MAKALAH KELOMPOK 12 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM “HUKUM ISLAM DI INDONESIA HUKUM WARIS”
DISUSUN OLEH :
MUTIHA LARASATI
(1711011025)
DEVANIA PRATIWI
(1711011029)
NURUL TRI ANDINI
(1711011065)
RICKY M DARMAWAN
(1711011121)
DOSEN PENGAMPU : MUALIMIN, S.Pdi., M.Pdi MUHISOM, S.Pdi
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018
KATA PENGANTAR
Bismillah segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi anugerah serta rahmat-Nya kepada para hamba-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hukum islam di Indonesia Hukum Waris” dengan baik serta tepat waktu. Sholawat serta salam, senantiasa kita haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang kita nantikan syafa'atnya di hari kiamat kelak, Amin.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mualimin, S.Pdi., M.Pdi dan Bapak Muhisom, S.Pdi selaku dosen mata kuliah pendidikan agama islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami, dengan ini kami mampu memahami bagaimana mekanisme “Hukum waris” tersebut. Kami juga meminta maaf apabila dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karna itu kami meminta kritik dan saran yang sifatnya membangun khususnya dari Bapak Mualimin, S.Pdi., M.Pdi dan Bapak Muhisom, S.Pdi serta kepada teman-teman semua.
Semoga makalah ini
dapat
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Bandar Lampung, 08 Juni 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................
ii
DAFTAR ISI .........................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... A. Latar Belakang .....................................................................................
4
B. Rumusan Masalah ................................................................................
5
C. Tujuan ..................................................................................................
5
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... D. Pengertian hukum waris islam.............................. ...............................
6
E. Sumber hukum waris islam ..................................................................
6
F. Unsur pewaris islam .............................................................................
8
G. Syarat mendapat warisan......................................................................
9
H. Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan .......................
10
I. Ahli waris dan bagiannya .....................................................................
11
J. Penyelesaian kasus ...............................................................................
15
BAB III PENUTUP ............................................................................. K. Kesimpulan…………………………………………… ......................
16
L. Saran .....................................................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
17
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Permasalahan hukum kewarisan islam sangat luas dan kompleks, meliputi ruang lingkup kehidupan manusia dan masyarakat dari persoalan anak yang masih dalam kandungan sampai meninggal dunia, kematian seseorang membawa pengaruh akibat hukum kepada diri, keluarga dan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Akibat hukum tersebut meliputi pengurusan jenazah, pengurusan wasiat, hutang, dan juga peralihan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut. Hukum kewarisan islam merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan di terapkan dalam setiap peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama islam. Di sini pemerintah sangat sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris di Indonesia. Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian hukum waris islam 2. Sumber hukum waris islam 3. Unsur pewaris islam
4. Syarat mendapatkan warisan 5. Ahli waris dan bagiannya
C. TUJUAN Dapat memahami tentang pengaturan-pengaturan dalam hukum waris hukum kewarisan islam. Dan dapat lebih dalam memahami kasus kasus hukum kewarisan yang biasa terjadi di dalam masyarakat. Karna pada dasarnya hukum waris adalah hukum yang selalu hidup di masyarakat.
BAB II PEMBAHASAAN D.
Pengertian hukum waris islam Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts ( )اإلرثatau al-mirats ( )الميراثsecara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit). Secara etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu (a) tetap dan (b) berpindahnya sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-materi. Sedang menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta seorang (yang mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah ditentukan oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12. Ilmu faraidh atau fiqh mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peningalan dari seorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkanya, orang orang yang berhak menerima harta tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaianya.
E.
Sumber Hukum waris Islam Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. diantaranya adalah, sebagai berikut :
a. Dalil- dalil yang bersumber dari al-qur’an “Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah [yaitu]: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudarasaudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (176) b. Dalil-dalil yang bersumber dari as-sunnah. Meskipun Al-Qur’an menyebutkan secara terperinci ketentuan- ketentuan bagian ahli waris, Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam AlQur’an, antara lain : 1)
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
2)
Hadits riwayat Al-Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa’i, mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir, dan orang kafir tidak berhak atas harta orang muslim.
3)
Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian warisan kepada dua nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
4)
Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.
c. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma dan ijtihad para ulama. Ijma dan itjihat para sahabat, imam-imam dan Mazhab dan mujtahid –mujthaid kenamaan mempunai peranan yang tidak kecil sumbanganya terhadap pemecahanpemecahan terhadap masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih. Seperti pembagian muqasamah (bagi sama) dalam maslah l-jaddu wal-ikhwah (kakek bersama-sama dengan saudara-saudara), pembagian bagi cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dala masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian para ahli waris dalam masalah ’aul dan radd, pembagian tsulultsul baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika hana bersama baak dan suami atau isteri dalam masalah gharrawain, dan lain sebagainya.
F.
Unsur Pewarisan Islam Meskipun dalam kedua system hukum yang lain unsure warisnya sama, yaitu pewaris, ahli waris, dan harta waris (hak dan kewajiban), namun dalam penjabaran ketiganya masing-masing system tersebut berbeda satu dengan yang lainya. a.
Pewaris Pewaris yaitu orang yang saat meninggal atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan agama, beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan. Syarat beragama islam ini tidak hanya untuk pewaris saja melainkan juga ahli waris harus memeluk agama islam. Sebagaimana hadist Nabi S.A.W “orang islam tidak mewarisi dari orang bukan islam begitu sebaliknya”.
b.
Ahli waris Ahli waris yaitu orang yang pada saatpewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang menjadi pewars. Menjadi ahli waris karna hubungan darah yaitu ayah,ibu,anak,saudara
keatas,saudara
kebawah,saudara
kesamping
dalam
hubungan perkawinan yaitu janda atau duda. Ahli waris dikatakan sebagai agama islam dapat dilihat dari kartu identitasnya, pengakuan, amalanya, sedangkan bayi baru lahir, tergantung dari pengakuan ibunya.
Terhalangnya seseorang untuk menjadi ahli waris apabila dinyatakan dengan putusan haki yang telah mempunyai ketentuan hukum tetap, dimana seorang atau sekelompok di hukum karena : 1)
Dipersalahkan telah membunuh, menganiaa berat pewaris. Sebagaimana hadis Nabi SAW :”barang siapa membunuh seorang korban tidak berhak wewais dari korban walauun korban tidak mempunyai ahli waris lain atau korban hanya adalah ayah atau anaknya
2)
Dipersalahkan memfitnah, telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris melakukan kejahatan diancam pidana 5 tahun penjara atau lebih berat.
G.
Syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu: a. Matinya muwaris, baik mati secara hakiki atau secara hukmi, maka ia dihukumkan mati secara hakiki. b. Hidupnya waris setelah matinya muwaris, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak dalam kandungan, maka secara hukum ia dikatakan hidup. c. Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan.
Ada tiga sebab sehingga orang tersebut memiliki hak untuk mewarisi harta, yaitu : a. Perkawinan Perkawinan adalah perkawinan yang sah menurut syariat Islam, dengan adanya suatu ikatan perkawinan merupakan ikatan yang dapat mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang wanita dengan suatu rumah tangga, selama perkawinan itu masih utuh dipandang sebagai salah satu sebab mewarisi, baik setelah keduanya bersetubuh atau belum. Sebab jika telah terjadi akad nikah maka terjadilah waris mewarisi diantara mereka, apabila salah seorang meninggal dunia.
b. Kekerabatan Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi disebabkan kelahiran, atau yang ada pertalian darah dengan para ahli waris dengan si mayit. Oleh sebab itu semua kerabat yang disebabkan hubungan darah baik sebagai asal seperti ayah atau kakek maupun ia sebagai furu’ seperti anak atau cucu serta dengan cara menyamping seperti saudara, semuanya mereka dapat mewarisi, disebabkan adanya hubungan nasab dengan yang meninggal. c. Wala’ Wala’ (memerdekakan budak) juga merupakan salah satu penyebab untuk saling mewarisi. Wala’ dalam wala’ul ‘ataqah atau ushubah sababiyah yaitu ‘ushubah yang bukan disebabkan pertalian nasab, tetapi disebabkan karena adanya sebab telah memerdekakan budak.
Tirkah Tirkah adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh ahli waris.Apa-apa yang ditinggalkan oleh
orang
yang
meninggal
dunia
harus
diartikan
sedemikian
luas.
Ulama-ulama Malikiyah, Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah memutlakkan tirkah kepada segala yang ditinggalkan si mayit baik berupa harta maupun hak-hak.Baik hak-hak tersebut hak kebendaan mauaun bukan kebendaan.Dalam hal ini hanya imam Maliki saja yang memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi, seprti hak menjadi wali nikah, kedalam keumumman arti hak-hak. Sebelum harta dibagi-bagi kepada para ahli waris, hukum adat meneliti lebih dahulu macam dan asal harta peninggalan itu apakah merupakan harta masing-masing pihak yang terpisah satu sama lain atau merupakan harta campuran dari suami dan istri. Jika harta kekayaan masing-masing yang diperoleh secara warisan itu hanya dapat diwarisi oleh anak-anak si mati itu sendiri dan kalau tidak mempunyai anak diwarisi oleh keluarga yang meninggal,selanjutnya harta yang diperoleh secara hibah atau dengan hasil usaha sendiri,dapat diwarisi oleh anak istri atau suami yang masih hidup.
H. Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan yaitu : Tajhiz Tajhiz ialah segala yang diperlukan seseorang yang meninggal dunia ,sejak dari wafatnya sampai pada penguburannya., seperti: belanja keperluan mayyit, memandikan, mengkafani,sampai pada mengubur . Melunasi hutang-hutang Menurut ibnu Hazm dan Asyafii, baik mendahulukan hutang pada allah seperti zakat dan kifarat,atas hutang kepada manusia. Pelaksanaan wasiat Hak ketiga yaitu pelaksanaan wasiat,dalam batas-batas yang dibenarkan syara’tanpa perlu persetujuan para waris yaitu,tidak lebih dari seper tiga harta peninggalan,sesudah diambil untuk keperluan tajhiz dan keperluan membayar hutang ,baik wasiat itu untuk waris ataupun untukorang lain Jika pengambilan
harta untuk pelaksnaan wasiat lebih dari seper tiga,maka diperlukan persetujuan dari pihak para waris. Pembagian sisa harta kepada ahli waris Pusaka yang dimiliki oleh para ahli waris apabila masih sisa harta,sesudah diambil keperluan tajhiz keperluan membayar hutang dan wasiat.Maka sisa itu menjadi harta waris dan dibagi menurut ketentuan syara’.
I.
Ahli waris dan bagiannya a. Kelompok ahli waris laki-laki o Anak laki-laki o
Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah
o
Bapak
o
Kakek shaih dan seterusnya ke atas
o
Saudara laki-laki sekandung
o
Saudara laki laki sebapak
o
Saudara laki-laki seibu
o
Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
o
Anak laki-laki asudara laki-laki sebapak
o
Paman sekandung
o
Paman sebapak
o
Anak laki-laki paman sekandung
o
Anak laki-laki paman sebapak
o
Suami
o
Orang laki-laki yang memerdekakan budak
b. Kelompok ahli waris perempuan o Anak perempuan o
Cucu perempuan pancar laki-laki
o
Ibu
o
Nenek dari pihak bapak dan seterusnya
o
Nenek dari pihak ibu dan seterunya keatas
o
Saudara perempuan sekandung’
o
Saudara perempuan sebapak
o
Saudara perempuan seibu
o
Isteri
o
Orang perempuan yang memerdekan budak.
c. Ashabul furudh Ashabul Furudh (Zawil Furudh) adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syariat Islam (al-Qur’an dan Hadits) berkenaan dengan orang yang mendapatkan harta warisan. Bagian-bagian itu adalah: Seperdua (1/2) Para ahli warisnya adalah 5 (lima) orang, yaitu: 1)
Anak Perempuan, apabila hanya seorang diri, jika si mati tidak meninggalkan anak laki-laki (QS, 4:11)
2)
Seorang cucu perempuan dari laki-laki, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki
3)
Seorang saudara perempuan sekandung apabila seorang diri
4)
Seorang saudara perempuan, jika hanya seorang diri
5)
Suami, jika tidak ada anak atau susu (QS, 4:12)
Seperempat (1/4) Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu: 1)
Suami, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki (QS, 4:11)
2)
Istri seorang atau lebih, jika si mayit tidak meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:12)
Seperdelapan (1/8) Para ahli warisnya adalah 1 (satu) orang, yaitu: 1)
Istri seorang atau lebih, apabila ada anak atau cucu (QS, 4:12)
Sepertiga (1/3) Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu: 1) Ibu, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak lakilaki atau dua orang saudara (QS, 4:11)
2) Dua orang atau lebih saudara seibu bagi si mati, baik laki-laki maupun perempuan (QS, 4:12)
Dua pertiga (2/3) Para ahli warinya adalah 4 (empat) orang, yaitu: 1) Dua orang anak perempuan atau lebih, jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki (QS, 4:11) 2) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika mereka tidak ada anak perempuan atau saudara laki-laki 3) Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika si mati tidak meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki mereka (QS, 4:176) 4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tersebut nomor 1, 2 dan 3 atau saudara laki-laki mereka
Seperenam (1/6) Para ahli warisnya adalah 7 (tujuh) orang, yaitu: 1) Ayah, jika si mati meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:11) 2) Ibu, jika si mati meninggalkan anak, cucu laki-laki atau saudara laki-laki/perempuan lebih dari seorang 3) Kakek, jika si mati meninggalkan anak, cucu dan tidak meninggalkan Bapak. 4) Nenek, jika si mati tidak ada ibu 5) Cucu perempuan dari anak laki-laki jika bersama-sama seorang anak perempuan 6) Saudara perempuan seayah atau lebih bila ia bersama-sama saudara perempuan sekandung 7) Saudara seibu baik laki-laki/perempuan, jika si mati tidak meninggalkan anak, bapak atau datuk .
d. Ashabah ‘Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ﻋﺎﺼﺐyakni ahli waris yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan. Sedangkan ahli faroid mendefinikan ‘ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada
sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang telah ditentukan. Jika ahli waris mayit hanya mereka, maka mereka mengambil semua harta, dan apabila bersama mereka ini ada ahli waris yang mendapat bagian furudh, maka mereka mengambil sisa harta setelah bagian furudh diberikan. Namun jika harta tidak tersisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa. Mengenai ashabah nasbiyah rifa’i arief membaginya menjadi 3 bagian, yaitu : a) Ashabah bil Nafsi Orang-orang yang mempunyai ahli waris ashabah bil nafsih adalah seluruh ahi waris laki laki,selain dari pada suami dan saudara laki-laki seibu. b) Ashabah bil ghair Orangorang yang menjadi ahli waris ashabah bil ghair adalah seorang atau kelompok anak perempuan bersama atau seklomok anak laki-laki, dan seorang atausekelompok saudara perempuan dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki, manakala kelompok laki-laki tersebut menjadi ahli waris ashabah bil nafsih. c) Ashabah ma’al ghair Orang-orang yang menjadi ahli waris ashabah ma’al ghair adalah seorang atau sekelompok saudara perempuan baik sekandung maupun sebapak yang mewarisi bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak eremuan atau cucu perempuan pancar laki laki manakala tidak ada cucu lakilaki pancar laki-laki, yang menjadikan sebagai ahli waris ashabah bil ghair. e. Dzawil arham Dzawil arham berasal dari bahasa arab : dzawu dan al-arham semua istilah dzawil arham mempunyai arti yang luas, yakni mencangkup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan.
Hijab Hijab adalah menghalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan atas ahli waris, apakah seluruh atau sebagian baik ia dalam keadaan
menerima bagian maupun dalam keadaan terhijab pula. Hijab, bias merupakan hijab hirman atau hijab nuqshan yang pertama adalah terhalangnya seseorang dalam menerima harta peninggalan secara keseluruhan karna adanya orang yang lebih dekat. Dan yang kedua (hijab nuqshan) adalah terhalangnya seseorang dalam menerima bagian yang lebih besar kepada bagian yang lebih kecil karena adanya orang lain yang menjadikan pengurangan tersebut. J.
Penyelesaian kasus berdasarkan kasus posisi diatas Ari meninggalkan seorang bapak dan seorang ibu serta seorang kakak bernama Fera. Dia juga memiliki seorang kakek, Paman, Bibi yang tinggal serumah dengannya. Siapa sajakah yang berhak mewaris harta yang ditinggalkan berupa rumah seharga 920 juta. Diketahui ari belum menikah. Ari mempunyai hutang sebesar 16 juta dan pengurusan jenazah ari sebesar 4 juta. Ahli waris 1. Ibu 2. Bapak 3. Kakak 4. Kakek 5. Paman 6. Bibi yang berhak menerima waris hanya ibu dan ayah karena ahli waris yang lain terhijab yaitu hijab hirman. Pengurusan tirkah Harta Pribadi – (hutang+pengurusan jenazah) 920 Juta
- (16 juta + 4 Juta)
= 900.000.000
Pembagian kepada ahli waris (pewarisan) Ibu
:
ayah
1/3
:
2/3
1) Ayah 2/3 x 900.000.000
= 600.000.000
2) Ibu 1/3 x 900.000.000
= 300.000.000
BAB III PENUTUP K.
KESIMPULAN Hukum kewarisan islam merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan di terapkan dalam setiap peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama islam. Namun hukum waris yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum waris islam tetapi ada pula hukum waris adat, dan hukum waris perdata. Seiring berkembangnya jaman hukum waris adat pun sudah jarang di gunakan pada masyarakat urban yang pada umumnya mereka lebih suka memakai hukum waris islam karna agamanya dan hukum waris perdata. Di sini pemerintah sangat sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris di Indonesia.
Dalam hukum waris islam bahwa dari semua ahli waris yang ada dalam kasus tersebut yang berhak menerima waris hanya ibu dan ayah dan dibagikan dua banding satu. Karena ahli waris yang lain tertutup hijab hirman. Namun dalam hukum kewarisan perdata yang berhak menerima waris adalah ibu, ayah, dan kakak perempuan sebagai saudara sekandung karna ahli waris yang lain merupakan ahli waris yang hubunganya lebih jauh dan masih ada ahli waris yang lebih dekat. L.
SARAN Dalam kasus-kasus waris yang terjadi dimasyarakat banyak sekali kevariasianya. Sebagai ahli hukum kita harus memahami dan mempelajari hal-hal tersebut. Agar tidak ada kesalahan saat penghitungan suatu permasalahaan kewarisan dan tidak ada ahli waris yang dirugikan karnanya.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Idris Ramulyo, 1992, perbandingan hukum kewarisan islam, pedoman ilmu jaya, Jakarta.
2.
Suparman Usman,yusuf somawinata, 2008, FIQIH MAWARIS hukum kewarisan islam, Jakarta, Gama media Pratama.
3.
Wiryono Projodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur.
4.
Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, 2009, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir.
5.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2010, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam,(Surabaya, Mutiara Ilmu)
6.
Suhrawardi K.Lubis, 2007 Hukum Waris Islam ( Jakarta,Sinar Grafika)