Makalah Kelompok 6.pdf

  • Uploaded by: Sucyy Libraa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Kelompok 6.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,835
  • Pages: 27
MAKALAH

Asuhan Keperawatan Keluarga pada Tatanan : Kesehatan Mental

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Keperawatan Keluarga I

Dosen Pembimbing : Fatimah, S.Kp, M.Kep., Sp. Kep.Kom

Kelompok 6 Nurkhazaini Sivas

132151008

Novy Uly Deviamond

132151009

Qyan Anting Wulan

132151013

Nurdiana Sari

132151018

Yandini Prafitri

132151020

Mochamad Nursena P.

132151022

Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Muhammad Husni Thamrin Jakarta November, 2018

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan karunianNya kami dapat mengerjakan tugas kelompok makalah “Asuhan Keperawatan Keluarga pada Tatanan: Kesehatan Mental” dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, meskipun kami juga menyadari segala kekurangan yang ada di dalam makalah ini. Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber buku yang telah kami peroleh. Kami berusaha menyajikan makalah ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah di mengerti. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan semuanya yang telah memberikan sumbang sarannya untuk penyelesaian makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran yang positif dan membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan pada tugas makalahmakalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin

Jakarta, 22 November 2018

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1 1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2 1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................... 2 1.5 Metode Penulisan ..................................................................................... 2 1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4 2.1 Masalah Kesehatan Jiwa .......................................................................... 4 2.1.1 Tinjauan dan Definisi ..................................................................... 4 2.1.2 Masalah Kesehatan Jiwa di Indonesia ............................................. 4 2.1.3 Anggota keluarga dengan Sakit Mental ....................................... 10 2.1.4 Mengasuh Anak dengan Kesehatan Mental ................................. 14 2.1.5 Pencegahan Kondisi Kesehatan Mental ....................................... 15 2.2 Asuhan Keperawatan pada Kesehatan Mental ........................................ 16 2.2.1 Pengkajian ..................................................................................... 16 2.2.2 Diagnosa ........................................................................................ 17

2.2.3 Intervensi ....................................................................................... 18 2.2.4 Implementasi .................................................................................. 18 2.2.5 Evaluasi ......................................................................................... 19 BAB III PENUTUP ..................................................................................... 20 3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 20 3.2 Saran ........................................................................................................ 20 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 21

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia,

termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia (Kemenkes RI, 2016). Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk (Kemenkes RI, 2016). Semakin tinggi tuntutan hidup seseorang di suatu tempat, maka kemungkinan seseorang menjadi depresipun meningkat. Hal ini dapat di temui di Ibu kota Jakarta misalnya, Ronny T. Wirasto, seorang Psikater, yang dalam makalahnya yang berjudul Suicide Prevention in Indonesia: Providing Public Advocacy mengatakan ada sebanyak 100.000 orang di Jakarta yang pernah mencoba untuk bunuh diri pada tahun 2006. Jika dirata-ratakan, setiap harinya ada sekitar 274 orang di ibu kota yang mencoba untuk bunuh diri pada tahun itu (ILMPI, 2017). Dalam hal ini peran perawat yaitu perawat harus berusaha mendorong dan mendukung (mempromosikan) gaya hidup sehat, apakah untuk prenatal atau untuk anak-anak, remaja, atau orang dewasa (Kaakinen, 2015). Perawat tentu saja harus mengadvokasi pola asuh yang baik dan harus menawarkan dukungan orang tua dengan cara tidak menghakimi pada anak atau individu yang memiliki masalah kesehatan mental (Kaakinen, 2015).

1.2

Rumusan Masalah

1. Apa saja perubahan atau masalah yang terjadi pada keluarga yang mengasuh anggota keluarganya yang memiliki gangguan kesehatan mental? 2. Bagaimana mengasuh anak yang memiliki masalah kondisi kesehatan mental? 3. Bagaimana kondisi dan penanganan keluarga individu dengan kondisi kesehatan mental khusus? 4. Bagaimana pencegahan kondisi kesehatan mental? 5. Bagaimana asuhan keperawatan keluarga pada kesehatan mental?

1.3

Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui dan memahami tentang masalah kesehatan mental dalam keluarga dan peran perawat dalam memberikan asuhan terhadap keluarga dan individu yang memiliki masalah atau gangguan kesehatan mental.

2. Tujuan Khusus a. Mengetahui perubahan dan masalah yang terjadi pada keluarga dengan anggota keluarganya yang memiliki masalah kesehatan mental. b. Mengetahui cara mengasuh anak yang memiliki masalah kesehatan mental. c. Mengetahui kondisi dan cara penanganan keluarga individu dengan kondisi kesehatan mental khusus. d. Mengetahui cara pencegahan terjadinya kondisi kesehatan mental. e. Mengetahui asuhan keperawatan yang dapat muncul dalam masalah kesehatan mental.

1.4

Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas mengenai keperawatan keluarga dengan masalah kesehatanmental.

1.5

Metode Penulisan

Makalah ini dbuat berdasarkan dari hasil sumber literatur yang mendukung.

1.6

Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah: BAB I PENDAHULUAN berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS definisi dan tinjauan kesehatan mental, anggota keluarga pada individu dengan sakit mental, mengasuh anak yang memiliki masalah kondisi kesehatan mental, keluarga individu dengan kondisi kesehatan mental khusus (Skizofrenia,Bipolar, depresi, ansietas, fobia, ptsd, gangguan makan dan obsesif kompulsif, hiperaktivitas dan bunuh diri), pencegahan kondisi kesehatan mental, asuhan keperawatan kesehatan mental (Pengkajian, Diagnosa, Intervensi, Implementasi, Evaluasi).

BAB III PENUTUP berisi saran dan kesimpulan dari tinjauan teoritis.

DAFTAR PUSTAKA berisi sumber-sumber atau literature yang digunakan untuk menyusun makalah ini.

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 MASALAH KESEHATAN JIWA 2.1.1 TINJAUAN DAN DEFINISI Masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat. Secara garis besar masalah kesehatan jiwa terdiri dari masalah psikososial dan masalah gangguan jiwa. Masalah psikososial adalah masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Orang yang mengalami masalah psikososial ini disebut dengan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Masalah gangguan jiwa adalah masalah dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna , serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Orang yang mengalami gangguan jiwa disebut dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). DSM V (American psychiatric assotiation (APA) 2013), mengklasifikasikan gangguan jiwa dan kriteria diagnostik pada lebih dari 300 gangguan mental. Anak dengan gangguan psikososial sering disebut sebagai anak dengan gangguan emosional berat (severe emotional disorder/SED). Gangguan SED mengindikasikan rentang perilaku yang luas yang mungkin menghasilkan klasifikasi anak dengan SED yang membutuhkan edukasi/pendidikan secara khusus. Anak dengan SED mungkin menunjukkan gangguan emosional dengan halusinasi, memiliki gangguan pemusatan perhatian, dapat menyakiti orang lain secara fisik, menghancurkan barang-barang di sekitarnya, atau dapat memperlihatkan gejala depresi, marah atau ketakutan yang berat. 2.1.2 MASALAH KESEHATAN JIWA YANG UMUM DI INDONESIA Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu perhatian. Dampak dari permasalahan kesehatan jiwa adalah penurunan status kesehatan

fisik, produktifitas kerja dan kualitas sumber daya manusia yang secara signifikan menghambat pembangunan bangsa. Masalah kesehatan jiwa yang umum ditemukan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Skizofrenia (F20) Skizofrenia merupakan penyakit kejiwaan yang paling parah dan berat dari seluruh gangguan jiwa lainnya. Bagi individu dan keluarga yang menderita skizofrenia, dampak tersebut tidak bisa diperhitungkan. Seseorang yang menderita skizofrenia dapat menunjukkan gejala positif seperti halusinasi, delusi/waham, disorganisasi bicara dan berfikir, dan perilaku di luar kebiasaan/aneh, atau gejala negative seperti afek datar, tidak fokus, kurang motivasi, apatis/tidak peduli dengan lingkungan sekitar, kurang rasa senang/bahagia, serta kurang bertenaga. Gejala ini sering kali muncul selama masa remaja akhir atau dewasa muda pada laki-laki dan muncul agak belakangan pada wanita. Terdapat peningkatan risiko konsumsi alcohol, depresi, keinginan bunuh diri, dan diabetes pada penderita skizofrenia. Faktor-faktor ini mempersulit masalah terkait hidup dengan gangguan psikotik. Pengobatan skizofrenia harus intensif dan pada tahap awal membutuhkan hospitalisasi, obat-obatan antipsikotik, serta konseling/psikoterapi. Tindak lanjut jangka panjang oleh tenaga kesehatan khususnya kesehatan jiwa sangat dibutuhkan untuk mengawasi efek samping dan komplikasi yang mungkin saja menjadi berat dan mengancam hidup, selain itu juga untuk mengevaluasi kemampuan klien dalam hidup di tengah masyarakat. 2. Depresi

Depresi merupakan salah satu jenis gangguan kesehatan yang paling sering didiagnosa dan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan jiwa. Gangguan ini termasuk gejala depresi umum, gangguan disritmia, serta kelainan seperti bipolar. Depresi sering terjadi bersamaan dengan gangguan/masalah kesehatan fisik yang serius seperti serangan jantung, stroke, diabetes, dan kanker. Terapi/pengobatan untuk depresi mencangkup terapi farmakologi, psikoterapi, terapi perilaku, terapi electrokonvulsif, atau kombinasi dari semua terapi tersebut APA, 2013; NIMH, 2014). Secara umum, yang paling efektif terapi/pengobatan tahap awal adalah kombinasi dari obat-obatan antidepresan dan psikoterapi.

3. Gangguan Bipolar Gangguan bipolar merupakan suatu kelompok gangguan perasaan yang dikarakteristikkan dengan perubahan mood/perasaan yang cepat dari depresi ke mania. Fase depresi dicirikan dengan gejala seperti gejala mayor depresi. Fase mania memiliki karakteristik seperti perubahan abnormal sensitivitas perasaan yang menetap, ketidakmampuan dalam menentukan pilihan, hilang fokus, penekanan pada cara bicara, membesar-besarkan, mudah terdistraksi, aktivitas yang terlalu ambisius, hanya tidur dalam waktu singkat, dan mudah tersinggung. Gejala ini terjadi bersamaan dengan gejala khas pada gangguan psikotik seperti halusinasi dan delusi/waham. Penatalaksanaan pada gangguan bipolar harus berkesinambungan dan dilakukan monitoring secara ketat. Pengobatan umumnya meliputi penggunaan obat-obatan untuk stabilisasi perasaan, seringkali dikombinasikan dengan antipsikotik dan antidepresan. Ketika mengenai klien dengan gangguan bipolar, perawat harus memantau tanda dan gejala serta respon terhadap pengobatan farmakologi. 4. Gangguan Ansietas Gangguan ansietas merupakan kumpulan dari kondisi yang dikarakteristikkan sengan perasaan cemas. Gangguan ansietas bisa didapatkan seseorang karena keturunan atau genetic dan pengalaman hidup individu itu sendiri. Beberapa gangguan ansietas yang umumnya dijumpai adalah gangguan ansietas umum, panic (kadang-kadang disertai dengan agoraphobia), fobia, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) a. Gangguan Ansietas Umum Gangguan ansietas umum dicirikan sebagai gangguan kronik, tidak nyata dan perasaan ketakutan/kecemasan dan tekanan yang dibesar-besarkan tentang suatu kejadian dan berlangsung selama 6 bulan atau lebih. Gejala yang ditimbulkan dari GAD yaitu gemetar, gugup, kaku pada otot, sakit kepala, mudah tersinggung, berkeringat atau tampak kemerahan pada pipi yang terasa hangat, sesak napas, dan perasaan kurang sehat. Periode peningkatan gejala ini biasanya disertai dengan stressor kehidupan atau kekhawatiran akan masa depan. GAD mungkin saja menjadi gangguan yang luput dari diagnosis gangguan mental. b. Gangguan Panik

Panik dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya terjadi pada usia dewasa muda (17-30 tahun). Serangan panic terdiri dari periode kekuatan yang sangat hebat dan terjadi dengan tiba-tiba dan tidak dapat diperkirakan. Serangan pertama mungkin dapat terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diperkirakan ketika seseorang sedang melakukan kegiatan sehari-hari. Biasanya, orang tersebut akan mengalami takikardi, sesak napas, pusing, nyeri dada, lemas, mati rasa atau kesemutan pada area tangan dan kaki, tremor, berkeringat, tersedak atau merasa seperti akan mati, melakukan sesuatu di luar kewajaran dan tidak dikontrol. Hal tersebut bisa saja dianggap sangat menakutkan atau mengkhawatirkan. Diagnosis gangguan panik ini dapat ditegakkan ketika seseorang mengalami serangan panik dengan intensitas yang berat dan frekuensi yang sering. Ketakutan pada situasi tersebut dapat mengakibatkan agrofobia (ketakutan pada tempat-tempat umum seperti tempat perbelanjaan atau tempat berduka). Seseorang dengan agrofobia seringkali mencapai pada titik dimana mereka bahkan tidak dapat meninggalkan rumah tanpa perasaan cemas. Angka kejadian depresi mayor terjadi bersamaan dengan gangguan panik adalah 10% hingga 65% (APA, 2013). Terapi perilku kognitif dan benzodiapines dapat digunakan dalam program penatalaksanaan pada gangguan panik. 5. Fobia Fobia merupakan perasaan takut terhadap sesuatu (benda atau situasi) yang tidak masuk akal/irasional. Fobia social, atau gangguan kemasan social, adalah ketakutan terus menerus dan intens, dan keinginan kuat untuk menghindari, sesuatu yang akan mengekspos individu terhadap situasi yang mungkin memalukan dan merendahkan dirinya (APA, 2013). Fobia ini memiliki kecendrungan familial dan bisa disertai dengan depresi atau kecanduan alcohol. Fobia social yang paling umum adalah rasa takut berbicara di depan umum. Kebanyakan orang dengan fobia social dapat diobati dengan terapi kognitif-perilaku dan obat-obatan. Fobia sederhana mencakup ketakutan terus-menerus dan keinginan kuat untuk menghindari, objek atau situasi tertentu. Benda-benda yang umum menjadi objek fobia laba-laba, ular, anjing, kucing dan situasi seperti terbang, ketinggian, dan ruangan tertutup. Penderitanya seringmengakui bahwa ketakutan tersebut tidak masuk akal tapi

tetap menghindari situasi tersebut atau bertahan dengan kecemasan yang intens. Desensitasi sistemasis dan eksposur normal merupakan perawatan yang paling efektif untuk fobia sederhana. 6. Gangguan Obsesif-Kompulsif Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) ditandai dengan pikiran cemas dan ritual bahwa individu memiliki kesulitan mengendalikan suatu hal. Orang dengan OCD merasa terdorong untuk terlibat dalam beberapa ritual untuk menghindari pikiran menakutkan yang menetap, ide, gambar, atau peristiwa.Obsesi merupakan sebuah pikiran, emosi, atau impuls yang berulang dan tidak dapat diberhentikan. Kompulsi adalah ritual atau perilaku yang berulang kali dilakukan untuk mencegah, menetralisir atau menghilangkan obsesi yang ditakuti. Ketika individu mencoba untuk menahan dorongan tersebut, kecemasan meningkat. Kompulsi perhitungan, perhitungan dan menyentuh (APA, 2013). Kebanyakan ornag mengakui tidak dapat mengendalikan dorongan tersebut. OCD sering muncul pada usia remaja atau dewasa awal. Depresi dan kecemasan lainnya gangguan sering menyertai OCD. Terapi perilaku da pengobatan yang ditunjukkan untuk mengurangi gejala yang menyertai diketahui cukup bermanfaat bagi klien. 7. Gangguan Stress Pasca Trauma Post-traumatic stress disorder (PTSD) / gangguan stress pasca trauma adalah kondisi yang melemahkan yang terjadi setelah peristiwa menakutkan. Individu dengan PTSD memiliki gejala ketakutan dan kenangan penderitaan mereka yang berulang dan terusmenerus. Kejadian ini mungkin melibatkan “shell shock” atau “kelelahan pasca perang” yang umum terjadi pada veteran perang, serangan kekerasan, kecelakaan serius, atau bencana alam, atau telah menyaksikan permusuhan massal atau cedera, seperti kecelakaan pesawat. Kadang-kadang individu tidak dapat mengingat aspek penting dari peristiwa traumatic. Inside tertinggi PTSD terjadi antara personil militer yang memiliki pengalaman bertempur. 8. Gangguan Makan Gangguan makan-anorexia nervosa dan bulimia nervosa semakin lazim ditemukan. Gangguan makan terutama diderita oleh kaum perempuan, meskipun gangguan tersebut pada laki-laki jarang dilaporkan. Kebanyakan klien dengan diagnosis gangguan makan

adalah orang kulit putih (Kaukasia), namun alasannya mungkin lebih cendrung ke faktor social ekonomi daripada ras. Anorexia dan bulimia sering dipicu oleh tonggak perkembangan (misalnya pubertas, kontak seksual pertama) atau krisis lain. Individu dengan anoreksia nervosa menjadi terobsesi dengan takut gemuk dan kehilangan berat badan. Faktor resiko untuk gangguan makan adalah perfeksionisme, rendah hati, stress, kemampuan koping yang buruk, ketergantungan pada pendapat orang lain dan menghormati keinginan orang lain, dan suka menahan emosi. Dalam berespons terhadap asupan kaloru yang sangat menurun, tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan memperlambat proses tubuh. Menstruasi berhenti, tekanan darah, denyut nadi, dan repirasi lambat, dan aktivitas tiroid berkurang. Ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi sangat parah. Gejala lainnya adalah anemia ringan, sendi bengkak dan massa otot berkurang. Anoreksia nervosa dapat mengancam kehidupan dan memiliki tingkat kematian 5% sampai 21%. Pengobatan untuk gangguan makan meliputi konseling nutrisi jangka Panjang, psikoterapi, dan modifikasi perilaku. Rawat inap mungkin diperlukan untuk klien dengan komplikasi serius. Swadaya kelompok dan kelompok dukungan dapat sangat bermanfaat baik untuk klien dan keluarga. Perawat perlu menyadari sumber daya yang tersedia dari American Academy of Childand Adolescent Psychiatry (AACAP), yang memiliki bagian untuk keluarga dan remaja. Pengetahuan tersebut penting karena perawat kesehatan masyarakat mengkaji pengaruh social yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut. 9. Gangguan Defisit Perhatian / Hiperaktivitas Dua kondisi yang paling umum yang dihadapi oleh perawat yang bekerja dengan anak-anak dalam lingkungan masyarakat adalah attention-deficit/hyperacticity disorder (ADHD)

dan

gangguan

perhatian

deficit

(ADD).

Perilaku

yang

mungkin

mengindikasikan ADHD/ADD biasanya muncul sebelum usia 7tahun dan sering disertai dengan masalah terkait, seperti ketidakmampuan belajar, kecemasan, dan depresi. Tiga karakteristik utama ADHD/ADD adalah kurangnya perhatian, hiperaktif, dan impulsive. Penyebab ADHD/ADD tidak diketahui, tetapi pentung untuk dicatat bahwa gangguan tersebut tidak disebabkan oleh luka ringan kepala, komplikasi kelahiran, alergi makanan, terlalu banyak gula, kehidupan miskin, sekolah miskin, atau terlalu banyak menonton televisi. Penggunaan dan penyalahgunaan zat terlarang saat kehamilan dapat

mempengaruhi perkembangan otak bayi dan menghasilkan gejala ADHD / ADD di kemudian hari. Kemungkinan ini, bagaimanapun menyumbang hanya sebagian kecil dari penderita ADHD. Gangguan perhatian menurun dalam keluarga. Gejala ADHD / ADD biasanya ditangani melalui kombinasi terapi perilaku, konseling emosional, dan dukungan praktis. Penggunaan obat kini menjadi semakin biasa dalam penanganan ADHD / ADD. Hal ini sangat penting, bagaimanapun bagi anak-anak dengan gangguan perhatian dan keluarganya untuk memahami bahwa obat tidak menyembuhkan gangguan, obat hanya mengontrol gejala sementara. Stimulant telah terbukti behasil dalam mengobati gangguan perhatia. Obat yang paling sering digunakan adalah methylfenidate dan amfetamin. Penekanan nafsu makan dan kurang tidur adalah efek samping yang umum dari obat tersebut. 10. Bunuh Diri Terdapat sekitar 1 juta kematian akibat bunuh diri per tahun di seluruh dunia. Menurut sejarah, faktor resiko dan protektif telah digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang beresiko tertinggi untuk bunuh diri. The American Association of Suicdology (AAS, 2013) telah merekomondasikan pengenalan tanda-tanda peringatan yang telah relevan dari pada resiko dan faktor pelindung dalam mencegah kematian akibat bunuh diri. AAS telah mengatur tanda-tanda peringatan sesuai dengan mnemonic yang mudah diingat, IS PATH WARM (Tabel 18-1). Tanda-tanda peringatan yang menunjukkan resiko akut untuk bunuh diri dapat diamati pada individu yang mengancam untuk menyakiti atau membunuh diri mereka sendiri, mencoba untuk mencari akses ke senjata mematikan atau berbicara tentang kematian yang mana pikiran atau tindakan ini tidak biasanya mereka lakukan Faktor resiko meliputi usaha untuk bunuh diri sebelumnya, penyakit mental, penyalahgunaan zat berbahaya dan hambatan untuk mengakses perawatan kesehatan mental. Faktor protektif dapat menurunkan resiko bunuh diri termasuk perawatan kesehatan mental yang tepat, akses mudah ke pengobatan, dukungan masyarakat, dan dukungan terus-menerus dari penyediaan pelayanan kesehatan medis dan mental.

2.1.3 ANGGOTA KELUARGA PADA INDIVIDU DENGAN SAKIT MENTAL 1. Dampak Terhadap Keluarga

Sebuah studi awal dengan anggota keluarga penderita skizofrenia membedakan dampak yang dialami oleh keluarga yaitu sebagai dampak objektif maupun subjektif. Dampak obyektif dapat digambarkan sebagai dampak buruk yang nyata atau dapat diamati pada anggota keluarga yang diakibatkan oleh penyakit jiwa. Contoh dampak obyektif meliputi kerugian finansial, ketegangan fisik, dampak terhadap kesehatan anggota keluarga lainnya, atau gangguan terhadap kehidupan anggota keluarga yang disebabkan oleh perilaku orang dengan penyakit jiwa. Dampak subyektif, sebaliknya, mengacu pada bagaimana perasaan anggota keluarga dan merasakan beban yang mereka alami Kaakinen,dkk (2010). Dampak obyektif dan subjektif dari perawatan dapat meningkat di antara anggota keluarga yang tinggal dengan keluarga mereka yang sakit, namun dampaknya dianggap lebih pada tingkat tanggung jawab. 2. Dukungan dan Stigma Sosial Dalam sebuah penelitian, hampir setengah dari semua pengasuh individu dengan gangguan mental yang serius percaya bahwa kebanyakan orang mendevaluasi anggota keluarga orang-orang dengan penyakit jiwa. Selain merasa direndahkan oleh publik, rasa malu merupakan faktor pendukung stigma yang terkait dengan menjadi anggota keluarga penderita penyakit jiwa. Dalam studi yang dilakukan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, anggota keluarga melaporkan bahwa berhubungan dengan seseorang dengan penyakit jiwa merupakan sumber rasa malu yang mempengaruhi pengungkapan hubungan mereka dengan orang lain Kaakinen,dkk (2010). Klien yang didiagnosis secara mendadak (mereka yang menderita penyakit mental dan gangguan substansi) sering mengalami stigma ganda melawan penyakit jiwa dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Anggota keluarga mengungkapkan memiliki perasaan

negatif

lebih

banyak

jika

terdapat

anggota

keluarga

sakit

yang

menyalahgunakan zat.. 3. Koping Cuijpers dan Stam (2000) dalam Kaakinen,dkk (2010) telah menemukan bahwa terdapat tiga elemen dampak keluarga obyektif yang sangat mempengaruhi dampak subyektif antara lain; kemampuan anggota keluarga untuk mengatasi perilaku pasien, khawatir dengan pasien, dan ketegangan pada hubungan. Oleh karena itu, mereka

merekomendasikan untuk mengkonsentrasikan program psikoedisi keluarga pada elemen-elemen ini dengan mengajarkan anggota keluarga bagaimana mengatasi perilaku kerabat dan perasaan khawatir mereka sendiri, dan bagaimana memperbaiki hubungan keluarga mereka. Selain itu, dengan menggunakan strategi pemecahan masalah dan penanganan dapat membantu keluarga berfungsi lebih efektif. Di antara pengasuh individu dengan skizofrenia, strategi ini mencakup mobilisasi sumber daya, mencari dukungan spiritual, reframing (memikirkan situasi dari perspektif yang berbeda), pola internal dan eksternal, pasif, dan dukungan sosial. Sebenarnya, dukungan sosial telah terbukti menjadi salah satu faktor paling berpengaruh dalam penanganan keluarga. Sayangnya, beberapa anggota keluarga mungkin menggunakan strategi penanggulangan yang tidak sesuai dan tidak meningkatkan fungsi keluarga (Kaakinen, 2010). 4. Bantuan Dari Tim Profesional Kesehatan Mental

Komunikasi antara anggota keluarga dan tim profesional kesehatan mental sangat terbatas. Studi dengan penyedia layanan kesehatan mental masyarakat mengatakan bahwa 40% terapis melaporkan tidak memiliki kontak dengan keluarga klien mereka di tahun sebelumnya. Ada keterputusan antara apa yang dirasakan oleh penyedia layanan kesehatan mental dan apa yang keluarga inginkan dalam hal komunikasi (Kaakinen, 2010). Anggota keluarga juga mengalami kekurangan layanan yang tersedia bagi mereka sebagai pengasuh. Layanan yang mereka terima memberi anggota keluarga sedikit dukungan emosional. Sebenarnya, layanan yang paling umum diberikan kepada anggota keluarga adalah pendidikan penyakit atau pengobatan ketika mereka melaporkan membutuhkan lebih banyak solusi pemecahan masalah praktis dan dukungan untuk diri mereka sendiri. 5. Beban pengasuhan keluarga Keluarga yang merawat anggota keluarganya yang mengalami MHC menjalankan peran mereka karena adanya rasa tanggung jawab, serta kurangnya sumber daya atau layanan yang dirasakan untuk perawatan seseorang dengan penyakit mental. Keluarga yang merawat anggota keluarga dengan MHC memilikki peran yang menuntut dan penuh tekanan. Penelitian menunjukkan bahwa anggota keluarga dan perawat yang

merawat orang dengan MHC mengalami rasa malu, bersalah, dan sedih, serta stres kronis, perilaku kesehatan yang buruk, dan konsekuensi kekebalan dan neuroendokrin yang buruk (Nadkarni & Fristad, 2012). Stres keuangan berkaitan dengan sumber daya, tingkat pendidikan, dan usia penyedia layanan yang tidak mencukupi juga mempengaruhi beban penyedia layanan kesehatan (Tan et al., 2012). Pengasuh MHC tunggal, bercerai, berpisah, atau janda memiliki gejala depresi lebih banyak daripada pengasuh MHC yang sudah menikah (Kamel, Bond, & Froelicher, 2012). Dukungan formal (terapi profesional) dan dukungan informal (sosial, termasuk dukungan kelompok) dapat membantu mengurangi gejala depresi pada perawat MHC (Chen & Lukens, 2011). 6. Pengasuhan pasangan suami-istri dengan MHC Kira-kira satu dari empat pengasuh keluarga yang merawat seseorang dengan penyakit jiwa memberikan perawatan pada pasangannya (anggota keluarga yang lain). Tugas yang umum dilakukan setiap hari adalah memberikan rasa kasih sayang, memberikan dukungan emosional selama krisis, dan pemantauan gejala. Aspek perawatan lainnya termasuk menyediakan atau memantau pengobatan, membayar tagihan, menganjurkan pasangannya tersebut untuk menerima bantuan, mengatur dan mengkoordinasikan layanan dan janji temu, membantu perawatan pribadi, mengurus pekerjaan rumah tangga, dan melakukan pertemuan dengan orang yang memiliki MHC. Tugas dan aspek perawatan ini biasa terjadi pada siapa saja yang memiliki anggota keluarga dengan MHC, terlepas dari apakah orang tersebut adalah pasangan, anak, saudara kandung, dan sebagainya (Decima Research Inc., 2004) dalam (Kaakinen, dkk 2015). 7. Perubahan peran dalam keluarga Bukan hal yang aneh bagi pengasuh keluarga orang-orang dengan MHC untuk mengubah hubungan atau peran mereka di dalam keluarga (Ali, Ahlstrom, Krevers, & Skarsater, 2012). Sebagai contoh anak dengan salah satu orangtua dengan MHC mungkin memiliki beberapa peran pengasuhan seperti menyediakan perawatan pribadi dan emosional untuk orangtua, terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, memberikan perawatan kepada saudara-saudara, memberikan obat kepada orangtua, atau memberikan dukungan krisis untuk orangtua selama masa psikotik akut. Dengan

demikian, orangtua dapat mempertahankan perannya sebagai orangtua, meskipun ada beberapa saling ketergantungan antara anak dan orangtua. Menjadi anak (di bawah usia 18 tahun) dalam peran pengasuh kepada orang tua dapat memberi efek positif pada perkembangan anak, termasuk hubungan keluarga yang lebih baik, namun juga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan anak dan pengalaman masa kecil secara keseluruhan (Aldridge, 2006 ) dalam (Kaakinen, dkk 2015). 8. Anak-anak yang tinggal dengan orang tua atau saudara kandung yang memiliki MHC a. Anak-anak yang Tinggal dengan Orang Tua dengan Masalah Kesehatan Mental. Anak-anak yang tumbuh dengan orang tua dengan MHC dapat mengungkapkan kemarahannya kepada orang tuanya tersebut karena orang tua mereka tidak seperti orang tua lainnya. Keadaan seperti depresi pada ibu memiliki dampak negatif pada perkembangan normal anak dan memungkinkan untuk mewarisi masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, perawat perlu memberi perhatian khusus pada risiko spesifik pada anakyang memiliki orangtua dengan MHC. (Kaakinen, dkk 2015). Risiko terhadap Perkembangan Normal seperti ibu dengan depresi dapat memiliki dampak negatif pada perkembangan bahasa anak, kecerdasan anak, perilaku anak, menimbulkan gejala depresi pada anak, gangguan pola tidur, masalah kesehatan fisik, dan hubungan orang tua dengan anak yang tidak baik. Orangtua dengan depresi dapat menghantarkan rasa pesimisme dan kesedihan pada bayi mereka, seperti perilaku oranguta yang tertawa terbahak-bahak dan menunjukkan sedikit kasih sayang, kurangnya kelembutan, dan daya tanggap. Berkurangnya kontak erat dan terus-menerus dengan bayi dapat memiliki efek paling berbahaya pada bayi (Brockington et al., 2011). b. Anak-anak yang Tinggal dengan Saudara Kandung dengan Masalah Kesehatan Mental. Hubungan saudara memiliki dampak besar pada perkembangan anak. Hubungan saudara menyediakan koneksi bagi anak untuk belajar berinteraksi dengan orang lain, mengelola pertengkaran, menangani persaingan, berbagi rahasia, dan mencoba berbagai peran. Tapi MHC dalam satu saudara dapat mengganggu hubungan antar saudara menjadi negatif.

2.1.4 MENGASUH ANAK YANG MEMILIKI MASALAH KONDISI KESEHATAN MENTAL Beberapa orang tua anak-anak dengan MHC mengalami isolasi dan stigma dari keluarga, teman, guru, dan administrator sekolah, selain itu orangtua sering mengalami kesedihan, isolasi, dan stigma saat anak mereka memiliki MHC atau menyalahkan diri sendiri terhadap MHC anak mereka. Banyak orang tua yang memiliki anak-anak dewasa dengan SMI mengalami frustrasi yang signifikan saat mereka mencoba menavigasi sistem perawatan kesehatan yang mereka anggap penuh dengan rintangan (O'Connell, 2006) dalam (Kaakinen, dkk 2015). Orangtua yang memiliki anak dengan gangguan bipolar, misalnya, sering menyalahkan diri mereka sendiri terhadap MHC anak mereka, misalnya karena kesulitan masa kecil, pola asuh yang buruk, atau penyalahgunaan zat (Crowe et al., 2011). Orang tua tersebut dapat meminta intervensi keluarga termasuk pendidikan psikososial, peningkatan komunikasi, dan pelatihan keterampilan pemecahan masalah untuk membantu keluarga memahami dan mengelola gangguan tersebut (Crowe et al., 2011; Nadkarni & Fristad, 2012). Perawat seharusnya menawarkan intervensi semacam itu jika sebuah keluarga tidak meminta mereka (Kaakinen, dkk 2015).

2.1.5 PENCEGAHAN KONDISI KESEHATAN MENTAL Peran terpenting perawat kesehatan mental adalah untuk terlibat dalam kegiatan profesional yang mencegah kondisi kesehatan mental. Pengabaian dan pelecehan adalah pengalaman negatif yang bisa menimbulkan masalah serius perubahan hormonal dan kimiawi di otak dan mengganggu perkembangan otak normal. Hubungan fisik antar neuron terbentuk di masa kanak-kanak tidak terprogram atau tidak berkembang. Stres dapat memicu perubahan untuk mengubah perkembangan otak anak (Teicher, 2002) dalam (Kaakinen, 2015). Genetika mempengaruhi perkembangan otak dan stres, begitulah sebagai pelecehan fisik, emosional, dan seksual; kelaparan; dan bencana alam sangat mempengaruhi emosi, perilaku, kognitif, sosial, dan fisik berfungsi pada anak-anak. Perilaku gaya hidup sehat, termasuk diet, olahraga, strategi pengurangan stres, dan konsumsi non-konsumsi alkohol, rokok, atau zat ilegal nampaknya berperan dalam mengurangi

risikonya mengembangkan MHC. Perawat harus berusaha mendorong dan mendukung gaya hidup sehat, apakah prenatal atau untuk anak-anak, remaja, atau orang dewasa (Kaakinen, 2015). Perawat tentu saja harus mengadvokasi pola asuh yang baik dan harus menawarkan dukungan orang tua dengan cara tidak menghakimi. Perawat harus berada di garis terdepan untuk memastikan bahwa penganiayaan anak tidak terjadi. Perawat dapat menyediakan sumber untuk pengasuh anak sehingga mereka belajar keterampilan yang diperlukan untuk memberikan perawatan, dukungan, dan pengasuhan yang bertanggung jawab untuk anak mereka. Apalagi perawat harus aktif dalam kebijakan lokal, negara bagian, dan nasional yang mempengaruhi kesejahteraan anak. "Penilaian awal dan intervensi bisa bersifat prophylactic-membantu mencegah

perpanjangan

neurofisiologis

akut,

neuroendokrin,

dan

respon

trauma

neuropsikologis" (Perry et al., 1995, hal. 291) dalam (Kaakinen, 2015). Meningkatkan kesehatan jiwa adalah peran bersama bukan hanya tanggung jawab profesi tertentu ataupun instansi terkait. Upaya-upaya preventif sangat perlu dilakukan, salah satunya bermula dari diri sendiri. Berikut langkah-langkah dalam mewujudkan jiwa yang sehat diantaraya (ILMPI,2017): 1. Amati lingkungan dan sensasi indrawi yang dirasakan seperti memperhatikan kondisi lingkungan, sensasi indrawi, dan napas. 2. Berikan jeda sebelum melakukan aktivitas berikutnya. Banyak orang yang selalu terburuburu saat melakukan aktivitas sehari-hari sehingga menimbulkan stress. 3. Jadilah pendengar yang baik, dengarkan orang lain berbicara dengan penuh perhatian dan berusaha memahami kata-kata yang diucapkan. 4. Berlatihlah memusatkan pikiran dengan memmfokuskan perhatian pada kekinian, pikiran, dan perasaan. 5. Munculkan lagi ingatan tentang perjalanan hidup. Pemahaman yang terbentuk melalui kisah pribadi tersebut akan memengaruhi tindakan dan tujuan hidup. 6. Perhatikan diri sendiri dengan merawat tubuh dan menjaga pikiran agar lebih menyadari diri sendiri dan lingkungan secara mental. 7. Jangan menyalahkan diri sendiri karena mengalamibisa menimbulkan rasa putus asa dan tidak berdaya. 8. Terima perasaan positif dan negatif sebagai hal yang normal dalam kehidupan.

9. Konsultasi dengan ahli seperti psikolog, psikiater, ataupun konselor jika memiliki masalah jiwa yang berat. 10. Lakukan evaluasi terhadap diri sendiri dari nilai keutamaan yang diyakini, mengubah pola pikir negatif, dan menemukan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari seperti membiasakan berinteraksi dengan orang-orang yang suportif dapat memberikan saran positif dan memberikan kehidupan yang bahagia untuk diri anda sendiri. 11. Konsultasi dengan ahli jika memiliki masalah jiwa yang berat (seperti psikolog atau psikiater).

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KESEHATAN MENTAL 2.2.1 Pengkajian Standar praktik APNA mengartikulasikan bahwa data penilaian dikumpulkan dari berbagai sumber secara sistematis dan berkelanjutan (APNA, 2007). Selama fase proses keperawatan inilah terbentuk aliansi terapeutik. Idealnya, aliansi terapeutik dapat dibentuk dengan individu dan anggota keluarga yang terlibat dalam perawatannya. Pengkajian data dari perspektif individu yang sakit mental atau anggota keluarga, atau keduanya, dapat mencakup persepsi dan pemahaman keluarga atau individu itu sendiri tentang penyakitnya. Untuk mengetahui persepsi dan pemahaman keluarga atau individu itu sendiri tentang penyakit mental, maka hal-hal yang perlu dikaji antara lain (APNA, 2000; Finkelman, 2000) dalam (Kaakinen, 2010): 1.

Keluhan utama, gejala, atau masalah

2.

Fisik, perkembangan, kognitif, mental, dan status kesehatan emosional

3.

Riwayat kesehatan

4.

Riwayat pengobatan

5.

Keluarga, sosial, budaya, ras, etnis, dan masyarakat sistem

6.

Aktivitas kebiasaan hidup dan kesehatan sehari-hari

7.

Sejarah penggunaan zat

8.

Keterampilan interpersonal dan komunikasi

9.

Sumber stres

10. Mekanisme coping yang digunakan 11. Keyakinan dan nilai spiritual dan religius

12. Faktor ekonomi, hukum, atau faktor lingkungan lainnya yang mempengaruhi kesehatan 13. Kekuatan promosi kesehatan 14. Terapi komplementer digunakan 15. Konflik keluarga 16. Peran dan tanggung jawab keluarga 17. Tujuan perawatan 18. Kemampuan seseorang untuk tetap aman

2.2.2 Diagnosa Perawat melakukan penilaian menyeluruh, perawat menentukan diagnosis yang relevan. Selama proses ini, perawat "mengidentifikasi risiko aktual atau potensial terhadap kesehatan dan keselamatan pasien atau hambatan terhadap kesehatan mental dan fisik yang mungkin termasuk namun tidak terbatas pada keadaan interpersonal, sistematik, atau lingkungan" (APNA, 2007, hal 31). Diagnosis keperawatan khusus keluarga yang diakui oleh Asosiasi Diagnosis Perawat Amerika Utara mencakup hal berikut (Ackley & Ladwig, 2006) dalam (Kaakinen, 2010): a. Resiko untuk strain peran pengasuh b. Peran pemberi pengasuhan c. Koiping keluarga terkompromikan d. Koping keluarga cacat e. Koping kesiapan untuk keluarga yang lebih baik f. Proses keluarga disfungsional g. Proses keluarga terganggu h. Kesiapan untuk meningkatkan proses keluarga i. Penampilan peran keluarga yang mendukung j. Pengelolaan rejimen terapeutik keluarga yang tidak efektif

2.2.3 Intervensi Menurut Kaakinen, 2010 StrategiIntervensi Keluarga untuk masalah kesehatan mental antara lain:

a. Mengkoordinasikan informasi dan rencana perawatan di seluruh rangkaian dan dengan beberapa penyedia layanan kesehatan. b. Pastikan komunikasi dua arah dari penyedia layanan kesehatan ke keluarga dan keluarga dari penyedia layanan kesehatan. c. Memberikan validasi komitmen dan pekerjaan yang dilakukan oleh semua anggota keluarga. d. Ciptakan cara bagi keluarga untuk mengelola rencana pengobatan yang mempengaruhi rutinitas sehari-hari. e. Identifikasi cara realistis agar anggota keluarga yang sakit mental dapat berpartisipasi dan berkontribusi pada keluarga. f. Mengartikulasikan rencana tindakan untuk diterapkan pada saat krisis. g. Negosiasikan cara untuk mengelola perilaku masalah yang spesifik. h. Terhubung dengan sumber daya sosial yang sesuai (terapi perorangan / kelompok, kelompok pendukung, keluarga besar, teman, organisasi keagamaan). i. Menyediakan pendidikan diagnostik dan pengobatan. j. Dorong perilaku perawatan diri untuk semua anggota keluarga. k. Identifikasi keterampilan penanggulangan yang efektif untuk anggota keluarga secara individu. l. Advokat untuk perubahan kebijakan yang menguntungkan individu dengan penyakit jiwa dan anggota keluarga mereka. m. Tantangan stereotip yang merugikan dari penyakit jiwa.

2.2.3 Implementasi Perawat dapat membantu individu dengan penyakit jiwa dan anggota keluarga mereka dengan mengembangkan (melaksanakan) intervensi yang sesuai dengan masalah yang mereka identifikasi. Tindakan keluarga dalam hal ini adalah berdiskusi dan menciptakan cara bagi mereka untuk mengelola rencana perawatan yang mempengaruhi rutinitas keluarga sehari-hari. Perawat dapat membantu keluarga menegosiasikan perilaku bermasalah yang mengganggu keluarga, seperti merokok atau mondar-mandir. Perawat dapat

membantu keluarga

mengembangkan rencana untuk menyediakan struktur yang meningkat di rumah selama masa stres, untuk mengidentifikasi kapan harus menemui dokter untuk penyesuaian pengobatan, atau

untuk mengetahui kapan harus membawa orang sakit ke rumah sakit atau menghubungi polisi untuk meminta bantuan (Kaakinen, 2010). Konseling dapat membantu orang dalam meningkatkan keterampilan mengatasi masalah mereka. Intervensi ini bisa membantu keluarga pada masa krisis. Ini dapat digunakan untuk melibatkan orang-orang dalam kegiatan pemecahan masalah atau mengeksplorasi manajemen stres dan teknik relaksasi. Promosi kegiatan perawatan diri ditujukan untuk memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup. Sekali lagi, intervensi ini bisa diterapkan ke seluruh unit keluarga.

2.2.5 Evaluasi Secara berkala, pasien, keluarga, dan kesehatan mental profesional mengevaluasi keefektifan pengobatan rencanakan dalam kaitannya dengan pencapaian yang diharapkan hasil. Evaluasi bersifat kontinyu, sistematis, dan proses berbasis kriteria. Selama evaluasi, Pasien dan keluarga memiliki kesempatan untuk berbagi perasaan mereka terhadap kepuasan perawatan mereka menerima Biaya dan manfaat pengobatan didiskusikan. Dengan mempertimbangkan informasi ini, diagnosa, hasil, dan rencana perawatan sekali lagi direvisi dan disepakati bersama (Kaakinen, 2010).

BAB III PENUTUP

3.1

KESIMPULAN Adanya anggota keluarga yang memiliki masalah kesehatan mental umumny akan

berdampak pada keluarganya (kerabatnya). Dampak yang muncul dapat berupa dampak objektif dan dampak subjektif. Contoh dampak obyektif meliputi kerugian finansial, ketegangan fisik, dampak terhadap kesehatan anggota keluarga lainnya, atau gangguan terhadap kehidupan anggota keluarga yang disebabkan oleh perilaku orang dengan penyakit jiwa. Dampak subyektif, sebaliknya, mengacu pada bagaimana perasaan anggota keluarga dan merasakan beban yang mereka alami, seperti perasaan tidak mampu mengatasi, terjebak, dan tidak tahu bagaimana menanggapi gejala yang ditunjukkan oleh kerabat mereka. Tekanan psikologis juga dikaitkan dengan pengalaman memberikan perawatan kepada individu dengan penyakit jiwa. Peran terpenting perawat kesehatan mental adalah untuk terlibat dalam kegiatan profesional yang mencegah kondisi kesehatan mental. Perilaku gaya hidup sehat, termasuk diet, olahraga, strategi pengurangan stres, dan konsumsi non-konsumsi alkohol, rokok, atau zat ilegal nampaknya berperan dalam mengurangi risikonya mengembangkan MHC. Perawat harus berusaha mendorong dan mendukung gaya hidup sehat, apakah prenatal atau untuk anak-anak, remaja, atau orang dewasa. Perawat tentu saja harus mengadvokasi pola asuh yang baik dan harus menawarkan dukungan orang tua dengan cara tidak menghakimi.

3.2 SARAN Dalam mengasuh orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental sebaiknya keluarga turut diikutsertakan dikarenakan dukungan keluarga dapat sangat mempengaruhu seseorang dengan masalah kesehatan mental untuk dapat tetap tahan terahadap efek samping pengobatan, dan kepatuhan pengobatan sehingga dapat meminimalkan kemungkinan untuk kambuh. Perawat juga sebaiknya dapat membantu keluarga dalam memberikan edukasi tentang kesehatan mental, sebagai advokasi keluarga, dan memberikan konseling serta support. Pemerintah juga diharapkan dapat lebih memperhatikan orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental terutama mereka yang tidak memiliki keluarga dengan menyediakan layanan dan fasilitas serta dana yang

mendukung dan seusai untuk mengatasi masalah kesehatan mental demi mensejahterakan individu dengan masalah kesehatan mental tersebut dan juga tenanga kesehatan yang merawat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahlstrom, B., Skarsater, I., & Danielson, E. 2007. Major Depression in a Family: What Happens and How to Manage A Case Study. Issues in Mental Health Nursing, 28,691–706. American Psychiatric Nurses Association (APNA). 2007. Psychiatric-Mental Health Nursing: Scope and Standards of Practice. Silver Spring, MD: American Nurses Association. Brockington, I., Chandra, P., Dubowitz, H., Jones, D., Moussa, S., Nakku, J., & Ferre, I. 2011. WPA Guidance on The Protection and Promotion of Mental Health in Children of Persons with Severe Mental Disorders. World Psychiatry, 10,93–102. ILMPI. 2017. KALKAPSI; Hari Kesehatan Mental Sedunia. (http://wilayah2.ilmpi.org/2017/10/12/kalkapsi-hari-kesehatan-sedunia-2017/) Kaakinen, et al. 2010. Family Health Care Nursing; Theory, Practice, and Research 4th Edition. USA: F. A. Davis Company (449 – 467). Kaakinen, et al. 2015. Family Health Care Nursing; Theory, Practice, and Research 5th Edition. USA: F. A. Davis Company (521 – 523). Kamel, A. A., Bond, A. E., & Froelicher, E. S. 2012. Depression and Caregiver Burden Experienced by Caregivers of Jordanian Patients with Stroke. International Journal of Nursing Practice, 18, 147–154. Kemenkes RI. 2016. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ministry of Health Repunblic of Indonesia). (http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-kesehatanjiwa-masyarakat.html). Nies, Mary A. 2018. Keperawatan kesehatan komunitas dan keluarga. Edisi Indonesia 1. Jakarta: Elsevier

Related Documents


More Documents from "Ozada Rasifa"