Makalah Kepemimpinan

  • Uploaded by: Asikin sikin
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Kepemimpinan as PDF for free.

More details

  • Words: 6,692
  • Pages: 38
MAKALAH KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH

Oleh : Asikin N I M : 030549246

UNIVERSITAS TERBUKA ILMU ADMINISTRASI NEGARA 2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya

penulis

dapat

menyelesaikan

makalah

yang

berjudul

Kepemimpinan Kepala Madrasah tepat pada waktunya. Adapun penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kepemimpinan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak menutup kemungkinan apabila masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Dengan lapang dada penulis menerima saran dan kritiknya demi untuk menambah wawasan. Semoga makalah ini mendatangkan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi rekan-rekan semua pada umumnya. Amin.

Paser, 23 Oktober 2018-10-25

Penulis

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................................ DAFTAR ISI ..................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... A. Latar Belakang Masalah ................................................................... B. Rumusan Masalah ............................................................................ BAB II TEORI DAN KONSEP ............................................................................ A. TEORI ................................................................................................ B. KONSEP ............................................................................................ BAB III PEMBAHASAN .................................................................................... A. Hakikat Pemimpin .............................................................................. B. Pengertian Kepemimpinan ................................................................ C. Tugas Kepemimpinan ........................................................................ D. Fungsi Kepemimpinan ....................................................................... E. Gaya Kepemimpinan ......................................................................... F. Tipe-tipe Kepemimpinan ................................................................... G. Korelasi antara kebohongan dan politik ......................................... H. Kriteria pemimpin dalam lingkungan madrasah BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ A. Kesimpulan ....................................................................................... B. Saran .............................................................................................. C. Referensi.........................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan

adalah

kemampuan

mempengaruhi

suatu

kelompok untuk pencapaian tujuan (Robbins, 2002 : 163). Dalam suatu organisasi peranan pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi cukup besar. Hal ini disebabkan karena pemimpinlah yang mengorganisasikan seluruh

kegiatan

pencapaian

tujuan

organisasi.

Kemampuan

kepemimpinan seorang pemimpin dalam organisasi sangat menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diambil, kepemimpinan tergantung kepada pemimpinannya untuk mempengaruhi itu. Dari defenisi diatas menunjukkan kepemimpinan yang baik harus mampu berkomunikasi, baik sesama pemimpin maupun dengan karyawan. Apapun

jenis

organisasinya,

formal

atau

informal,

pasti

mempunyai tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai terlepas baik atau buruknya organisasi itu. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sebuah organisasi membutuhkan seseorang yang memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk mengelola dan menggerakan sumber daya organisasi yang serba terbatas yaitu 5-M: man (manusia), machine (mesin atau alat kerja), material (bahan utama dam pendukung); method (metode atau sistim) dan money (keuangan / biaya), dengan WAKTU yang terbatas tetapi mampu menghasilkan sesuatu hal yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi tersebut dimasa kini dan dimasa akan datang. Seseorang itu namanya disebut PEMIMPIN. Jadi itulah alasannya mengapa pemimpin harus ada disuatu organisasi. Jika tidak ada pemimpin maka sudah dapat dipastikan akan sangat sulit

mencapai visi atau tujuan organisasi sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Tidak adanya pemimpin, maka sekolah/ madrasah kesulitan memiliki strategi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemimpin sebelum menentukan strategi, terlebih dahulu melakukan analisis internal dan eksternal sekolah/ madrasah. Pemimpin sekolah/ madrasah akan menentukan visi, misi dan target sekolah/ madrasah berdasarkan datadata hasil analisis internal dan eksternal sekolah/ madrasah. Pemimpin menjabarkan visi sekolah/ madrasah dengan cara memformulasikan, mengimplementasikan dan mengendalikan strategi sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Jadi pemimpin diperlukan untuk membuat strategi yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan sekolah/ madrasah. Tidak ada pemimpin akan sangat sulit meminta pertanggunganjawab sekolah/ madrasah. Jika tidak ada pemimpinnya maka masingmasing pihak yang ada didalam lingkup sekolah/ madrasah akan berjalan sendiri-sendiri

sesuai

kemauannya

dan

gayanya

masing-masing

sehingga mudah sekali memicu konflik kepentingan yang tidak ada akhirnya. Jadi sangat sulit siapa yang akan bertanggungjawab tentang hasil dari sekolah/ madrasah tersebut, masing-masing pihak akan saling mengakui hasil kerjanya jika baik hasilnya, tetapi akan saling menuding dan

menyalahkan

jika

hasilnya

buruk.

Pemimpin

harus

berani

bertanggung jawab atas segala aktivitas yang dilakukannya untuk mencapai tujuan sekolah/ madrasah. Jika tidak ada pemimpin, problem-problem sekolah/ madrasah sangat sulit dipecahkan karena tidak ada yang mau bertanggung jawab, akibatnya sekolah akan mengalami kesulitan mencapai tujuannya. Pemimpin melihat permasalahan itu secara menyeluruh dan terintegrasi sehingga proses pemecahan masalah akan lebih efektif. Pemimpin juga akan mempercepat proses pengambilan keputusan atas pilihan-pilihan

alternatif solusi yang ada dan berani mengambil tanggungjawab atas resiko hasil keputusan tersebut. Jika tidak ada Pemimpin maka sumber daya yang terbatas akan sulit dikelola dengan baik. Umumnya Pemimpin mampu menentukan skala prioritas atas dasar pertimbangan ketersedian sumber daya dan waktu yang terbatas. Hanya pemimpin yang punya kepercayaan diri dan ketegasan mampu membuat skala prioritas dan berani melaksanakan apa yang diyakini. Jika tidak ada pemimpin, maka ada potensi konflik dalam team kerja. Pemimpin akan memberikan arahan dan tujuan yang jelas kepada semua anggota organisasi. Pemimpin akan menolong menentukan peran masing-masing

anggotanya

dalam

mencapai

tujuan

organisasi.

Pemimpin menjelaskan setiap peran itu penting dan memberikan kontribusi

yang

besar

dalam

pencapaian

organisasi.

Pemimpin

menjelaskan keterhubungan dan keterikatan semua peran dalam team dan dampaknya jika ada yang gagal memberikan kontribusi dalam team. Pemimpin juga akan memberikan semangat dan motivasi kepada seluruh anggota team agar fokus kepada tujuan dan target organisasi. Penulisan

makalah

ini

pada

dasarnya

bertujuan

untuk

mengeksplorasi bagaimana sesungguhnya kepemimpinan kepala sekola/ madrasah sebagai aktor perubahan. Dari eksplorasi tersebut diharapkan diperoleh suatu gambaran umum (untuk tujuan deskripsi) tentang (1) gambaran perubahan-perubahan yang terjadi di Sekolah/ Madrasah dalam kepemimpinan kepala sekolah, (2) proses perubahan selama kepemimpinan kepala sekolah, (3) letak atau sumber perubahan yang dilakukan oleh kepemimpinan kepala sekolan sebagai aktor perubahan. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk mengembangkan bangunan teori (theory building) berdasarkan data lapangan, setidaknya bertingkat teori substantif, yang diharapkan bisa “menjelaskan” sumber

perubahan sebagaimana yang berlangsung dalam kepemimpinan kepala sekolah/ Madrasah sebagai aktor perubahan.

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang menjadi konsep dasar kepemimpinan kepala sekolah/ madrasah 2. Peran kepemimpinan kepala sekolah/ madrasah dalam meningkatkan kualitas pendidikan

BAB II TEORI DAN KONSEP A. TEORI Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Hersey dan Blanchard (1995), mendefinisikan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku konsisten yang diperlihatkan pemimpin itu pada saat mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang dipersepsikan orang-orang tersebut. Gaya kepemimpinan pada hakekatnya memperlihatkan 2 (dua) perilaku yaitu berorientasi pada tugas (task oriented) dan berorientasi pada manusia (human oriented). Handoko (1995) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai atau prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu organisasi. Robbin (2002) kinerja merupakan ukuran dari sebuah hasil. Pengukuran kinerja mutlak diperlukan untuk disesuaikan dengan tujuan dan target yang akan dicapai. Melalui pengukuran pula maka akan dapat diperhitungkan tingkat efektivitas dan efisiensinya. Menurut Handoko (2000), kebijakan pimpinan terjadi dikarenakan adanya hambatan-hambatan dalam pendelegasian tugas yang berjalan kurang efektif. Untuk menanggulangi hambatan-hambatan ini maka pemimpin harus memberikan kepada bawahan kebebasan yang sesungguhnya untuk melaksanakan tugas yang dilimpahkan kepadanya. Menurutnya

juga

agar

hambatan

dapat

diatasi

kebijakan

yang

dikeluarkan oleh pimpinan dapat berupa: memberikan motivasi dan kompensasi kepada bidang dengan cara mendorong bawahan melalui

perhatian pada kebutuhan dan tujuan mereka sensitif. Di samping itu pemberian pedoman, bantuan dan informasi kepada bawahan atas pekerjaan sesungguhnya adalah hal yang sangat menentukan dalam kinerja. Pada dasarnya aktuasi dimulai dari pimpinan Madrasah dan bukan dengan menggerakan pihak lain. Seorang pimpinan Madrasah harus termotivasi secara pribadi untuk mencapai kemajuan dan kerjasama yang serasi dan terarah dengan pihak lain. Pimpinan Madrasah harus menunjukan kepada stafnya bahwa ia mempunyai tekad untuk mencapai keberhasilan dan peka terhadap lingkungannya. Pimpinan Madrasah harus obyektif dalam menghadapi berbagai persoalan di Madrasah. Ia juga harus realistis menghadapi perbedaan karakter pegawai. Dengan kata lain, seorang pimpinan memahami kodrat manusia yang mempunyai kekuatan dan kelemahan, dan tidak mungkin akan mampu bekerja sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain. Melalui UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka pendidikan nasional telah mempunyai dasar legalitasnya. Namun demikian pendidikan nasional sebagai suatu sistem bukanlah merupakan suatu hal yang beku. Suatu sistem merupakan suatu proses yang terus menerus mencari dan menyempurnakan bentuknya. Sebagai suatu proses, sistem pendidikan haruslah peka terhadap dinamika kehidupan yang kini menuntut reformasi di berbagai bidang, serta dinamika dari perubahan dunia yang dikenal sebagai gelombang globalisasi. H.A.R. Tilaar (1999:2) dalam hal ini telah memberikan pandangan, bahwa peranan pendidikan di dalam pembangunan nasional abad 21 dengan kondisi masyarakat serba terbuka, akan menimbulkan masalah

penting yang ditonjolkan, antara lain:1) pentingnya reformasi pendidikan, 2) pentingnya manajemen pendidikan agar dapat dibangun sistem pendidikan yang kuat dan dinamis menuju kualitas out put yang tinggi mutunya, 3) kemajuan teknologi informasi yang mempengaruhi proses pendidikan di dalam masyarakat ilmu (knowledge society), 4) otonomi daerah yang menuntut penyelenggaraan pendidikan nasional yang memenuhi

kebutuhan

pembangunan

daerah

sebagai

dasar

pembangunan nasional dan regional. Sebagai suatu sistem yang dinamis, pendidikan terus menerus disoroti oleh masyarakat, pemerintah dan para stake holders disertai dengan

munculnya

masalah-masalah

pendidikan

yang

semakin

kompleks. Silang pendapat mengenai sistem pendidikan merupakan hal yang biasa, oleh

karena proses pendidikan itu sendiri akan terus

menerus di tantang oleh perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya, maupun perubahan-perubahan konsep pendidikan karena peningkatan ilmu pengatahuan dan teknologi. Melihat besarnya kemungkinan permasalahan akibat perubahanperubahan besar, rupa-rupanya proses globalisasi tidak dapat diabaikan oleh setiap masyarakat dan bangsa di dunia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, misi pendidikan nasional yang akan datang diharapkan terwujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu. Hal ini di tujukan agar peserta didik memiliki akhlak mulia, bersikap kreatif dan inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas dan sehat, berdisiplin dan bertanggung jawab, ketrampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan pandangan di atas dan merespon perkembangan golabal,

Indra

Djati

Sidi,

Ph.D

(2001:69)

mengemukaan

arah

kebijaksanaan dapat dirumuskan dengan beberapa langkah. Pertama, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan. Ketiga, melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan. Keempat, memberdayakan lembaga pendidikan dan meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat. Kelima, meningkatkan kualitas lembaga pendidikan. Dan keenam, mengembangkan kualitas sumber daya manusia secara terarah, terpadu dan menyeluruh. Walaupun program peningkatan mutu pendidikan selama Pelita secara terus menerus selalu dilaksanakan, namun mutu pendidikan yang dicapai masih belum memuaskan. Hal ini bisa dilihat dari indikator sebagai berikut: Pertama, yaitu Nilai Ebtanas Murni (NEM) masih jauh dibawah standar yang diinginkan. Sebagai ilustrasi, presentasi klasifikasi mutu SLTP pada tahun 1995/ 1996 menunjukkan angka 9 % masuk kategori sekolah baik dan baik sekali (NEM di atas 6,5); 28,9 % masuk kategori sedang (NEM 5,5-6,5); dan 62,1 % masuk kurang atau kurang sekali (NEM kurang dari 5,5). Hal ini juga terlihat dalam Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan oleh UNDP, yang menempatkan bangsa kita berada pada urutan ke-109 dari 173 negara di dunia. Lebih lanjut Syarief (1996); pada jenjang SLTA dimana NEM bidang Fisika dari 2600 sekolah, kategori sangat baik dan baik, sekitar 19%, kategori sedang 33,6 % dan sisanya kategori kurang dan sangat kurang (47,4%). Untuk bidang sosial, 4,7 % kategori sangat baik dan baik, 20,2% kategori sedang dan 75% kategori kurang dan sangat kurang.Kedua, dilihat dari aspek non-akademik, banyak kritik terhadap masalah kedisiplinan, moral dan etika, kreativitas,

kemandirian, dan sikap demokratis yang tidak mencerminkan tingkat kualitas yang diharapkan oleh masyarakat. Ketiga, kemampuan guru sangat bervariasi. Hal ini bisa dilihat pada hasil tes guru-guru SLTP dan SMU diwilayah DKI Jakarta. Soal yang diberikan setara dengan Ebatanas. Hasilnya rata-rata guru MIPA memperoleh angka 6, 5, dengan tingkat distribusi sebagaian besar memperoleh nilai dibawah rata-rata. Keempat, kondisi lingkungan sekolah untuk menerapkan pendidikan yang bersifat non-akademik (kreativitas, kemandirian, demokrasi) juga relatif rendah. Hal ini kurang dapat menterjemahkan kosep-konsep metodologis pada level sekolah, walaupun telah diadakan pre-service dan inservice training yang cukup intensif. (Sidi;2001:71). Selama ini secara nasional dapat dikatakan belum memberikan hasil yang efektif. Kesimpulan ini hanya didasarkan dari gambaran performansi guru dan kualitas pembelajaran maupun rendahnya rata-rata prestasi belajar siswa secara nasional. Lebih jauh Umaedi (2002) menyatakan salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil. Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input out put oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga

pendidikan

(sekolah)

akan

dapat

menghasilkan

output

(keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. (dalam Umaedi; 1999) Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Paparan tersebut memberikan pemahaman bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Arifin (1999:4) secara utuh melihat kualitas pendidikan dari ketiga aspek tersebut, yaitu: (1) prestasi akademik dan non akademik tinggi sebagai kriteria kualitas keluaran (out put); (2) sistem menejemen dan kepemimpinan yang efektif sebagai kriteria sistem atau proses; dan (3)

pengakuan dan dukungan positif masyarakat. Apabila ketiga aspek ini dipenuhi maka pendidikan dapat diakatakan berkualitas tinggi (bermutu) dengan ditandai terjadinya perbaikan proses belajar mengajar bagi guru dan murid, diiringi dukungan positif dari komunitas eksternal terhadap lembaga pendidikan tersebut. Output dikatakan bermutu atau berkualitas tinggi, jika prestasi siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba-lomba akademik; dan (2) prestasi non-akademik seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, ketrampilan kejuruan, dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya. (Diknas; 2001:26) Bertolak dari uraian di atas, memperlihatkan bahwa sangat diharapkan adanya peningkatan mutu bagi lembaga pendidikan (madrasah). Havelock (1973) menyatakan bahwa peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan melalui inovasi dan perubahan (dalam Arifin; 1999:4). Perubahan-perubahan

yang

terjadi

dalam

pengelolaan

lembaga

pendidikan merupakan suatu basis aktivitas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Sidi (2001:45) mempertegas terhadap peningkatan mutu pendidikan perlu

adanya

strategi

yang

dikembangkan

dalam

manajemen.

Manajemen yang diharapkan tentu menuntut adanya perubahan paradigma, orientasi, pendekatan cara berfikir, serta sikap kreatif dan tidak fragmentaris dan tambal sulam. Tetapi harus bersifat sistemik, menyeluruh, dan mendasar. Dalam mewujudkan hal ini; pertama, melaksanakan inovasi manajemen kelembagaan pendidikan secara sistemik, total, dan mendasar, dengan sasaran utamanya adalah perubahan orientasi, pandangan (visi), cara berfikir, dan pola prilaku nyata atau action sebagai manifestasi adanya perubahan orientasi dan pandangan serta cara berfikir tersebut.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka perlu adanya penelitian untuk memahami mengenai sumber dari perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola lembaga pendidikan. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai pemimpin merupakan key position atau aktor terjadinya perubahan-perubahan tersebut. Mengungkap rahasia kebaikan sekolah dengan melihat bagaimana sekolah mengadakan perubahan-perubahan sangat beralasan dan dianjurkan oleh Hall dan Hord (1987) sebagaimana dikutip oleh Bafadhal (1995:10).

De Roche (1985) dalam kaitan ini mengadakan survey

terhadap 2000 orang kepala sekolah. Sebagai sampel, tiap kepala sekolah itu diminta mengindetifikasi masalah-masalah pengelolaan yang dihadapi di sekolahnya. Berdasarkan jawaban-jawaban yang masuk diiventerisasi kurang lebih 2000 masalah pengelolaan sekolah, yang selanjutnya dikelompokkan menjadi: (1) masalah pengelolaan keuangan; (2) masalah pengelolaan waktu; (3) masalah prilaku disiplin murid; (4) masalah orang tua murid; (5) masalah hubungan sekolah

dengan

masyarakat; (6) masalah guru dan pengajaran; (7) masalah hubungan, komunikasi, dan iklim sekolah; dan (8) masalah-masalah lain. Oleh karena itu diperlukan perubahan. Hal ini terkait dengan fungsi sekolah sebagai institusi sosial terbuka dengan perubahan-perubahan yang dilakukan untuk memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat yang selalau berubah. Sehingga sekolah akan dapat hidup dalam waktu yang relatif lama. Karena itu tidak berlebihan kiranya apabila Goodlad (1975), Henderson dan Perry (1987), dan McKibbin (1983) Brookover dan Lezotte (1979), dan Frymier dkk (1984), merekomendasikan bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu mengadakan perubahan-perubahan. a. Fokus Penelitian

Berdasarkan

latar

belakang

di

atas,

dapat

disimpulkan

bahwa

perubahan-perubahan yang terjadi di lembaga pendidikan dalam upaya peningkatan kualitas, faktor kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting menentukan keberhasilan. Berkenaan dengan hal tersebut, MAN 3 Malang dalam kurun waktu +2 tahun telah mengalami perubahan-perubahan yang signifikan baik di bidang , fisik, akademik maupun non-akademik. Perubahan-perubahan ini terkait dengan masa peralihan kepemimpinan kepala sekolah Bpk. Drs. H. Abdul Djalil, M.Ag sejak 20 September 2000. Meskipun Pak Djalil (panggilan akrabnya) dapat dikatakan berhasil membawa kemajuan bagi MIN 1 Malang dan MTsN 1 Malang sebagai kepala sekolah, akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan satu-satunya faktor bagi perspektif yang melatari penelitian ini. Posisi ini diambil berdasarkan keyakinan bahwa apa pun yang terpola bagi seorang kepala sekolah sebagai pemimpin dengan setting latar dan organisasi dalam karakter dan prilaku orang-orang yang berbeda maka akan mempengaruhi pola dan prilaku kepemimpinan yang berbeda pula. Dari pemahaman ini-lah yang menjadikan penelitian untuk memahami kepala sekolah sebagai aktor perubahan. Sehubungan dengan pernyataan pokok tersebut, maka kajian dalam penelitian ini, difokuskan pada perubahan-perubahan yang paling mencolok dalam kepemimpinan kepala sekolah di MAN 3 Malang. Dimana fokus penelitian ini penulis rumuskan melalui masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran perubahan-perubahan yang terjadi di MAN 3 Malang dalam kepemimpinan kepala sekolah ? 2.

Bagaimana

proses

perubahan

di

MAN

3

Malang

selama

kepemimpinan kepala sekolah? 3.

Dimana

letak atau

sumber perubahan

yang dilakukan oleh

kepemimpinan kepala sekolan sebagai aktor perubahan?

b. Ruang Lingkup Penelitian Agar penelitian ini tidak terseret “ombak” ke lautan persoalan atau bidang-bidang telaah yang lebih luas, maka perlu ditentukan ruang lingkup penelitian yang hendak dilakukan. Adapun penelitian ini hanya terfokus pada kepemimpinan kepala sekolah sebagai aktor perubahan yang telah dilakukan baik dibidang fisik, akademik, non-akademik. Karena itu peneliti tidak akan memaparkan dan mendiskripsikan secara rinci mengenai sesuatu diluar perubaha-perubahan dalam kepemimpinan kepala sekolah di MAN 3 Malang. Penelitian ini mengambil situs dan setting pada sekolah madrasah tingkat menengah di kota Madya Malang; yaitu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang dengan kepemimpinan kepala sekolah adalah Drs. H. Abdul Djalil, M.Ag. c. Tujuan Penelitian d. Manfaat Penelitian Pada dasarnya penelitian bukanlah untuk tujuan deskriptif semata, melainkan seperti yang terdapat dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian yakni juga untuk tujuan eksplanation . Tujuan eksplanasi tersebut untuk mengembangkan teori (theory building), khususnya tentang sumber kepemimpinan kepala sekolah sebagai aktor perubahan. Temuan dari penelitian setidaknya dapat memberikan kontribusi guna memperkaya khasanah teoritik tentang kepemimpinan bagi para kepala sekolah. Selain darpida itu, temuan penelitian dapat ikut menguatkan posisi pandangan teori Kaizen yang menempatkan peran kepemimpinan dalam proses perubahan. Bersamaan dengan itu, dapat mengkokohkan sejumlah pandangan teoritis dengan pendekatan “Moral Leadhership” yang menunjukkan letak atau sumber kepemimpinan sebagai aktor perubahan.

Konsep kepemimpinan yang bersandar pada peran kepala sekolah, secara khusus dapat menyumbangkan hasil galian kepada kepala sekolah MAN 3 Malang tentang bagaima kepemimpinan kepala sekolah sebagai aktor perubahan berdasarkan realitas dengan konsep teori yang ada. Mereka para kepala-kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan (khususnya Madrasah), hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai perbandingan dan masukan untuk memperkaya wawasan tentang pandangan kepemimpinan kepala sekolah sebagai aktor perubahan pada seluruh lembaga pendidikan. Gambaran dan proses perubahan berdasarkan konsep beserta kategori sumber kepemimpinan kepala sekolah sebagai aktor perubahan dalam penelitian ini, dapat menjadi tawaran alternatif kepada dunia akademik. e. Definisi Operasional Untuk memahami system-sistem yang digunakan dalam penelitian, maka berikut disajikan definisi-definisi operasional sebagai berikut: 1. Kepemimpinan Kepala Sekolah: dalam penelitian ini adalah segala bentuk tindakan kepala sekolah dalam proses perubahan untuk tercapaianya tujuan pendidikan. 2. Aktor Perubahan: dalam hal ini sebagai pelaku atau orang yang berperan dalam suatu kejadian penting pada perubahan. 3. Perubahan: dalam penelitian ini merupakan sebuah ide, usaha atau kegiatan (obyek) yang berbeda dengan sesuatu yang lain baik dalam hal bentuk, kualitas, maupun keadaannya untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam

B. KONSEP Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Ada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan dari peranan kepemimpinan kepala sekolah tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan, Kepala sekolah harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut. 1. Menyelami

kebutuhan-kebutuhan

kelompok

dan

keinginan

kelompoknya, dalam artian kebutuhan sekolah dalam bentuk fisik bangunan maupun non fisik ( kwalitas input dan output), serta kebutuhan guru dan seluruh proses pembelajarannya, serta yang sangat penting adalah kebutuhan peserta didik dalam proses pembelajarannya yang di kaitkan dengan kebutuhan dan perkembangan jaman. 2. Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai. 3. Meyakinkan seluruh komponen sekolah mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang

sebenarnya merupakan khayalan. Tugas kepemimpinan kepala sekolah tersebut akan berhasil dengan baik apabila seorang kepala sekolah memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. =leh sebab itu kepala sekolah akan tampak dalam proses di mana dia mampu mengarahkan, membimbing,

mempengaruhi dan

atau menguasai pikiran-pikiran,

perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain. /ntuk keberhasilan dalam pencapaian tujuan sekolah diperlukan kepemimpinan kepala sekolah yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya

sebagai

seorang

pemimpin,

serta

melaksanakan

peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu kepala sekolah harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebasan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan

BAB III PEMBAHASAN A. Hakikat Pemimpin Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.”[2]

Dalam kegiatannya bahwa

pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, karena apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.

B. Pengertian Kepemimpinan

Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan, di lihat dari status dan cara pengangkatan tergolong pemimpin resmi, formal leader, atau status leader. Status leader bisa meningkat menjadi functional leader. Tergantung dari prestasi dan kemampuan didalam memainkan peranannya sebagai pemimpin pendidikan sebagai sekolah yang telah diserahkan pertanggungjawaban kepadanya. Istilah kepemimpinan pendidikan mengandung dua pengertian dimana kata “pendidikan” menerangkan dalam lapangan apa dan dimana kepemimpinan itu berlangsung, dan sekaligus menjadi sifat dan ciri-ciri bagaimana yang harus dimilki pemimpin itu. Menurut Hadari Nawawi: kepemimpinan adalah kemampuan menggerakkan, memberikan motivasi dan mempengaruhi orang-orang agar bersedia melakukan tindakantindakan yang terarah pada pencapaian tujaun (1993:81). Kepala sekolah sebagai orang yang terpandang dilingkunag masyarakat sekolah. Ia sebagi pusat teladan bagi warga sekolah dan warga masyarakat di sekitar sekolah, karena itu ia kepala sekolah wajib melaksanakan petunjuk tentang usaha peningkatan ketahanan sekolah. Pada umumnya kepala sekolah memiliki tanggungjawab sebagi pemimpin dibidang pengajaran dan pengembangan kurikulum, administrasi personalia, administrasi personalia staf, hubungan masyarakat, “school Plant” dan perlengkapan organisasi di sekolah (W. Soemanto dan Hendiyat; 1982:38). Kepala sekolah dapat menerima tanggungjawab tersebut namun ia belum tentu mengerti dengan jelas bagaimana ia dapat menyumbang kearah perbaikan program pengajaran. C. Tugas Kepemimpinan Tugas pemimpin suatu birokrasi sangat urgen dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya sebagaimana yang daiamanhkan administrasi. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa

efektivitas kepemimpin yang bersangkutan merupakan suatu hal yang sangat urgen yang diharapkan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pencapaian tujuan birokrasi.Hicks & Gullet, mengatakan pimpinan yang efektif mampu memberikan pengarahan terhadapa usaha semua pekerja dan

pencapaian tujuan birokrasi. Tanpa pimpinan atau

bimbingan, hubungan antara individu dengan tujuan birokrasi menjadi lemah. Hasil penelitian dari para pakar kepemimpinan menunjukkan bahwa

efektivitas

kepemimpinan

seseorang

dinilai

menggunakan

kemampuan mengambil keputusan sebagai kriteria utamanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan mengambil keputusan tidak hanya di ukur dengan kuatitatif (jumlah) keputusan yang lahir, akan tetapi yang digunakan sebagai indikator adalah keputusan yang diambil bersifat praktis, realisitis dan dapat diimplementasian untuk mencapai tujuan birokrasi secara efisien dan efektif. Dalam segala situasi pemimpin memiliki peran yang sangat penting. Pemimpin birokrasi merupakan simbol, panutan, pendorong, sekaligus pengaruh, yang dapat mengarahkan berbagai kegiatan dan sumber daya birokrasi guna mencapai tujuannya. Tidak mengherankan begitu banyak studi yang dilakukan oleh ilmuwan tentang kepemimpinan, menghasilkan informasi dan analisis tentang pentingnya pengetahuan pemimpin, jadi apapun alasannya kepemimpinan tetap relevan untuk dikaji sebagai peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Mengingat dati berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya kualitas

pelayanan

publik

disebabkan

oleh

rendahnya

kualitas

pemimpinnya. Tugas kepemimipinan, pada dasarnya meliputi dua bidang utama,yaitu pencapaian tujuan birokrasi dan kekompakan orang yang dipimipinnya. Tugas yang berhubungan dengan kekompakan disebut

relationship function.Keating, mengatakan bahwa tugas kepemimpinan yang berhubungandengan kelompok yaitu: 1.

Memulai (initiating), yaitu usaha agar kelompok memulai.kegiatan atau gerakan tertentu.

2.

Mengatur (regulaing), yaitu tindakan untuk mengatur arah angkah kegiatan kelompok.

3. Memberitahu (informating), yaitu kegiatan memberi informasi, data, fakta, pendapat yang diperlukan. 4.

Mendukung (supporting), yaitu usaha untuk menerima gagasan, pendapat, usul, dari bawah dan menyempurnakan denganmenambah atau mengurangi untuk diginakan dalam rangkapenyelesaian tugas bersama.

5.

Menilai (evaluating) yaitu tindakan untuk menguji gagasan yang muncul atau

cara kerja

yang diambil dengan menunjukkan

konsekuaensi-konsekuansinya dan untung ruginya. 6.

Menyimpulkan (summrizing) yaitu kegiatan untuk mengumpulkan dan merumuskan gagasan, pendapat dan usul muncul, menyingkat lalu menyimpulkannya sebagai landasan untuk memikirkan lebih lanjut,. Lebih lanjut keating mengatakan bahwa tugas kepemimpinan yang berhubungan dengan kekompakan dalam kelompok antara lain yaitu:- Mendorong (encourraging) yaitu bersikap hangat, bersahabat menerima orang-orang.- Mengungkapkan perasaan (expressing feeling) yaitu tindakan menyatakan perasaan terhadap kerja dan kekompakan kelompok, seperti rasa puas, rasa senang, rasa bangga, danikut se-perasaan dengan orang-orang yang dipimpinnya pada waktu mengalami kesulitan, kegagalan, dan lain-lain.- Mendamaikan (harmonozing) yaitu tindakan mempertemukan dan mendamaikan pendapat pendapat yang berbeda dan menurunkan orang-orang yang bersitegang satu sama lain.- Mengalah (compromizing) yaitu

kemampuan

untuk

dipimipinnya.membantu

mengubah

Memperlancar

mempermudah

perassan

orang-orang

(gatekeeping)

keikutsertaan

para

yaitu

yang

kesediaan

anggota

dalam

kelompok,sehingga semua secaa ikhlas menyumbangkan dan mengungkapkan gagasan-gagasan. Memasang aturan main (setting standarts) yaitu tindakan menyampaikan aturan dan tata tertib yang membantu kehidupan kelompok.

D. Fungsi Kepemimpinan Fungsi Kepemimpinan Pendidikan Dalam upaya menggerakkan dan memotivasi orang lain agar melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang pemimpin melakukan dalam beberapa cara. Cara yang ia lakukan merupakan pencerminan sikap serta gambaran tentang tipe (bentuk) kepemimpinan yang dijalankannya Stoner , mengatakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah agar seseorang beroperasi secara efektif kelompok memerlukan seseorang untukmelakukan dua hal fungsi utama, yaitu : 1. Berhubungan dengan tugas atau memecahkan masalah. 2. Memlihara kelompok atau sosial. Hicks & gullet, membagi delapan fungsi kepemimpinan yaitu: 1. Pemimpin sebagai penengah 2. Pemimpin sebagai penganjur 3. Pemimpin sebagai pemenuhan tujuan 4. Pemimpin sebagai katalisator 5. Pemimpin sebagai pemberi jaminan 6. Pemimpin sebagai yang mewakili 7. Pemimpin sebagai pembangkit semangat, dan pemimpin sebagai pemuji Fungsi kepemimpinan menurut Siagian yaitu:

1. Pemimpin sebagai penentu arah, yaitu setiap birokrasi, baik di bidang kenegaraan, keniagaan, politiik, sosial dan birokrasi kemasyarakatan ainnya,diciptakan atau dibentuk sebagai wahana untuk mencapai tujuan tertentu,baik sifatnya jangka panjang, jangka pendek yang tidak mungkin tercapaiapabila tidak diusahakan dicapai oleh anggotanya yang bertindak sendiri-sendiri, tanpa ditentukan arah oleh pimpinan. 2. Pimpinan sebagai wakil dan juru bicara birokrasi, yaitu dalam rangka pencapaian tujuan, tidak ada birokrasi yang bergerak dalam suasana terisolasi. Artinya, tidak ada birokrasi yang akan mampu mencapai tujuannya tanpa memlihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak diluar birokrasi itu sendir, yaitu pihak stakeholder. 3. Pemimpin sebagai komunikator, yaitu pemeliharan baik keluar maupun kedalam dilaksanakn dalam proses komunikasi, baik lisan maupun tulisan. 4. Pemimpin sebagai mediator,sebagai penengah dalam suatu konflik yang mungkin terjadi didalam birokrasi itu sendiri. 5. Pemimpin sebagai integrator, yaotu merupakan kenyataan kehidupan birokrasi bahwa timbulnya kecenderungan beorfikir dan bertindak bekotak-kotak dikalangan para anggota birokrasi dapat diakibatkan oleh sikap positif, atau pun sikap negatif. Selain fungsi-fungsi tersebut di atas, maka fungsi lain kepemimpinan birokrasidapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Fungsi perintah, yaitu fungsi kepemimpinan yang bersifat satu arah arah kepada yang dipimpinnya. 2. Fungsi kosultatif, yaitu fungsi kepemimpinan yang bersifat dua arahkepada yang dipimpinnya meskipun pelaksanaannya sangat tergantung pada pihak yang memimpin. 3. Fungsi partsipatif, yaitu fungsi kepemimpinan yang bersifat dua arah kepada

yang

dipimpinnya,

tetapi

juga

berwujud

pelaksanaan

hubungan manusia yang efektif antara pemimpin dan yang dipimpin. Dalam hal ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan dalam mengambil keputusan maupun dalam melaksananakan keputusan. 4. Fungsi delegasi, yaitu fungsi pemimpin untuk mendelegasikan wewenang untuk membuat, menetapkan, dan atau melaksanakna keputusan,

baikmelalui

persetujuan

mauun

tanpa

persetujuan

pimpinan

E.

Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom. Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau

diacu

oleh

bawahan

tersebut

dikenal

sebagai

gaya

kepemimpinan.[11] Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini. 1. Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made”(pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin.

Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis. 2. Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup. 3. Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik. Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blancharddalam Sutarto[12] berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari

pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s). Kepemimpinan sama dengan gabungan dari fungsi (f) pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi(s). Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi atau lembaga. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin. Dengan bawahan yang tepat maka team kerja dapat bekerja secara maksimal. Sedangkan bila tidak dapat memiliki bawahan yang dapat diandalkan, pada akhirnya beban akan kembali ke pimpinan. Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan

tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Hubungan antara ketiganya yang saling mendukung merupakan sinergi yang akan meningkatkan tingkat keberhasilan kepempimpinan mereka. Dalam prakteknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa gaya kepemimpinan; di antaranya adalah: Gaya Otokratis, Gaya Demokratis, Gaya Laissez Faire (Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstentif) yang ketiganya telah dibahas dalam makalah “Tipologi kepemimpinan kependidikan Islam” dan dalam makalah sebelum dan sesudahnya. F. Tipe-tipe Kepemimpinan Adapun tipe kepemimpinan yang pokok atau juga disebut ekstrem ada tiga tipe atau bentuk kepemimpinan yaitu: a. Kepemimpinan Otoriter Kepemimpinan otoriter adalah kepemimpinan yang bertindak sebagai diktor terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah

menggerakkan

dan

memaksa

kelompok.

Apa

yang

diperintahnya harus dilaksanakan secara utuh, ia bertindak sebagai penguasa dan tidak dapat dibantah sehingga orang lain harus tunduk kepada kekuasaanya. Ia menggunakan ancaman dan hukuman untuk menegakkan kepemimpinannya. Kepemimpian otoriter hanya akan menyebabkan ketidakpuasan dikalangan guru. b. Kepemimpinan Laissez Faire Bentuk kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari kepemimpinan otoriter. Yang mana kepemimpinan laissez faire menitik beratkan kepada kebebasan bawahan untuk melakukan tugas yang menjadi

tanggung jawabnya. Pemimpin lasses faire banyak memberikan kebebasan kepada personil untuk menentukan sendiri kebijaksanaan dalam melaksanakan tugas, tidak ada pengawasan dan sedikit sekali memberikan pengarahan kepada personilnya. Kepemimpinan Laissez Faire tidak dapat diterapkan secara resmi di lembaga pendidikan, kepemimpinan laissez faire dapat mengakibatkan kegiatan yang dilakuakn tidak terarah, perwujudan kerja simpang siur, wewenang dan tanggungjawab tidak jelas, yang akhirnya apa yang menjadi tujuan pendidikan tidak tercapai. c. Kepemimpinan Demokratis Bentuk kepemimpinan demokratis menempatkan manusia atau personilnya sebagai factor utama dan terpenting. Hubungan antara pemimpin

dan

orang-orang

yang

dipimpin

atau

bawahannya

diwujudkan dalam bentuk human relationship atas dasar prinsip saling harga-menghargai

dan

hormat-menghormati.

Dalam melaksanakan tugasnya, pemimpin demokratis mau menerima dan

bahkan

bawahannya,

mengharapkan juga

kritik-kritik

pendapat yang

dan

saran-saran

membangun

dari

dari

anggota

diterimanya sebagai umpan balik atau dijadikan bahan pertimbangan kesanggupan

dan

kemampuan

kelompoknya.

Kepemimpinan

demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, terarah yang berusaha

memanfaatkan

setiap

personil

untuk

kemajuan

dan

perkembangan organisasi pendidikan. G. Korelasi antara kebohongan dan politik Perilaku berbohong dan aktivitas politk adalah sebuah Necessary Evil yang semua polotisi tau bahwa tindakan tersebut adalah buruk, tapi

mesti dilakukan. Banyak faktor yang membuat politisi tidak bisa keluar dari kondisi ini. Pertama, menyangkut sistem yang berlaku dimana dengan era politik pencitraan yang begitu dominan dalam dunia politik, sebuah citra lebih penting dari pada kebenaran itu sendiri. Hal ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah menjaga dan memproteksi kekuasaan. Kedua, berhubungan dengan pekerjaan seorang politisi itu sendiri. Hal yang paling dominan dari seorang politisi adalah kemampuan rhetor yang saat ini kita sebut retorika. Seorang politisi harus bisa berbicara yang pada akhirnya mempengaruhi keputusan. Maka tidak heran untuk menyenangkan publik pemilihnya seorang politisi rela berbicara kebohongan agar apa yang dibicarakannya tetap terpercaya oleh pemilih dan konstitusinya. H. Kriteria pemimpin dalam lingkungan Madrasah Madrasah yang baik, biasanya menumbuhkan animo masyarakat yang luar biasa. Disatu sisi hal yang seperti ini patut disyukuri dan disis lain kondisi yang muncul ada hal yang kurang baik. Contohnya, ketika penerimaan peserta didik baru ( PPDB ) dibuka. Terlalu banyak yang berminat, yang artinya peminat yang datang terlalu senjang jumlahnya dengan yang diterima menyebabkan terlalu banyak orang tua calon peserta didik yang merasa kecewa. Maka kondisi seperti inilah yang tidak luput dari pemikiran para pengelola. Mereka mempelajari keungkinan pembukaan sekolah diwlayah yang baru. Tentunya dengan dilandasi dengan niat yang baik pula yakni keinginan menyalurkan keberlimpahan peminat, maka usaha menyiapkan madrasah yang diminati segera diselusuri, salah satunya dengan membuat studi kelayakan potensi dikembangkannya layanan kepada masyarakat di wilayah padat peminat itu.

Jika rezeki sesuai dengan rencana, maka tumbuhlah madrasah baru yang diharapkan itu. Seiring dengan fasilitas yang mesti dilengkapi, maka yang harus disiapkan adalah tenaga pendidik dan kependidikan yang siap dan sigap terhadap rintisan madrasah tersebut. Dari semua materi yang dianggap penting ternyata pembicaraan tentang pemimpin yang diharapkan mampu memimpin madrasah baru menjadi bagian yang sangat serius diperbincangkan. Hal ini dianggap wajar mengangkat pemimpin madrasah adalah insan yang kelak menjadi personal utama dan menentukan baik buruknya madrasah tersebut. Pemimpin madrasah yang available adalah pemimpin kompeten di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Dia dapat menunjukkan performa terbaiknya.sehingga guru, karyawan maupun orang tua siswa percaya kepada kepemimpinannya. Pemimpin seperti ini menjadi panutan guru, karyawan, maupun peserta didik untuk bersama-sama

membangun

madrsah

mencapai

tujuan

yang

diharapkan. Pemimpin madrasah yang acceptable adalah pemimpin madrasah yang mudah diakses oleh setiap unsur terkait dengan madrasah yang dipimpinnya. Beberapa kegiatan koordinasi seperti guru yang bertanya terkait teknis layanan karena guru tersebut perlu dibimbing darinya bisa dilakukan. Hal tersebut terjadi karena pemimpin tersebut mudah ditemui, mudah diajak diskusi karena dirinya adalah orang yang mudah pula diajak berkomunikasi. Pemimpin yang accountable adalah pemimpin yang mampu bertanggung jawab atas urusan yang menjadi tanggung jawabnya. Sifat tanggung jawab ini bukan sebatas berorientasi hasil, melainkan yang dipentingkan pada orientasi proses. Pemimpin yang bertanggung jawab menyadari setiap langkahnya akan berujung dengan kualitas

akhir yang kelak dipertanggung jawabkannya. Dengan demikian, pemimpin yang bertanggung jawab akan melakukan pengawalan yang intens terhadap beragam tanggung jawab yang diekspresikan dalam aneka kegiatan layanan yang menjadi tanggung jawabnya tersebut.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pemimpin

pada

hakikatnya

adalah

seorang

yang

mempunyai

kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Tipe-tipe kepemimpinan pada umumnya adalah tipe kepemimpinan pribadi,Tipe kepemimpinan non pribadi, tipe kepemimpinan otoriter, tipe kepemimpinan demokratis, tipe kepemimpinan paternalistis, tipe kepemimpinan menurut bakat. Disamping tipe-tipe kepemimpinan tersebut juga ada pendapat yang mengemukakan menjadi tiga tipe antara lain :Otokratis, Demokratis, dan Laisezfaire. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pemimpin meliputi ; kepribadian (personality), harapan dan perilakuatasan, karakteristik, kebutuhan tugas, iklim dan kebijakan organisasi, dan harapan dan perilaku rekan. Yang selanjutnya

bahwa

factor-faktor

kesuksesan

pemimpin

dalam

tersebut

dapat

melaksanakan

mempengaruhi

aktivitasnya.Tugas

pemimpin dalam kepemimpinannya meliputi ; menyelami kebutuhankebutuhan kelompok, dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendakkehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai, meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.Pemimpin

yang

professional

adalah

pemimpin

yang

memahami akan tugas dan kewajibannya, serta dapat menjalin hubungan

kerjasama

yang

baik

dengan

bawahan,

sehingga

terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman,

tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. B. Saran Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut : 1. Hendaknya para pemimpin, khususnya pemimpin dalam bidang pendidikan dalam melaksanakan aktivitasnya kepemimpinannya dalam mempengaruhi para bawahannya berdasarkan pada kriteria-kriteria kepemimpinan yang baik. 2. Dalam membuat suatu rencana atau manajemen pendidikan hendaknya para pemimpin memahami keadaan atau kemampuan yang dimiliki oleh para bawahannya, dan dalam pembagian pemberian tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing. 4. Pemimpin hendaknya memahami betul akan tugasnya sebagai seorang pemimpin. 5. Dalam melaksanakan akvititasnya baik pemimpin ataupun yang dipimpin menjalin suatu hubungan kerjsama yang saling mendukung untuk tercapainya tujuan organisasi atau instnasi.

Referensi Harbani Pasolong, Kepemimpinan Birokrasi, (bandung : Alfabeta, 2010)T. Hani

Handoko

, Manajemen

edisi

2 Arief

Furchan,

Pengantar

Penelitian dalam Pendidikan, (Yogyakarta : PustakaPelajar, 2004). Burhanuddin, Analisis Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Malang : Bumi Aksara, 1994). Dadang Sulaeman dan Sunaryo, Psikologi Pendidikan, (Bandung : IKIP Bandung,1983). I.Nyoman Bertha, Filsafat dan Teori Pendidikan, (Bandung : FIP IKIP Bandung,1983). M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara SumberSumber Benih Kecerdasan, 1981). Maman Suherman, Pengembangan Sarana Belajar, (Jakarta : Karunia, 1986). Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo,1999). Marsetio Donosepoetro, Manajemen dalam Pengertian dan Pendidikan Berpikir,(Surabaya : 1982). Nanang

Fattah,

Landasan

Manajemen

Pendidikan,

(Bandung

: Rosdakarya, 1996). Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional,(Bandung : Angkasa, 1983). Enceng dan dkk. (2018 ). Kepemimpinan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Related Documents


More Documents from ""