islam, misalnya berzikir, berdoa, berpuasa, sholat hajat dll. Dalam agama lain juga terdapat kegiatan ritual untuk penyembuhan baik yang dibimbing oleh rohaniawan maupun yang dilakukan sendiri. ODHA dapat memilih untuk menjalankaan pengobatan spiritual yang sesuai dengan agamanya atau pengobatan spiritual yang berlaku umum. Bila dia memilih pengobatan spiritual yang sesuai dengan agamanya maka kegiatan tersebut tidak asing lagi baginya serta mendukung jemaah yang dikenal dan akrab akan mempermudah sosialisasi. 3. Terapi nutrisi Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV /AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi system imun, meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang degan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena
12
HIV menyebabkan kehilangan nafsu makan dan gangguan absorbs zat gizi. Di unti perawatan intermediet penyakit terdapat 87% ODHA dengan berat badan di bawah normal. Sebagian besar para ODHA dan keluarga mengatakan bahwa nafsu makanya menurun sehingga frekuensi makan juga berkurang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh HIV untuk berkembang lebih cepat. Di samping itu daya tahan tubuh untuk melawan HIV menjadi berkurang. Untuk mendapatkan nutrisi yang sehat dan berimbang, ODHA sebaiknya mengosumsi makanan yang bervariasi, seperti makanan pokok, kacang-kacangan, produk susu, daging, serta sayur dan buah-buahan setiap hari, lemak dan gula, dan meminum banyak air bersih dan aman. Bila diperlukan bisa diberikan zat gizi mikro dalam bentuk supleme makanan sera jus buah dan sayur. a. Pentingnya nutrsi bagi pasien HIV/AIDS Nutrisi yang sehat dan sembang harus selalu diberikan pada klien dengan HIV/AIDS pada semua tahap infeksi HIV. Perawatan dan dukungan nutrisi bagi pasien berfungsi untuk (1) mempertahankan kekuatan tubuh dan berat badan, (2) mengganti kehilangan vitamin dan minerl, (3) meningkatkan fungsi sitem imun dan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, (4) memperpanjang periode dari infeksi hingga perkembangan menjadi panyakit AIDS, (5) meningkatkan respon terhadap pengobatan, mengurangi waktu dan uang yang dihabiskan untuk perawatan kesehatan, (6) menjaga orang yang hidup dengan HIV/AIDS agar dapat tetap aktif, sehingga memungkinkan mereka untuk merawat diri sendiri, keluarga dan anak-anak mereka, dan (7) menjaga orang dengan HIV/AIDS agar tetap produktif, mampu berkerja, tumbuh baik dan tetap berkontribusi terhadap pemasukan kelurga mereka (FAO-WHO, 2002). Makanan penting bagi tubuh kita untuk: (1) berkembang, mengganti dan memperbaiki selsel dan jaringan, (2) memproduksi energy agar tetap hangat, bergerak dan berkerja, (3) membawa proses kimia misalnya pencernaan makanan, (4)melindungi melawan, bertahan terhadap infeksi serta mambantu proses penyembuhan penyakit. Makan terdiri atas zat gizi mikro dan makro. Zat gizi mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil, sedangkan zat gizi makro (kabohidrat, protein dan lemak) dibutuhkan dalam jumlah yang lebih banyak (FAO-WHO, 2002).
13
b. Bahan makanan yang dianjurkan dikonsumsi pasien Berbagai bahan makanan yang banyak di dapatkan di Indonesia seperti tempe, kelapa, wortel, kembang kol, sayuran dan kacang-kacangan dapat diberikan dalam penatalaksanaan gizi pada pasien. 1. Tempe atau produknya mengandung protein dan vitamin B12 untuk mencukupi kebutuhan pasien dan mengandung bakterisida yang dapat mengobati dan mencegah diare. 2. Kelapa dan produknya dapat memenuhi kebutuhan lemak sekaligus sebagai sumber energy karena mengandung medium chain trigliserida (MCT) yang mudah diserap dan tidak menyebabkan diare. MCT merupakan sumber energy yang dapat digunakan untuk pembentukan sel. 3. Wortel kaya kandungan beta karoten sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan sebagai bahan pembentukan CD4, vitamin C, vitamin E, dan beta karoten berfungsi sebagai antiradical bebas yang dihasilkan oleh perusakan oleh HIV pada sel tubuh. 4. Sayuran hijau dan kacang-kacangan, mengandung vitamin neurotropik yakni vitamin B1, B6, B12 dan zat gizi mikro lainya yang berfungsi untuk pembentukan CD4 dan pencegahan anemia. 5. Buah alpukat mengandung banyak lemak yang sangat tinggi dan dapat dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan. Lemak tersebut dalam bentuk MUFA (mono unsaturated fatty acid) yang 63% dari jumlah tersebut berfungsi sebagai antioksidan dan dapat menurunkan HDL, selain itu alpukat juga mengandung glutation untuk menghambat replikasi HIV. c. Jus buah dan sayur Orang yang terinfeksi HIV akan kehilangan selerah makan dan sulit menguyah makanan, daya serap pencernaan dan tubuh juga lemah, oleh karenyanya pasien membutuhkan makanan yang mudah dikunya dan diserap tubuh serta meningkatlkan nafsu makan. Olahan berupa jus dibutuhkan agar kandungan gizinya mudah dan cepat diserap oleh tubuh sehingga energi akan meningkatnkan dan tuuh lebih sehat. Gizi yang terkandung dalam jus buah dan sayuran tergolong lengkap seperti protein, kabohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Lemak yang terkandung dalam buah dan sayur termaksud lemak yang menguntungkan yang berperan sebagai komponen sel saraf, membrane sel, homon dalam tubuh. Jus mengandung enzim alami yang bermanfaat untuk pencernaan sehinggah tubuh tidak mengeluarkan enzim pencernaan dan energy dapat dihemat untukperbaikan peremajaan sel. Jus 14
hanya memerlukan waktu penyerapan 5 menit sedangkan makanan yang lain memerlukan waktu 3-5 jam (putu, oka 2005). 4. Terapi fisik Terapi fisik adalah upaya yang bisa dijadikan alternatif pelengkap dalam upaya memperbaiki disfungi yang berikatan dengan tubuh yang disebabkan HIV, virus penyebab AIDS. Ada beberapa jenis terapi fisik yang bisa dilakukan. Antara lain terapi makanan dan jamani. Pada asanya terapi yang dilakukan bisa membuat daya tahan tubuh atau keadaan kekebalan ODHA bisa dipertahankan secara maksimal, juga kondisi fisiknya tetap dilatih agar lebih kuat. Misalnya massa otot orang pada masa AIDS yang biasanya akan menurun drastis, semakin kurus. Saat seseorang mulai menunjukan gejala, masa otot dan lemak berkurang perlahan namun pasti. Kalau dari awalnya masa otot tidak diperhatikan, maka penampilan serta daya tahan akan sangat berpengaruh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa olahraga dengan tigkat/ kadar sedang ternyata bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh menjadi lebih tinggi. Selama berolahraga, tubuh mengelurkan berbagai hormon. Antara lain yang berfungsi meningkatnkan mutu dan jumlah limfosit B dan T, serta endfrin, dan enkafalin, serta homon yang berfungsi menurunkan kekebalan seperti suatu hormone yang disebut ACTH. ACTH bekerja meningkatkan kadar kortisol yang berperan menekan produksi sel kekebalan. Keluarnya hormen tersebut sangat beraneka ragam tergantung beberapa factor, antara lain beratnya latihan. Latihan ringan sampai sedang akan mengelurkan hormone yang merangsang pembentukan system kekebalan. Sementara latihan berat yang menimbulkan kelelahan justru sebaliknya, yaitu menekan produksi sel kekebalan. Agar keadaan tubuh tetap stabil lebih baik memilih jenis olahraga yang tidak menimbulkan stress. Seperti jalan kaki dan renag. Terapi jenis jasmani lain yang bisa dilakukan adalah tehnik aromaterapi. Beberapa alhi menyarankan penggunaan wewangian berbagai jenis tumbuhan, seperti lavender. Yoga, meditasi, dan pemijatan merupakan tehnik yang baik untuk dipilih sebagai alternative terapi fisik-jasmani yang lain. Beberapa penelitian membuktikan bahwa jenis olah fisik tersebut mampu menghilangkan stress dan membuat tubuh tenang. Ketenangan yang diperoleh bisa meningkat pembuatan sel kekebalan tubuh di dalam tubuh.
15
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan Masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya terapi tradisional seperti jamu yang telahberkembang lama. Kenyataannya klien yang berobat di berbagai jenjang pelayanan kesehatantidak hanya menggunakan pengobatan Barat (obatkimia) tetapi secara mandiri memadukan terapitersebut yang dikenal dengan terapi komplementer.Perkembangan terapi komplementer ataualternatif sudah luas, termasuk didalamnya orangyang terlibat dalam memberi pengobatan karenabanyaknya profesional kesehatan dan terapis selaindokter umum yang terlibat dalam terapikomplementer. Hal ini dapat meningkatkanperkembangan ilmu pengetahuan melaluipenelitian-penelitian yang dapat memfasilitasiterapi komplementer agar menjadi lebih dapatdipertanggungjawabkan.
3.2 Saran Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan, dapat turut serta berpartisipasi dalam terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuaidengan peran-peran yang ada. Arah perkembangankebutuhan masyarakat dan keilmuan mendukunguntuk meningkatkan peran perawat dalam terapikomplementer karena pada kenyataannya,beberapa terapi keperawatan yang berkembangdiawali dari alternatif atau tradisional terapi.Kenyataan yang ada, buku-buku keperawatanmembahas terapi komplementer sebagai isu praktikkeperawatan abad ke 21. Isu ini dibahas dari aspekpengembangan kebijakan, praktik keperawatan,pendidikan, dan riset. Apabila isu ini berkembangdan terlaksana terutama oleh perawat yangmempunyai pengetahuan dan kemampuan tentangterapi komplementer, diharapkan akan dapatmeningkatkan pelayanan kesehatan sehinggakepuasan klien dan perawat secara bersama-samadapat meningkat (HH, TH).
16
17