MAKALAH KEPERAWATAN ANAK HOSPITALISASI PADA ANAK DAN KELUARGA
Disusun oleh: 1. 2. 3. 4. 5.
Elfa Elya Fauziyah Nilta Fitria Yoga Dzakiy M Wahyu Koddriyatul K. Afiyanti Riyana Dewi
(920173064) (920173091) (920173142)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS TAHUN AJARAN 2018/2019
BAB I PEMBAHASAN
A. Pengertian Hospitalisasi merupakan suatu proses yang memiliki alasan yang berencana atau darurat sehingga mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulanganya kembali ke rumah. Selama proses tersebut anak dan orang tua dapat mengalami kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukan dengan pengalaman traumatic dan penuh dengan stress. Perasaan yang sering muncul yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah. (Wulandari & Erawati, 2016 dalam Widiyatmoko, 2018) Perawatan dirumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak merasa malu bersalah, rasa takut. Hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata – kata marah tidak mau bekerja sama dengan perawat dan ketergantungan pada orangtua. (Deslidel dkk,2011 dalam Wulandari & Erawati, 2016) Hospitalisasi merupakan keadaan yang mengharuskan anak tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan karena suatu alasan yang berencana maupun kondisi darurat. Tinggal di rumah sakit dapat menimbulkan stress bagi anak- anak dan keluarga mereka ( Mendri & Prayogi, 2012 dalam Hulinggi, dkk., 2018) Hospitalisasi adalah pengalaman penuh cemas baik bagi anak maupun keluarganya. Kecemasan utama yang dialami dapat berupa perpisahan dengan keluarga, kehilangan kontrol. Lingkungan yang asing, kehilangan kemandirian dan kebebasan. Reaksi anak dapat dipengaruhi oleh perkembangan usia anak dapat dipengaruhi oleh perkembangan usia anak, pengalaman terhadap sakit, diagnosa penyakit, sistem dukungan dan koping terhadap cemas ( Nursalam, 2013 dalam Nugroho, 2018) Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis yang terjadi pada anak, yang terjadi saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Perawatan anak di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak karena anak yang dirawat dirumah sakit mengalami perubahan status kesehatan dan juga lingkungan seperti ruangan perawatan, petugas kesehatan yang memakai seragam ruangan, alat – alat kesehatan. Selama proses tersebut, anak dapat mengalami hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya, bisa ditunjukan pada anak yang tidak aktif, tidak komunikatif, merusak makanan, mundur ke perilaku sebelumnya ( mengompol, mengisap jari) dan perilaku regresi seperti ketergantungan dengan orang tua, menarik diri. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu lingkungan rumah sakit sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stresor bagi anak maupun orang tua dan keluarga yang bisa menimbulkan kecemasan. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak yaitu rasa cemas, marah, sedih, takut, dan merasa bersalah (Hockenberry& Wilson, 2011 dalam widiyatmoko, 2018) Hospitalisai merupakan suatu keadaan dimana anak diharuskan untuk dilakukan perawatan di rumah sakit, dan dari sinilah timbul rasa stress, rasa sedih, dan perubahan mekanisme koping. B. Reaksi anak terhadap hospitalisasi berdasarkan tahap usia 1. Bayi Masalah utama bayi terhadap sakit dan dirawat dirumah sakit adalah karena dampak dari perpisahan dari orangtua sehingga ada gangguan pembentukan
rasa percaya dan kasih sayang . pada anak usia lebih dari 6 bulan terjadi stranger axienty (cemas) karena perpisan. Reaksi yang sering muncul pada usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikat stranger axienty. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan meraskan cemas karena perpisahan dan perilaku yang ditunjukan adalah degan menangis keras . respon terhadap nyeri atau adanya perlakuan biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak,dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan .(supartini : 2004 dalam Ernawati 2014) 2. Todler Hasil penelitian dari zulhaini, dkk ini menunjukkan bahwa hospitalisasi menunjukkan tingkat kecemasan anak. Hal ini sesuai degan penelitian (Sari dan sulistino,2012) yang mengatakan bahwa anak yang mengalami hospitalisasi cenderung mengalami kecemasan . kejadian kecemasan secara kuantitatif paling banyak terjadi pada kecemasan tingkat ringan pada usia 4 tahun, laki, dan telah dirawat 2 hari . namun jika dilihat berdasarkan tingkat cemasnya, anak usia 3 tahun, perempuan, dan telah dirawat 2 hari dirumah sakit mengalami kecemasan lebih tinggi tingkatannyak(kecemasan tigkat sedang). Anak perempuan lebih cemas daripada anak laki-laki karena anak perempuan lebih sensitive dan mendaptkan stressor lebih intensif. Daripda anak laki – laki yang exsploratif. Hasil penenlitian tidak mampu menjelaskanketerlibatan lamanya dirawat dengan kecemasan anak namun hasil penelitian menunjukkan bahwa anak paling banyak cemas ringan hari pertama. Hal tersebut karena anak baru saja berpisah dari teman bermain, lingkungan tempat tinggal, hilang kendali, cedera da nyeri, lingkungan baru saat hospitalisai ( Suliswati, 2005: Donna L .Wong, 2008 ) Sebagian besar stres yang terjadi pada bayi usia pertengahan sampai anak periode prasekolah khususnya anak yang berumur 6-30 bulan adalah cemas karena perpisahan. Balita belum mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang memadai dan memiliki pengertian yang terbatas terhadap realita. Hubungan anak dengan ibu adalah sangat dekat, apabila perpisahan dengan ibu adalah sangat dekat, apabila perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat dirinya dan akan lingkungan yang dikenal olehnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas ( Nursalam, 2005 dalam Ernawati, 2016) 3. Prasekolah Berdasarkan hasil penelitian (Anggika A dkk)menunjukan bahwa sebagian besar respon anak prasekolah yang mengalami rawat inap di RSUD Karanganyar mempunyai tingkat kecemasan berat, yaitu sebanyak 55 responden ( 61,1%) . menurut (Hamid 2008) pada tahap usia prasekolah ini perilaku kehilangan kontrol menjadi lebih jelas, anak lebih menunjukan sikap protes dan keras . pada masa prasekolah anak tidak mampu membedakan antara kenyataan dan fantasi dalam semua situasi. Penelitian ini sejalan dengan latihan yang dilakukan (Irdawati 2010 ) diketahui respomden anak yang masuk katagori cemas berat sebanyak 19 responden (63,3%) dari total 30 responden. Penelitian dilakukan oleh (Tri 2013 ). Analisis univariant data mayoritas kecemasan anak leukimia limfoglastik akut usia prasekolah saat dilakukan tindakan infasif, yaitu skos antara 9-13 sebanyak 7 anak atau 43,75% dari total 16 responden. Hasil penelitian lain yang juga sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan ( Rahmawati,2010 ) menujukan
dari 30 reponden anak didapatkan 23, yang mengalami kecemasan berat dan presentasi 76,7%. Menurut (Ratna, 2013 ) kecemasan ( ansietas ) adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari seseorang. Pengertian lain adalah suatu keadaan tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan . 4. Sekolah Anak usia sekolah membayangkan dirawat dirunah sait merupakan suatu hukuman, dipisahkan merasa tidak aman dan kemandirian terlambat. Mereka menjadi ingin tau dan bingung, anak bertanya orang itu, mengapa berpa dirumah saki, berbagai macam pertanyaan dilontarkan anak tidak mengetahui yang sedang terjadi ( Wong 2004) anak yang dirawat dirumah sakit menunjukan reaksi menagis karena kesakitan dan hospitalisai. Penyebab penurunan mood antara lain perubahan status perubahan da lingkungan yang jauh dari rutinitasnya sehari hari serta keterbatasan koping mekanisme anak dalam memecahkan masalah. Reaksi anak terhadap hospitalisasi dipengaruhi oleh faktor usia, pengalaman sakit, perpisahan,pengalman dirawat dirumah sakit, pembawaan anak, ketrampilan koping, kegawatan diagnosa dan sport sistem .( Hockenberry & Wilson,2009, dalam Widiati, 2011) . C. Reaksi orangtua terhadap hospitalisasi, Reaksi sibling terhadap hospitalisasi Hampir semua orangtua berespond terhadap penyakit dan hospitalisasi anak dengan reaksi yang luar biasa. Pada awalnya orangtua dapat bereaksi dengan tidak percaya, terutama jika penyakit tersebut muncul tibba – tiba dan serius. Takut, cemas dan frustasi merupakan perasaan yang banyak diuangkapkan oleh orangtua. Takut dan cemas dapat berkaitan dengan keseirusan penyakit dan jenis prosedur medis digunakan sering kali kecemasan yang besar berkaitang dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak ( Wong, 2009) reaksi saudara kadung ( sibling ) terhadap anak yang sakit dan dirawat dirumas sakit adalah kesiapan, ketakutan, kekhawatiran, marah, cemburu, benci, iri, dan merasa bersalah. Orangtua seringkali memberikan perhatian yang lebih pada anak yang sakit dibandingkan dengan dengan anak yang sehat. Hal tersebut menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang sehat dan merasa ditolak . (Nursalam,2013) Reaksi dari saudara kandung terhadap hospitaisasi marah, cemburu, benci dan rasa bersalah . rasa marah dapat timbul karena orangtua lebih mementingkan saudaranya yang ada dirumah sakit dan ia tidak memahaminya dengan baik. (Setyawati, 2008) Dari hasil penelitian yang dilakukan (Riskiaminati dan Sugiyanto ) menujukan bahwaa kehadiran sibling pada anak usia sekolah yang menjalani hospitalisasi dengan kriteria cukup tinggi memiliki jumlah 19 (70,4%) karena sebagian keluarga atau orangtua menyadari pentingnya menghadirkan sibling bagi saudaranya yang sedang menjalani hospitalisasi. D. Komunikasi Pada Anak 1. Pengertian Komunikasi Pada Anak dan Konsep komunikasi pada Anak Komunikasi adalah hubungan timbal balik antara komunikator dan komunikan. Orang dewasa berusaha melakukan komunikasi yang bisa dipahami anak sebaliknya, anak juga menggunakan bahasa atau isyarat – isyarat yang bisa dipahami oleh orang dewasa. Dalam berkomunikasi dengan anak, orang dewasa harus memahami apa yang dipikirkan dan perasaan apa yang akan disampaikan anak dan berusaha memahami anak dengan bahasa yang tepat. Aspek penting dalam komunikasi supaya anak bisa paham komunikasi sebagai berikut.
a. Orang dewasa harus menggunakan bentuk bahasa yang bermakna bagi anak yang diajak berbicara. Maksudnya sebagai berikut. 1) Menggunakan isyarat seperti menunjukan objek secara jelas jika objek tersebut ingin dilihat anak. 2) Memilih kata – kata secara tepat dan struktur bahasa yang mudah dipahami anak. b. Anak berusaha agar komunikasinya juga dipahami orang lain. Maksudnya sebagai berikut. 1) Anak menggunakan isyarat- isyarat tertentu untuk menyampaikan keinginan atau mngungkapkan perasaanya agar orang dewasa paham dengan yang diinginkan. 2) Semakin bertambah besar anak, komunikasi dengan isyarat semakin kurang diperlukan karena pemahaman komunikasi anak sudah lebih baik. 2. Komunikasi pada Anak berdasarkan usia Perkembangan komunikasi pada bayi dan anak tergantung dari perkembangan otak dan fungsi kognitifnya. Perkembangan ini juga berhubungan dengan kematangan atau kemampuan organ sensorik dalam menerima rangsangan atau stimulus internal maupun eksternal. Perkembangan komunikasi pada bayi dan anak juga dipengaruhi oleh kuatnya stimulus internal dan eksternal yang masuk dalam diri anak melalui reseptor pendengaranya dan organ sensorik lainya. Perkembangan komunikasi pada anak mempunyai karakteristik yang berbeda – beda dan spesifik pada setiap tingkat perkembanganya. a. Penerapan komunikasi pada bayi (0-1 tahun) Sesaat setelah bayi dilahirkan dan ibu diijinkan menggendong si kecil dalam dekapanya, itulah awal seorang ibu berkomunikasi dengan bayinya. Meskipun baru dilahirkan, bayi bisa dengan cepat belajar mengenali dunianya melalui panca indranya. Bayi terlahir denga kemampuan menangis karena cara itu mereka berkomuniksi. Bayi menyampaikan keinginanya melalui komunikasi nonverbal. Bayi akan tampak tenang serta merasa aman dan nyaman jika ada kontak fisik yang dekat, terutama dengan orang yang dikenalnya ( ibu) tangisan bayi itu adalah cara bayi memberitahukan bahwa ada sesuatu yang tidak enak ia rasakan, misalnya lapar, popok basah, kedinginan dan lain – lain. b. Penerapan komunikasi pada kelompo todler ( 1-3 tahun) dan pra sekolah ( 36 tahun) Pada kelompok usia ini ana sudah mampu berkomunikasi secara verbal ataupun nonverbal. Anak sudah mampu mengatakan keinginan dengan menggunakan kata – kata yang dikuasainya. Ciri khas anak kelompok ini adalah egosentris, yaitu mereka melihat segala sesuatu dengan dirinya sendiri dan melihat sesuatu hanya berdasarkan sudut pandang anak sendiri. anak tidak mampu membedakan antara kenyataan dan fantasi sehingga tampak jika mereka bicara akan banyak ditambahi dengan fantasi diri tentang objek yang diceritakan. c. Komunikasi pada usia sekolah (7 – 11 tahun) Pada masa ini, anak sudah mampu memahami komunikasi penjelasan sederhana yang diberikan. Pada masa ini, anak akan mencari tahu terhadap hal – hal baru dan akan belajar menyelesaikan masalah yang dihadapinya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Pada masa ini anak harus difasiltasi untuk mengekspresikan rasa takut,rasa heran, penasaran, berani
mengajukan pendapat, dan melakukan klarifikasi terhadap hal – hal yang tidak jelas baginya.