TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II Konsep Asuhan Keperawatan SLE dan Cholelitiasis
OLEH : KELOMPOK 3a A11-A Kadek Diah Sudarmi Dewi Wulandari
17.321.2674
Luh Putu Nia Budi Martsiani
17.321.2680
Luh Putu Sukmayanti
17.321.2681
Ni Made Septyari
17.321.2696
Ni Nengah Ayu Sudiantari
17.321.2697
Ni Wayan Novi Uliandari
17.321.2704
Tjok Istri Nita Dewi
17.321.2710
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHAAN WIRA MEDIKA BALI TAHUN AJARAN 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widh Wasa Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat Beliaulah penulis bisa membuat dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Konsep Asuhan Keperawatan SLE dan Cholelitiasis“. Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan penguasaan kompetensi mahasiswa sesuai dengan standar kompetensi yang diharapkan. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan sebagai upaya penyempurnaan makalah ini dimasa mendatang dan diakhir kata penulis ucapkan terimakasih.
Denpasar, 29 Maret 2019
Penulis
i
DAFTAR ISI
JUDUL KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i DAFTAR ISI …………………………………………………………………... ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………... 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 2 1.3 Tujuan ……………………………………………………………………… 2 1.4 Manfaat …………………………………………………………………….. 3 1.5 Metode Penulisan ………………………………………………………….. 3 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Asuhan Keperawatan SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) …...... 4 2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Cholelitiasis …...............................…………18 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………… 30 3.2 Saran ………………………………………………………………………... 30 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 31
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Imunhematologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari sistem ilmu pada darah. Penyakit pada sistem imun yang sering kita kenal antara lain Hipersensitivitas, Autoimun, HIV/AIDS, dll. Autoimun seperti namanya adalah keadaan abnormal dimana sistem imun tubuh menyerang bagian tubuh itu sendiri seperti benda asing. Salah satu penyakit autoimun adalah systemic lupus erythematosus atau yang sering dikenal sebagai penyakit lupus. Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti anjing hutan atau serigala memiliki ciri yaitu munculnya bercak atau kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerahan seperti kupu-kupu. Lupus juga menyerang organ dalam lainnya seperti ginjal, jantung, dan paru-paru. Oleh karena itu, penyakit ini dinamakan sistemik karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Jika lupus hanya menenai kulit saja, sedngkan organ lainnya tidak terkena maka disebut lupus kulit (lupus kuteneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus/SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan diginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004). Sistem pencernaan adalah proses menerima makann, mengubahnya menjadi energi dan mengeluarkan sisa proses tersebut. Dimana proses penghancuran makanan yang terjadi dalam mulut hingga lambung. Adapaun gangguan yang terjadi pada sistem pencernaan yang dimana salah satunya yaitu kolelitiasis
1
(batu empedu). Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di Negara barat sedangkan di indonesia baru mendapatkan perhatian klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai kluhan. Resiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relative kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. Batu empedu umumnya ditemukan didalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu disebut batu saluran empedu sekunder. Dinegara barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai saluran empedu. Pada eberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer didalam saluran empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien diwilayah asia dibandingkan dengan pasien dinegara barat. Perjalanan batu slauran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimptoatik.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan SLE (Sistemic Lupus Erythematosus)? 2. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan cholelitiasis?
1.3 Tujuan 1. Untuk
mengetahui konsep asuhan keperawatan SLE (Sistemic Lupus
Erythematosus). 2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan cholelitiasis.
2
1.4 Manfaat Manfaat penulisan yang penulis dapatkan dalam pembuatan makalah ini yaitu sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat wajib mengetahui dan mampu memahami konsep asuhan keperawatan SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) dan Cholelitiasis.
1.5 Metode Penulisan Dalam penyusunan makalah ini, metode yang penulis gunakan yaitu tinjauan pustaka dan media internet. Penulis mencari sumber dari berbagai media tersebut sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Asuhan
Keperawatan
Penyakit
SLE
(Sistemic
Lupus
Erythematosus) A. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan. Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
B. Etiologi Etiologi penyakit SLE yaitu: 1) Faktor Genetik Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang
memiliki
korelasi
dengan
SLE.
MHC
(Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA –
4
DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. 2) Faktor Imunologi a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal. c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan. 3) Faktor Hormonal
5
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini. 4) Faktor Lingkungan a. Infeksi virus dan bakteri Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah. c. Stress Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
6
d. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis
obat
yang
dapat
menyebabkan
DILE
diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazi C. Patofisiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain: faktor – faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reprodujtif). Dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat- obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniasid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat – obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
7
D. Pathway
Genetik, Kuman/Virus, Sinar Ultraviolet, Obat-Obatan Tertentu
Autoimun yang berlebihan
Autoimun menyerang organorgan tubuh (sel dan jaringan) Penyakit Lupus
Produksi antibody secara terus-menerus Mencetus inflamasi kulit organ
Kulit
Sendi
Darah
Gangguan integritas kulit
Artritis
Hb
Intoleransi aktivitas
Suplai O2/nutrien
Paru-paru
Efusi Pleura Pola nafas tidak efektif
Ginjal Protein Urinari Tubuh
Gangguan Tumbuh Kembang
ATP Keletihan
8
Hati Terjadi kerusakan sintesa yang dibutuhkan tubuh
Defisit nutrisi
E. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik SLE yaitu: 1) Pemeriksaan Laboratorium a. Tes Anti ds-DNA -
Batas normal
: 70 – 200 IU/mL
-
Negatif
: < 70 IU/mL
-
Positif
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman). Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA).
Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002). b. Tes Antinuclear antibodies (ANA) -
Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun
yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi
9
adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002). 2) Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002). 3) Pemeriksaan Penunjang a. Ruam kulit atau lesi yang khas b. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis c. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung d. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++ e. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah f. Biopsi ginjal g. Pemeriksaan saraf
10
F. Terapi Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE yaitu: 1) Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis. 2) Program Rehabilitasi Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. 3) Terapi Medikasi Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID (Non
Steroid
Anti-Inflamation
Drugs),
antimalaria,
steroid,
imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami. a. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs) NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
11
b. Kortikosteroid Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan
berat
badan,
penipisan
meningkatnya
resiko
infeksi
virus
kulit,
dan
osteoporosis,
jamur,
perdarahan
gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face. c. Antimalaria Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. d. Immunosupresan Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan
sistem
imun
tubuh.
Ada
beberapa
jenis
obat
immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.
12
G. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) yaitu: 1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan: a. Perubahan sirkulasi b. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan) c. Kekurangan/kelebihan volume cairan d. Penurunan mobilitas e. Bahan kimia iritatif f. Suhu lingkungan yang ekstrem g. Faktor mekanis (mis penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau faktor elektris (elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi) h. Efek samping dari radiasi i. Kelembaban j. Proses penuaan k. Neuropati perifer l. Perubahan pigmentasi m. Perubahan hormonal n. Kurang
terpapar
informasi
tentang
mempertahankan/melindungi integritas jaringan
Yang ditandai dengan: a. Gejala dan tanda mayor Subjektif: Objektif: -
Kerusakan jaringan dan atau lapisan kulit
b. Gejala dan tanda minor Subjektif: Objektif: -
Nyeri
-
Perdarahan
-
Kemerahan
-
Hematoma
13
upaya
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan: a. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen b. Tirah baring c. Kelemahan d. Imobilitasn e. Gaya hidup monoton
Yang ditandai dengan: a. Gejala dan tanda mayor Subjektif -
Mengeluh lelah
Objektif -
Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat
b. Gejala dan tanda minor Subjektif -
Dispnea saat/setelah aktivitas
-
Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
-
Merasa lemah
Objektif -
Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat
-
Gamabaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah aktivitas
-
Gambaran EKG menunjukkan iskemia
-
Sianosis
3) Keletihan berhubungan dengan: a. Gangguan tidur b. Gaya hidup monoton c. Kondisi fisiologis (mis penyakit kronis, penyakit terminal, anemia, malnutrisi, kehamilan) d. Program perawatan/pengobatan jangka panjang e. Peristiwa hidup negatif
14
f. Stres berlebihan g. Depresi
Yang ditandai dengan: a. Gejala dan tanda mayor Subjektif -
Merasa energi tidak pulih walaupun telah tidur
-
Merasa kurang tenaga
-
Mengeluh lelah
Objektif -
Tidak mampu mempertahankan aktivitas rutin
-
Tampak lesu
b. Gejala dan tanda minor Subjektif -
Merasa lelah akibat tidak mampu menjalankan tanggungjawab
-
Libido menurun
Objektif -
Kebutuhan istirahat meningkat
4) Pola nafas berhubungan dengan: a. Depresi pusat pernapasan b. Hambatan upaya nafas (mis. nyeri saat bernafas, kelemahan otot pernafasan) c. Deformitas dinding dada d. Deformitas tulang dada e. Gangguan neuromuskular f. Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram (EEG) positif, cedera kepala, gangguan kejang) g. Imaturitas neurologis h. Penurunan energi i. Obesitas j. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
15
k. Sindrom hipoventilasi l. Kerusakan inersi diafragma (kerusakan saraf C5 keatas) m. Cedera pada medula spinalis n. Efek agen farmakologis o. Kecemasan
Yang ditandai dengan: a. Gejala dan tanda mayor Subjektif : -
Dispnea
Objektif : -
Penggunaan otot bantu pernafasan
-
Fase kespirasi memanjang
-
Pola nafas abnormal (mis takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes)
b. Gejala dan tanda minor Subjektif: -
Ortopnea
Objektif : -
Pernafasan pursed-lip
-
Pernafasan cuping hidung
-
Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
-
Ventilasi emenit menurun
-
Kapasitas vital menurun
-
Tekanan ekspirasi menurun
-
Tekanan inspirasi menurun
-
Ekskursi dada berubah
5) Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan: a. Efek tidakmampuan fisik b. Keterbatasan lingkungan c. Inkonsistensi respon
16
d. Pengabaian e. Terpisah dari orang tua dan atau orang terdekat f. Difisiensi stimulus
Yang ditandai dengan : a. Gejala dan tanda mayor Subjektif : Objektif: -
Tidak mampu melakukan keterampilan atau perilaku khas sesuai usia (fisik, bahasa, motorik, psikososial)
-
Pertumbuhan fisik terganggua
b. Gejala dan tanda minor Subjektif : Objektif : -
Tidak mampu melakukan perawatan diri sesuai usia
-
Afek datar
-
Respon sosial lambat
-
Kontak mata terbatas
-
Nafsu makan menurun
-
Lesu
-
Mudah marah
-
Regresi
-
Pola tidu terganggu (pada bayi)
6) Defisit nutrisi tubuh berhubungan dengan: a. Ketidakmampuan menelan makanan b. Ketidakmampuan mencerna makanan c. Ketudakmampuan mengabsorbsi nutrien d. Peningkatan kebutuhan meabolisme e. Faktor ekonomi (mis finansial tidak mencukupi) f. Faktor psikologis (mis stres, keenggananuntuk makan)
17
Yang ditandai dengan: a. Gejala dan tanda mayor Subjektif: Objektif : -
Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
b. Gejala dan tanda minor Subjektif : -
Cepat kenyang setelah makan
-
Kram/nyeri abdomen
-
Nafsu makan menurun
Objektif: -
Bising usus hiperaktif
-
Otot pengunyah lemah
-
Otot menelan lemah
-
Membran mukosa pucat
-
Sariawan
-
Serum albumin turun
-
Rambut rontok berlebihan
-
Diare
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Penyakit Cholelitiasis A. Definisi Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk oleh colesterol, kalsium, bilirubinat atau campuran yang disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu ( Marlyn E Doengoes, 2000). Batu empedu adalah endapan satu atau lebih komponen empedu berupa kolesterol, bilirubin, garam-garam empedu, kalsium dan protein (Sylvia A Price,1998). Kolelitiasis adalah obstruksi pada saluran empedu (duktus koledukus) yang disebabkan oleh batu, yang kemudian menghambat aliran empedu dan menyebabkan proses inflamasi akut ( Susan Martin Tucker, 1998 ). Kolelitiasis adalah adanya batu empedu dan dapat langsung diteruskan dengan pembedahan eksplorasi ( Theodore R. Schorock, MC, 1995).
18
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011). Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung kolesterol lebih dari 80%. Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kolelitiasis adalah endapan satu atau lebih komponen empedu berupa kolesterol, bilirubin, garam-garam empedu, kalsium dan protein, yang kemudian menghambat aliran empedu dan menyebabkan proses inflamasi akut.
B. Etiologi Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu (Denis, 2005)
19
Menurut Lesmana (2000), Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain : 1) Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki) 2) Usia lebih dari 40 tahun 3) Kegemukan (obesitas) 4) Faktor keturunan 5) Aktivitas fisik 6) Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan) 7) Hiperlipidemia 8) Diet tinggi lemak dan rendah serat 9) Pengosongan lambung yang memanjang 10) Nutrisi intravena jangka lama 11) Dismotilitas kandung empedu 12) Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate) 13) Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu) 14) Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang Afrika)
C. Patofisiologi Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: pembentukan empedu yang supersaturasi, nukleasi atau pembentukan inti batu, dan berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol,
20
dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik. Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz S 2000). Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi. Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu ↓ Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase ↓ Presipitasi / pengendapan ↓ Berbentuk batu empedu ↓ Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
21
D. Pathway Penumpukan pigmen yang tidak terkonjungsi Pengendapan
F. hormon estrogen meningkat
infeksi
Penumpukan kolesterol di empedu
Inflamasi kantung empedu
Perubahan susunan kimia
Pemecahan kolesterol menurun
Aborsi empedu terganggu
Endapan
Perlambatan pengosongan kandung empedu
Stagnasi cairan empedu
Perubahan susunan kimia dan pegendapannya Empedu tidak mengalir dikandung empedu
TERBENTUK KANDUNG EMPEDU CHOLELITIASIS
Penyumbatan duktus sisticus Distensi kandung empedu Fundus empedu menyentuh dinding abdomen
Nyeri akut Peningkatan HCL Merangsang saraf simpatis Pengosongan lambung cepat Mual & muntah
Penyumbatan duktus koleduktus
Perlu dilakukan tindakan pembedahan
Obstruksi saluran empedu menuju duodenum
Ansietas
Aliran balik bilirubin ke pembuluh darah
Aborsi vit A,D,E,K terganggu Devisiensi vit A,D,E,K Mengganggu pembekuan darah
Akumulasi bilirubin dalam darah
Filtrasi pigmen empedu di ginjal
Bilirubin meningkat
Urine berwarna gelap
Kulit dan membran mukosa menjadi kuning
Pigmen empedu ke saluran pencernaan berkurang
Manifestasi: gatal Gangguan integritas kulit
Pewarnaan feses berkurang
Nafsu makan menurun Defisit nutrisi 22
Feses tampak kelabu/dempul (storhea)
Resiko perdarahan
E. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik kolelitiasis yaitu: 1) Ronsen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu. Akurasi pemeriksaannya hanya 15-20 %. Tetapi bukan merupakan pemeriksaan pilihan. 2) Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan Yaitu melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan syok septik. 3) ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi) Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.
F. Terapi Terapi yang dapat dilakukan pada kolelitiasis yaitu: 1) Ranitidin Komposisi : Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml injeksi. Indikasi : ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus duodenum, hiperekresi asam lambung ( Dalam kasus
23
kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik). Perhatian : pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil. 2) Buscopan (analgetik /anti nyeri) Komposisi : Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi Indikasi : Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita. Kontraindikasi : Glaukoma hipertrofiprostat. 3) Buscopan Plus Komposisi : Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg,. Indikasi : Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita. 4) NaCl -
NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida yang dimana kandungan osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh.
-
NaCl 3 % berisi Sodium Clorida / Natrium Clorida tetapi kandungan osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh
. G. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan Batu Empedu (cholelitiasis) yaitu: 1) Nyeri Akut berhubugan dengan: a. Agen Pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasa) b. Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bakan kimia iritan) c. Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
Yang ditandai dengan : a. Gejala dan tanda mayor Subjektif :
24
-
Mengeluh nyeri
Objektif : -
Tampak meringis
-
Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)
-
Gelisah
-
Frekuensi nadi meningkat
-
Sulit tidur
b. Gejala dan tanda minor Subjektif : Objektif : -
Tekanan darah meningkat
-
Pola nafas berubah
-
Nafsu makan berubah
-
Proses berfikir terganggu
-
Menarik diri
-
Berfokus pada diri sendiri
-
Diaforesis
2) Defisit Nutrisi berhubungan dengan: a. Ketidakmampuan menelan makanan b. Ketidakmampuan mencerna makanan c. Ketidakmampuan mengasobsi nutrient d. Peningkatan kebutuhan metabolism e. Faktor ekonomi (mis. Finansial tidak mencukupi) f. Faktor fisikologis (mis. Stres, keengganan untuk makan)
Yang ditandai dengan: a. Gejalan dan tanda mayor Subjektif : Objektif : -
Berat badan menurun min 10% dibawah rentang ideal
b. Gejala dan tanda minor
25
Subjektif : -
Cepat kenyang setelah makan
-
Kram atau nyeri abdomen
-
Nafsu makan menurun
Objektif : -
Bising usus hiperaktif
-
Otot pengunyah lemah
-
Otot menelan lemah
-
Membran mukosa pucat
-
Sariawan
-
Serum albumin turun
-
Rambut rontok berlebihan
-
Diare
3) Gangguan integritas kulit atau jariangan berhubungan dengan: a. Perubahan sirkulasi b. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekuarangan) c. Kelebihan atau kekurangan volume cairan d. Penurunan mobilitas e. Bahan kimia iritatif f. Suhu lingkungan yang ekstrem g. Faktor mekanis (mis. Penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau faktor elektris (elektordiatermi, energi listrik bertegangan tinggi) h. Efek samping radiasi i. Kelembaban j. Proses penuaan k. Neuropati perifer l. Perubahan pigmentasi m. Perubahan hormonal n. Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan atau melindungi integritas jaringan
26
Yang ditandai dengan: a. Gejala dan tanda mayor Subjektif : Objektif : -
Kerusakan jaringan dan / atau lapisan kulit
b. Gejala dan tanda minor Objektif : -
Nyeri
-
Perdarahan
-
Kemerahan
-
Hematoma
4) Ansietas berhubungan dengan: a. Krisi situasional b. Kebutuhan tidak terpenuhi c. Krisis maturasional d. Ancaman terhadap konsep diri e. Ancaman terhadap kematian f. Kekhawatiran mengalami kegagalan g. Disfungsi sistem keluarga h. Hubungan orang tua anak tidak memuaskan i. Faktor keturunan (tempramen mudah teragitasi sejak lahir) j. Penyalahgunaan zat k. Terpapar bahaya lingkungan (mis. Toksin, polutan, dll) l. Kurang terpapar informasi
Yang ditandai dengan : a. Gejala dan tanda mayor Subjektif : -
Merasa bingung
-
Merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
-
Sulit berkonsentrasi
27
Objektif : -
Tampak gelisah
-
Tampak tegang
-
Sulit tidur
b. Gejala dan tanda minor Subjektif : -
Mengeluh pusing
-
Anoreksia
-
Palpitasi
-
Merasa tidak berdaya
Objektif : -
Frekuensi nafas meningkat
-
Frekuensi nadi meningkat
-
Tekanan darah meningkat
-
Diaforesis tremor
-
Muka tampak pucat
-
Suara bergetar
-
Kontak mata buruk
-
Sering berkemih
-
Berorientasi pada masa lalu
5) Risiko perdarahan berhubungan dengan: a. Aneorisma b. Gangguan gastrointestinal (mis. Ulkus lambung, polip, varises) c. Gangguan fungsi hati (mis. Sirosis hepatitis) d. Komplikasi kehamilan (mis. Ketuban pecah sebelum waktunya, plasenta vrefial atau abrupsio, kehamilan kembar) e. Komplikasi pasca partum (mis. Atoni uterus, retensi plasenta) f. Gangguan koagulasi (mis. Trombositopenia) g. Efek agen farmakologis h. Tindakan pembedahan i. Trauma
28
j. Kurang terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan k. Proses keganasan
29
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan. Adapun beberapa penyebab dari lupus yaitu faktor genetik, faktor imunologi (antigen, kelainan intrinsik sel T dan sel B, kelainan antibodi), faktor hormonal, serta faktor lingkungan (infeksi virus dan bakteri, paparan sinar ultra violet, stress, obat-obatan). Kolelitiasis adalah endapan satu atau lebih komponen empedu berupa kolesterol, bilirubin, garam-garam empedu, kalsium dan protein, yang kemudian menghambat aliran empedu dan menyebabkan proses inflamasi akut.
3.2 Saran Karena setiap hari kita hidup dilingkungan yang selalu dikelilingi oleh berbagai ancaman bibit penyakit maka memiliki dan memelihara sistem imun yang sehat dan optimal menjadi sangat penting.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anwarawati
Fitria.
Batu
Empedu
atau
Kolelitiasis.
Tersedia
pada
:
https://www.academia.edu/16712056/BATU_EMPEDU_atau_KOLE LITIASIS . Diakses pada Jumat, 29 Maret 2019. Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta : EGC Happy
Ester.
Pathway
Colelitiasis.
Tersedia
pada
:
https://id.pdfcoke.com/doc/93551158/PATHWAY-COLELITIASIS
.
Diakses pada Jumat, 29 Maret 2019. Gessel Chiiarru. Makalah imunhema systemis lupus erythematosus (sle). Tersedia pada
:
https://www.academia.edu/9254205/makalah-
_imunhema_systemis_lupus_erythematosus_sle_
.
Diaskes
pada
Jumat, 29 Maret 2019. Price A. Sylvia, lorraine M Wilson.2005. Patofisiologi konsep-konsep klinis proses-proses
penyakit, edisi 6, volume 1. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
31