MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF
Disusun oleh: Abdul Karim NIM. P07220318002
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan makalah Keperawatan Paliatif dapat saya selesaikan. Shalawat beriring salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang istiqamah di jalan-Nya hingga akhir zaman. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar Keperawatan Paliatif. Selain itu, agar pembaca dapat memperluas ilmu yang berkaitan dengan judul makalah, yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber dan hasil kegiatan yang telah dilakukan. saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, terutama kepada dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Dan saya menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran dan kritik agar lebih baik lagi untuk ke depannya.
Samarinda, Januari 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 20 A. Latar Belakang ........................................................................................... 20 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 22 C. Tujuan ........................................................................................................ 23 D. Manfaat ...................................................................................................... 23 E. Sistematika Penulisan ................................................................................ 24 BAB II TELAAH PUSTAKA .............................................................................. 25 A. Konsep Dasar Keperawatan Paliatif........................................................... 25 B. Konsep Asuhan Keperawatan Paliatif ........................................................ 36 C. Diagnosa Keperawatan Yang Lazim Ditemukan Pada Pasien Paliatif ...... 39 D. Asuhan Keperawatan Paliatif dengan Gagal Ginjal Kronik ...................... 49 E. Konsep Terapi Komplementer ................................................................... 66 F.
Klasifikasi Terapi Komplementer .............................................................. 66
G. Hubungan Terapi Komplementer pada Keperawatan Paliatif ................... 73 BAB III PENUTUP .............................................................................................. 76 A. Kesimpulan ................................................................................................ 76 B. Saran ........................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perawatan paliatif adalah pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa hingga akhir kehidupan pasien (WHO, 2012). Perawatan paliatif ini ditujukan untuk orang yang menghadapi penyakit yang belum dapat disembuhkan seperti penyakit gagal ginjal kronik, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS (Kemenkes, 2007). Pemberian pelayanan perawatan paliatif dilakukan oleh tim paliatif yang terdiri dari dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog, konselor spiritual (rohaniawan), relawan, apoteker, ahli gizi dan profesi lain yang terkait dan fokus pendekatannya adalah kepada pasien dan keluarga (Kemenkes, 2007). Peranan tim paliatif diantaranya yaitu memberikan dukungan pada pasien dan keluarga, menyediakan dan meningkatkan manajemen gejala fisik dan emosional, melakukan kolaborasi untuk memenuhi kebutuhan pasien serta memberikan informasi mengenai prognosis penyakit pasien (Innes S, 2007). Perawatan paliatif ini diberikan pada pasien rawat inap, rawat jalan, maupun kunjungan/rawat rumah yang tujuannya adalah untuk mencegah
dan
meringankan
penderitaan,
memperpanjang
umur,
meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan dukungan kepada keluarga. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal pasien siap secara psikologis dan spiritual. Pelayanan paliatif terdiri dari pelaksanaan identifikasi dini, pengobatan nyeri dan masalah-
20
masalah lain baik fisik, psikososial dan spiritual dan pelayanan masa dukacita bagi keluarga melalui pendekatan tim interdisiplin. Pelayanan perawatan paliatif yang diberikan memiliki beberapa aspek yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Aspek fisik dalam perawatan meliputi pemberian asuhan terhadap reaksi patofisiologis seperti nyeri, gejala lain dan efek samping yang dialami pasien. Aspek sosial dalam perawatan yaitu memberikan pemahaman kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan komplikasinya, gejala, efek samping dari pengobatan seperti kecacatan yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal, kapasitas pasien untuk menerima dan kapasitas keluarga untuk menyediakan kebutuhan perawatan. Aspek psikologis yaitu memberikan asuhan terhadap reaksi seperti depresi, stress, kecemasan, serta pelayanan terhadap proses berduka dan kehilangan. Aspek spiritual dalam perawatan meliputi pemberian asuhan terhadap masalah keagamaan seperti harapan dan ketakutan, makna, tujuan, kepercayaan tentang kehidupan setelah kematian, rasa bersalah, pengampunan dan kehadiran rohaniawan sesuai keinginan pasien dan keluarga (Kemenkes, 2007). Data kasus paliatif berdasarkan prevalensi WHO tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 29 miliar kasus paliatif sebanyak 20,4 miliar kasus membutuhkan pelayanan paliatif ( WHO, 2012). Pelaksanaan perawatan paliatif di Eropa mulai digalakkan sejak tahun 2005, walaupun saat itu sebagian rumah sakit di Eropa tidak memiliki tim paliatif rumah sakit. Pelaksana perawatan paliatif kemudian dilakukan sendiri oleh klinisi yang sudah mengikuti pelatihan. Penerapan perawatan paliatif tersebut dilaporkan dapat meningkatkan mutu perawatan akhir hayat pasien dan memberi keuntungan bagi pasien, keluarga dan klinis. Perawatan paliatif di Indonesia sudah berkembang sejak tahun 1992 dan kebijakan perawatan paliatif telah diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan RI No. 812, tertanggal 19 Juli 2007. SK tersebut merupakan suatu instruksi resmi yang diberikan kepada seluruh institusi pelayanan kesehatan di Indonesia untuk mengembangkan layanan
21
perawatan paliatif di tempat masing-masing. Beberapa rumah sakit yang sudah memberikan pelayanan perawatan paliatif, yaitu hanya ada di 5 kota besar yaitu DKI Jakarta (RSCM dan RS Gagal ginjal kronik Dharmais), DIY (RS Dr. Sardjito), Surabaya (RSUD Dr. Soetomo), Denpasar (RS Sanglah) dan Makassar (RS Wahidin Sudirohusodo). Pelaksanaan perawatan paliatif di RS Dr. Soetomo sudah berjalan dengan baik. Bahkan pada tanggal 15 Mei 2010 telah dideklarasikan secara resmi Surabaya sebagai kota paliatif pertama di Indonesia. Perawatan paliatif yang diberikan berupa perawatan paliatif rawat jalan (poliklinik), rawat inap, rawat rumah (home care), day care, dan respite care. Tenaga kesehatan yang berperan juga telah mendapat pelatihan mengenai perawatan paliatif. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik sangat membutuhkan perawatan paliatif karena gagal ginjal kronik adalah penyakit yang perkembangannya cepat dan butuh waktu perawatan yang panjang. Pasien gagal ginjal kronik beresiko tinggi mengalami kematian terlebih jika kondisi prognosis yang semakin buruk. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Tejawinata dan Razak pada tahun 2012, yang menggunakan target populasi pasien gagal ginjal kronik dengan stadium lanjut dalam perawatan paliatif yang dititikberatkan pada penanganan gejala saat periode end-of-life. Menurut penelitian Effendy et al pada tahun 2014, di beberapa rumah sakit di Indonesia mengidentifikasi bahwa pasien gagal ginjal kronik mengalami banyak masalah terkait pemenuhan kebutuhan dasar. Masalah finansial, otonomi dan psikososial juga dialami keluarga yang terlibat dalam perawatan pasien gagal ginjal kronik di rumah sakit. Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk membuat makalah tentang keperawatan paliatif.
B. Rumusan Masalah Bagaimana konsep dasar keperawatan paliatif, asuhan keperawatan dalam keperawatan paliatif, asuhan keperawatan paliatif dengan gagal
22
ginjal kronik dan konsep dasar komplementer serta bentuk-bentuk terapi komplementer?
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir berbagai konsep dasar keperawatan paliatif, asuhan keperawatan dalam keperawatan paliatif, asuhan keperawatan paliatif dengan gagal ginjal kronik dan konsep dasar komplementer serta bentuk-bentuk terapi komplementer. 2. Tujuan Khusus Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang: a. Konsep dasar keperawatan paliatif b. Asuhan keperawatan dalam keperawatan paliatif c. Asuhan keperawatan paliatif dengan gagal ginjal kronik d. Konsep
dasar
komplementer
dan
bentuk-bentuk
terapi
komplementer
D. Manfaat 1. Bagi Penulis Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan dalam penerapan konsep dasar keperawatan paliatif, asuhan keperawatan dalam keperawatan paliatif, asuhan keperawatan paliatif dengan gagal ginjal kronik dan konsep dasar komplementer serta bentuk-bentuk terapi komplementer. 2. Bagi Institusi Pelayanan Menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan terutama dalam keperawatan paliatif. 3. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan
23
asuhan keperawatan melalui konsep dasar keperawatan paliatif, asuhan keperawatan dalam keperawatan paliatif, asuhan keperawatan paliatif dengan gagal ginjal kronik dan konsep dasar komplementer serta bentuk-bentuk terapi komplementer.
E. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I
: Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan.
Bab II
: Berisi telaah pustaka yang terdiri dari konsep dasar keperawatan
paliatif,
asuhan
keperawatan
dalam
keperawatan paliatif, asuhan keperawatan paliatif dengan
gagal
ginjal
komplementer
serta
kronik
dan
konsep
bentuk-bentuk
dasar terapi
komplementer. Bab III
: Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
24
BAB II TELAAH PUSTAKA A. Konsep Dasar Keperawatan Paliatif 1. Pengertian Kata “palliative” berasal dari bahasa latin yaitu “pallium” yang artinya adalah menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi atau menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan kenyamanan ketika tujuan penatalaksanaan tidak mungkin disembuhkan (Muckaden, 2011). Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan orang lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan atau berduka serta bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa (Nendra, 2011) Pengertian perawatan paliatif menurut Cancer Council Australia adalah perawatan yang membantu pasien menjalani hidup senyaman dan sebaik mungkin dengan penyakit terminal yang dialami. Perawatan paliatif diberikan pada tahap apapun saat fase aktif gagal ginjal kronik (Cancer Council Australia, 2017). Menurut American Cancer Society, perawatan paliatif adalah perawatan untuk dewasa dan anak dengan penyakit serius yang berfokus mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien serta keluarga, tetapi tidak dimaksud untuk menyembuhkan penyakit. Perawatan paliatif dapat diberikan kepada semua usia dan semua stadium panyakit dengan mengurangi gejala, nyeri, dan stress dan diberikan bersama dengan pengobatan kuratif.
25
2. Tujuan Perawatan Paliatif Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah untuk membantu klien dan keluarga mencapai kualitas hidup terbaik, menganggap kematian sebagai proses normal, tidak mempercepat atau menunda kematian, menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dna spiritual, mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya dan membanti mengatasi suasana duka cita pada keluarga ( Irawan, 2013). 3. Prinsip dasar perawatan paliatif Prinsip dasar perawatan paliatif menurut Committee on Bioethic and Committee on Hospital Care pada tahun 2000 :(28) a. Menghormati serta menghargai pasien dan keluarganya b. Kesempatan atau hak mendapatkan kepuasan dan perawatan paliatif yang pantas c. Mendukung pemberi perawatan (caregiver) d. Pengembangan profesi dan dukungan sosial untuk perawatan paliatif Menurut WHO pada tahun 2007, prinsip pelayanan paliatif pasien gagal ginjal kronik yaitu menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain, menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses yang alami,
tidak
bertujuan
mempercepat
atau
menunda
kematian,
mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin, memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita, menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya dan menghindari tindakan sia-sia. 4. Tim dan Tempat Perawatan Paliatif Pendekatan perawatan paliatif melibatkan berbagai disiplin ilmu yaitu pekerja sosial, ahli agama, perawat, dokter, psikolog, relawan, apoteker, ahli gizi, fisioterapi, dan okupasi terapi. Masing-masing profesi terlibat sesuai dengan masalah yang dihadapi penderita, dan penyusunan tim perawatan paliatif disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan tempat
26
perawatannya (Hockenberry, 2009). Pasien dapat memilih dimana ingin dirawat, misalnya: a. Rumah sakit Tim
perawatan
paliatif
merupakan
kolaborasi
antara
interdisiplin ilmu dan biasanya terdiri dari seorang dokter dan atau perawat senior bersama dengan satu atau lebih pekerja sosial dan pemuka agama/rohaniawan. Sebagai tambahan, tim tersebut juga dibantu teman sejawat dari gizi dan rehabilitasi, seperti fisioterapis atau petugas terapi okupasi. Konsultasi awal biasanya dilakukan oleh dokter atau perawat yang berhubungan dengan kebutuhan pasien dan keluarga dan juga memberi rujukan kepada dokter utama yang menangani pasien tersebut. Terkadang juga konsultan perawatan paliatif dilibatkan untuk membantu komunikasi dengan keluarga. Perawatan paliatif berbasis rumah sakit dapat diselenggarakan dalam beberapa tingkat atau model, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pertama, perawatan paliatif primer harus tersedia di semua rumah sakit. Pada tingkat ini, minimal klinisi harus memiliki pendidikan tentang dasar-dasar pengelolaan nyeri dan gejala lain. Model primer berfokus pada peningkatan pelayanan yang sudah ada dan pendidikan bagi klinisi. Karena itu, model ini cocok bagi institusi yang memiliki keterbatasan sumber daya. Kedua, perawatan palatif sekunder memerlukan semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien untuk memiliki level kompetensi
minimum
dan
memerlukan
para
spesialis
yang
menyediakan perawatan paliatif melalui tim konsultasi interdisipliner, unit khusus, maupun keduanya. Ketiga, program tingkat tersier dapat melibatkan organisasi tersier, seperti rumah sakit pendidikan dan pusat-pusat pendidikan dengan tim ahli dalam perawatan paliatif. Pada level ini, program yang dibuat dapat dijadikan sebagai konsultan bagi level praktik primer dan sekunder ataupun sebagai program percontohan bagi 27
pusat-pusat pengembangan lainnya. Praktisi dan institusi yang terlibat dalam level perawatan paliatif tersier juga harus berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas pendidikan dan penelitian. b. Hospice Hospice merupakan tempat pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat memberikan pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri c. Rumah Peran keluarga lebih menonjol karena sebagian perawatan dilakukan oleh keluarga. Keluarga atau orang tua sebagai care giver diberikan latihan pendidikan keperawatan dasar. Perawatan di rumah hanya mungkin dilakukan bila pasien tidak memerlukan alat khusus atau keterampilan perawatan yang mungkin dilakukan oleh keluarga. 5. Sumber Daya Manusia Kriteria pelaksana perawatan paliatif adalah telah mengikuti pendidikan/pelatihan perawatan paliatif dan mendapat sertifikat. Pelatihan dilaksanakan dengan modul pelatihan yang disusun dari kerjasama antar pakar
perawatan
paliatif
dengan
Departemen
Kesehatan
(Badan
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik). Modul-modul tersebut terdiri dari modul untuk dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain. Pelatih dalam pelatihan adalah pakar perawatan paliatif dari RS Pendidikan dan Fakultas Kedokteran. Dalam pelatihan ini, sertifikasi dikeluarkan dari Departemen Kesehatan (Pusat Pelatihan dan Pendidikan Badan PPSDM). Pada tahap pertama, dilakukan sertifikasi pemulihan untuk pelaksana perawatan paliatif di 5 (lima) propinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Pada tahap selanjutnya sertifikasi diberikan setelah mengikuti pelatihan.
28
6. Lingkup kegiatan dan aspek perawatan paliatif Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis, dukungan sosial, dukungan cultural dan spiritual, dukungan persiapan dan selama masa dukacita.Pada setiap individu terdapat keterkaitan antara sistem biologis, sistem psikologis, dan sistem sosial. Penyakit yang dialami individu akan memberikan pengaruh besar dalam emosi, penampilan, dan perilaku sosial individu. Dr. Elisabeth Kubler Ross mengidentifikasi terdapat lima tahap yang mungkin dilewati oleh pasien penyakit terminal yang divonis tidak akan hidup lama lagi. Melalui tahapan tersebut maka dapat terlihat gambaran mengenai proses perubahan psikologis pada pasien terminal dalam menghadapi sebuah kenyataan yaitu kematian atau rasa kehilangan sehingga pasien memerlukan bantuan maupun dukungan untuk melewati tahapan tersebut. Pemberian perawatan paliatif sangat dianjurkan untuk pasien dan keluarga pasien dengan penyakit terminal salah satunya adalah gagal ginjal kronik. Perawatan ini memungkinkan tidak hanya mendapatkan perawatan secara aspek fisik saja namun juga perawatan secara psikologis dan sosial dalam menghadapi penyakit fisik yang berpengaruh terhadap masalah pikologis dan sosial yang dihadapi pasien dan keluarga pasien. Hal ini sesuai definisi perawatan paliatif menurut WHO yaitu perawatan yang aktif dan menyeluruh terhadap pasien yang penyakitnya tidak lagi memberikan tanggapan kepada pengobatan yang menyembuhkan. Kontrol dari rasa sakit, gejala-gejala lain, masalah psikologis, sosial, dan spiritual merupakan hal yang terpenting. Sehingga aspek perawatan paliatif berupa aspek psikologis, sosial, dan spiritual menjadi fokus dalam rangkaian pengobatan gagal ginjal kronik. a. Aspek Psikologis Pasien dengan pernyakit terminal biasanya semakin tidak bisa menunjukkan dirinya secara ekspresif. Pasien menjadi sulit untuk mempertahankan kontrol biologis dan fungsi sosialnya,
29
seperti menjadi sering mengeluarkan air liur, perubahan ekspresi bentuk muka, gemetaran dan lain sebagainya. Pasien juga sering mengalami
kesakitan,
muntahmuntah,
keterkejutan
karena
perubahan penampilan yang drastus disebabkan kerontokan rambut atau penurunan berat badan, dan stres karena pengobatan sehingga pasien mengalami ketidak mampuan untuk berkonsentrasi. Masalah
psikologis
tersebut
disebabkan
oleh
perubahanperubahan dalam konsep diri pasien. Sebagai pemberi perawatan
paliatif
harus
bisa
melakukan
tugas
dengan
menyesuaikan terhadap masalah pasien. Tugas yang berkaitan dengan fungsi psikologis meliputi upaya untuk a) mengendalikan perasaan negatif dan memelihara pandangan positif mengenai diri sendiri dan masa depan, b) mengidentiikasi dan mempertahankan kepuasan akan diri sendiri dan kemampuan diri, c) mendorong keluarga untuk memelihara pandangan positif kepada pasien. b. Aspek Sosial Ancaman terhadap konsep diri yang terjadi karena menurunnya fungsi mental dan fisik pasien dapat juga mengancam interakhi sosial pasien. Meskipun pasien penyakit terminal sering menginginkan dan membutuhkan untuk dijenguk, namun pasien mungkin juga mengalami ketakutan bahwa kemunduran mental dan fisiknya akan membuat orangorang yang menjenguknya menjadi kaget dan merasa tidak enak. Konsekuensi
mengenai
interaksi
sosial
yang
tidak
menyenangkan ini dapat membuat pasien mulai menarik diri dari kehidupan sosialnya dengan cara membatasi orang-orang yang mengunjunginya hanya kepada beberapa orang anggota keluarga saja. Pemberian perawatan paliatif harus dapat memberikan perawatan sesuai dengan masalah yang ada pada pasien. Tugas yang berkaitan dengan aspek sosial meliputi a) memelihara
30
hubungan baik dengan keluarga dan teman-teman, b) membantu pasien mempersiapkan diri bagi masa depan yang tidak tentu. c. Aspek spiritual Spiritualitas penting dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup seseorang. Spiritualitas juga penting dikembangkan untuk dijadikan dasar tindakan dalam pelayanan kesehatan. Aspek ini dinyatakan juga dalam pengertian kesehatan seutuhnya oleh WHO pada tahun 1984, yang oleh American Psychiatric Assosiation (APA) dikenal dengan dengan rumusan “bio-psikososio-spiritual”. Kekosongan spiritual, kerohanian, dan rasa keagamaan dapat menimnulkan permasalahan psiko-sosial begitu juga
sebaliknya.Bussing
et
al
dalam
penelitiannya
juga
mengungkapkan bahwa pasien gagal ginjal kronik yang memiliki sandaran sumber religius yang kuat akan mengantarkan pasien tersebut pada prognosis yang lebih baik dari yang diperkirakan. Hal ini didukung oleh penelitian Balboni et al yang menyatakan bahwa 96% dari orang dewasa di Amerika Serikat yang
mengalami
kepercayaannya
gagal
ginjal
kronik
terhadap
Tuhan
dan
mengungkapkan 70%
diantaranya
mengungkapkan bahwa agama adalah salah satu yang paling dibutuhkan. Kebutuhan spiritual inilah yang men jadikan salah satu aspek terpenting dalam pemberian perawatan paliatif pada pasien dengan penyakit terminal salah satunya gagal ginjal kronik. Perawatan paliatif dapat menyentuh aspek spiritual dengan cara membantu pasien untuk mengidentifikasi kepercayaan spiritualitas positif yang dimilikinya, sehingga pasein dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk menghadapi situasi kesehatannya. Pemahaman akan kebutuhan spiritualitas akan mempengaruhi kualitas hidup individu secara psikologis, dengan kata lain spiritualitas adalah sesuatu yang menghidupkan semangat bagi penderita gagal ginjal kronik serviks untuk mencapai
31
kesehatan yang lebih baik. Pemahaman yang baik juga akan membantu pasien dalam menerima kondisi yang terjadi pada dirinya. Intervensi terhadap pemenuhan kebutuhan spiritualitas membutuhkan pengakuan dari penderita gagal ginjal kronik. Dalam hal ini perlu adanya hubungan yang baik antar pemberi layanan kesehatan, pasien, dan keluarga pasien. Pasien diharapkan dapat merasakan ketenangan dalam jiwa kemudian perawat membantu pasien untuk merasakan dalam jiwa kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung yang menciptakan kita semua sebagai manusia. Penelitian ini diterapkan pada gagal ginjal kronik serviks yang menjelaskan pengaruh spiritualitas terhadap kualitas hidupnya dengan merasakan dalam jiwa tentang kehadiran Allah sebagai kekuatan Sang Maha Mengatur kehidupan dengan memberi ujian kepada individu. 7. Sasaran Kebijakan Perawatan Paliatif Tujuan umum kebijakan paliatif yaitu sebagai perlindungan hukum dan petunjuk bagi perawatan paliatif di Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah terlaksananya perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang berlaku di seluruh Indonesia, tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan perawatan paliatif, tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih, tersedianya sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sasaran kebijakan paliatif adalah seluruh pasien (dewasa dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan perawatan paliatif dimana pun pasien berada di seluruh Indonesia. Untuk pelaksana perawatan paliatif yaitu dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang terkait. Sedangkan institusi terkait yaitu dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas, rumah perawatan/hospis, fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta.
32
8. Aspek medikolegal dalam perawatan paliatif Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif melalui komunikasi yang berkesinambungan antara tim perawatan paliatif dengan pasien dan keluarga. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan penundangundangan. Meskipun pada umunya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang beresiko, dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien sendiri apabila masih mampu, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya. Pasien dan keluarga mebutuhkan waktu yang cukup untuk berkomunikasi. Jika pasien sudah tidak mampu, maka keluarga terdekat yang melakukan atas nama pasien. Tim perawatan paliatif mendengarkan apa yang diinginkan pasien saat pasien masih mampu tentang apa yang harus atau tidak boleh dilakukan
terhadapnya
ketika kemampuannya
mulai
menurun.
Selain itu pasien juga bisa saja menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan saat pasien tidak mampu lagi. Pernyataan pasien tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan pasnduan utama bagi tim perawtan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan. Keputusan resusitasi/ tidak resusitasi dibuat oleh pasien ketika masih mampu atau oleh tim perawatan paliatif. Hal tersebut seharusnya sudah diinformasikan pada saat pasien memulai perawatan. Pasien yang masih mampu memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi selama informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan telah dipahami. Keputusan diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed consent menjelang berkurangnya
33
kemampuan. Keluarga terdekat pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu, permintaan tertulis oleh seluruh keluarga dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk pengesahannya. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai pedoman klinis, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut. Tim perawatan paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien. Pada dasarnya, tindakan yang bersifat kedokteran
harus
dikerjakan
oleh
tenaga
medis,
tetapi
dengan
pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien, tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dijaga. a. Tempat dan organisasi perawatan paliatif Tempat perawatan paliatif yaitu rumah sakit, untuk pasien yang harus mendapatkan pengawasan ketat, tindakan khusus atau perawalatan khusus. Puskesmas, untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat jalan. Rumah singgah/panti/hospis, untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus, tetapi belum dapat dirawat di rumah karena masih memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Rumah pasien, untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus atau keterampilan perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh keluarga. Organisasi
perawatan
paliatif,
menurut
tempat
pelayanan/sarana kesehatan adalah kelompok perawatan paliatif yang dibentuk di tingkat puskesmas. Unit perawatan paliatif
34
dibentuk di rumah ssakit kelas D, C dan B non pendidikan. Instalasi perawatan paliatif dibentuk di rumah sakit kelas B pendidikan dan kelas A. Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan melibatkan semua unsur terkait. b. Indikasi Pelayanan Paliatif Program paliatif dimulai sejak diagnosis gagal ginjal kronik ditegakkan serta bila didapatkan satu atau lebih kondisi di bawah ini : 1) Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang belum dapat diatasi 2) Gangguan psikologis terkait dengan diagnosis atau terapi gagal ginjal kronik 3) Penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang diakibatkannya 4) Permasalahan dalam pengambilan keputusan tentang terapi yang akan atau sedang dilakukan 5) Pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan paliatif (sesuai dengan prosedur rujukan) 6) Angka kematian hidup < 12 bulan (ECOG >3 atau Karnofsky < 50%, metastasis otak dan leptomeningeal, metastasis di cairan interstisial, sindromvena cava superior, kaheksia, serta kondisi berikut bila tidak dilakukan tindakan atau tidak respon terhadap tindakan, yaitu kompresi tulang belakang) 7) Pasien gagal ginjal
kronik stadium lanjut yang tidak
memebrikan respon dengan terapi yang diberikan c. Langkah-langkah dalam pelayanan paliatif adalah : 1) Melakukan penilaian aspek fisik, psikologis, sosial atau kultural, dan spiritual 2) Menentukan pengertian dan harapan pasien dan keluarga 3) Menentukan tujuan perawatan pasien 4) Memberikan informasi dan edukasi perawatan pasien
35
5) Menentukan tatalaksana gejala, dukungan psikologis, sosial atau kultural, dan spiritual 6) Memberikan tindakan sesuai wasiat atau keputusan keluarga bila wasiat belum dibuat, misalnya : penghentian atau tidak memberikan pengobatan yang memperpanjang proses menuju kematian (resusitasi, ventilator, cairan, dan lain-lain) 7) Membantu pasien dalam membuat wasiat atau keinginan terakhir 8) Pelayanan terhadap pasien dengan fase terminal
B. Konsep Asuhan Keperawatan Paliatif Asuhan Keperawatan paliatif dilaksanakan dengan pendekatan proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian sampai dengan melakukan evaluasi keperawatan . 1. Pengkajian
a. Anamnesa 1) Data Umum : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Agama, Alamat, Pekerjaan, Pendidikan, Status perkawinan, Suku bangsa, dst. 2) Riwayat penyakit masa lalu 3) Riwayat penyakit keluarga 4) Status kesehatan saaat ini 5) Pengobatan yang sedang dan pernah dilaksanakan: Kemoterapi
paliatif,
pembedahan
paliatif,
radioterapi
pengobatan Nyeri, Anti RetroViral (ARV) dan keluhan lain. 6) Sirkulasi cairan 7) Pernafasan 8) Neueosensori 9) Sistem pencernaan 10) Eliminasi 11) Integumen 12) Reproduksi 13) Mobilisasi
36
paliatif,
14) Makan dan minum 15) Kebutuhan hygiene 16) Kebutuhan istirahat tidur 17) Komunikasi 18) Faktor Keamanan dan lingkungan 19) Faktor psikologis, sosial, ekonomi, kultural dan spiritual.
b. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan Umum dan Kesadaran 2) Tanda-tanda Vital 3) Pemeriksaan Dari Ujung Rambut sampai ujung Kaki 4) Pemeriksaan Khusus pada kasus paliatif : luka, stoma, dekubitus, udema ekstremitas/ anasarka.
c. Menganalisa hasil pemeriksaan penunjang yang pernah dilakukan. 1) Darah lengkap, gula darah, fungsi lever, fungsi ginjal dll. Foto thorax untuk melihat kondisi jantung / paru. 2) USG : melihat adanya massa dan kelainan organ. 3) Biopsi : untuk mendeteksi adanya keganasan 4) Pemeriksaan penunjang lain 2. Diagnosa (Masalah) Keperawatan Paliatif Diagnosa atau masalah keperawatan dapat teridentifikasi sesuai kategori urgensi masalah berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, diagnosa keperawatan yang mungkin pada kasus paliatif sesuai 14 kebutuhan Handerson adalah sbb: a. Gangguan oksigenisasi dan sirkulasi b. Gangguan pemenuhan kebutuhan cairan c. Gangguan Kebutuhan nutrisi d. Gangguan pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari, e. Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi BAK/BAB, f. Gangguan citra diri/konsep diri, g. Gangguan istirahat h. Gangguan mobilisasi, i. Gangguan psikologis putus asa dan merasa tidak berguna,
37
j. Gangguan rasa aman, nyaman k. Gangguan reproduksi l. Gangguan integritas kulit m. Gangguan neurosensory n. Gangguan komunikasi
3. Rencana Tindakan Keperawatan Pada Kasus Terminal Perencanaan dilakukan berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul dan diprioritaskan untuk: a. Meningkatkan kualitas hidup ( contoh : mengurangi nyeri, mgurangi sesak nafas, menangani perawatan luka) b. Meningkatkan daya tahan tubuh, c. Mengajarkan pasien dan keluarga untuk menerima kenyataan yang ada. d. Mengajarkan
keluarga untuk
menghubungi petugas bila terjadi kondisi
darurat. e. Mencegah timbulnya masalah baru.
4. Pelaksanaan Prinsip-prinsip didalam penanganan masalah keperawatan palliatif didasarkan pada prioritas masalah keperawatan yang timbul
5. Evaluasi Evaluasi berdasarkan pada kategori masalah keperawatan disesuaikan dengan kondisi pasien. Evaluasi mencakup dua elemen yakni evaluasi proses dan evaluasi hasil. Untuk dapat melihat keberhasilan setiap diagnosa keperawatan diukur sesuai dengan kriteria hasil.
38
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG LAZIM DITEMUKAN PADA PASIEN PALIATIF NO 1
DIAGNOSA Gangguan pola nafas berhubungan
dengan
penumpukan sekret.
TUJUAN Pola nafas efektif
KRITERIA HASIL 1. Pernafasan
reguler,
RENCANA TINDAKAN dalam
dankecepatan nafas teratur.
2. Monitor dan
gejala
usaha
rasioinspirasi
obstruksipernafasan tidak ada :
penggunaan
stridor (-), sesak nafas (-), weezing
pernafasan. 3. Observasi
(-). 4. Suara nafas : vesikuler kanandan kiri. 5. Sputum
bunyi
nafas,
perhatikanbunyi nafas abnormal.
2. Batuk efektif. 3. Tanda
1. Auskultasi
EVALUASI kecepatan nafas teratur.
pernafasan,
maupun otot
ekspirasi, tambahan
jumlah
normal,tidak berbau dan tidak
produk
sputum,
6. Tanda-tanda sekresi tertahantidak
air
dan
gejala
obstruksipernafasan tidak ada
weezing (-)
dan kiri. 5. Sputum
berikan posisi miring aman. 6. Ajarkan pasien untuk nafas dalamdan
7. Berikan
3. Tanda
4. Suara nafas : vesikulerkanan
jumlah,warna, kekentalan.
batuk efektif.
berwarna.
2. Batuk efektif.
: stridor (-), sesak nafas (-),
Berikan posisi semi fowler atau jernih,
1. Pernafasan reguler, dalamdan
jernih,
jumlahnormal, tidak berbau dan tidak berwarna.
putih
hangat
2000
6. Tanda-tanda sekresitertahan
ada : demam (-), takhikardi (-),
ccperhari jika tidak ada kontra
tidak
takipneu (-).
indikasi.
takikardia (-), takipneu (-)
8. Lakukan
phisioterapi
sesuaiindikasi. 9. Lakukan suction bila perlu.
39
data
ada
:
demam
(-),
2
Kurang
perawatan
diri
berhubungan dengan keterbatasan
fungsi fisik dan
Kebutuhan akan perawatan
1. Pasien tampak bersih dansegar
diri terpenuhi
2. Mulut bersih dan tidak berbau
1. Kaji
dalammelaksanakan
3. Kulit tidak kering
seharihari.
kemampuan
pasien kegiatan
sehari-hari. 3. Bantu
pasien
untuk
mandi
baikditempat tidur atau menggunakan shower. 4. Cuci
rambut
pasien
sesuai
dengankebutuhan. 5. Lakukan perawatan kaki. 6. Bantu untuk perawatan perineal. 7. Pantau kondisi kulit. 8. Berikan pelembab/lotion padakulit. 9. Bersihkan
tangan
pasien
setelahmakan/toileting. 10. Bantu pasien untuk oral higiene.
40
2. Mulut bersih dan tidakberbau 3. Kulit tidak kering
2. Motivasi untuk melakukankegiatan
psikologis
1. Pasien tampak bersih dansegar
NO 3
DIAGNOSA Kurang
perawatan
TUJUAN diri
(berdandan dan berpakaian) berhubungan
KRITERIA HASIL
Pasien mau berpakaian
1. Pasien berpakaian denganrapih
dengan rapih dan berdandan
2. Pasien mau berdandan
RENCANA TINDAKAN 1.
Kaji
kemampuan
pasien
untuk
berpakaian dan berdandan sendiri. 2.
dengan
EVALUASI 1. Pasien berpakaian denganrapi. 2. Pasien mau berdandan.
Demonstrasikan cara berpakaian pada pasien.
gangguan fungsi fisik dan 3.
psikologis
Kenakan pakaian pasien setelah personal higiene selesai.
4.
Motivasi
pasien
berpartisipasi
dalam
untuk memilih
pakaian sendiri. 5.
Bantu dan motivasi pasien untuk berdandan.
4
Ketidakmampuan dalam
Pasien mampu memakan
memenuhi
1. Pasien
mampu
kebutuhan
makanan yang disenangi
memakanmakanan
nutrisi
berhubungan
sesuai dengan jumlah dan
jumlah yang adekuat.
dengan
perkembangan
waktu nya.
dalam
2. Keluarga menerimakemampuan
pengobatan
pasien untuk makan.
iritasi
mukosa
(ansietas,
mempunyai
BAB/BAK
denganjadwal.
1. Buat jadwal toileting. 2. Anjurkan
jadwalBAB/BAK. 2. Pasien
dapat
penyakit / efek samping
1. Pasien
sesuai
pasien
untukBAB/BAK sesuai dengan jadwal. 3. Bantu pasien untukmelepaskan pakaian dalam. 4. Bantu pasienmenggunakan
saluran
cerna , obstruksi usus,
toilet/pispot/urinal pada interval
konstipasi dan kompresi
waktu tertentu. 5. Jaga
lambung).
privasi
pasien
selamaBAB/BAK. 6. Fasilitasi higiene toiletsetelah selesai BAB/BAK. 7. Ganti
41
pakaian
pasiensetelah
BAB/BAK kalau perlu. 8. Siram toilet/bersihkan alat.
5
Resiko cedera berhubungan
Pasien tidak mengalami
1.
pasien tidak jatuh.
dengan
cedera.
2.
pasien
keterbatasan
dan psikologis.
fisik
mampu
1. Identifikasi menggunakan
sumber daya yang dimilliki.
kebutuhan
rasa
2. Pasien
amanpasien. 2. Identifikasi
lingkungan
yangmembahayakan. 3. Identifikasi
keterbatasan
kemampuan
pasien
untukberjalan. 5. Hindarkan
sumber-sumber
yangberbahaya. 6. Atur
lingkungan
untukmeminimalkan pasien dari bahaya. 7. Berikan alat bantu bila diperlukan. 8. Dekatkan
barang-barang
yangdibutuhkan dengan jangkauan pasien. 9. Gunakan
alat
pelindung
(
penghalang tempat tidur ). 10. Beritahu keluarga resikoberbahaya dari lingkungan. 11. Atur
penerangan
cukupadekuat.
42
mampumenggunakan sumber
fisikterhadap jatuh. 4. Pantau
1. Pasien tidak jatuh.
yang
dimilliki.
daya
yang
12. Anjurkan
pasien
untuk
memintabantuan jika diperlukan.
7
Gangguan
pola
tidur
Pasien mampu
1. Pasien
tidur
malam
1. Kaji pola tidur dan aktifitas pasien
terbangun
dengan
2. Pantau dan catat polatidur/istirahat
akan
berhubungan dengan takut
menciptakan kembali pola
haridan
akan kematian dan prognosa
tidur/istirahat.
perasaan enak.
yang tidak pasti.
dan jumlah jam tidur pasien.
2. Pasien/keluarga menyebutkantindakan
3. Kaji yang
digunakan untuk meningkatkan
faktor
yang
2. Pasien/keluargamenyebutkan
memperberatmasalah
tindakan
tidur/istirahat.
untuk meningkatkan tidur.
supportemosional/konseling untuk membantu menghilangkan
43
dan terbangun dengan perasaan enak.
4. Berikan
tidur.
1. Pasien akan tidur malamhari
yang
digunakan
NO 9
DIAGNOSA Resiko
tinggi
infeksi
berhubungan dengan efek kemoterapi
terhadap
mekanisme
pertahanan
tubuh.
TUJUAN Tidak ada tanda-tanda infeksi.
KRITERIA HASIL 1. Pasien/keluarga
RENCANA TINDAKAN
EVALUASI
1. Kaji tanda-tanda infeksi.
1. Pasien/keluarga
mampumendemonstrasi
2. Lakukan teknik a/antiseptik.
mampumendemonstrasi
kan
3. Pantau hasil laboratorium lekosit.
kna
tidakantindakan
4. Pantau tanda-tanda vital.
pencegahan infeksi. 2. Pasien/keluarga akanmelaporkan terjadi
5. Anjurkan bila
peningkatan
suhu.
pencegahan infeksi.
pasien
untuk
pasien
keluargamengenal infeksi
dan
dan tanda-tanda
menurunkan
resiko
infeksi. 7. Anjurkan
keluarga
untukmenggunakan masker apabila sedang infeksi saluran nafas atas. 8. Laporkan
bila
terjadi
peningkatansuhu tubuh. 9. Pantau intake output. 10. Anjurkan
pasien
untuk
banyakminum. 11. Berikan antibiotika sesuaianjuran.
44
2. Pasien/keluarga akanmelaporkan
cukupberistirahat. 6. Ajarkan
tidakan-tindakan
terjadi suhu.
bila
peningkatan
10
Nyeri kronis berhubungan
Nyeri terkontrol pada
dengan
tingkat
perkembangan
penyakit gagal ginjal kronik.
yang
1.
dapat
ditoleransi. 2.
3.
mampu
1.
Kaji karakteristik nyeri.
1. Pasien/keluarga
mengidentifikasi tindakantindakan
2.
Evaluasi tindakan kontrol nyeri.
mampumengidentifikasi
untuk mengontrol nyeri.
3.
Evaluasi asal nyeri dan atasi
tindakantindakan
Pasien/keluarga
Pasien/keluarga mampu melakukan
jikamungkin.
tindakan-tindakan
4.
untuk
mengontrol nyeri.
Lakukan
tindakan
2. Pasien/keluarga
mengontrol nyeri.
untukmeningkatkan
Nyeri hilang/terkontrol.
fisik dengan cara : Mempertahankan
tindakantindakan
posisi,
mengontrol nyeri.
kenyamanan
penggunaan
khusus,
tempat
penggunaan
tidur
kompres,
mengurangi stimuli lingkungan. 5.
Anjurkan
dan
ajarkan
teknikrelaksasi. 6.
Anjurkan
untuk
menggunakanteknik distraksi. 7.
Berikan analgetik.
8.
Pantau
dan
atasi
efek
sampingpemberian analgetik. 9.
Beritahu
pasien/keluarga
tentang pengunaan obat yang benar, efek samping obat dan yang dapat dilakukan jika terjadi.
45
untuk
mampumelakukan untuk
3. Nyeri hilang/terkontrol.
NO 11
DIAGNOSA Kelemahan berhubungan
TUJUAN fisik
dengan
perubahan fisiologi tubuh
Pasien
KRITERIA HASIL 1.
mempunyai
Pasien
mampu
tenaga yang maksimal
beristirahatsesuai kebutuhan.
sesuai kebutuhan.
2.
Pasien
akan
melakukanaktivitas
terhadap chemoterapi.
RENCANA TINDAKAN 1. Kaji tingkat kelelahan pasien.
1.
2. Anjurkan tetap sesuai
pasien
untukmempertahankan pola istirahat
Pasien
mampuberistirahat
sesuai kebutuhan. 2.
dan tidur.
Pasien akan tetapmelakukan aktivitas sesuai kemampuan.
3. Anjurkan
kemampuan.
EVALUASI
pasien
untukmengekspresikan perasaannya tentang keterbatasan yang ada. 4. Bantu
pasien
untukmerencanakan
aktivitas dan istirahat. 5. ajarkan
pasien
relaksasi,distraksi,
tekhnik
diet
imagary,
penekanan
yang
relaksasi. 12
Perubahan integritas kulit
Tidak
berhubungan dengan efek
integritas kulit (kulit pasien
tirah baring yang lama.
utuh) trauma.
terjadi
dan
gangguan
terbebas
dari
1. Gangguan/kerusakan kulit tidakada (kulit utuh). 2. Kulit
1. Hindari
1.
terusmenerus.
bebas
dari
implamasi
kulittidak ada (kulit utuh).
2. Hindari penggunaan talk. 3. Lakukan dan ajarkan padakeluarga
daniritasi.
untuk massage bagian punggung. 4. Buat jadwal perubahan posisi. 5. Lakukan dan anjurkan keluargauntuk merubah posisi pasien sesuai dengan jadwal. 6. Pantau kondisi kulit. 7. Jaga linen tetap bersih, keringdan bebas dari lipatan. 8. Beritahu
46
Gangguan/kerusakan
pasien/keluarga
2.
Kulit bebas dariimplamasi dan iritasi.
untukmelaporkan
bila
terdapat
tandatanda kemerahan, rasa tidak nyaman dan nyeri pada daerah yang tertekan.
13
Perubahan
pola
berhubungan
dengan
penyakit.
seksual proses
Pasien/orang
terdekat 1.
Pasien menunjukan faktor resiko 1. Ciptakan hubungan terapeutik atas
kembali untuk mendapatkan
terhadap kegagalan fungsi seksual
kepuasan hubungan seksual.
dan perubahan metode seksual yang dapat diterima. 2.
Pasien
mampu
pilihan
untuk
mendiskusikan menjaga
reproduksi yang sesuai.
dasar
saling percaya
dan saling
resiko
terhadap
kegagalan
menghargai dan menjaga privasi.
fungsi seksual dan perubahan
2. Kaji pengaruh penyakit/pengobatan
metode seksual yang dapat
terhadap seksualitas sesuai kebutuhan
fungsi 3. Anjurkan mengungkapkan
pasien ketakutan
2. Pasien mampu mendiskusikan
dan
pilihan untuk menjaga fungsi
4. Diskusikan tentang alternatif ekspresi seksual yang dapat diterima. 5. Libatkan keluarga dalam diskusi. Rujuk kalau perlu ke ahli seksiolog. 6. Anjurkan pasien untuk menghindari kehamilan
diterima.
untuk
menanyakan masalahnya.
47
1. Pasien menunjukan faktor
reproduksi yang sesuai.
7. Beritahu
pasien/pasangan
tentang
kemungkinan efek jangka panjang pada dengan
fungsi
seksual
chemoterapi,
sehubungan radiasi
pembedahan sesuai kebutuhan.
48
dan
D. Asuhan Keperawatan Paliatif dengan Gagal Ginjal Kronik 1. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik Ginjal merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh manusia. Ginjal melakukan berbagai fungsi yang ditujukan untuk mempertahankan homeostasis. Ginjal merupakan jalan penting untuk mengeluarkan berbagai macam zat-zat sisa metabolisme tubuh selain juga berperan penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Sherwood, 2001). Gagal ginjal kronis (GGK) atau End Stage Renal Disease (ESRD) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009). Batas penurunan fungsi ginjal sehingga menimbulkan gejala adalah sebesar
75-85%
dan
ketika fungsi ginjal sudah di bawah 25% maka gejala akan muncul dan terlihat jelas (Fransiska, 2011). End Stage Renal Disease (ESRD) atau gagal ginjal tahap akhir terjadi ketika nilai GFR (Glomerulus Filtration Rate) kurang dari 15 mL/min. Pada poin tersebut terapi penggantian ginjal (dialisis atau transplantasi) sangat dianjurkan (Smeltzer, 2009). Gagal ginjal terminal terjadi apabila 90% fungsi
ginjal telah hilang (Sherwood,
2001). 2. Klarifikasi Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2
dengan rumus Kockroft – Gault sebagai berikut
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
49
Tabel 2.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis dengan rumus Kockroft – Gault Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mn/1.73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
≥ 90 atau ↑
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang
60-89
3
30-59
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau 15-29 berat 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI 4
3. Etiologi a. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis). b. Penyakit peradangan (glomerulonefritis). c. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis). d. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik). e. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal). f. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme). g. Nefropati toksik. h. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih). i. BAK sedikit , warna urine lebih tua , bercampur darah. j. Peningkatan ureum atau kreatinin. (Price & Wilson, 2006) 4. Tanda dan Gejala a. Kardiovaskuler 1) Hipertensi,
gagal
jantung
kongestif,
pericarditis. 2) Pitting edema (kaki, tangan, sacrum). 3) Edema periorbital. 50
udema
pulmoner,
4) Friction rub pericardial. 5) Pembesaran vena leher. b. Dermatologi 1) Warna kulit abu-abu mengkilat. 2) Kulit kering bersisik. 3) Pruritus. 4)
Ekimosis.
5)
Kuku tipis dan rapuh.
6) Rambut tipis dan kasar. c. Pulmoner 1) Krekels 2) Sputum kental dan liat 3) Nafas dangkal 4) Pernafasan kussmaul d. Gastrointestinal 1) Anoreksia, mual, muntah, cegukan 2) Nafas berbau ammonia 3) Ulserasi dan perdarahan mulut 4) Konstipasi dan diare 5) Perdarahan saluran cerna e. Neurologi 1) Tidak mampu konsentrasi 2) Kelemahan dan keletihan 3) Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran 4) Disorientasi 5) Kejang 6) Rasa panas pada telapak kaki 7) Perubahan perilaku f. Muskuloskeletal 1) Kram otot 2) Kekuatan otot hilang
51
3) Kelemahan pada tungkai 4) Fraktur tulang 5) Foot drop 5. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium 1) Laboratorium darah BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin). 2) Pemeriksaan Urin Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT. b. Pemeriksaan EKG Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia). c. Pemeriksaan USG Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate. d. Pemeriksaan Radiologi Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. 6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi : a. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat. b. Obat-obatan: diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
52
c. Dialisis: dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis
memperbaiki abnormalitas biokimia; menyebabkan
caiarn, protein dan menghilangkan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas;
kecendurungan
perdarahan;
dan
membantu
penyembuhan luka. d. Transplantasi ginjal (Reeves, Roux, Lockhart, 2001). e. Penanganan hiperkalemia; Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema. f. Mempertahankan
keseimbangan
cairan;
Penatalaksanaan
keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan. 7. Konsep Asuhan Keperawatan 1) Identitas 2) Terdiri dari Nama, No.Rek.Medis, Umur (lebih banyak terjadi pada usia 30-60 tahun), Agama, Jenis Kelamin (pria lebih beresiko daripada
wanita), Pekerjaan, Status perkawinan,
Alamat, Tanggal masuk, Yang mengirim, Cara masuk RS, dan Diagnosa medis dan nama Identitas Penanggung
53
Jawab
meliputi : Nama, Umur, Hub dengan pasien, Pekerjaan dan Alamat 3) Riwayat Kesehatan a) Keluhan utama Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh klien sebelum masuk ke rumah sakit. Pada klien dengan gagal ginjal kronik biasanya didapatkan keluhan utama yang bervariasi, mulai dari urine keluar sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas bau (ureum), dan gatal pada kulit (Muttaqin, 2011). b) Riwayat Penyakit Sekarang Biasanya klien mengalami penurunan frekuensi urine, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau amoniak, rasa sakit kepala, perasaan
tak
nyeri panggul,
berdaya
dan
penglihatan kabur,
perubahan
pemenuhan
nutrisi(Muttaqin, 2011). c) Riwayat Kesehatan Dahulu Biasanya
klien
berkemungkinan
mempunyai
riwayat
penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang berulang, penyakit diabetes mellitus, dan hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan(Muttaqin, 2011). d) Riwayat Kesehatan Keluarga e) Biasanya klien mempunyai anggota keluarga yang pernah
54
menderita penyakit yang sama dengan klien yaitu gagal ginjal kronik, maupun penyakit diabetes mellitus dan hipertensi yang bisa menjadi factor pencetus terjadinya penyakit gagal ginjal kronik. 4) Pola Persepsi Dan Penanganan Kesehatan Persepsi terhadap penyakit Biasanya persepsi klien dengan penyakit ginjal kronik mengalami kecemasan yang tinggi. Biasanya klien mempunyai kebiasaan merokok, alkohol dan obat-obatan dalam kesehari-hariannya. 5) Pola Nutrisi/Metabolisme a) Pola Makan Biasanya terjadi peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual dan muntah. b) Pola Minum Biasanya klien minum kurang dari kebutuhan tubuh akibat rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan ammonia). 6) Pola Eliminasi a) Buang Air Besar Biasanya abdomen kembung, diare atau konstipasi. b) Buang Air Kecil Biasanya terjadi penurunan frekuensi urine <400ml/hari sampai anuria, warna urine keruh atau berwarna coklat, merah dan kuning pekat. 7) Pola Aktivitas /Latihan Biasanya kemampuan perawatan diri dan kebersihan diri terganggu
dan biasanya membutuhkan pertolongan atau
bantuan orang lain. Biasanya klien kesulitan menentukan kondisi, contohnya tidak mampu bekerja dan mempertahankan fungsi peran dalam keluarga. 8) Pola Istirahat Tidur 55
Biasanya klien mengalami gangguan tidur , gelisah karena adanya nyeri panggul, sakit kepala dan
kram otot/kaki
(memburuk pada malam hari). 9) Pola Kognitif –Persepsi Biasanya tingkat ansietas pasien mengalami penyakit ginjal kronik ini pada tingkat asietas sedang sampai berat. 10) Pola Peran Hubungan Biasanya klien tidak bisa menjalankan peran atau tugasnya sehari-hari karena perawatan yang lama. 11) Pola Seksualitas/Reproduksi Biasanya terdapat masalah Seksual berhubungan dengan penyakit yang di derita. 12) Pola Persepsi Diri/ Konsep Diri a) Body image/gambaran diri Biasanya mengalami perubahan ukuran fisik, fungsi alat tubuh
terganggu, keluhan karena kondisi tubuh, pernah
operasi,kegagalan fungsi tubuh, prosedur pengobatan yang mengubah fungsi alat tubuh b) Role/peran Biasanya mengalami perubahan peran karena penyakit yang diderita c) Identity/identitas diri Biasanya mengalami kurang percaya diri, merasa terkekang, tidak mampu menerima perubahan, merasa kurang memiliki potensi d) Self esteem/harga diri Biasanya mengalami rasa bersalah, menyangkal kepuasan diri, mengecilkan diri, keluhan fisik e) Self ideal/ideal diri Biasanya mengalami masa depan suram, terserah pada nasib, merasa tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki harapan,
56
merasa tidak berdaya 13) Pola Koping-Toleransi Stres Biasanya klien mengalami factor stress contoh financial, hubungan dan sebabnya, perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada kekuatan, menolak, ansietas, takut,marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian dan perilaku serta perubahan proses kognitif. 14) Pola Keyakinan Nilai Biasanya tidak terjadi gangguan pola tata nilai dan kepercayaan. 15) Pemeriksaan Fisik a) Keadaan Umum dan TTV b) Keadaan umum klien lemah, letih dan terlihat sakit berat c) Tingkat kesadaran klien menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. d) TTV : RR meningkat, tekanan darah didapati adanya hipertensi. e) Kepala (1) Rambut : Biasanya klien berambut tipis dan kasar, klien sering sakit kepala, kuku rapuh dan tipis. (2) Wajah : Biasanya klien berwajah pucat (3) Mata
:
Biasanya
mata
klien
memerah,
penglihatan kabur, konjungtiva anemis, dan sclera tidak ikterik. (4) Hidung : Biasanya tidak ada pembengkakkan polip dan klien bernafas pendek dan kusmaul (5) Bibir : Biasanya terdapat peradangan mukosa mulut, ulserasi gusi, perdarahan gusi, dan napas berbau (6) Gigi : Biasanya tidak terdapat karies pada gigi. (7) Lidah : Biasanya tidak terjadi perdarahan (8) Leher :
Biasanya
tidak
terjadi
kelenjar tyroid atau kelenjar getah bening
57
pembesaran
f) Dada / Thorak (1) Inspeksi : Biasanya klien dengan napas
pendek,
pernapasan kussmaul (cepat/dalam) (2) Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan (3) Perkusi : Biasanya Sonor (4) Auskultasi : Biasanya vesicular g) Jantung (1) Inspeksi : Biasanya ictus cordis tidak terlihat (2) Palpasi
: Biasanya ictus Cordis teraba di ruang inter
costal 2 linea deksta sinistra (3) Perkusi : Biasanya ada nyeri (4) Auskultasi : Biasanya terdapat irama jantung yang cepat h) Perut / Abdomen (1) Inspeksi
:Biasanya
terjadi
distensi
abdomen, acites
atau penumpukan cairan, klien tampak mual dan muntah (2) Auskultasi : Biasanya bising usus normal, berkisar antara 5-35 kali/menit (3) Palpasi
: Biasanya acites, nyeri tekan pada bagian
pinggang, dan adanya pembesaran hepar pada stadium akhir. (4) Perkusi : Biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites. i) Genitourinaria Biasanya terjadi penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria,
distensi
abdomen,
diare
atau
konstipasi,
perubahan warna urine menjadi kuning pekat, merah, coklat dan berawan. j) Ekstremitas Biasanya didapatkan adanya nyeri panggul, odema pada ektremitas, kram otot, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,keterbatasan gerak sendi.
58
k) Sistem Integumen Biasanya warna kulit abu-abu, kulit gatal, kering dan bersisik, adanya area ekimosis pada kulit. l) Sistem Neurologi Biasanya terjadi gangguan status mental seperti penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori,
penurunan
tingkat
serebral,seperti perubahan Klien sering didapati
kesadaran,
disfungsi
proses fikir dan disorientasi.
kejang,
dan
adanya neuropati
perifer(Sumber : Muttaqin, 2011). m) Pemeriksaan Penunjang (1) Urine (a) Volume : kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria) (b) Warna : biasanya didapati urine keruh disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat atau urat. (c) Berat
jenis : kurang dari 1,015 (menetap pada
1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat). (d) Osmolalitas
:
kurang
dari
350
m0sm/kg
(menunjukkan kerusakan tubular) (e) Klirens Kreatinin : agak sedikit menurun. (f) Natrium : lebih dari 40 mEq/L, karena ginjal tidak mampu mereabsorpsi natrium. (g) Proteinuri : terjadi peningkatan protein dalam urine (34+) (2) Darah (a) Kadar ureum dalam darah (BUN) : meningkat dari normal. (b) Kreatinin : meningkat sampai 10 mg/dl (Normal : 0,5-1,5 mg/dl).
59
(c) Hitung darah lengkap (d) Ht : menurun akibat anemia (e) Hb : biasanya kurang dari 7-8 g/dl (3) Ultrasono
Ginjal
:
menetukan
ukuran
ginjal
dan
adanya massa, kista,obstruksi pada saluran kemih bagian atas. (4) Pielogram retrograde : menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter. (5) Endoskopi ginjal : untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif. (6) Elektrokardiogram
(EKG):
mungkin
abnormal
menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa. (7) Menghitung laju filtrasi glomerulus : normalnya lebih kurang 125ml/menit, 1 jam dibentuk 7,5 liter, 1 hari dibentuk 180 liter. b. Diagnosa Keperawatan Setelah
dilakukan
pengkajian,
data-data
yang
didapatkan dalam pengkajian tersebut dianalisa dan dapat ditegakkan diagnose keperawatannya sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi klien, maka, Kemungkinan diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan gagal ginjal kronik yaitu (NANDA, 2013): 1) Penurunan
curah
jantung
ketidakseimbangan frekuensi,
cairan
berhubungan
dan
irama,
elketrolit,
konduksi
dengan gangguan jantung,
akumulasi/penumpukkan urea toksin, klasifikasi jaringan lunak. 2) Ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan
dengan
hiperventilasi. 3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan udem sekunder, gangguan filtrasi glomerulus.
60
4) Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan konsentrasi Hb dalam darah. 5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan muntah/anoreksia. 6) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic, sirkulasi (anemia,iskemia jaringan) dan sensasi
(neuropati
ferifer),
penurunan
turgor
kulit,
penurunan aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit. 7) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan keletihan, anemia retensi, produk sampah.
61
c. Intervensi Keperawatan No
Diagnosa Keperawatan
NOC
NIC dan Aktivitas Keperawatan
1
Ketidakefektifan pola nafas
a. Respiratory status ventilati on b. Respiratory status: Airwa y patency c. Vital sign status Indikator a. Tidak sesak napas lagi b. Pernafasan kembali norm al 16-24 x/menit c. menunjukkan jalan nafas yang paten d. tanda vital dalam rentang normal
Airway Management 1. Atur posisi yang nyaman bagi klien yaitu semi fow ler 2. Kaji faktor penyebab asidosis metabolic 3. Memonitor tanda – tanda vital 4. Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengu njung 5. Monitor frekuensi dan irama pernafasan 6. Pantau laboratorium analisa gas darah berkelanjut an 7. Berikan terapi O2 tambahan dengan kanula nasal/ masker sesuai indikasi
62
2
Ketidakefektifan perfusi jaringan
a. Circulation status
Peripheral Sensation Management
perifer
b. Tissue perfusion : cerebr
1. Kaji secara konprehensif sirkulasi perifer (nadi, pe
al
rifer, edema, kapilary refil)
Indikator :
2. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
-
3. Evaluasi nadi perifer dan edema
Tekanan systole dan diastole
4. Ubah posisi klien minimal setiap 2 jam sekali
dalam rentang nomal
5. Monitor status cairan masuk dan keluar
- CRT < dari 2 detik
6. Dorong latihan ROM selama bedrest
- Suhu kulit hangat
7. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
- warna kulit normal - tidak ada edema perifer
3
Kelebihan volume cairan
a. Electrolit and acid base ba lance
Fluid Management 1. Kaji adanya edema ekstremitas termasuk kedalaman
b. Fluid balance
edema
c. hydration
2. Istirahatkan / anjurkan klien untuk tirah baring pada saat edema masih terjadi
Indikator :
3. Monitor vital sign
-
Edema berkurang
-
Keseimbangan antara inpu 5. pasang kateter urine jika diperlukan t dan output
4. Ukur intake dan output secara akurat
63
-
Pitting edema tidak ada la 6. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/mas gi
-
ker sesuai indikasi
Produksi urine >600 ml/ha 7. Kolaborasi : – Berikan diet tanpa garam
ri
– Berikan diet rendah protein tinggi kalori 4
– Berikan diuretik, Contoh : Furosemide, Nutritional Management spironolakton. b. Nutritional status : food and 1. Kaji adanya alergi makanan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang a. Nutritional status dari kebutuhan tubuh tubuh
fluid intake
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
c. Weight Control
jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pas ien
Indikator : - adanya peningkatan berat
badan
3. anjurkan pasien untuk meningkatkan protein d an vitamin c
- tidak ada tanda-
4. yakinkan diet yang dimakan mengandung ting
tanda mal nutrisi
gi serat untuk mencegah konstipasi
- menunjukkan peningkatan
fungsi pengecapan dari m enelan
64
5. berikan makanan terpilih (sudah di konsulkan dengan ahli gizi)
d. Implemetasi Keperawatan Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. e. Evaluasi Keperawatan Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan.
65
E. Konsep Terapi Komplementer Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terapi adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit, perawatan penyakit. Komplementer adalah bersifat melengkapi, bersifat menyempurnakan. Pengobatan komplementer dilakukan dengan tujuan melengkapi pengobatan medis konvensional dan bersifat rasional yang tidak bertentangan dengan nilai dan hukum kesehatan di Indonesia. Standar praktek pengobatan komplementer telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Menurut WHO (World Health Organization), konvensional
pengobatan
komplementer
yang bukan berasal
adalah
dari negara
pengobatan
non-
yang bersangkutan,
sehingga untuk Indonesia jamu misalnya, bukan termasuk pengobatan komplementer
tetapi
merupakan
pengobatan
tradisional.
Pengobatan
tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari zaman dahulu digunakan dan diturunkan secara turun – temurun pada suatu negara. Terapi komplementer adalah sebuah kelompok dari macam - macam sistem pengobatan dan perawatan kesehatan, praktik dan produk yang secara umum tidak menjadi bagian dari pengobatan konvensional (Widyatuti, 2012).
F. Klasifikasi Terapi Komplementer 1. Sistem medis alternatif a. Akupuntur Akupuntur merupakan salah satu komponen dari obat tradisional Cina. Hal ini didasarkan pada keyakinan di qi (kekuatan hidup), yang merupakan energi yang mengalir melalui tubuh sepanjang
jalur
yang
dikenal
sebagai
meridian.
Setiap
ketidakseimbangan dalam di diduga mengakibatkan kesulitan atau penyakit. Ada 12 meridian utama diyakini sebagai titik akupuntur yang sesuai dengan setiap bagian tubuh dan organ. Untuk menyeimbangkan aliran qi, jarum sekali pakai yang sangat halus dimasukkan ke dalam acupoints di bawah kulit. Dasar biologis dari qi
66
belum ditemukan, namun diperkirakan bahwa akupuntur menstimulus endorfin dan neurotransmiter lain di otak. Akupunktur telah terbukti efektif untuk nyeri dan kemoterapi terkait mual dan muntah. Risiko akupunktur berhubungan dengan ketidaknyamanan ringan. Hanya jarum sekali pakai yang digunakan. Hal ini penting untuk mengetahuiseorang praktisi akupuntur yang berkualitas. Ahli akupunktur harus memiliki pengalaman sebelumnya dengan pasien gagal ginjal kronik. Di New York State ahli akupunktur harus memiliki lisensi dan harus memiliki 40 sampai 50 jam pelatihan. Kontraindikasi akupuntur pada lymphedema (risiko infeksi), alat pacu jantung (tidak ada electroacupuncture; bisa mengganggu irama jantung), dan kehamilan (perlu menghindari titik-titik tertentu yang bisa merangsang rahim). Dana-Farber Cancer Institute di Boston, kontraindikasi akupunktur adalah ANC <500 / µL, trombosit <25.000 / µl, demam neutropenia, situs metastasis, situs iradiasi (berkelanjutan untuk 4 minggu setelah), INR> 3,5-4,0, dan transplantasi sel induk (2 minggu sebelum 3 bulan setelah itu). Akupuntur tidak akan mengganggu obat nyeri. b. Akupresur Akupresur adalah teknik pengobatan Cina tradisional yang didasarkan pada ide-ide yang sama seperti akupunktur. Akupresur melibatkan penempatan tekanan fisik dengan tangan pada titik-titik akupuntur yang berbeda pada permukaan tubuh. Ada tiga titik akpresur yang perawat dapat gunakan atau ajarkan pada pasien gagal ginjal kronik untk menstimulasi diri. Titik pada usus besar dapat diakses oleh pasien/keluarga/perawat. Lokasi bagian berdaging dari kedua tangan antara ibu jari dan jari telunjuk dan kemudian tekan dengan ibu jari tangan berlawanan sampai pasien merasakan tekanan. Titik perut terletak di sisi lateral lutut antara patella dan puncak tibia. Titik mual dan muntahterletak dua inci proksimal ke puncak
67
melintang dari pergelangan tangan antara dua tendon. Tekan dengan ibu jari secara melingkar selama 1 sampai 2 menit. 2. Mind-body medicine a. Meditasi Meditasi adalah pengaturan perhatian oleh diri sendiri secara sengaja. Ada dua kategori meditasi: konsentrasi dan kesadaran. Metode konsentrasi menumbuhkan kemanunggalan perhatian dan mulai dengan mantra (suara diulang, kata, atau frase) seperti dalam meditasi transendental. Praktek pengurangan stres berbasis kesadaran mulai dengan pengamatan pikiran, emosi, dan sensasi tanpa penilaian yang muncul di bidang kesadaran. Meditasi telah membantu untuk pasien gagal ginjal kronik yang sakit parah untuk menghilangkan rasa sakit fisik dan emosional. Banyak pasien gagal ginjal kronik meninggal menemukan bahwa ketenangan dan tenang pada meditasi menimbulkan perasaan yang mendalam dari penerimaan, kesejahteraan, dan kedamaian batin. Sebuah studi yang dilakukan pada 51 pasien rawat jalan dengan nyeri kronis dengan program 10-minggu menunjukkan penurunan 50% rasa sakit. Meditasi mengurangi tingkat stres yang berpotensi dapat mengurangi pengalaman rasa sakit. b. Hipnosis Hipnosis adalah keadaan penuh perhatian, konsentrasi reseptif ditandai dengan perubahan sensori, keadaan psikologis diubah, dan minim fungsi motorik. Instruksi yang biasa diberikan menyarankan relaksasi fisik seperti mengambang bersama dengan gambar yang mengalihkan perhatian dari rasa sakit. Hipnosis dapat diinduksi dalam beberapa menit untuk mempertahankan analgesia yang sedang berlangsung dan relaksasi dalam menghadapi tekanan emosional dan fisik. Ada bukti dari tinjauan sistematis bahwa hipnosis dapat membantu mengurangi kecemasan dan nyeri pada pasien gagal ginjal kronik yang terminal.
68
c. Guided imagery Ini mengalihkan fokus mental dari rangsangan menyakitkan untuk pengalaman yang lebih menyenangkan, gambaran, dan relaksasi. Guided imagery adalah intervensi yang perawat dapat lakukan dengan pengaturan yang berbeda (rumah sakit, rumah, hospice), dapat digunakan dengan pasien dan keluarga untuk mengurangi rasa sakit dan kecemasan. d. Pelatihan relaksasi Pelatihan relaksasi melibatkan napas dalam, relaksasi otot progresif, dan pencitraan. Modalitas ini telah menghasilkan penurunan yang signifikan dalam nyeri secara subjektif pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium lanjut. e. Terapi distraksi Terapi distraksi adalah teknik di mana rangsangan sensorik diberikan kepada pasien dalam rangka untuk mengalihkan perhatian mereka dari pengalaman yang tidak menyenangkan. Misalnya dengan melihat pemandangan alam, video game, dll. f. Terapi musik Terapi musik adalah pengunaan music yang diatur/dikontrol untuk perubahan klinis. Terapi musik digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan. Ada perbedaan antara penggunaan musik dan terapi musik. Terapi musik menggunakan bakat dari seorang profesional terlatih yang memfasilitasi kontak pasien, interaksi, kesadaran diri, dan ekspresi diri melalui alat musik. Sebuah sesi terapi musik dapat seperti mendengarkan, bernyanyi, bermain drum, mengembangkan lirik, atau merekam untuk keluarga. Musik yang disediakan oleh terapis musik telah terbukti lebih efektif daripada penggunaan pra rekaman musik sendiri dalam mengurangi skor kecemasan.
69
a. Terapi Seni Terapi seni menggunakan proses kreatif untuk memungkinkan kesadaran dan ekspresi emosi individu. Untuk pasien gagal ginjal kronik, seringkali sulit untuk mengungkapkan secara verbal apa yang dirasakan seseorang tentang diagnosis, rawat inap, pengobatan, penyakit berulang, keluarga, dan kematian. Ini adalah seni itu sendiri yang memfasilitasi kesadaran emosi dan pengurangan gejala melalui penggunaan bahan-bahan seni. Beberapa penelitian telah meneliti penggunaan terapi seni dalam mengendalikan gejala gagal ginjal kronik. Dalam sebuah penelitian pasien gagal ginjal kronik, sebagian besar dengan leukemia dan limfoma, terapi seni menyediakan penurunan signifikan secara statistik pada rasa sakit dan gejala umum lainnya, kecuali untuk mual. Dengan menggunakan garis tubuh dan pastel berwarna dan spidol, pasien gagal ginjal kronik yang membantu untuk memvisualisasikan rasa sakit mereka, mengkomunikasikan emosi mereka, berurusan dengan citra tubuh, dan mencari makna dan spiritualitas. 3. Manipulative and body-based practices a. Pijat atau massase Pada pasien gagal ginjal kronik, sentuhan membuat koneksi, kenyamanan, dan peningkatan kualitas hidup. Sentuhan berupa pijat menjadi bagian dari perawatan sehari-hari yang diberikan kepada setiap pasien yang dirawat di rumah sakit. Terapi pijat digunakan untuk meringankan gejala pada pasien gagal ginjal kronik. Ini menggunakan teknik manual menggosok, membelai, menekan, atau memijat jaringan lunak tubuh untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Pada suatu waktu, pijat itu diduga menyebabkan penyebaran gagal ginjal kronik dengan meningkatkan sirkulasi sistemik. Sampai saat ini tidak ada bukti untuk mendukung ini. Sentuhan dapat menjadi intervensi terhadap nyeri. Berbagai penjelasan untuk efektivitas pijat
70
telah
diusulkan:
pengurangan
ketegangan
otot,
meningkatkan
sirkulasi, relaksasi umum, dan efek memelihara sentuh. Pijat umumnya aman untuk pasien gagal ginjal kronik, tetapi membutuhkan modifikasi teknik khusus untuk pasien individu. Ada kontraindikasi khusus untuk pasien hamil. Hal ini kontraindikasi pada daerah dengan metastase tulang (untuk risiko patah atau pecah tulang) atau tumor (untuk risiko perdarahan); untuk pasien dengan jumlah trombosit dari <50.000 (untuk risiko memar); di titik bekuan darah (untuk risiko melepas trombus dalam vena), dan di situs bedah atau ruam. Pijat dalam jaringan tidak boleh diberikan pada pasien dengan gagal ginjal kronik; tekanan ringan adalah pijat yang paling tepat untuk pasien ini. Izin terapis pijat terlatih yang telah memiliki pengalaman dengan pasien gagal ginjal kronik. b. Gentle massase Untuk memberikan kenyamanan tempatkan telapak tangan seluas mungkin dengan seluruh tangan berkontak dengan bagian tubuh pasien seperti lengan atau punggung. Jangan menggunakan ujung jari atau jempol karena dapat memberikan banyak tekanan terlalu spesifik. Tekanan harus ringan dan tersebar luas. Pilihan pola pijat bias seperti lingkaran, dua lingkaran, oval, atau dua oval besar. Hal ini penting untuk memindahkan tangan pada kecepatan dan tekanan yang konsisten. c. Refleksi Refleksi adalah terapi sentuh yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada titik refleks atau titik energi pada kaki, tangan, dan telinga yang sesuai dengan setiap kelenjar, organ, dan bagian tubuh. Dengan stimulasi terampil dari daerah-daerah dan poin dengan tangan, jari, dan teknik praktis, sistem tubuh yang difasilitasi untuk keseimbangan yang lebih besar. Ini memfasilitasi pasien dalam keadaan yang lebih santai di mana mereka dapat fokus pada kesehatan daripada penyakit. Hal ini digunakan untuk menstimulasi relaksasi dan tidur, untuk
71
mengurangi kecemasan, untuk mencegah dan mengurangi neuropati perifer
sekunder
untuk
kemoterapi,
dan
untuk
mengurangi
pengalaman rasa sakit secara keseluruhan. Refleksi kaki adalah noninvasif, dapat dilakukan dalam pengaturan apapun, tidak memerlukan peralatan, dan tidak mengganggu privasi pasien. Refleksi harus dihindari jika pasien memiliki trombosis vena di kaki / tangan untuk mencegah bergerak dari trombus ke dalam sirkulasi. Kontraindikasi lainnya adalah infeksi, ruam, memar, luka, dan lymphedema kaki atau kaki. Perawat dan orang awam dapat diajarkan pijat refleksi. Keluarga dapat diajarkan untuk melakukan refleksi untuk mengurangi rasa sakit dan kecemasan pada keluarganya yang sakit. 4. Energy medicine (Reiki) Reiki adalah energi getaran atau halus paling sering difasilitasi oleh sentuhan yang sangat ringan. Rei berarti yang universal atau energi tertinggi, dan ki berarti energi kekuatan hidup. Terapi Reiki diduga mendukung kesejahteraan kita dan untuk memperkuat kemampuan alami kita untuk menyembuhkan dengan mendorong keseimbangan dalam tubuh, pikiran, dan jiwa. Reiki yang ditawarkan oleh seorang praktisi Reiki dilatih untuk individu dan melibatkan penempatan tangan yang sangat ringan pada tubuh pasien: kepala hingga ujung kaki, depan dan belakang, dan di titik nyeri jika ditoleransi. Sentuhan lembut dari Reiki adalah menenangkan, dan menstimlasi relaksasi yang mendalam. Hal ini dapat diberikan kepada setiap pasien karena sentuhan yang sangat ringan. Sebagian besar pasien gagal ginjal kronik dapat menerima Reiki. Karena itu adalah sentuhan ringan, tidak menimbulkan rasa tidak nyaman. Selama pasien terbuka untuk menerima sentuhan yang sangat ringan, dapat dilakukan. 5. Biological Based Practice Karena
terapi
komplementer
adalah
pengobatan
untuk
mendukung pengobatan medis atau konvensional. Jadi herbal, vitamin
72
dan suplemen yang diberikan akan berinteraksi dengan obat-obatan yang di berikan oleh dokter atau tenaga medis lainnya. Namun, adanya interaksi antara obat herbal, vitamin, atau suplemen dengan obat-obatan harus diwaspadai. Contoh pengobatan komplementer dalam bentuk herbal yaitu herbal Sinshe Fengshui, yaitu metode pengobatan yang memadukan obatobatan herbal yang berkhasiat tinggi dengan resep pengobatan Cina Kuno yang telah berusia ribuan tahun. Selain itu ada tanaman herbal, yaitu gingseng yang berasal dari daerah pegunungan Cina Utara yang bermanfaat untuk pengobatan yang bisa untuk menyegarkan tubuh dan jiwa juga bermanfaat dalam menyembuhkan berbagai penyakit dan gangguan lainya.
G. Hubungan Terapi Komplementer pada Keperawatan Paliatif Masyarakat cenderung menggunakan terapi komplementer karena banyak terapi yang menjanjikan kesembuhan 100% dan bisa mengobati berbagai
jenis
penyakit
namun
belum
banyak
penelitian
yang
membuktikannya. Salah satu penyakit paliatif yang bisa dilakukan terapi komplementer adalah penyakit gagal ginjal kronik. Pengobatan gagal ginjal kronik yang baik harus memenuhi fungsi menyembuhkan (kuratif), mengurangi rasa sakit (paliatif) dan mencegah timbulnya kembali (preventif). Pengobatan komplementer alternatif adalah salah satu pelayanan kesehatan yang akhir-akhir ini banyak diminati oleh masyarakat maupun kalangan kedokteran konvensional (Hasanah & Widowati, 2016). Pada penelitian yang dilakukan oleh Irawan, Rahayuwati & Yani (2017) menunjukkan bahwa pengguna terapi modern sering mengeluh mual muntah
terutama
pasca
kemoterapi.
Pengguna
terapi
modern
dan
komplementer (pijat) mengatakan penggunaan pijat mengurangi lelah dan nyeri pasca terapi modern dilakukan. Pengguna terapi modern dan komplementer (herbal) mengatakan penggunaan herbal mengurangi mual muntah dan mempercepat penyembuhan pasca terapi modern dilakukan.
73
Pengguna terapi modern dan komplementer (herbal dan pijat) mengatakan penggunaan herbal dan pijat untuk mengurangi efek samping terapi modern. Hasil penelitian yang lain menunjukkan terapi modern telah terbukti secara medis dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit gagal ginjal kronik dapat dikurangi dengan terapi modern dan komplementer sehingga secara global kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik meningkat. Salah satu dari terapi komplementer yang dapat digunakan pada keperawatan paliatif adalah akupuntur. Akupunktur yang digunakan pada terapi gagal ginjal kronik bukan ditujukan untuk mengobati penyakit gagal ginjal kroniknya karena penusukan pada lesi merupakan kontraindikasi. Hal ini dilakukan untuk pengobatan paliatif yaitu mengurangi nyeri kronis, mengurangi efek samping kemoterapi ataupun radioterapi seperti nyeri, mual, muntah, serta mengurangi dosis obat anti-nyeri sehingga kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan. Pelayanan kesehatan komplementer alternatif merupakan pelayanan yang menggabungkan pelayanan konvensional dengan kesehatan tradisional dan atau hanya sebagai alternatif menggunakan pelayanan kesehatan tradisional, terintegrasi dalam pelayanan kesehatan formal. Keberhasilan masuknya obat tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal hanya dapat dicapai apabila terdapat kemajuan yang besar dari para klinisi untuk menerima dan menggunakan obat tradisional (Hasanah & Widowati, 2016). Penyelenggaran pengobatan komplementer alternatif diatur dalam standar pelayanan medik herbal menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.121/Menkes/SK/II/2008 yang meliputi melakukan anamnesis; melakukan pemeriksaan meliputi pemeriksaan fisik (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi) maupun Jamu pada pemeriksaan penunjang (laboratorium, radiologi, EKG); menegakkan diagnosis secara ilmu kedokteran; memberikan obat herbal hanya pada pasien dewasa; pemberian terapi berdasarkan hasil diagnosis yang telah ditegakkan; penggunaan obat herbal dilakukan dengan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai contoh yang selama ini telah digunakan di beberapa rumah sakit dan PDPKT; mencatat setiap intervensi
74
(dosis, bentuk sediaan, cara pemberian) dan hasil pelayanan yang meliputi setiap kejadian atau perubahan yang terjadi pada pasien termasuk efek samping (Kepmenkes, 2008). Beberapa fakta yang kita jumpai pada masyarakat akhir-akhir ini adalah kecenderungan kembali ke alam dan terapi alternatif. Dengan banyaknya pilihan tanaman obat yang ditawarkan, mahalnya biaya pengobatan keperawatan paliatif secara konvensional, ketidakberhasilan dan banyaknya penyulit sampingan dalam pengobatan konvensional, serta adanya kasus paliatif yang dapat disembuhkan dengan tanaman obat mendorong makin banyak masyarakat yang memilih pengobatan alternatif antara lain dengan tanaman obat dan terapi komplementer sebagai cara untuk pengobatan (Hasanah & Widowati, 2016).
75
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan orang lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan atau berduka serta bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa. Asuhan Keperawatan paliatif dilaksanakan dengan pendekatan proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian sampai dengan melakukan evaluasi keperawatan. Gagal ginjal kronis (GGK) atau End Stage Renal Disease (ESRD) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau
azotemia. Pengobatan
komplementer adalah pengobatan non-
konvensional yang bukan berasal dari negara yang bersangkutan, sehingga untuk
Indonesia
jamu
misalnya,
bukan
termasuk
pengobatan
komplementer tetapi merupakan pengobatan tradisional. Klasifikasi terapi komplementer adalah sistem medis alternative, mind-body medicine, Manipulative and body-based practices, Energy medicine (Reiki), biological based practice.
B. Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang konsep dasar keperawatan paliatif, asuhan keperawatan dalam keperawatan paliatif, asuhan keperawatan paliatif dengan gagal ginjal
76
kronik dan konsep dasar komplementer serta bentuk-bentuk terapi komplementer. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Penatalaksanaan yang asuhan keperawatan yang efektif dan efisien pada pasien dengan menekankan konsep asuhan keperawatan paliatif. 3. Bagi Mahasiswa Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui konsep dasar keperawatan paliatif, asuhan keperawatan dalam keperawatan paliatif, asuhan keperawatan paliatif dengan gagal ginjal kronik dan konsep dasar komplementer serta bentuk-bentuk terapi komplementer.
77
DAFTAR PUSTAKA Faizal, Elly Burhaini. Noncommunicable Diseases Top Priority in Health Agenda.http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/09/noncommunicabl e-diseases-top- priority-health-agenda.html . 2012. diakses pada tanggal 14 Februari 2017 Fransiska, Kristina. Waspadalah 24 Penyebab Ginjal Rusak. Jakarta : Penerbit Cerdas Sehat. 2011 Kubler-Ross, E. (1003). Kematian Sebagai Kehidupan: On Death and Dying. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mansjoer, dkk. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. EGC : Jakarta Muttaqin dan Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Salemba Medika, Jakarta. National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. Kidney Disease Statistic for The United States. NIH Publication. 26 November 2012 Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2006 Republik Indonesia. (2008). Keputusan menteri kesehatan RI tentang standar pelayanan medik herbal. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Sherwood, Lauralle. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC. 2001 Sjamsuhidajat. (2007). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. EGC : Jakarta Smeltzer, Suzanne C. Dkk. Brunner & Suddart Textbook of medicalsuirgical Nursing : Eleventh Edition. USA : Lipincott williams & Wilkins.2009 Snyder. M., Lindquist. R,. (2002). Complementary Alternative Therapies In Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006 Tapan. (2005). Gagal ginjal kronik, Anti Oksidan dan Terapi Komplementer, Elex Media Komputindo, Jakarta Hasanah, S. N. & Widowati, L. (2016). Jamu pada pasien tumor / gagal ginjal kronik sebagai terapi komplementer. Jurnal Kefarmasian Indonesia. Thomas L. Friedman (2000) Globalisasi “The World Is Flat”. Cet. 2, Dian Rakyat USRDS Annual Data Report : Atlas of End Stage Renal Disease in United Stated Volume 2 tahun 2012 WHO. NCD Country Profile 2013. http://www.who.int/ nmh/countries/idnen.pdf. 2013. diakses pada tanggal 14 Februari 2017
78