Makalah Kemasan Daging Dan Sosis Fix.docx

  • Uploaded by: Lady
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Kemasan Daging Dan Sosis Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,844
  • Pages: 28
MAKALAH MATA PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN BAHAN PANGAN

Pengemasan Daging Sapi Segar dan Sosis Sapi

Disusun Oleh Kelompok 1: Novia Rahma M. S.

240210150080

Zahra Maulidza P.

240210150093

Alexander Dimitry

240210150099

Peggy Bhanuwati

240210150106

Rufaidah I. M.

240210150120

DEPARTEMEN INDUSTRI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2018

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Daging merupakan salah satu komoditas yang menjadi sumber kebutuhan

protein hewani bagi manusia. Sifat daging yang mudah rusak menuntut dibutuhkannya penanganan daging yang tepat setelah hewan disembelih supaya daging tetap pada kondisi baik hingga konsumen. Daging mudah rusak karena mengandung kadar air dan protein yang cukup tinggi, sehingga menjadi tempat yang baik/ideal bagi tumbuh dan kembang mikroorganisme. Selain cara penangan dengan mengendalikan suhu, pengemasan juga menjadi faktor penting untuk menjaga kesegaran dan kualitas daging. Pengemasan menjadi salah satu faktor penting karena melindungi daging dari faktor lingkungan/ekstrinsik sehingga dapat meningkatkan umur simpan. Dalam pengemasan daging, ada dua faktor yang sangat penting: warna dan mikrobiologi. Kedua faktor ini perlu dikaji secara terperinci sebelum bahan dan sistem pengemasan diaplikasikan, karena pemahaman warna daging merah dan mikrobiologi adalah penting prasyarat untuk pengembangan dan aplikasi kemasan yang tepat untuk daging merah. Warna umumnya dianggap sebagai faktor penentu utama sebagai indikator umur simpan, tetapi jika berkaitan dengan kebersihan dan metode pengemasan, pembusukan mikroba adalah penentu utama dari penerimaan produk daging. Sosis merupakan produk olahan dari daging. Walaupun pada sosis ditambahkan bahan lain, tetapi penggunaan daging sebagai bahan baku menyebabkan karakteristik sosis tidak jauh berbeda dengan daging. Oleh karena itu pengemasan sosis perlu dikaji untuk mencegah kerusakan mirkoorganisme, selain penanganan dengan mengendalikan suhu.

1.2.

Rumusan Masalah dan Tujuan Rumusan masalah yang dapat diperoleh dari latar belakang yang telah

djelaskan, yaitu: 

Bagaimana karakteristik daging sapi segar dan produk olahannya, yaitu sosis sapi?



Faktor apa saja yang mempengaruhi kerusakan daging dan sosis sapi?



Berdasarkan karakteristik dan kemungkinan kerusakan pada daging sapi segar dan sosis sapi, kemasan apa yang tepat untuk kedua bahan pangan tersebut?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan, yaitu: 

Karakteristik daging sapi segar dan sosis sapi



Faktor kerusakan daging segar dan sosis sapi



Jenis bahan/sistem kemasan yang tepat untuk daging sapi segar dan sosis sapi.

II.

DAGING

2.1.

Definisi dan Karakteristik Daging Daging merupakan bagian dari hewan potong yang digunakan manusia

sebagai bahan makanan (Lawrie, 2003). Menurut Soeparno (1995), daging merupakan seluruh jaringan hewan dan semua produk hasil jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi atau memakannya. Daging umumnya berbeda dengan karkas, daging biasanya sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas adalah daging yang belum dipisahkan dari tulang (Muchtadi,dkk., 2010). Menurut FAO tahun 1974 dalam Muchtadi dkk. (2010), karkas adalah bagian tubuh hewan yang telah disembelih, utuh, atau dibelah sepanjang tulang belakang , dimana hanya kepala, kaki, kulit,organ bagian dalam, dan ekor yang dipisahkan. Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot, jaringan lemak, dan jaringan ikat (Muchtadi, dkk.,2010). Komposisi daging sapi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Daging Sapi Komposisi Kandungan Air (%) 66 Protein (%) 18,8 Lemak (%) 14 P(mg/g) 170 Besi (mg/g) 2,8 Vitamin A (SI) 30 Vitamin B (mg/g) 0,08 Sumber :Muchtadi dan Sugiyono (1992) Menurut LIPTAN (2001) dalam Susanto (2014), ciri-ciri daging segar yang baik antara lain (1) warna merah cerah dan mengkilat, daging yang mulai rusak berwarna coklat kehijauan, kuning dan akhirnya tidak berwarna; (2)bau khas daging segar; (3) tekstur kenyal, padat dan tidak kaku; dan (4) penampakannya tidak berlendir dan tidak terasa lengket. Warna pada daging ditimbulkan oleh adanya pigmen daging yang tersusun atas dua protein yaitu hemoglobin dan mioglobin. Kadar mioglobin pada daging dengan kondisi yang baik,lebih besar dari kadar hemoglobin, yaitu antara 80-90% dari total pigmen. Dengan demikian yang paling utama menyebabkan warna daging adalah mioglobin. Kadar mioglobin bervariasi jumlahnya tergantung spesies, umur, seks

dan aktivitas fisik hewan yang bersangkutan (Muchtadi,dkk., 2010). Tekstur pada daging merupakan faktor penting disamping faktor rasa dan aroma. Menurut Muchtadi dkk. (2010),tekstur pada daging dipengaruhi oleh jenis galur, umur ternak,jenis daging, perlakuan yang diberikan dan kondisi daging (prerigor, rogor mortis, atau pasca rigor).

2.2

Kerusakan Daging Bahan pangan umumnya bersifat sangat mudah rusak.Hal ini disebabkan

karena sifat fisik dan kimianya yng memungkinkan berbagai kerusakan baik fisik,mekanik, kimia dan mikrobiologi mudah terjadi (Muchtadi, dkk., 2010). Kerusakan pada daging berhubungan dengan mutu daging itu sendiri. Mutu karkas dan daging sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, sarana dan prasarana tempat pemotongan (RPH), kondisi ternak sebelum disembelih, alur proses penyembelihan dan penanganan karkas, proses pengangkutan daging, proses penjualan sampai pada proses pengolahan (Kuntoro, dkk., 2013). Perubahan mutu daging dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sebagai berikut. 1. Suhu Suhu dapat mempengaruhi perubahan karakteristik daging. Penyimpanan daging pada suhu beku dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim sehingga proses pembusukan dapat dihambat (Bucke, dkk., 2009). Selain itu, menurut Buckle dkk.(2009),penyimpanan daging pada lemari es dapat memberikan warna daging yang lebih merah. Suhu lingkungan mempunyai hubungan yang erat dengan pH karkas. Suhu tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno, 2005 dan Kuntoro, dkk., 2013). 2. pH Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al., 2007 dalam Kuntoro,dkk., 2013). Menurut Soeparno dkk. (2011) dalam Kuntoro dkk. (2013) pH normal daging berkisar antara 5,3-5,9 , tergantung dari laju

glikolisis postmortem serta cadangan glikogen dalam otot. Daging yang memiliki pH akhir rendah akan memiliki struktur terbuka, warna merah muda, flavor yng baik, dan stabilitas yang baik terhadap kerusakan akibat mikroorganisme (Buckle, dkk., 2009). Daging yang mempunyai pH tinggi , jauh diatas pH isoelektrik dari aktomiosin, maka protein akan mengikat air lebih banyak (Muchtadi, dkk, 2010). Kapasitas mengikat air berpengaruh langsung terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur, juiceness, serta pengerutan daging (Forrest et al.1975). pH akhir daging yang tinggi juga dapat menyebabkan daging berwarna gelap (Lawrie,2003). Selain itu, pH tinggi juga dapat menyebabkan daging mempunyai struktur yang tertutup atau padat dengan warna merah –ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkin untuk pertumbuhan mikroorganisme (Buckle, dkk., 2009).

3. Oksigen Oksigen merupakan faktor yang sangat menentukan perubahan warna dan aroma pada daging. Oksigen juga dapat mempengaruhi perubahan flavor pada daging karena menurut Buckle dkk.(2009) lemak yang teroksidasi dapat mempengaruhi flavor menjadi tengik.Mioglobin pada daging dapat bereaksi dengan oksigen dan mengakibatkan perubahan warna. Perubahan warna pada daging akibat oksigen dapat dilihat sebagai berikut (Muchtadi, dkk.,2010). oksigenasi

Oxymioglobin (merah cerah)

Oxymioglobin (merah cerah)

oksidasi

Metmioglobin (coklat)

Metmioglobin (coklat)

panas

Mioglobin (merah )

Metmioglobin

terdenaturasi

(coklat) Metmioglobin terdenaturasi (coklat)

oksidasi porfirin

Warna hijau, kuning, tidak

berwarna 4. Enzim Enzim proteolitik merupakan salah satu enzim yang menyebabkan penurunan mutu pada daging. Menurut Buckle dkk. (2009), penyimpanan daging pada suhu -1oC sampai 1,5oC dapat membuat enzim proteolitis bekerja. Enzim proteolitis pada daging akan menyebabkan terpisahnya serabut aktin dari

garis-Z dengan hilangnya Ca++ dan influks K+ ke dalam sel sehingga daya ikat air bertambah dan terjadi perubahan protein sarkoplasma. Hal ini menyebabkan terjadinya pelunakan pada daging. 5. Mikroorganisme Mikroorganisme yang dapat mencemari daging antara lain Salmonella sp., Escherichia coli, Staphylococcus sp., dan Pseudomonas (Erni, 2009). Mikroorganisme yang berasal dari pekerja, antara lain Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus dan Staphylococcus aureus, Clostridium walchi, Bacillus cereus dan Streptococcus dari feses (Lawrie, 2003). Kerusakan daging oleh mikroorganisme ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol dan amin yang merupakan hasil pemecahan protein (Siagian, 2002). Gejala pembusukan akibat pertumbuhan bakteri diantaranya adalah terbentuk slem (lendir) pada permukaan daging yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri L. Viridens dan pembentukan lendir berwarna hijau oleh Enterococcus dan Bacillus thermospacta, kehilangan warna oleh terdestruksinya pigmen daging (mioglobin) menjadi metmioglobin yang berwarna coklat menjadi kuning atau hijau yang disebabakan oleh bakteri pembentuk sufmyglobin atau timbulnya koloni bakteri, ada produksi gas, bau kurang enak, cacat dan dekomposisi lemak (Kusmajadi, 2014).

III.

Sosis Sapi

3.1.

Definisi Sosis merupakan salah satu produk hasil olahan daging. Menurut Kramlich

(1973) definisi dari sosis adalah makanan yang terbuat dari cacahan daging yang dibungkus dalam sebuah casing menjadi bentuk silindris. Menurut BSN (2015), sosis merupakan produk berbahan baku daging yang dihaluskan dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan dan di masukkan ke dalam selongsong sosis dengan atau tanpa proses pemasakan. Daging yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis yaitu daging sapi, kerbau, kambing, domba, unggas atau hewan ternak lainnya. Menurut BSN (1995), sosis terbuat dari campuran daging halus (tidak kurang dari 75%) dengan tepung, bumbu-bumbu serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan yang dimasukan ke dalam selongsong sosis serta mengacu pada syarat mutu sosis. Dalam proses pembuatannya, bahan baku sosis terdiri dari dua yaitu bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama untuk proses pembuatan sosis terdiri atas daging, es, minyak, garam dan lemak. Sedangkan bahan tambahannya yaitu bumbu-bumbu, bahan pengikat, bahan pengisi, bahan penyedap dan bahan tambahan lainya yang diizinkan. Sosis bersifat mudah rusak (perishable) karena kandungan nutrisi di dalamnya dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk hidup. Pertumbuhan mikroba pada bahan pangan yang tidak diinginkan dapat dijumpai dalam bentuk kerusakan pangan dan penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi produk pangan yang terkontaminasi mikroba patogen (foodborne disease).

3.2.

Pembuatan Sosis Bahan dasar pembuatan sosis adalah daging dan emulsi. Emulsi

merupakan dispersi dua cairan yang tidak saling melarutkan, dimana cairan yang satu terdispersi dalam cairan yang lain. Masalah yang sering dialami dalam pembuatan sosis adalah pecahnya emulsi karena penggilingan dan pemanasan yang berlebihan dan proses pengohan yang telampau cepat (Dotulong, 2009). Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis sapi adalah daging, tapioka, air/es, garam, gula, lemak, telur dan casing sosis.

1. Tapioka, merupakan bahan pengisi yang berfungsi meningkatkan stabilitas emulsi olahan, meningkatkan daya ikat air, menurunkan susut masak dan menurunkan biaya produksi. Ciri dari bahan pengikat diantaranya mempunyai kandungan protein tinggi (Aberle, 2001). Pada umumnya tepung ditambahkan sebesar 5-10% dari berat daging (Singal, 2013). 2. Air, ditambahkan ke dalam adonan sosis dalam bentuk serpihan es agar suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik (Koswara, 2009). 3. Garam, digunakan sebagai bahan tambahan pangan yang mempunyai fungsi memperbaiki cita rasa dan penampilan produk serta tekstur daging ikan (Winarno, 1997). 4. Gula, digunakan untuk mempengaruhi cita rasa yaitu meningkatkan rasa manis, kelezatan, aroma, tekstur daging, dan mampu menetralisir garam serta menambah energi. Selain itu gula memiliki daya larut yang tinggi dan dapat mengikat air sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet. Adanya glukosa, sukrosa, pati, dan lain-lain dapat meningkatkan citarasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al, 1987). 5. Lemak, dapat berupa lemak nabati atau lemak hewani dengan kadar 5-25%. Keuntungan pemakaian lemak nabati yaitu tidak mengandung kolesterol, kandungan linoleat, oleat, linolenat lebih besar disbanding lemak hewani, disamping itu harganya juga lebih murah (Dotulong, 2009). 6. Telur, mengandung protein dan dapat berperan sebagai binding agent yakni mengikat bahan-bahan lain sehingga menyatu yang diharapkan dapat memperoleh sosis dengan kualitas yang lebih baik (Evanuarini, 2010). 7. Casing, digunakan untuk memberikan bentuk dan ukuran yang disukai oleh konsumen. Casing sosis dibedakan sebagai casing alami dan casing buatan. Casing alami ini dibuat dari usus besar sapi, babi, kuda dan lainnya. Sedangkan casing buatan menurut Kramlich (1973), terbuat dari kelompok sellulosa dan kolagen yang dapat dimakan.

Berikut adalah diagram alir proses pembuatan sosis: Daging sapi beku

Penggilingan I

Es Batu

Penggilingan II Casing

Tapioka, telur, lemak, garam, gula, dll

Pengisian

Pengikatan Penggantungan Pemasakan

Pendinginan sampai T 250C Pengemasan

Sosis sapi

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Sosis Sapi (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018) Tahapan-tahapan pembuatan sosis adalah penggilingan, pengisian, pengikatan, penggantungan, pengukusan, pendinginan dan pengepakan. Masingmasing tahapan memiliki fungsi yaitu: 

Penggilingan berfungsi untuk menghaluskan daging sapi dan meratakan campura-campuran bahan lain yang dimasukkan. Dalam penggilingan digunakan es batu untuk mencegah terdenaturasinya protein yang berperan sebagai emulsifier.



Pengisian dalam casing sosis bertujuan agar sosis berbentuk dan stabil. Pada proses ini tidak boleh ada udara yang masuk dalam selongsong. Karena adanya udara dalam selongsong akan mempengaruhi tekstur sosis yang dihasilkan.



Pengikatan bertujuan agar adonan sosis tidak keluar selama proses pembuatan sosis.



Penggantungan bertujuan agar sosis tidak terkena air mendidih, sehingga sosis cukup terkena uap air saja untuk mematangkannya.



Pemasakan bertujuan untuk mematangkan sosis dan juga membunuh mikroba-mikroba pathogen pembusuk yang berasal dari daging. Pemasakan dapat dilakukan dengan cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan dan kombinasi cara-cara tersebut. Pengasapan dapat memberikan cita rasa khas, mengawetkan dan memberi warna khas (Koswara, 2009).



Pendinginan dilakukan dengan penyemprotan air dingin sampai suhunya 250C.



Pengemasan bertujuan agar sosis terlindungi dari kontaminasi dan kerusakan mekanis. Selain itu pengemasan dapat berfungsi untuk meperpanjang masa simpan.

Kemasan sosis biasanya bersifat vakum agar mikroba anaerob tidak dapat tumbuh. Sosis yang telah dikemas harus disimpan dalam suhu rendah (-180C) agar tidak cepat rusak sehingga masa simpannya panjang.

3.3.

Karateristik dan Kerusakan Sosis Menurut Badan Standarisasi Nasional (2015), karakteristik sosis daging

harus memenuhi beberapa persyaratan beberapa diantaranya yaitu bau, rasa dan warnanya normal tidak menyimpang. Kadar air maksimal sosis adalah 67%, sedangkan kadar protein minimal 13%. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah cemaran mikroba yaitu coliform maksimal 10 apm/g, Salmonella sp. -/25g, Staphylococcus aureus maksmal 1x 102, Clostridium perifingens maksimal 1 x 102, dan Listeria monocytogenes tidak ada. Karakteristik lain yang dimiliki oleh sosis adalah mengandung banyak nutrisi seperti protein, lemak, dan karbohidrat. Sehingga dengan adanya

komponen-komponen tersebut dapat dengan mudah ditumbuhi mikroba. Mikroba dalam pangan dapat menyebabkan kerusakan atau kebusukan. Sosis atau makanan yang rusak atau busuk ditandai dengan perubahan-perbahan yang menyebabkan makanan tersebut tidak layak dikonsumsi. Kerusakan produk olahan daging seperti sosis ditandai dengan perubahan bau dan timbulnya lendir. Biasanya kerusakan ini terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta sel. Kerusakan mikrobiologi pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk. Bakteri ini menyebabkan bau sosis/ daging olahan menjadi busuk. Selain itu, warnanya berubah menjadi kecoklatan/ kehitaman atau adanya warna hijau, rasa menjadi asam. Sosis yang sudah rusak jika dikonsumsi dapat menimbulkan beberapa penyakit seperti diare, mual, muntah dan keram perut. Beberapa bakteri penyebab penyakit terebut adalah Salmonella (tifus dan gastroenteritis), Staphylococcus aureus (keram perut, muntah, dan diare), dan Clostridium perfringens (sakit perut, diare, pusing). Kerusakan pada sosis ini dipengaruhi beberapa hal diantaranya yaitu proses pemasakan yang tidak sempurna, suhu penyimpanan yang tidak terkontrol, dan teknik pengemasan yang tidak baik.

IV.

KEMASAN DAGING SEGAR DAN SOSIS

4.1.

Pengemasan Daging Segar Pemilihan jenis kemasan pada daging segar haruslah benar benar

diperhatikan karena akan mempengaruhi kualitas daging selama penyimpanan. Pengemasan pada daging segar yang telah terkenal ialah dengan menggunakan metode vacuum pack atau biasa disebut dengan proses penghampaan udara dimana oksigen pada kemasan daging seluruhnya dikeluarkan. Namun, proses ini menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daging menjadi merah keunguan. Warna merah cerah pada daging segar disebabkan karena adanya myoglobin pada daging yang bereaksi dengan oksigen. Namun, apabila kontak dengan oksigen tersebut terlalu lama maka myoglobin akan berubah menjadi metmyoglobin yang berwarna merah kecoklatan. Salah satu teknik pengemasan untuk menjaga kualitas dari daging segar ialah MAP (Modified Atmosphere Packaging). Berikut contoh ilustrasi pengemasan dengan metode MAP.

Gambar 1. Pengemasan Daging Metode MAP (Sumber: Anne, 2014) Modified

atmosphere

packaging (MAP)

adalah

suatu

teknologi

pengemasan yang dilakukan pada produk pangan yang bertujuan untuk dapat mempertahankan umur simpan produk pangan tersebut. MAP umumnya menghalangi pergerakan udara, mengurangi kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbon dioksida di dalam kemasan. Modifikasi atmosfer dan secara aktif ditimbulkan dengan membuat sedikit vakum dalam kemasan tertutup (tidak berventilasi), dan kemudian memasukkan campuran komposisi atmosfer yang

diinginkan yang sudah jadi dari luar. Campuran gas yang digunakan dalam MAP terdiri dari 60%-70% gas karbon dioksida, 30%-40% gas nitrogen, dan 0,3%0,5% gas CO (CO2 tinggi /CO rendah). Gas CO akan berikatan dengan Fe dalam senyawa heme dari myoglobin dan membentuk carboksimioglobin yang berwarna merah cerah. Gas CO2 berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif

seperti

Pseudomonas

sp,

Aeromonas

sp,

Campylobacter

sp,

Enterobacteriaceae sp, dan Salmonella sp yang menyebabkan kerusakan pada daging segar, sedangkan N2 untuk mengganti oksigen dan memperlambat terjadinya oksidasi lemak. Gas gas tersebut akan menetrasi dinding sel mikroorganisme sehingga dapat merusak metabolisme sel, dan perubahan aktivitas enzimatik dalam sel mikroorganisme (Robertson, 2013). MAP akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Pseudomonas adalah mikroorganisme aerobik yang bisa berkembang dalam kemasan daging aerobik. Di sisi lain, bakteri ini tidak bisa bertahan kondisi MAP atau kemasan vakum karena kurangnya oksigen dan adanya karbon dioksida. Karbon dioksida gas sangat larut dalam air yang menghasilkan asam karbonat yang dapat mengurangi atau menghambat pertumbuhan spesies aerobik seperti Pseudomonas spp yang merupakan bakteri penyebab kebusukan pada daging (Robertson, 2013) MAP ini merupakan teknik pengemasan pada daging segar karena memberikan kondisi anaerob sekaligus memberikan warna merah cerah. Cara ini dapat

dipakai

untuk

pengemasan

produk

daging

segar

serta

dapat

mempertahankan jumlah hitung mikroba tetap rendah selama 11 sampai 21 hari lamanya pada suhu penyimpanan optimal 40C . Pemilihan dalam bahan pengemas untuk MAP ini haruslah memiliki permeabilitas terhadap gas dan uap air, sifat mekanik, pelindung terhadap kelembaban dan heat seal, dan transparan. Kemasan yang cocok untuk daging segar dengan metode MAP ini ialah PP-EVOH-PE. EVOH (Ethylene vinyl alcohol copolymer) merupakan kemasan yang tahan akan udara terutama oksigen sehingga dapat mencegah masuknya oksigen pada daging yang menyebabkan kerusakan pada daging akibat adanya pertumbuhan bakteri aerob. Kemasan PP (polypropylene) merupakan kemasan yang kuat, namun elastis, kemasan ini

memiliki sifat tahan lemak dan permeabilitas uap air yang rendah, namun tidak tahan terhadap gas/udara sehingga adanya kemasan EVOH ini dapat melengkapi kekurangan kemasan PP. Sedangkan kemasan PE (Polyetilen) memiliki sifat kedap air dan uap air sehingga kemasan PP-EVOH-PE ini merupakan kemasan yang sangat cocok untuk mengemas daging segar karena dapat mempertahankan kualitas daging (Robertson, 2010). Berikut gambar untuk kemasan PP-EVOH-PE sebagai berikut.

Gambar 2. Kemasan PP-EVOH-PE Untuk Daging Segar Metode MAP (Sumber: Anonim, 2015) Meskipun demikian perlu dilakukan dalam praktek modified atmosphere packaging yaitu menjaga suhu penyimpanan dan saat transport pada 40C karena peningkatan suhu dapat menyebabkan perubahan jumlah mikroorganisme yang tumbuh pada daging segar. Untuk memastikan keamanan produk daging yang dikemas dengan modified atmosphere packaging, maka sejak penyembelihan, pengepakan dengan modified atmosphere packaging, distribusi, dan pada tingkat pengecer harus dijaga dan dilakukan praktek penaganan dan higienitas yang baik. Bila hal ini tidak dilakukan maka modified atmosphere packaging kemungkinan tidak memberikan hasil yang maksimal.

4.2.

Kemasan Produk Sosis (Olahan Daging) Sosis adalah produk olahan pangan yang diperoleh dari campuran daging

(mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung pati atau tanpa penambahan bumbu mengacu pada syarat mutu sosis Standar Nasional Indonesia 01-3020 (BSN, 1995). Kemasan yang baik dan sesuai akan menjaga produk sosis

dari kerusakan dan penurunan kualitas selama penyimpanan. Produk sosis yang beredar di masyarakat sebagian besar menggunakan kemasan plastik. Penggunaan kemasan plastik dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi manusia karena berpindahnya zat vinil kholirida ke dalam bahan pangan.Vinil khlorida dan akrilonitril merupakan monomer yang berbahaya karena dapat menimbulkan kanker (Sulchanet al., 2007). Edible packaging merupakan kemasan alternatif pengganti kemasan plastik pada sosis yang aman bagi kesehatan. Keuntungan dari edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan (Kinzel, 1992). Edible packaging meliputi edible coating sebagai pelapis dan edible film yang berbentuk lembaran (Krochta dkk., 1994). Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, buah-buahan, sayuran, makanan semi basah, sosis, dan enkapsulasi. Edible film banyak digunakan pada produk kering seperti roti, burger, dan sosis. Penggunaan edible film memperlambat penurunan mutu karena edible film bisa menghambat masuknya uap air, oksigen, dan karbondioksida ke bahan makanan, serta menahan flavor keluar. Edible film merupakan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran dan kerusakan lingkungan karena terbuat dari bahan tersedia di alam, yang dapat diperbaharui dan harganya murah. Menurut Krochta dkk. (1994) komponen edible film adalah hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang bisa digunakan adalah polisakarida dan protein. Lipida yang umum digunakan dalam pembuatan edible film adalah lilin alami (beeswax, carnauba wax, parrafin wax), asil gliserol, asam lemak (asam oleat dan asam laurat) serta emulsifier. Komposit adalah campuran antara hidrokoloid dan lipida. Polisakarida yang termasuk antara lain karbohidrat, pati, selulosa, alginat, pektin dan polisakarida lainnya. Karakteristik Pelapis edible film pada produk sosis ialah dapat mempertahankan daya ikat air pada daging karena selongsong edible film mengandung protein, sehingga protein tersebut dapat mengikat air bebas yang terdapat pada sosis (Soeparno, 2005). Namun kelemahan pelapis edible film ialah mempunyai transmisi yang kurang baik dibanding selongsong plastik yang mempunyai tingkat kerapatan yang ketat untuk melapisi permukaan sosis,

sehingga kecil kemungkinan adanya oksigen yang terlepas dari sosis (Hafriyanti dan Elfawati, 2008), sehingga oksigen mudah masuk dalam sosis (Bourtoom, 2008). Untuk itu digunakan teknik pengemasan vakum yang didasarkan pada prinsip pengeluaran udara dari kemasan sehingga tidak ada udara dalam kemasan yang dapat menyebabkan produk yang dikemas menjadi rusak. Pengemasan vakum pada prinsipnya adalah pengeluaran gas dan uap air dari produk yang dikemas, sedangkan pengemasan non vakum dilakukan tanpa mengeluarkan gas dan uap air yang terdapat dalam produk. Oleh karena itu pengemasan vakum cenderung menekan jumlah bakteri, perubahan bau, rasa, serta penampakan selama penyimpanan, karena pada kondisi vakum, bakteri aerob yang tumbuh jumlahnya relatif lebih kecil dibanding dalam kondisi tidak vakum (Syarief dan Halid, 1993). Hal termudah untuk memodifikasi atmosfir pada kemasan adalah dengan melakukan pengemasan dengan plastik vakum. Produk yang akan dikemas diletakkan dalam kemasan yang terbuat dari plastik film yang tidak dapat ditembus oksigen. Udara didalam kemasan kemudian dikeluarkan lalu kemasan disegel (Blakistone, 2012). Kemasan vakum membantu mencegah deteiorisasi oleh mikroorganisme dan juga lumut. Kemasan vakum juga memiliki volume yang lebih kecil dibandingkan kemasan plastik biasa. Putu (dalam Renate, 2009) menyatakan pengemasan menggunakan plastik secara vakum dapat mengurangi jumlah oksigen

dalam

kemasan,

mencegah

kontaminasi

mikroorganisme,

dan

memperpanjang umur simpan produk pangan. Selain itu kemasan vakum juga memberikan efek visual yang baik bagi makanan. Sifat-sifat permeabilitas. kemasan plastik ini akan mempengaruhi produk yang akan disimpan secara vakum. Pemilihan teknik pengemasan sosis dengan metode vakum juga dapat dilihat dari karakteristik kimia sosis berupa kandungan air, lemak dan protein serta

karakteristik

mikrobiologi

yang terkandung dalam

produk

sosis.

Karakterisitik mikroba yang umumnya ada pada produk daging dan olahannya ialah Enterobacteriaceae, salmonella, dll. Menurut Bhattacharyya et al. (2013) sosis yang dikemas secara vakum menciptakan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba dalam produk olahan. Salmonella

spp. rentan terhadap berbagai desinfektan, dapat dimatikan dengan panas (121ºC selama 15 menit) atau panas kering (160‒170ºC selama setidaknya 1 jam) (Center for Food Security and Public Health, 2005). Brewer (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan Salmonella dapat dicegah dengan memasak makanan secara menyeluruh. Beberapa bakteri memiliki ketahanan terhadap panas, tetapi beberapa spesies membutuhkan 10 sampai 15 menit pada suhu 65ºC untuk membunuh 90% dari populasi, oleh karena itu dengan pemasakan hinggga 100ºC akan membunuh bakteri

termasuk

Salmonella.

Sosis

disimpan

dalam

keadaan

vakum

memungkinkan tidak terjadinya kontaminasi dari lingkungan luar masuk ke dalam kemasan. Brody (2000) menyatakan bahwa pengemasan bertujuan mencegah masuknya kembali mikroorganisme setelah proses penghilangan (pemasakan) kembali, meminimalkan probabilitas penyakit, infeksi dari makanan, dan mengurangi pembusukan yang dapat menyebabkan toksin. Brody (2000) menyatakan bahwa produk harus dilindungi untuk mengontrol kadar air. Sebagian besar produk kering bersifat higroskopis dapat menyerap air, sebaliknya produk olahan daging yang merupakan produk basah rentan terhadap hilangnya kadar air, pengemasan vakum menjaga agar air tidak masuk ke dalam produk, sehingga tidak mempengaruhi kadar air. Air yang keluar pada proses pemasakan pada suhu tinggi saat pengolahan sosis keluar tidak sendiri, melainkan membawa nutrien lain yang larut air seperti protein. Menurut Lehninger (1982), berdasarkan gugus R asam amino dapat digolongkan berdasarkan polaritasnya, mulai dari gugus R yang sama sekali tidak polar atau hidrofobik sampai bersifat polar atau hidrofilik. Peningkatan komponen pada suatu bahan mengakibatkan penurunan pada komponen lain. Penelitian Ismail et al. (2011) menunjukkan bahwa meningkatnya kadar air pada sosis menyebabkan menurunnya kadar protein dan kadar lemak. Kadar air tidak berubah selama penyimpanan mengakibatkan kadar protein tidak berubah selama penyimpanan. Pengemasan vakum menghasilkan tingkat oksigen yang rendah dalam kemasan tertutup. Lingkungan anaerobik pada kemasan vakum mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk terutama anaerobik yang bertanggungjawab terhadap timbulnya bau, lendir, dan tekstur yang berubah (Nunez et al., 1986). Pengemasan sosis dalam keadaan vakum, oksigen telah dikeluarkan pada kemasan tertutup

sehingga dapat mencegah terjadinya perubahan secara kimiawi termasuk lemak. Brody (2000) menyatakan bahwa oksigen di dalam udara bereaksi dengan sebagian besar produk makanan. Dengan membangun penghalang antara udara dan produk pangan, pengepakan dapat menghambat oksidasi lemak dan kerusakan kimiawi pada produk makanan.

V.

PENUTUP

5.1.

Kesimpulan Daging dan olahan daging merupakan bahan pangan yang cepat rusak.

Salah satu pengendalian kerusakan pada daging dan olahan daging adalah dengan melakukan pengemasan. Kemasan yang cocok untuk daging segar adalah PPEVOH-PE dengan metode MAP (Modified Atmosphere Packaging). Metode MAP dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Kemasan yang cocok untuk produk sosis adalah edible packaging dengan metode vakum.

Edible

packaging pada produk sosis dapat mempertahankan daya ikat air pada daging dan metode vakum digunakan untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme dan mengurangi jumlah oksigen. 5.2

Saran Diperlukan pemilihan kemasan dan penyimpanan yang sesuai untuk dapat

menjaga kualitas daging maupun olahannya serta kondisi daging segar yang diterima dari peternak haruslah dalam keadaan baik karena akan mempengaruhi kualitas daging selama proses penyimpanan daging.

DAFTAR PUSTAKA Aberle E. D. 2001. Principles of Meat Science. Kendall Hunt Publishing, Dubuque. Anne. 2014. Molecular Gastronomy The Science Behind the Cooking of Food. terdapat pada www.bcachemistry.com (diakses pada tanggal 19 Mei 2018). Anonim. 2015. PP-EVOH-PE. Terdapat pada www.faerchplast.com (diakses pada tanggal 19 Mei 2018). Badan Standarisasi Nasional. 1995. Sosis Daging SNI 01-3820-1995. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 2015. Sosis Daging SNI 01-3820-2015. Jakarta. Bhattacharyya, D., M. Sinhamahapatra and S. Biswas. 2013. Effect of packing materials and methods on physical properties and food safety of duck sausage. Int. J. Dev. Res. 3: 032-040. Brewer, M. S. 1991. Food Storage, Food Spoilage, and Food Iillness. University of Illinois at Urbanna-Champaign. College of Agricultural, Consumer and Enviromental Science. Champaign. Brody, A. L. 2000. Developing new Food Product for Changing Marketplace: Development of Packaging for Product. CRC Press Inc. United States. Buckle, K. A, R. A. Edward, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta (Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono). Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.A. Fleet, dan M. Wooton. 2009. Ilmu Pangan Terjemahan Hari P. dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Center for Food Security and Public Health. 2005. Salmonellosis. Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Iowa State University. Iowa. Dotulong, V. 2009. Nilai Proksimat Sosis Ikan Ekor Kuning (Caesio sp.) berdasarkan Jenis Casing dan Lama Penyimpanan. Jurnal Pasifik. Vol. 1(4):5006 – 509. Erni, G. 2009. Pengendalian Cemaran Mikroba pada Bahan Pangan Asal Ternak (Daging dan Susu) Mulai dari Perternakan Sampai Dihidangkan. Balai PengkajianTeknologi Pertanian. Lembang. Evanuarini, H. 2010. Kualitas chicken nugget dengan penambahan putih telur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak.5(2):17-22. Forrest, J.C., E.B. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge, dan R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Hafriyanti, H.dan Elfawati.2008. Kualitas Daging Sapi dengan KemasanPlastik PE (polyethylen) dan Plastik PP (polypropthylen) di Pasar Arengka Kota Pekanbaru.Jurnal Peternakan. 5(1):22- 27. Ismail, I., N. Huda and R. Ahmad. 2011. Funtional properties of low-fat duck sausage formulated with palm oil. Asian J. Food Agro-Industry 4: 222-232.

Ismail, I., N. Huda and R. Ahmad. 2011. Funtional properties of low-fat duck sausage formulated with palm oil. Asian J. Food Agro-Industry 4: 222-232. Kinzel, B., 1992. Protein-rich edible coatings for foods. Agricultural research. May 1992 : 20-21. Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Singkong. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 26 hlm. Kramlich, E.D. 1973.Processed Meat.The Avi Publishing Inc, Wesport. Connecticut. Krochta,J.M., Baldwin,E.A. dan M.O.Nisperos-Carriedo. 1994. Edible coatings and film to improve food quality. Echnomic Publ.Co., Inc., USA. Kuntoro, B., R. R. A. Maheswari, dan H.Nuraini. 2013. Mutu Fisik dan Mikrobiologi Daging Sapi Asal Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pekan Baru. Jurnal Peternakan Vol 10 No 1 Februari. Kusmajadi, S. 2014. Modul Teknologi Pengolahan Daging. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Edisi Kelima. Terjemahan Parakkasi. UI Press, Jakarta. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Alih bahasa M. Thenawidjaja. Erlangga. Jakarta. Muchtadi, T. R., F. Ayustaningwarno, dan Sugiyono. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi, TR., dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nunez, M. P., M. Gaya, M. Madena, M. A. Rodriguezmarian and A. C. Garcia. 1986. Changes in microbiological, chemical, rheological and sensory

characteristics during ripening of vacuum packaged Manchego cheese. J. Food Sci. 21: 115-123. Robertson, Gordon L. 2013. Food Packaging Principal and Practice. London: CRC Express. Robertson, Gordon L. 2013. Food Packaging and Shelf Life. London: CRC Express Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Universitas Sumatera Utara. USU press. Medan. Singal, C., et al. 2013. Pengaruh Penambahan Tepung wortel (Daucus carota L.) pada Pembuatan Sosis Ikan Gabs (Ophiocephalus striatus). Soeparno. 1995. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sulchan, M. dan W. N. Endang.2007.Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan Styrofoam.Majalah Kedokteran Indonesia. 57(2):5558. Susanto, E. 2014. Standar Penanganan Pasca Panen Daging Segar. Jurnal Ternak, Volume 5 No 1. 2014. Syarief, R. dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

LAMPIRAN 1.

Design

Label

Kemasan

Daging

Sapi

Segar

2.

Ilustrasi Kemasan Daging Sapi Segar

3.

Design Label Kemasan Sosis

4.

Ilustrasi Kemasan Sosis

Related Documents


More Documents from "Nurdian"