MAKALAH KIMIA LINGKUNGAN
PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG KEPITING SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN KAPSUL OBAT Halaman Sampul Diusulkan oleh: MUHAMMA FAJAR
F1C1 16 026
ABDUL HARIS
F1C1 16 079
WAHYUNI MIA LESTARY
F1C1 16 044
YUSRIFAH KABORA
F1C1 16 068
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya berupa nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah Kimia Lingkungan yang berjudul “Pemanfaatan Limbah Cangkang Kepiting Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kapsul Obat ” ini membahas mengenai bagaimana pemanfaatan limbah cangkang kepiting. Terlepas dari itu, penulis menyadari adanya kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan untuk perkembangan makalah di edisi selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... 1 KATA PENGANTAR .......................................................................................... 3 DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2
Rumusan Masalah .................................................................................... 7
1.3
Tujuan ....................................................................................................... 2
1.4
Manfaat ..................................................................................................... 7
BAB II. PEMBAHASAN 2.1
Cangkang Kepiting ................................................................................... 3
2.2
Kitosan...................................................................................................... 3
2.3
Kapsul Obat
2.4
Metode Microwave ................................................................................... 5
2.5
Preparasi Sampel ...................................................................................... 7
2.6
Isolasi Kitin .............................................................................................. 7
2.7
Deasetilasi ................................................................................................ 7
2.8
Pembuatan Glukosamin Hidroklorida ...................................................... 7
2.9
Pembuatan Kapsul Obat ........................................................................... 7
4
BAB III. PENUTUP …………………………………………………………………….8 3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………….8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 8
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai macam tipologi habitat serta keanekaragaman biota yang tinggi. Salah satu bentuk ekosistem pesisir Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan sumberdaya perairan yang memiliki karakteristik yang khas. Hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan dan pembesaran (nursery ground) berbagai spesies komersial baik ikan maupun udang, kepiting serta habitat berbagai jenis fauna seperti burung, ular dan lainlain. Melimpahnya kekayaan alam itu membuat banyak dikonsumsi dimasyarakat seperti kepiting. Pemanfaatan kepiting dimasyarakat menimbulkan adanya limbah cangkang kepiting yang banyak dibuang karena masyarakat tidak mengetahui cara mengolah limbah tersebut. Cangkang kepiting banyak mengandung kitin yang mencapai 18,70-32,20%. Senyawa kitin yang dapat bernilai ekonomis tinggi jika dimanfaatkan menjadi senyawa kitosan. Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang misalnya bidang pangan, mikrobiologi, pertanian, kesehatan, dan farmasi. Kitosan adalah turunan kitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi dan dapat ditemukan pada exoskeleton dari krpiting Crustasea. Kitosan adalah polisakarida dengan rumus umum (C6H11NO4)n atau β-(1-4)-2-amino-2deoksi-D-glucopyranosa. Secara biologi, kitosan aman karena memiliki sifat biokompatibel dan biodegradasi yaitu dapat terurai di alam dan telah
diaplikasi dalam bidang kedokteran gigi, misal penyembuhan luka, regenerasi jaringan, dan bahan hemostatik. Kapsul merupakan bentuk sediaan padat yang mengandung bahan aktif, baik berupa cairan, serbuk, maupun granul, dalam cangkang lunak maupun keras untuk diberikan peroral (Gunsel, 1976). Bentuk sediaan obat yang beredar di pasaran 10% berupa kapsul (Augsburger, 1990). Cangkang kapsul yang licin dapat mempermudah pasien menelan obat. Selain itu, cangkang kapsul juga dapat menutupi rasa dan bau yang tidak menyenangkan dari obat, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat (Agrawal, 2007). Kapsul obat banyak dimanfatkan dalam kehidupan sehari hari dalam bidang farmasi dan kedokteran. Kapsul obat merupakan suatu bentuk sediaan yang umum digunakan dan telah diperkirakan sekitar 60 miliar cangkang kapsul digunakan setiap tahun untuk produk farmasi. Bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan kapsul pada industri farmasi yaitu gelatin. Namun kekurangan gelatin yang sering digunakan banyak memiliki permasalahan. Data dari Gelatin Manufacturers of Europe pada tahun 2005, produksi gelatin dunia terbesar berasal dari bahan baku kulit babi yakni 44,5% (136.000 ton), kedua dari kulit sapi 27,6% (84.000 ton), ketiga dari tulang 26,6% (81.000 ton) dan sisanya berasal dari selainnya 1,3% (4.000 ton) (Harianto dkk, 2008). Data menunjukkan sebagian besar gelatin berasal dari sapi dan babi, hal tersebut membatasi konsumen vegetarian, Muslim, Yahudi, dan Hindu yang tidak dapat mengkonsumsinya (Fonkwe dkk, 2005). Asal bahan baku geatin tersebut juga memiliki risiko kontaminasi virus yang menyebabkan penyakit bovine spongiform encephalopathy (BSE), foot and mouth
disease (FMD), dan swine infl uenza (Eveline dkk, 2011). Ku dkk, (2010) menyatakan bahwa kapsul gelatin memiliki beberapa kekurangan antara lain memiliki reaktivitas terhadap komponen pengisi, terdapat interaksi dengan polimer anion dan kation. Kekurangan lain dari kapsul gelatin yaitu kelarutan gelatin dalam air mengurangi pelepasan obat lambat dari penghancuran cangkang kapsul. Dari permasalahan tersebut maka digunakan cangkang kepiting sebagai sumber kitosan sebagai pengganti gelatin pada kapsul obat. Metode yang digunakan dalam proses pembuatan kitosan meliputi 3 tahap, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup. Proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan kitin, sedangkan proses deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Yunizal dkk, 2001). Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul khitin. Dari proses tersebut membutuhkan waktu yang lama sehingga untuk mempersingkat waktu maka menggunakan metode microwave. Kelebihan dari microwave antara lain waktu startup yang cepat, pemanasan yang lebih cepat, efisiensi energi dan biaya proses, pengawasan proses yang mudah dan tepat, pemanasan yang selektif dan mutu produk akhir yang lebih baik.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana teknik pembuatan kapsul obat bahan dasar cangkang kepiting berbasis metode microwave? 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu metode dalam pembuatan kapsul obat bahan dasar cangkang kepiting berbasis metode microwave. 1.4 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah mampu mengembangkan metode microwave dalam pembuatan kapsul obat serta menunjang program riset penelitian pada tugas akhir sekaligus menambah wawasan kepada masyarakat tentang pembuatan kapsul obat.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Cangkang Kepiting Kepiting merupakan salah satu komoditas penting perikanan Indonesia. Pengolahan daging kepiting baik untuk diekspor maupun konsumsi dalam negeri menghasilkan limbah cangkang (kaki dan kepala). Limbah ini belum dimanfaatkan dengan baik bahkan sebagian besar merupakan limbah yang juga turut mencemari lingkungan (Anonim, 2005). Padahal 20-30% limbah tersebut mengandung senyawa kitin yang dapat bernilai ekonomis tinggi jika dimanfaatkan menjadi senyawa kitosan (Setyawati dkk, 2012). Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang bernilai ekonomis penting adalah kepiting bakau (Scylla serrata). Produksi kepiting di Indonesia meningkat setiap tahunnya terutama dalam bentuk produk kaleng dengan jumlah produksi 4.000 ton per tahun. Ekspor kepiting dan rajungan tahun 2012 mencapai 28.212 ton dengan nilai US$ 329,7 juta meningkat menjadi 34.173 ton dengan nilai US$ 359,3 juta pada tahun 2013. Tahun 2014, volume ekspor rajungan dan kepiting telah mengalami peningkatan menjadi 28.091 ton dengan nilai US$ 414,3 juta. Kondisi ini, menyebabkan peningkatan limbah yang dihasilkan produk kepiting terutama limbah padat berupa cangkang kepiting. Data menunjukkan bahwa 1.000 ton limbah cangkang kepiting dihasilkan per tahun (Trisnawati dkk, 2013). Berkembangnya usaha budidaya kepiting, baik kepiting cangkang keras maupun cangkang lunak menuntut inovasi teknologi yang sifatnya aplikatif, sehingga dapat
mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam usaha pembudidayaannya. Salah satu terobosan penting yang telah dilakukan oleh Fujaya dkk. (2007) adalah ditemukannya stimulan molting yang berasal dari ekstrak bayam (Aslamyah, 2010). Cangkang dari eksoskeleton arthropoda (kepiting), insekta, alga, dinding sel fungi, dan yeast merupakan sumber kitin, namun sumber bahan baku yang sering digunakan untuk sintesis kitin adalah cangkang kepiting (Afriani dkk, 2016). Ekspor kepiting (umumnya kaleng) sekitar 4.000 ton per tahun, dan menghasilkan hasil samping produksi yang banyak. Hasil samping berupa kepala, kulit, maupun kaki kepiting umumnya mencapai 25%-50% dari berat bahan baku, dan berpotensi diolah menjadi kitin (Mursida dkk, 2018). 2.2 Kitosan
Gambar 1. Struktur Kimia Kitosan Kitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida kitin. Kitosan mempunyai nama kimia poli D-glukosamin( β (14) 2-amino-2-deoksiD-glukosa), bentuk kitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin murni. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang (Nurhikmawati dkk, 2014).
Kitosan merupakan biopolymer alami yang menarik disebabkan adanya gugus amino reaktif dan grup fungsional hidroksil. Kitosan memiliki karakteristik biokompatibilitas permeabilitas
yang
membran.
diinginkan Oleh
serta
kemampuan
karenanya
kitosan
untuk
meningkatkan
merupakan
salah
satu matriks imobilisasi yang paling menjanjikan karena memiliki kemampuan membentuk membran, sifat adhesi yang baik, harga murah, tidak beracun, kekuatan mekanis dan hidrofilisitas yang tinggi serta perbaikan stabilitas (Nakom, 2008; Erdawati, 2008). Sumber utama untuk produksi kitosan adalah kitin dan bahan baku yang digunakan untuk mengolahnya tersedia dalam jumlah yang cukup melimpah di Indonesia, terutama cangkang kepiting dan rajungan serta kulit udang (Kurniasari, 2016). Menurut Tiyaboonchai (2003) kitosan adalah suatu polimer dari sakarida. Kitosan diperoleh dari proses deasetilasi kitin. Proses ini bertujuan untuk merubah gugus asetamida pada kitin menjadi gugus amina sehingga akan meningkatkan reaktivitasnya. Secara umum deasetilasi kitin dilakukan menggunakan metode kimiawi. Prosesnya membutuhkan larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi, suhu tinggi dan waktu yang lama. Sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk membuat proses produksi berjalan lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal dan waktu yang lebih singkat. Inovasi teknologi yang digunakan untuk proses deasetilasi kitin berbasis limbah cangkang udang adalah dengan memanfaatkan gelombang mikro (microwave) (Zaeni dkk, 2017). 2.3 Kapsul obat
Kapsul berasal dari bahasa latin “capsula” yang artinya wadah kecil. Dalam ilmu farmasi, kapsul merupakan wadah kecil untuk melindungi obat. Kapsul termasuk bentuk sediaan padat yang dapat diisikan obat atau zat kimia yang berbentuk serbuk, granul, pasta, atau cair. Berdasarkan elastisitas dan komponen pembentukannya, kapsul dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu kapsul keras (dua cangkang) dan kapsul lunak (satu cangkang). Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cangkang kapsul keras dan cangkang kapsul keras dan cangakang kapsul lunak pada umumnya sama yaitu gelatin, air, dan pewarna. Namun yang membedakan adalahbahantambahan lainnya dan cara pembuatannya. Selain terbuat dari gelatin, kapsul dapat terbuat dari HPMC, PVA, dan Starch (rabadiya, 2013). Cangkang kapsul pada umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang bersifat hidrokoloid (Ravindra dkk, 2012). Pada produk pangan, gelatin dapat dimanfaatkan sebagai bahan penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengemulsi (emulsifier), dan pembungkus makanan yang bersifat dapat dimakan (edible film). Gelatin juga dimanfaatkan dalam industri non pangan seperti industri pembuatan film dan industri farmasi (seperti produksi kapsul lunak, cangkang kapsul, dan tablet) (Poppe, 1992). Sumber bahan baku gelatin dapat berasal dari babi, sapi, dan ikan. Jumlah penggunaan gelatin yang cukup besar diberbagai macam industry menyebabkan kebutuhan akan gelatin nasional semakin meningkat dari tahun ke tahun (Said, 2011). Jumlah gelatin terbanyak diproduksi dari kulit babi dan turunannya yakni mencapai (46%), kulit sapi sebanyak (29,4%), tulang sapi sebanyak (23,1%), dan yang berasal dari sumber lain sebanyak (1,5%) yang berupa polipeptida,
lemak, dan polisakarida (Karim dan Bhat, 2008). Data ini menunjukkan bahwa gelatin yang diekstrak dari babi masih mendominasi pasaran dunia. Dalam skala dunia, 80% obat impor menggunakan cangkang kapsul yang terbuat dari gelatin babi. Cangkang kapsul berbahan baku gelatin babi memiliki harga jual yang lebih murah dibandingkan cangkang kapsul dari gelatin sapi. Perbedaan harga jual bahan baku gelatin inilah yang menjadikan alasan banyaknya produsen obat yang lebih memilih menggunakan cangkang kapsul gelatin babi dibandingkan cangkang kapsul gelatin sapi (Gadri dkk, 2012). Cangkang kapsul dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cangkang lunak dan cangkang keras (Karteek, 2011). Komponen utama cangkang tersebut adalah gelatin. Gelatin merupakan protein yang dihasilkan dari proses hidrolisis parsial jaringan kolagen yang dapat diekstraksi dari kulit, jaringan konektif, dan tulang hewan ternak, termasuk ikan dan unggas (USP34, 2011). Hewan yang sering digunakan adalah babi, sapi, dan ikan (GMIA, 2012). Campuran tulang dan kulit babi mampu menghasilkan kapsul kualitas terbaik dibanding formula lain. Gelatin tulang babi menghasilkan karakteristik kapsul dengan lapisan film kencang dan tidak mudah rapuh, sedangkan gelatin kulit babi memberikan karakteristik kapsul yang jernih, sehingga formula campuran tersebut menghasilkan kapsul kualitas tinggi (Agrawal, 2007). 2.4 Metode Microwave Microwave merupakan metode alternatif untuk pemanas konvensional dan metode ini telah banyak digunakan karena efisiensi pemanasan tinggi dan pengoperasian yang mudah. Keuntungan dari teknologi berbasis microwave yaitu dapat membantu
pengurangan proses kebutuhan energi, seragam dan pengolahan selektif dan kemampuan untuk memulai dan menghentikan proses seketika (Ingole, 2015). Microwave didefinisikan sebagai gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang vakum dengan rentang yang digunakan antara 0,1 sampai 100 cm, atau ekivalen dengan frekuensi antara 0,3 -300 GHz. Microwave domestik dan industri umumnya dioperasikan dengan 2,45 GH dengan panjang gelombang 12,2 cm dan energi 1.02 x 10-5 eV. Area spektra elektromagnetik irradiasi microwave berada antara radiasi infra merah dan gelombang radio (Zaeni dkk, 2017). 2.5 Preparasi Sampel Preparasi Limbah cangkang kepiting dibersihkan dari sisa kotoran dan daging udang yang tertinggal pada kulit, selanjutnya dijemur dan dihancurkan menjadi serbuk halus. 2.6 Isolasi kitin Isolasi kitin dilakukan sesuai metoda yang meliputi tahap: 1. Deproteinasi: cangkang kepiting timbang kemudian tambahkan larutan natrium hidroksida (NaOH) 3,5% (v/v) dengan perbandingan 1:10 (b/v), dimasukan kedalam microwave selama 15 menit dengan daya 100 watt. 2. Demineralisasi: sampel hasil deproteinasi kemudian didemineralisasi dengan menggunakan larutan asam klorida (HCl) 1,0 M dengan perbandingan 1:10 (b/v) diaduk selama 1 jam dalam suhu ruang.
3. Dekolorisasi: setelah proses demineralisasi lalu dilakukan proses penghilangan warna dengan menggunakan pelarut aseton 1:5 (b/v) didiamkan pada suhu ruang. 2.7 Deasetilasi (Pembuatan Kitosan) Kitin ditimbang kemudian ditambahkan larutan natrium hidroksida (NaOH) konsentrasi 50% perbandingan (1:20 w/v). Campuran dimasukkan dalam microwave pada daya 450 Watt. Reaksi deasetilasi dilakukan selama 3, 7, 11 dan 15 menit. Kitosan dicuci hingga pH netral kemudian dikeringkan. 2.8 Pembuatan Glukosamin Hidroklorida Kitosan hasil deasetilasi microwave ditimbang. Kemudian dilarutkan dalam asam klorida. Hidrolisis dilakukan pada suhu 90oC. Hidrolisis dilanjutkan dengan proses sentrifugasi larutan glukosamin hidroklorida dengan kecepatan 6.000 rpm selama 15 menit. Larutan kemudian disaring untuk memisahkan zat pengotor yang mengendap pada dasar tabung. Larutan yang telah disaring kemudian didiamkan sampai terbentuk kristal. Dan kristal yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan etanol. Karakterisasi Glokusamin Hidroklorida dengan FTIR dilakukan terhadap sampel cangkang kepiting yang diperoleh melalui hidrolisis menggunakan microwave untuk melihat gugus fungsi yang terkandung di dalamnya 2.9 Pembuatan kapsul obat Proses pencetakan cangkang kapsul dilakukan dengan menggunakan cetakan kapsul modifikasi. Alat cetak (pin) dicelup ke dalam adonan yang dibuat sebelumnya selama 3 detik dengan suhu konstan 45OC. Pin diangkat dari adonan kemudian
ditempatkan pada posisi terbalik dan diangin-anginkan pada suhu ruangan selama 10 menit. Pin kemudian dikeringkan dalam oven suhu 55OC selama 2 jam hingga adonan mengering. Adonan yang telah mengering pada pin ditarik hingga terbentuk produk cangkang kapsul. Cangkang kapsul yang terbentuk selanjutnya dipotong untuk memperoleh dimensi yang seragam. Karakterisasi karagenan komersial (pengukuran kadar air dan kadar abu (AOAC 2005), kadar sulfat (FMC Corp. 1977) dan pengukuran viskositas (FAO 2007) serta penentuan konsentrasi karagenan yang digunakan untuk pembuatan cangkang kapsul. Konsentrasi yang dicoba sebagai penelitian pendahuluan sebelum menentukan konsentrasi karagenan untuk pembuatan cangkang kapsul yaitu dari konsentrasi 1; 1,5; 2; 2,5 dan 3% (b/v). Hasil analisis menunjukkan konsentrasi 3% (b/v) memiliki film yang lebih baik dibandingkan konsentrasi lainnya, sehingga pada penelitian utama konsentrasi yang digunakan dimulai dari konsentrasi 3, 4, 5, dan 6% (b/v). Cangkang kapsul akan diuji terhadap bobot, kadar air, kadar abu, pH, ketahanan dalam air, kelarutan dan kelenturan. Dan juga dilakukan karakterisasi SEM untuk megetahui ukuran pori pada kapsul obat.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsentrasi kitin yang berbeda-beda. Prosesnya membutuhkan larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi, suhu tinggi dan waktu yang lama. Sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk membuat proses produksi berjalan lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal dan waktu yang lebih singkat. Inovasi teknologi yang digunakan untuk proses deasetilasi kitin berbasis limbah cangkang kepiting adalah dengan memanfaatkan gelombang mikro sehingga pembuatan kabsul obat bisa dipercepat pembuatannya.
DAFTAR PUSTAKA Anas, Ajwar., Sukainil Ahzan dan Dwi Sabda Budi P. 2015. Pembuatan Filter Penangkap Emas (Au) Menggunakan Kitin Dan Kitosan Dari Cangkang Kepiting. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika “Lensa”. 2(5). Ingole, M. A. D. 2015. Application Potential for Developments in Microwave Oven Systems. SSRG International Journal of Electrical and Electronics Engineering. 2(3). Mursida, Tasir, Sahriawati. 2018. Efektifitas larutan alkali pada proses deasetilasi dari berbagai bahan baku kitosan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 21(2): 358-368. Parveen, Rina., Siva P., Reshma Fathima K., Anjali Rarichan. 2017. Review On Cap– In-Cap Technology–A Recent Innovation. Asian Journal of Pharmaceutical Research. 7(1). Purnama, D.S. dan Ira M A. 2015. Pemafaatan Kulit Udang dan Cangkang Kepiting sebagai Bahan Baku Kitosan. Jurnal Harpodon Borneo. 8(2). Zaeni, M., Endang S dan I Nyoman S. 2017. Pembuatan Glukosamin Hidroklorida dari Cangkang Udang dengan Energi Microwave. Jurnal Aplikasi Fisika. 13(1). Zaeni, A., Badrotul F dan I Nyoman S. 2017. Efek Microwave pada Proses Deasetilasi Kitin dari Limbah Cangkang Udang. Jurnal Aplikasi Fisika. 13(2).