Makalah Ipd Fix.docx

  • Uploaded by: Arnah maiseng
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Ipd Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,667
  • Pages: 14
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu organisme atau mahluk hidup memiliki bermacam-macam sistem jaringan atau organ dalam tubuhnya, dimana sistem tersebut memiliki fungsi dan peranan serta manfaat tertentu bagi mahluk hidup. Salah satu sistem yang ada pada suatu organisme yaitu sistem pernapasan. Sistem pernapasan ini sendiri memiliki fungsi dan peranan yang sangat struktural dan terkoordinir. Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis, istilah pernapasan yang lazim digunakan mencakup dua proses yaitu pernapasan luar (eksterna) merupakan penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 dari tubuh secara keseluruhan serta dalam pernapasan dalam (interna) merupakan penggunaan O2 dan pembentukan CO2 oleh sel – sel serta pertukaran gas (paru) dan sebuah pompa ventilasi paru. Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukan udara (inspirasi) dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam yaitu pernapasan costalis dan pernapasan abdominal. Pernapasan dada dan perut terjadi secara bersamaan. Semua sel hidup membutuhkan suplai oksigen yang konstan supaya dapat mempertahankan metabolism. Oksigen yang terdapat di udara akan masuk kedalam system aspirasi. Selanjutnya digunakan metabolism oleh jaringan dan pada saat yang sama karbondioksida dan uap air akan dikeluarkan. Kelainan pada sistem respirasi dapat menyebabkan berbagai macam hal, antara lain, batuk, bersin, sesak nafas, kekurangan oksigen, kelumpuhan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu kelainan yang biasa terjadi pada saluran pernafasan ialah Infeksi Saluran pernafasan. Maka dari itu, gangguan penapasan yang sering terjadi akan dibahas lebih lanjut sehingga kita dapat mengetahui pencegahan sedini mungkin. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, dapat diambiil rumusan masalah, yaitu: 1) Bagiaman fisiologi normal sistem pernapasan pada mamalia? 2) Bagaimana etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, diagnosa banding, faktor disposisi, terapi serta pengobatan dari penyakit rhinitis? 3) Bagaimana etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, diagnosa banding, faktor disposisi, terapi serta pengobatan dari penyakit sinusitis? 1.3 Tujuan Dari rumusan masalah diatas, dapat diambiil tujuan, yaitu: 1) Untuk mengetahui fisiologi normal sistem pernapasan pada mamalia.

1

2) Untuk mengetahui mengenai etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, diagnosa banding, faktor disposisi, terapi serta pengobatan dari penyakit rhinitis. 3) Untuk mengetahui mengenai etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, diagnosa banding, faktor disposisi, terapi serta pengobatan dari penyakit sinusitis. 1.4. Manfaat Berdasarkan tujuan diatas, manfaat dibuatnya makalah ini adalah: 1) Pembaca dapat mengetahui fisiologi normal sistem pernapasan pada mamalia. 2) Pembaca dapat mengetahui mengenai etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, diagnosa banding, faktor disposisi, terapi serta pengobatan dari penyakit rhinitis. 3) Pembaca dapat mengetahui mengenai etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosa, diagnosa banding, faktor disposisi, terapi serta pengobatan dari penyakit sinusitis.

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sistem Pernapasan

(a)

(b)

Gambar 2.1 (a) Saluran Pernapasan atas pada anjing (Colville dan Bessert, 2016); (b) Sinus pada Kucing (Losonsky et al., 1997).

Respirasi merupakan cara hewan untuk memperoleh maupun menggunakan oksigen serta membuang karbon dioksida. Beberapa masalah dapat terjadi dalam proses ini, termasuk faktor kimia yang terkait dengan penyerapan oksigen dan produksi karbon dioksida, aspek fisik berkaitan dengan ventilasi paru-paru, transportasi gas diantara paru-paru dan darah maupun antara darah dan jaringan (Reece,2015) Sistem respirasi pada dasarnya terdiri dari paru-paru dan saluran yang menjadi tempat keluar dan masuknya udara dari paru-paru yang dimana termasuk nostril, faring, laring, trakea, dan bronkus (Frandson et al., 2008). Secara struktural, sistem pernapasan dapat dibagi menjadi sistem pernapasan atas, termasuk hidung, faring, dan struktur terkait, dan sistem pernapasan bawah, termasuk laring, trakea, bronkus, dan paru-paru. Secara fungsional, itu juga dapat dibagi menjadi dua bagian: (1) Bagian konduksi terdiri dari serangkaian tabung yang terhubung, baik di luar dan di dalam paru-paru, yang menyaring, menghangatkan, membasahi, dan mengangkut udara ke dan dari paru-paru. Bagian ini termasuk hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminal; dan (2) bagian pernapasan adalah tempat pertukaran gas antara udara dan darah dan terdiri dari bronkiolus pernapasan, saluran alveolar, kantung alveolar, dan alveoli (Akers dan Danbow, 2013). Pada hewan, terdapat pembagian tipe pernafasan atau respirasi yaitu tipe costal, tipe abdominal atau gabungan dari keduanya yaitu tipe costoabdominal. Pembagian tipe pernapasan ini di dasarkan pada cara-cara bergerak dinding thoraks atau abdomen sewaktu proses respirasi. Bila pada proses respirasi dominan dinding thoraks yang bergerak maka disebut tipe costal, begitu pula sebaliknya. Bila keduanya dominan

3

terlihat bergerak maka disebut tipe costoabdominal. Pada hewan karnivora seperti kucing, umumnya tipe pernafasannya ialah costal (Widodo, 2011). 2.2 Rhinitis dan Sinusitis 2.2.1 Etiologi Rinitis bakteri primer jarang terjadi pada anjing dan kucing. Hal ini sebagian ditunjukkan oleh persistensi keparahan hidung setelah pengobatan empiris dengan (seringkali multipel) rangkaian antibakteri. Kehadiran bakteri dalam kultur hidung tidak identik dengan infeksi bakteri primer, karena bakteri dapat diisolasi dari saluran hidung kucing tanpa penyakit hidung dan kucing dengan penyakit hidung nonbakteri lainnya. B. bronchiseptica adalah patogen bakteri hidung yang utama pada kucing, mempengaruhi sebagian besar anak kucing dan kucing di lingkungan yang penuh sesak dan penuh tekanan. Rinitis bakteri paling sering terjadi sekunder akibat trauma hidung; rinitis alergi; rinitis limfoplasma; inhalasi bahan asing; refluks cairan atau makanan ke dalam hidung yang disebabkan oleh disfungsi faring, esofagus, atau lambung; infeksi virus, jamur, atau parasit; neoplasia; penyakit gigi; fistula oronasal; polip nasofaring; dan bronkopneumonia bakteri (Sykes dan Craig, 2012). Sinusitis paling sering terjadi sekunder akibat penyakit sinus nasal atau frontal primer lain (seperti yang telah dijelaskan dalam yang kondisi dan gangguan yang terjadi diatas) di mana gangguan pada anatomi hidung / sinus normal mengganggu pembersihan mukosiliar atau menghambat drainase lendir. Karena kontinuitas fisik antara ruang, tumor sinus frontal dapat meluas ke rongga hidung dan tumor hidung dapat meluas di sinus frontal. Sinusitis dan rinitis mikotik, sebagian besar disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, dapat memengaruhi rongga hidung dan sinus atau keduanya secara independen. Peradangan limfoplasma kronis pada anjing dapat menjadi gejala sisa dari bakterial infeksi atau mikotik (bahkan setelah terapi jamur yang berhasil), bisa idiopatik, atau mungkin berhubungan dengan etiologi. Peradangan limfoplasmatik kronis pada kucing dapat menjadi sekuel bakteri, virus (saluran pernapasan bagian atas atau kompleks infeksi) kucing, dan (jarang) infeksi mikotik Seperti pada anjing. kondisi ini bisa idiopatik pada kucing, mungkin terkait dengan penyebab alergi (Cote, 2011). Sinusitis bakteri kronis jarang terjadi pada anjing, meskipun lendir akumulasi tidak terjadi ketika penyakit hidung menyumbat drainase normal sinus frontal melalui sinus ostium. Sinusitis kronis pada kucing paling sering terjadi sebagai akibat kerusakan mukosa dan tulang akibat infeksi saluran pernapasan virus kucing. Ulserasi mukosa yang parah dan kerusakan turbin merusak mekanisme pertahanan imun lokal dan memungkinkan infeksi bakteri sekunder pada saluran hidung dan sinus frontal. Sinusitis akut didalilkan untuk menyertai sejumlah besar kondisi peradangan pada saluran pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh iritasi yang dihirup, alergen, dan agen virus, meskipun sinusitis akut kurang dicirikan pada hewan kecil. Sangat sedikit penelitian yang mengevaluasi jenis bakteri yang terlibat dalam rinosinusitis kronis (dengan sebagian besar laporan berfokus pada kultur hidung pada rinitis kronis). Dalam satu studi, rata-rata total tingkat deteksi bakteri dari flush hidung tidak berbeda secara signifikan antara kucing kontrol dan kucing dengan rinosinusitis kronis; Namun, 4

spesies Mycoplasma dan bakteri anaerob hanya terdeteksi pada kucing dengan rinosinusitis kronis. Sinus trephination mungkin diperlukan di kasus yang parah dan kronis untuk mendapatkan sampel untuk kultur dan uji kerentanan dan untuk mendapatkan spesimen biopsi untuk mencari penyebab yang mendasarinya. Kultur yang diambil selama operasi dari sinus frontal pada kucing yang terkena klinis menunjukkan bahwa organisme Pseudomonas paling sering diisolasi. Pasteurella juga merupakan isolat umum pada kucing. Ada kekurangan informasi tentang kultur sinus frontal bakteri pada anjing. Hasil kultur bakteri pada anjing berbeda ketika sampel dari rostral versus caudal nasal cavity (Sykes dan Craig, 2012). 2.2.2 Patogenesis

Gambar 2.2. Patogenesis FHV-1 (Maggs, 2005). Mode transmisi FHV-1 paling umum adalah infeksi pernapasan dengan kontak langsung antar kucing (Van Pelt dan Lappin, 1994). Setelah masuk melalui rute oronasal, FHV-1 bereplikasi secara luas di mukosa saluran pernapasan atas dan umumnya menyebabkan penyakit pernapasan atas yang parah pada hewan yang rentan. Masa inkubasi bervariasi dari 2-6 hari. Tempat bereplikasi utama FHV-1 termasuk mukosa septum nasal, turbinat, nasofaring, konjungtiva dan trakea bagian atas. Replikasi juga terjadi pada tonsil dan limponodus mandibular. Infeksi saluran pernapasan ini ditandai dengan keluarnya serosa hidung yang akan berubah menjadi mucopurulent setelah 5 – 7 hari (Maes, 2012).

2.2.3 Gejala Klinis a. Gejala klinis rhinitis 1. Sinyalemen Dolicocephalic dan mesocephalic merupakan spesies yang rentan terhadap infeksi jamur dan spesies brachycephalic merupakan spesies yang jarang terkena. Neoplasia lebih rentan pada anjing usia tua dan relatif jarang pada kucing (Morgan, 2008) 2. Bersin-bersin a. Onset akut dari bersin mungkin mengindikasikan adanya agen asing pada sistem respirasi

5

b. Rhinitis alergi dicirikan dengan periode bersin-bersin yang dalam jangka waktu pendek dan berulang setiap hari. Biasanya terdapat leleran bening dari hidung (Eldredge et al., 2008) c. Bersin-bersin diikuti leleran hidung mungkin disebabkan oleh iritasi atau alergi (Morgan, 2008). 3. Nasal Discharge a. Nasal disharge merupakan gejala klinis yang paling penting pada infeksi di hidung. Nasal discharge ada yang akut, kronis, uni-, maupun bilateral. Karakter dari discharge dapat berupa mukoid atau hemorrhagic (Morgan, 2008) b. Keluarnya nasal serosa sering terjadi pada awal perjalanan banyak penyakit (Morgan, 2008) c. Mucoid atau mucopurulent discharge terjadi karena infeksi virus, bakteri, dan jamur serta alergi kronis (Morgan, 2008) d. Discharge unilateral biasanya terjadi pada hewan dengan penyakit bilateral. Discharge bilateral consisten dengan penyakit infeksius, alergi, dan koagulasi (Morgan, 2008) 4. Ulcer pada hidung terjadi dengan banyak penyebab rinitis dan paling banyak terlihat pada infeksi mycotic (Morgan, 2008). b. Gejala Klinis Sinusitis Menurut Morgan (2008), gejala klinis sinusitis meliputi: 5. Nasal disharge e. Discharge hemorrhagic terjadi karena trauma, kelainan koagulasi, dan penyakit jamur terutama aspergillosis f. Unilateral discharge biasanya terjadi karena benda asing, penyakit gigi, dan penyakit fungal 6. Pembengkakan wajah a. Bentuk wajah yang tidak simetris dikarenakan perubahan pada tulang atau jaringan lunak b. Hal in dapat terjadi karena infeksi fungal, trauma, maupun infeksi sekunder c. Pembengkakan daerah tertentu pada wajah dengan atau tanpa drainase dapat mengindikasikan abses akar gigi.

7. Ocular discharge a. Ocular discharge biasanya mengindikasikan penyumbatan saluran nasolacrimal b. Exophthalmia atau ketidakmampuan untuk mengisi kembali mata mengindikasikan perluasan penyakit di belakang bola mata 8. Kesulitan bernafas a. Mengindikasikan beberapa penyakit pernapasan yang parah Bisa bilateral atau unilateral 2.2.4 Diagnosa

6

Adapun diagnose yang dapat dilakukan pada anjing atau kucing yang mengalami rhinitis dan sinusitis, sebagai berikut (Sharman, 2011): 1) Gambaran Radiografi Gambaran radiografik dari rinosinusitis mikotik dijelaskan dengan baik dan dapat dideteksi pada sebagian besar kasus di mana metode ini digunakan. Posisi yang akurat sangat penting untuk diagnosis dan berbagai pandangan radiografi harus diperoleh untuk evaluasi termasuk pandangan dorsoventral dan lateral tengkorak, pandangan radiografi intraoral rongga hidung dan rahang atas serta pandangan rostro-ekor dari sinus frontal. Pandangan intra-oral, dorsoventral dan rostrocaudal dari sinus frontal dianggap yang paling penting karena ini memungkinkan evaluasi terbaik dari simetri rongga hidung dan keterlibatan sinus frontal. Kerusakan turbinat di dalam rongga hidung terbukti sebagai salah satu lucency tanda baca yang tersebar luas atau peningkatan umum dalam radiolusen. Pola kepadatan campuran atau peningkatan opacity secara keseluruhan dapat dilihat dengan akumulasi plak jamur, puing-puing atau debit. Dimasukkannya pandangan rostrocaudal dari sinus frontal sangat penting karena penyakit dalam area ini dapat dengan mudah diabaikan sehingga mengakibatkan kesalahan diagnosis atau penerapan pilihan pengobatan anti jamur yang tidak tepat. Kepadatan jaringan lunak, hiperostosis dan lisensi tanda baca juga dapat dilihat pada tulang frontal pada pandangan ini. Akurasi diagnostik yang ditingkatkan dapat diperoleh dengan menggunakan computed tomography dan magnetic resonance imaging (MRI) dibandingkan dengan radiografi. Teknik-teknik ini memungkinkan evaluasi yang lebih luas dengan menghilangkan superimposisi tipikal dari struktur hidung normal yang terjadi dan bermasalah dalam pemeriksaan radiografi. Ketika computed tomography (CT) digunakan untuk mendeteksi rinosinusitis mikotik, peningkatan sensitivitas terlihat dengan CT (88-92%) dibandingkan dengan radiografi (7284%). Temuan khas penghancuran kavitas dari turbinat, penebalan mukosa dan penebalan dan tulang maksila, vomer dan frontal yang reaktif jauh lebih jelas menggunakan CT, terutama ketika ada perubahan halus atau unilateral. CT juga lebih sensitif dalam mendeteksi cribriform plate Magnetic resonance imaging (MRI) telah dievaluasi untuk diagnosis rhinosinusitis mikotik pada anjing dan dianggap lebih sensitif daripada CT untuk perubahan jaringan lunak, sedangkan yang sebaliknya berlaku ketika evaluasi hiperostosis dan lisis dalam diperlukan tulang di sekitar rongga hidung. Meskipun perbedaan-perbedaan ini, CT atau MRI tidak terbukti lebih unggul dari yang lain untuk tujuan mendiagnosis mikosis rongga hidung.

7

Gambar 1. Mucopurulent Nasal Discharge pada anjing yang terkena aspergillosis sinonasal (Sharman, 2011).

Gambar 2. Ulserasi dan depigmentasi nasal pada anjing yang terkena sinonasal (Sharman, 2011). 2) Rhinoscopy and Sinuscopy Visualisasi langsung dari rongga hidung dapat dicapai dengan rinoscopy dan kelainan khas termasuk penghancuran turbin, lendir hidung berlendir, iritasi pada permukaan mukosa dan adanya plak jamur. Dalam beberapa kasus di mana kerusakan signifikan dari turbinat hidung hadir, akses langsung ke sinus dapat diperoleh dengan menggunakan rinoscopy kaku melalui rongga hidung atau dengan endoskopi fleksibel. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini 8/46 anjing (17%) memiliki penyakit terbatas pada sinus frontal yang hanya diidentifikasi dengan manfaat sinuscopy. Oleh karena

8

itu, trephination dari sinus frontal mungkin bermanfaat di mana penyakit rongga hidung minimal dan memungkinkan konfirmasi penyakit jamur. Ini juga dapat memberikan akses sehingga debridemen plak jamur dapat lebih mudah dilakukan sebelum pengobatan yang mungkin penting untuk hasil pengobatan. Selain itu, visualisasi langsung rongga hidung dan sinus melalui rhinoskopi memungkinkan pengumpulan sampel dengan panduan sitologi, histopatologi, dan kultur jamur dan karenanya dianggap sebagai alat diagnostik vital. 3) Sitologi dan Histopatologi spesimen hidung Sitologi umumnya dianggap memiliki akurasi diagnostik yang buruk pada penyakit hidung dan sebagai hasilnya adalah teknik diagnostik yang kurang dimanfaatkan. Organisme jamur yang ditemukan pada sitologi hidung mungkin mencerminkan kolonisasi normal rongga hidung atau hadir sekunder untuk penyebab lain dari penyakit rongga hidung kronis yang mengurangi pembersihan mukosiliar, daripada mewakili infeksi. Hasil pemeriksaan sitologi positif karena itu mungkin tidak, dengan sendirinya dianggap diagnostik untuk aspergillosis hidung. Perbandingan empat teknik pengumpulan termasuk apusan langsung keluarnya hidung, apusan endonasal buta, sikat mukosa dari lesi yang dicurigai di bawah bimbingan endoskopi dan persiapan squash dari biopsi hidung dikumpulkan di bawah bimbingan endoskopi menunjukkan akurasi terbesar ketika sampel dikumpulkan di bawah bimbingan visual langsung. Elemen jamur terdeteksi pada 14/15 (93,3) kasus menggunakan sikat mukosa dan 15/15 (100%) menggunakan persiapan labu biopsi hidung. Penyeka endonasal buta mengidentifikasi elemen-elemen jamur hanya pada 3/15 (20%) kasus sementara tingkat deteksi yang paling buruk terlihat dengan sampel disiapkan langsung dari hidung yang mengidentifikasi elemen-elemen jamur dalam dua kasus saja (13,3%). Pemeriksaan histopatologis biopsi hidung dianggap sebagai metode yang jauh lebih akurat untuk mengkonfirmasi rinosinusitis mikotik. Dalam satu studi histologis sebelumnya dari 15 anjing dengan SNA, elemen jamur ditunjukkan hanya dalam enam kasus (40%), meskipun tidak satupun dari ini yang diidentifikasi hifa di dalam atau di bawah permukaan mukosa yang mengarah ke alasan bahwa infeksi non-invasif pada SNA. Sebuah studi yang lebih baru mendeteksi hifa jamur pada 8/22 (82%) sampel biopsi hidung yang dikumpulkan di bawah bimbingan endoskopi langsung. 4) Kultur jamur dan kuantifikasi DNA Metodologi laboratorium juga cenderung berkontribusi terhadap hasil yang berbeda dan seringkali buruk. Media kultur yang berbeda dan suhu inkubasi mempengaruhi pertumbuhan jamur dan karena ini berbeda antara studi langsung seringkali sulit. Dalam sebuah studi baru-baru ini, hasil kultur jamur dari anjing dengan rinosinusitis mikotik tidak hanya dipengaruhi oleh jenis sampel yang diajukan (apusan endonasal buta, biopsi mukosa buta, perendoskopik biopsi mukosa), tetapi juga sangat meningkat pada usia 37 diinkubasi pada suhu kamar. 26oC dibandingkan dengan sampel Selain hasil yang ditingkatkan waktu sampai hasil kultur positif diperoleh berkurang pada

9

37oC. Ketidakmampuan elemen jamur untuk beradaptasi dari lingkungan inang telah ditunjukkan dalam sampel dari manusia dengan aspergillosis bronkopulmoner invasif dan hifa jamur yang pulih dari jaringan yang terinfeksi tampak energi kelaparan dan tidak dapat dengan cepat beradaptasi dengan kondisi laboratorium. Memberikan kondisi yang sesuai, sama seperti pada inang dari mana sampel dipulihkan semaksimal mungkin, karena itu kemungkinan besar akan meningkatkan kemungkinan memperoleh hasil positif di mana infeksi benar-benar ada. 5) Serologi Sejumlah tes serologis yang berbeda telah digunakan untuk mengevaluasi aspergillosis pada anjing termasuk agarod immunodiffusion (AGID), uji immunosorbent terkait-enzim (ELISA) dan counter immunoelectrophoresis, meskipun yang terakhir tidak tersedia secara luas. Serologi secara luas dianggap sebagai alat diagnostik yang kurang andal karena variabilitas dalam sensitivitas dan spesifisitas tes yang tersedia dalam laporan sebelumnya. Dua studi dari tes AGID yang lebih umum digunakan menunjukkan itu menjadi alat diagnostik yang berguna dengan sensitivitas 6776,5% dan spesifisitas 98-100%, meskipun aspergillosis sinonasal tidak dapat dikesampingkan berdasarkan hasil tes negatif. Pemantauan serial selama terapi menggunakan AGID juga belum terbukti menjadi indikator status penyakit yang berguna karena hasil tes serologis tampaknya tidak dapat diprediksi. Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan ketika AGID dibandingkan dengan ELISA untuk sensitivitas (88,2%), spesifisitas (96,8%), PPV (88,2%) atau NPV (96,8%). Namun ELISA dianggap menguntungkan karena menawarkan keuntungan kuantifikasi respon imun, meskipun manfaatnya belum ditetapkan pada penyakit anjing. 2.2.5 Diagnosa banding Diagnosa banding rhinosinusitis adalah polip nasopharyngeal karena gejala klinisnya bersin kadang-kadang serta pada nasal dischargenya mucopurulent, neoplasia karena gejala klinisnya bersin kadang-kadang serta nasal dischargenya mucopurulent hingga hemoragi (Quimby dan Lappin, 2009). 2.2.6 Pengobatan Menurut Morgan (2008), pengobatan sinusitis dan rhinitis adalah sebagai berikut: A. Infeksi bakteri 1. Pengobatan penyebab yang mendasarinya sangat penting dalam mencapai resolusi jika tidak, terapi antimikroba hanya memberikan resolusi sementara dari tanda klinis. Pemilihan antimikroba didasarkan pada hasil kultur. Pertumbuhan organisme tunggal adalah secara klinis sangat penting. Jika hasil kultur tidak tersedia, atau jika flora campuran dikultur, berikan antibiotik spektrum luas selama minimal 4 hingga 6 minggu

10

2. Manajemen medis kucing dengan rinitis / sinusitis bakterial rekuren kronis memberikan perbaikan sementara, tetapi tanda klinis sering kembali begitu perawatan selesai. Perluasan infeksi bakteri ke sinus frontal membentuk nidus yang tidak sesuai dengan terapi medis. Pada kasus-kasus seperti itu dapat dibantu dengan ablasi bedah sinus frontal diikuti oleh ablasi cangkok lemak autogenous dan kuretase ethmoid conchae. 3. Terapi suportif juga penting dalam pengobatan rhinitis bakteri sekunder. Hidrasi dan nutrisi yang memadai harus dijaga, nares eksternal dibersihkan dari puing-puing, sesuai kebutuhan, nebulisasi dapat membantu pergerakan sekresi dan membantu meringankan hidung tersumbat. Pemberian dekongestan topikal dapat meningkatkan aliran udara, meningkatkan drainase dan mengurangi sekresi, Fenilefrin (1,25%) diaplikasikan sebagai tetes hidung BID ke TID, Pseudoepedhrine 15 hingga 50 mg PO BID untuk TID (anjing) dan 2 hingga 4 mg PO BID ke TID (kucing), atau Diphenhydramine 2 hingga 4 mg / kg PO TID. B. Infeksi Virus 1. Perawatan utama adalah perawatan suportive 2. Mempertahankan kecukupan nutrisi dan hidrasi 3. Karena infeksi sekunder bakteri adalah hal yang umum, perawatan dengan antibiotik spektrum luas disarankan C. Aspergillosis 1. Rhinotomi diikuti oleh infus 1 jam enilconazole 2% dan itraconazole oral menghasilkan hasil yang memuaskan pada anjing dengan aspergillosis berulang yang parah 2. Trineinasi sinus frontal diikuti dengan pembilasan 5 menit dari larutan clotrimazole 1% topikal dan pemasangan krim clotrimazole 1% menghasilkan tingkat respons positif 86% 3. Enilconazole 1% hingga 2% topikal dapat diberikan melalui tabung endoskopi atau ditempatkan secara acak 4. Pemberian topikal 1% clotrimazole dilakukan melalui tabung secara acak 5. ketoconazole pada 5mg / kg PO BID atau thiabendazole pada 10mg / kg PO BID yang diberikan selama 6 hingga 8 minggu dapat menghilangkan penyakit pada hingga 50% anjing 6. Flukonazol dengan 1,25 hingga 2,5 mg / kg PO BID dapat memberikan resolusi tanda klinis pada 60% anjing 7. Itrakonazol pada 5 mg / kg PO BID selama 2 sampai 3 bulan adalah sekitar 70% berhasil dan menginduksi efek samping yang lebih sedikit daripada ketokonazol. 8. Rhinotomi saja jarang bersifat terapi dalam kasus aspergillosis hidung 9. Turbinektomi mungkin bermanfaat di mana bantuan pembentukan plak jamur padat dalam paparan obat topikal D. Penyakit gigi 1. Periodontal dan fistula oronasal dirawat dengan ekstraksi gigi, penutupan defek dengan flap mucoperiosteal, dan terapi antimikroba yang sesuai.

11

2. Gigi yang retak dan penyakit endodontik yang terkait dilacak dengan saluran akar atau prosedur ekstraksi E. Benda Asing 1. Jika ditemukan dibawah endoskopi, maka dilakukan penyingkiran 2. Menyingkirkan benda asing kecil dengan menggunakan forceps 3. Dorong benda asing yang besar menuju ke nasopharynx atau pharynx untuk dikeluarkan 4. Penyingkiran diikuti dengan terapi antimikroba F. Trauma 1. Jika trauma akut, berupaya mengendalikan epistaksis dengan sedasi dan perban hidung dengan kain kasa 2. Jika fragmen tulang yang tertekan dipertahankan sebagai sequestrum, ia dikenal sebagai benda asing dan dihilangkan

BAB III PENUTUP

12

3.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: I. Secara struktural, sistem pernapasan dapat dibagi menjadi sistem pernapasan atas, termasuk hidung, faring, dan struktur terkait, dan sistem pernapasan bawah, termasuk laring, trakea, bronkus, dan paru-paru. II. Penyebab terjadinya rhinitis pada kucing dapat berupa virus, bakteri dan jamur. Umumnya virus yang dapat menyerang kucing ialah dari golongan herpes virus yang meliputi feline viral rhinotracheitis (FVR) III. Sinusitis lebih umum di sapi dan jarang terjadi di domba dan kambing. Sinusitis biasanya dapat terlihat setelah dehorning atau trauma pada bagian kepala atau tanduk dan dapat juga terjadi pada hewan akibat infeksi agen tertentu

13

DAFTAR PUSTAKA Akers, R.M dan D.M. Danbow. 2013. Anatomy and Physiology of Domestic Animals. Inggris : Wiley Blackwell. Colville, T dan J.M.Bassert. 2016. Clinical Anatomy and Physiology For Veterinary Technicians 3rd Ed. Missouri : Elsevier. Cote, Etienne. 2011. Clinical Veterinary Advisor Dogs and Cats 2th Edition. Elsevier: USA. Eldredge, Debra M., Delbert G. Carlson, Liisa D. Carlson, dan James M. Giffin. 2008. Cat Owners Home Veterinary Handbook. Wiley: USA Frandson, R.D., W.L. Wilke dan A.D.Fails. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animal 7th Ed. Inggris : Wiley Blackwell. Losonsky, J.M., L.C.Arbott dan I.V.Kuriashkin. 1997. Computed Tomography of The Normal Feline Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. Veterinary Radiology & Ultrasound 38(4) : 251 – 258. Maes, R. 2012. Felid Herpesvirus Type 1 Infection in Cats: A Natural Host Model for Alphaherpesvirus Pathogenesis. International Scholary Research Network Veterinary Science 2012 (1) : 1-14. Maggs, D.J. 2005. Update on Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment of Feline Herpesvirus Type-1. Clinical Techniques In Small Animal Practice 20 (1) : 94 – 101. Morgan, Rhea V. 2008. Handbook of Small Animal Practice. Saunders Elsevier: USA Quimby, J dan M.R.Lappin. 2009. Update on Feline Upper Respiratory Diseases : Introduction and Diagnostics. Compendium 31 (12) : 554 – 564. Reece, W.O. 2015. Dukes’ Physiology of Domestic Animals 13th Ed. Inggris : Wiley Blackwell. Sharman, Mellora J. 2011. Micotic Rhinosinusitis in Dogs [Thesis] diakses pada hari senin 25 Februari 2019 di https://www.researchgate.net/publication/283053633_MYCOTIC_RHINO SINUSITIS_IN_DOGS Sykes, Jane E dan Craig E. Greene. 2012. Infectious Diseases of the Dog and Cat. Elsevier: USA. Van Pelt, D.R dan M.R.Lappin. 1994. Pathogenesis and Treatment of Feline Rhinitis. Veterinary Clinics of North America: Small Animal Practice 24 (5) : 807 – 823. Widodo, S.2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.

14

Related Documents


More Documents from ""