Makalah Inkulis Kelompok 4 Print.docx

  • Uploaded by: Tri Puji Astuti
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Inkulis Kelompok 4 Print.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,363
  • Pages: 23
MAKALAH PENDIDIKAAN INKULSI (AKDK 6501) MENGENALI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Dibimbing Oleh : Nina Permatasari, S. Psi, M. Pd

Disusun Oleh : Kelompok 4 M. Haris Fadillah Nurusshobah Rizaldi Siti Zubaidah Suci Aulia Diana Yuniza Shafarina Arif Muhammad Naparin Nuansa Rusina Hakiki Riska Melinda Halnas Yulia Anggraeni Fitria Irliani Laila Safitri

A1C314023 A1C314033 A1C314041 A1C314048 A1C314050 A1C314055 A1C314058 A1C314075 A1C314078 A1C314082 A1C314088 A1C314211 A1C314215

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT SEPTEMBER 2016

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 A. Latar Belakang Penulisan ...................................................................................... 1 B. Rumusan Penulisan ............................................................................................... 1 C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 2 D. Manfaat Penulisan ................................................................................................. 2 BAB II KAJIAN TEORI .................................................................................................. 3 A. Membedakan Kriteria Normal dan Tidak Normal ................................................ 3 B. Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus................................................................ 10 C. Dampak Anak Berkebutuhan Khusus Pada Diri Sendiri, Keluarga dan Masyarakat .................................................................................................................. 11 BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 17 A. Kesimpulan .......................................................................................................... 17 B. Saran .................................................................................................................... 18 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 19

i

DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Ragam Kelainan Bicara Anak Usia Sekolah ................................................................. 6

ii

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan hidayah-Nya pada kita semua, serta tak lupa sholawat serta salam kami curahkan pada junjungan Nabi Besar Nabi Muhammad SAW. Sehingga akhirnya kami mampu menyelesaikan makalah yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus. Penulisan makalah ini ditujukan agar lebih memahami tentang kriteria normal dan tidak normal, penyebab anak berkebutuhan khususserta dampaknya. Apa yang kami sajikan dalam penulisan ini merupakan sebuah pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus. Terima kasih kami ucapkan kepada ibu Nina Permatasari S.Psi, M.pd, selaku dosen mata kuliah Pendidikan Inklusi, dan kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang memberikan support dan arahan dalam membantu penyusunan makalah ini. Kami mengucapkan mohon maaf apabila dalam makalah ini banyak kekurangan maupun kesalahan, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar disampaikan kepada kami sebagai bahan evaluasi kami.

Banjarmasin,

September 2016

Tim Penyusun

iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan sebuah istilah yang diberikan pada anak-anak istimewa yang membutuhkan perhatian dan pengasuhan khusus dari orangtua dan lingkungan sekitarnya. Anak-anak berkebutuhan khusus biasanya akan tampak semenjak lahir, sewaktu bayi, dan maksimal saat usia balita. Beberapa tanda keterlambatan perkembangan baik fisik maupun psikis perlu semenjak dini dikonsultasikan kepada dokter, psikiater, atau psikolog. Penanganan yang dilakukan semenjak dini akan lebih memudahkan si anak beradaptasi dengan lingkungannya. Menangani anak dengan kebutuhan khusus tentu saja berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mereka membutuhkan perhatian dan pemahaman ekstra dari orangtua. Kasih sayang memang perlu disejajarkan dengan anak-anak lain dalam satu keluarga agar tidak terjadi rasa iri pada saudara yang lain, namun orangtua perlu juga mengajak anak-anaknya yang lain untuk bersama-sama memahami saudaranya yang berkebutuhan khusus. Dengan dilatar belakangi adanya perbedaan inilah yang membuat kita sewajarnya untuk mengenali anak berkebutuhan khusus, seperti yang dijelaskan pada makalah ini. B. Rumusan Penulisan Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana cara membedakan kriteria normal dan tidak normal ? 2. Apa saja penyebab Anak Berkebutuhan Khusus ? 3. Bagaimana Dampak Anak Berkebutuhan Khusus pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat ?

1

C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan penulisan yang ada, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui : 1. Cara membedakan kriteria normal dan tidak normal 2. Penyebab anak berkebutuhan khusus 3. Dampak anak berkebutuhan khusus pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang kami harapkan dari penulisan makalah ini yaitu untuk dapat menambah pengetahuan bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya tentang anak berkebutuhan khusus, seperti perbedaan antara kriteria normal dan tidak normal, penyebab anak berkebutuhan khusus dan dampaknya pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Selain itu dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi segala sesuatu dan betapa pentingnya bagi kehidupan.

2

BAB II KAJIAN TEORI A. Membedakan Kriteria Normal dan Tidak Normal Kriteria normal atau tidaknya dari seorang anak dapat dibedakan melalui kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial. 1. Kelainan Fisik Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan terebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada : (a) alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada f ungsi organ bicara (tunawicara); (b) alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf diotak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palry), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya lahir tanpa tangan/kaki, atau amputasi, dan lain-lain. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompok tuna daksa. Pengertian kelainan penglihatan yang perlu intevensi khusus yaitu kelainan yang dialami anak memilikivisus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu, atau setelah dikoreksi secara maksimal tidak mungkin mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaaran yang ada dan umumnya digunakan oleh anak normal/ orang awas (Brantanata, 1979). Berdasarkan

gradasi ketajaman penglihatan nya, kondisi anak yang

berkelaianan penglihatan dapat dikelompokkan menjadi : 1) kelompok anak berkelainan penglihatan yang masih memiliki kemungkinan untuk di koreksi melalui pengobatan atau alat optik, 2) anak berkelainan penglihatan yang tidak dapat dikoreksi melalui pengobatan atau alat optik.Anak berkelainan penglihatan yang masih mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat optik, biasanya anak dalam kelompok ini tidak dapat dikategorikan dalam kasus kelainan penglihatan dalam pengertian pendidikan luar

3

biasa (pendidikan khusus) sebab mereka dapat dididik tanpa harusdengan modifikasi atau program khusus. Anak berkelainan penglihatan yang mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat optik, tetapi kemampuan untuk mempergunakan fungsi penglihatannya secara efektif sangat minim, sehingga anak tidak mampu mengikuti program sekolah normal. Untuk itu, diperlukan kompensasi pengajaran untuk mengganti kekurangannya. Anak berkelainan penglihatan dalam kelompok yang ketiga ini adalah anak berkelainan penglihatan yang sama sekali tidak mempunyai kemungkina dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat optik. Akibat berkelainan penglihatan yang sedemikian beratnya sehingga kebutuhan layanan pendidikan hanya dapat dididik melalui saluran lain selain mata. Pada Kasus ini orang sering menyebutnya dengan tunanetra berat (buta). Terminologi tuna netra berat atau buta berdasarkan rekomendasi dari The white House Conference on Child Health and Education di Amerika (1930), dijelaskan bahwa seorang dikategorikan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatan nya untuk kepentingan pendidikan nya (kirk, 1970; Patton, 1991). Anak berkelainan indra pendengaran atau tunarungu secara medis dikatakan, jika dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu dan lain sebab terdapat satu atau lebih organ mengalami gangguan atau rusak. Akibatnya, organ tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsi rangsang suara yang ditangkap untuk diubah menjadi tanggapan akustik. Secara pedagosis, seorang anak dapat dikatagorikan berkelainan indra pendengaran atau tunarungu, jika dapak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai penghantar dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program pendidikan anak normal sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti tugas perkembangan. Dalam percakapan sehari-hari kondisi anak dengan kelainan pendengaran diidentikkan dengan istilah tuli. Hal ini dapat diakui kebenarannya, karena tuna pendengaran dapat mengurangi kemampuannya memahami percakapan lewat pemanfaatan fungsi pendengarannya. Oleh karena itu, pada penderita tuna

4

pendengaran berat berarti semakin besar intensitas ketidakmampuannya untuk menyimak pembicaran yang memanfaatkan ketajaman pendengarannya, baik dengan bantuan alat bantu dengar maupun tanpa bantuan alat bantu dengar, “…one whose bearing disability precludes successful processing of linguistic information tbrougb audition, with or witbout a bearig aids” (Hallahan & Kauffaman, 1986). Derajat ketunarunguan seseorang biasanya diukur dan dinyatakan dalam satuan deci-Bell atau disingkat Db. Dilihat dari tingakat gradasinya secara umum dapat dikatagorikan menjadi tunarungu dalam arti tuli (deaf) dan tunarungu dalam arti lemah pendengaran (bard of bearing). Secara dedinitif seseorang dikatakan tuli jika hasil tes pendengaran menunjukan kehilangan kemampuan mendengaran 70 dB atau lebih menurut ISO (International Standard Organization). Biasanya penderita dalam katagori tuli ini akan mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami pembicaran orang lain meskipun menggunakan bantuan alat atau tanpa alat bantu dengar.

Sedangkan definisi lemah pendengaran, sesorang

dikatakan lemah pendengaran jika hasil tes pendengaran menunjukan kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB menurut ISO. Biasanya penderita dalam katagori lemah pendengaran ini tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar (Moores, 1978). Teknologi kelainan bicara atau tunawicara adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain (pendengar) dengan memanfatkan organ bicaranya, dikeranakan celah langit-langit, bibir sumbing, kerusakan otak, tunarungu dan lain-lain (Patton, 1991). Akibatnya, pesan yang terlihat sederhana, sulit dipahami, dan membingungkan. Kelainan bicara ini dapat terjadi pada sisi artikulasi, arus ujaran, nada suara, dan struktur bahasanya. Ragam kelainan bicara yang terjadi pada usia sekolah berdasarkan jenisnya dapat disimak pada tabel 1.1 berikut.

5

Tabel 1.1 Ragam Kelainan Bicara Anak Usia Sekolah Bentuk kelainan

No

Persentase

1

Articulation (pengucapan)

3,0

2

Stuttering (gagap)

0,8

3

Voice (intonasisuara)

0,2

4

Cleft-palate speech (kelainan bicara kerusakan otak)

0,1

5

Cerebral-Palsy speech (kelainan bicara kerusakan otak)

0,1

6

Retarded speech development (perkembangan bicara mundur)

0,3

Speech problem due impaired hearing ( kelaian bicara akibat 7

gangguan pendengaran)

0,5

(Smith,1979) Kelainan fungsi motorik tubuh atau tunadaksa adalah gangguan yang terjadi akibat pada satu atau beberapa atribut tubuh yang menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi tubuhnya secara normal. Kelaianan fungsi motorik tubuh, baik yang diderita sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian, pada dasarnya memiliki problem yang sama dalam pendidikannya. Berdasarkan jenisnya, kelainan alat motorik tubuh dibedakan menjadi anak berkelainan fungsi anggota tubuh ortopedi (tunadaksa ortopedi) dan anak berkelainan fungsi anggota saraf (tunadaksa neurologis). Tunadaksa ortopedi ialah anak yang mengalami ketunaan, kecacatan. Ketidaksempurnaan tertentu pada motorik tubuhnya, terutama pada bagian tulang-tulang, otot tubuh, dan daerah persendian. Beberapa contoh kelainan yang termasuk dalam kategori tunadaksa ortopedi antara lain poliomyelitis, tubercolosis tulang, osteomyelitis, arthritis, hemiplegia, muscle dystrophia, kelainan pertumbuhan atau anggota badan yang tidak sempurna, dan lain-lain. Sedangkan tunadaksa neurologis ialah anak yang mengalami kelainan pada fungsi anggota

6

tubuh (kelainan motorik tangan dan/ atau kaki) disebabkan oleh gangguan pada susunan sarafnya. Salah satu kategori penderita tunadaksa saraf ini dapat dilihat pada anak penderita cerebral palsy (CP). Cerebral Palsy adalah bentuk kelainan yang terjadi pada aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsinya sistem persarafan di otak. Gambaran klinis yang diakibatkan oleh luka pada otak, di mana salah satu komponennya menjadi penghalang dalam gerak sehingga timbul kondisi yang tampak semenjak kanakkanak dengan sifat-sifat seperti lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak disebabkan oleh patologi pusat kontrol gerak di otak. Jenis-jenis cerebral palsy yang dapat kita kenali dalam kehidupan sehari-hari antara lain spasticity, arhetosis, ataxia, tremor, dan rigidity (Patton, 1991). 2. Kelainan Mental Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremelly gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan, bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140. Secara umum karakteristik anak dengan kemampuan mental lebih, di samping memiliki potensi kecerdasan yang tinggi dalam prestasi, juga memilki kemampuan menonjol dalam bidang tertentu, antara lain (1) kemampuan intelektual umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3) kemampuan berpikir kreatif produktif, (4) kemampuan dalam salah satu bidang kesenian, (5)

7

kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan psikososial dan kepemimpinan (Tirtonegoro, 1984). Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang diidentifikasi memilki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannnya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya. Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali disalahpersepsikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat berkembang sebagaimana anak normal lainnya. Harapan semacam ini wajar saja karena mereka tidak mengeahui karakteristik anak tunagrahita. Perlu dipahami bahwa kondisi tunagrahita tidak dapat disamakan dengan penyakit, atau berhubungan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi sebagaimana yang ada, “Mental retarded is not disease but a condition” (Kirk,1970). Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apa pun. The American Association on Mental Deficiency (AAMD) memberikan justifikasi tentang anak tunagrahita dengan merujuk pada kecerdasan secara umum di bawah rata-rata. Dengan kecerdasan yang sedemikian rendah menyebabkan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial pada setiap fase perkembangannya (Hallahan dan Kauffman,1986). Berdasarkan

kapabilitas kemampuan yang bisa dirujuk sebagai dasar

pengembangan potensi, anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi: (a) anak tunagrahita memiliki kemampuan untuk dididik dengan rentang IQ 50-75, (b) anak tugrahita memiliki kemampuan untuk dilatih dengan rentang IQ 25-50, (c) anak tunagrahita memiliki kemampuan untuk untuk dirawat dengan rentang IQ 2ke bawah (Hallahan & Kauffman, 1991).

8

3. Kelainan Perilaku Sosial Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan (Amin dan Dwidjosumarto, 1979). Mackie (1957) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya (dalam Kirk, 1970). Hal yang lebih penting dari itu adalah akibat tindakan atau perbuatan yang dilaukakan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, “A behavior deviation is that behavior of a child which; (i) has a detrimental effect on his development and adjusment and or (ii) intirferers with the lives of other people” (Kirk,1970) sehingga perlu diupayakan tindakan pengendalian, baik yang bersifat prepentatif, kuratif, represif, maupun perseperasi terhadapnya. Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan prilaku sosial diantaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinguent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi : (1) tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrim sebagai bentuk gangguan emosi, (2) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional. Pengklasifikasian anak berkelainan sebagaimana yang dijelaskan diatas, jika dikaitkan dengan klepentingan pendidikan khususnya di Indonesia maka bentuk kelainan di atas dapat disederhanakan sebagai berikut: 1. Bagian A adalah sebutan untuk kelompok anak tunanetra.

9

2. Bagian B adalah sebutan untuk kelompok anak tunarungu. 3. Bagian C adalah sebutan untuk kelompok anak tunagrahita. 4. Bagian D adalah sebutan untuk kelompok anak tunadaksa. 5. Bagian E adalah sebutan untuk kelompok anak tunalaras. 6. Bagian F adalah sebutan untuk kelompok anak dengan kemampuan di atas rata-rata/ superior. 7. Bagian G adalah sebutan untuk kelompok anak tunaganda. B. Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus Kajian maupun referensi yang membahas faktor penyebab terjadinya keberbutuhan khusus pada anak sebenarnya banyak sekali, akan tetapi benang merah yang dapat diambil menurut penyelidikan para ahli faktor penyebab terjadinya keberbutuhan khusus pada anak dapat dibagi menjadi tiga ranah : 1. Prenatal Prenatal merupakan faktor penyebab yang pengelompokkan nya terjadi pada waktu anak masih ada dalam kandungan atau sebelum kelahiran. Peyebab umumnya seperti :  Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.  Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.  Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga struktur maupun funsinya terganggu.  Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat.Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepalabayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.  Faktor keturunan/genetika,terjadi karena gen bawaan maupun susunan kromosom yang khas.

10

2. Natal Natal merupakan faktor penyebab yang pengelompokannya terjadi pada waktu proses kelahiran. Gambarannya sebagai berikut:  Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigenn menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.  Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf orak pada bayi.  Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga mengalami kelaianan struktur ataupun fungsinya. 3. Post Natal Post natal merupakan faktor penyebab yang pengelompokannya terjadi setelah proses kelahiran dan masa pertumbuhan anak. Gambarannya sebagai berikut:  Kecelakaan atau trauma kepala, amputasi.  Infeksi penyakit yang menyerang otak, radang selaput otak.  Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam tinggi, dll. C. Dampak Anak Berkebutuhan Khusus Pada Diri Sendiri, Keluarga dan Masyarakat Kelainan atau ketunaan pada aspek fisik, mental, maupun social yang dialami oleh seseorang akan membawa konsekuensi tersendiri bagi penyandangnya, baik secara keseluruhan atau sebagian, baik yang bersifat objektif maupun subjekif. Kondisi kelainan yang disandang seseorang ini akan memberikan dampak kurang menguntungkan pada kondisi psikologi maupun psikososialnya. Pada gilirannya

11

kondisi tersebut dapat menjadi hambatan yang berarti bagi penyandang kelainan dalam meniti tugas perkembangannya. Para ahli sependapat bahwa kondisi fisik dan psikis manusia mempunyai hubungan yang sangat erat, interaksi fisik dengan psikis pada diri manusia sulit dipisahkan, keberadaan keduanya saling memengaruhi. Oleh karena itu, jika manusia berada dalam kondisi fisik jasmaniah tertentu akan berpengaruh terhadap kondisi psikisnya, demikian pula sebaliknya. Pengaruh hasil interaksi antara keduanya ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung adalah suatu gejala yang terjadi secara otomatis akibat kondisi primeryang dialami oleh seseorang, misalnya orang sakit perut, mual, pening dikarenakan kecemasan. Pengaruh tidak langsung adalah suatu gejala yang terjadi akibat dari kondisi primer melalui suatu proses yang agak panjang, misalnya anak tunadaksa dengan minder. Mekanisme hubungan fisik dengan psikis yang berdampak secara langsung atau tidak langsung sebagai konsekuensi pada masing-masing aspeknya, secara eksplisit dapat disimak mekanisme interaksi berikut. Seseorang yang diketahui mengalami kelainan atau ketunaan pada salah satu atau lebih fungsi organ tubuh/indranya, maka akan timbul akibat langsung dari gangguan organ tersebut. Dalam hal ini akan berkurang kemampuannya untuk memfungsikan secara maksimum organ atau instrument anggota tubuh yang mengalami kelainan, misalnya hilangnya fungsi pendengaran, hilangnya fungsi penglihatan, atau berkurangnya fungsi organ tubuh (Tahap I). Tidak berfungsinya alat sensoris atau motoris tersebut, berdampak pada penderita untuk melakukan eksplorasi sehingga ia akan mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas yang mendayagunakan alat sensoris atau motorisnya (Tahap II). Hambatan yang dialamai oleh penderita kelainan dalam melakukan berbagai aktivitas akan menimbulkan reaksi-reaksi emosional akibat ketidakberdayaannya, dan biasanya dalam tahap masih merupakan reaksi emosional yang sehat saja (Tahap III). Apabila reaksi-reaksi emosional yang ditimbulkan akibat hambatan terus menumpuk dan intensitasnya semakin meningkat, maka reaksi emosional yang

12

muncul justru sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya. Misalnya reaksi emosional yang berupa rendah diri, minder, mudah tersinggung, kurang percaya diri, frustasi, menutup diri dan lain-lain (Tahap IV). Pada kasus-kasus tertentu, reaksi emosional yang terjadi pada tahap tertentu dapat bersifat destruktif. Timbulnya peilaku tersebut barangkali sebagai mekanisme pertahanan diri akibat ketidakberdayaanya mengendalikan kepribadiannya. Kondisi kejiwaan anak berkelainan semakin tidak menguntungkan, ketika lingkungan anak penyandang kelainan, baik lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya tidak memberikanrespons yang positif dalam menyikapi kelainan anak. Memang kalainan yang dialami oleh anak seringkali menimbulkan masalah bagi lingkungannya. Kehadirannya secara langsung atau tidak langsung megundang berbagai dimensi sikap dan tanggapan lingkungan terhadap kondisi anak berkelainan. Tanggapan atau reaksi yang

berasal dari lingkungan dalam memandang anak

berkelainan akan menjadi dasar penyikapan anak berkelainan selanjutnya. Apabila sikap dan tanggapan lingkungan terhadap anak berkelainan kurang positif, dan tidak memandang sosok anak yang berkelainan sebagai individu yang mempunyai harkat sebagai manusia normal lainnya karena ketidaksempurnaannya, maka hal itu dapat menyudutkan keberadaanya di tengah-tengah komunitas manusia normal, terutama pemberdayaan untuk melakukan fungsi kehidupannya. Tumbuh-kembangnya sikap lingkungan yang kontraproduktif, secara perlahan dan pastiakan berpengaruh pada tindakan yang diberikan kepada anak berkelainan. Sudah dapat diduga bahwa tindakan lingkungan terhadap

anak bukan lagi

berorientasi pada kebutuhan yang diperlukan oleh anak berkelainan untuk mengembangkan dirinya, melainkan bantuan yang diberikan sebatas pada perasaan belas kasihan sebagai individu yang memiliki keterbatasan. Sikap inilah yang pernah muncul dimasyarakat pada masa awal perkembangan

pendidikan bagi anak

penyandang kelainan. Apabila kita kaji kebutuhannya, sebenarnya yang sangat diperlukan bagi anak yang berkelainan bukan hanya sekedar bantuan atau belas kasihan, tetapi lebih dari itu yaitu perhatian yang besar terhadap keberadaan dan potensinya yang perlu dikembangkan.

13

Meskipun dewasa ini banyak masyarakat yang mulai memahami tentang apa dan bagaimana tindakan terbaik yang harus dilakukan terhadap anak yang menyandang kelainan atau ketunaan, namun demikian tidak sedikit yang masih sulit untuk menghindarkan perlakuan atau penyikapan terhadap penyandang kelainan secara wajar dan edukatif. Justru yang terjadi malah sebaliknya, terutama di lingkungan keluarga anak penyandang kelainan itu sendiri. Penyikapan dan perlakuan lingkungan keluarga memiliki konstribusi cukup kuat dalam memberikan warna terhadap perkembangan anak berkelainan dibandingkan dengan orang. Berhasil atau tidaknya anak berkelainan dalam meniti tugas perkembangannya, tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga, khususnya kedua orang tuanya. Barangkali tidak bisa dipungkiri, orang tua yang mempunyai anak berkelainan untuk pertama kalinya, mereka tidak mudah menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kelainan. Reaksi yang muncul pada saat mereka mengetahui bahwa anaknya menderita kelainan, seperti timbulnya perasaan terpukul dan bingung. Dari perasaan-perasaan inilah kemudian timbul reaksi yang beragam, antara lain rasa barsalah, rasa kecewa, rasa malu, dan rasa menerima apa adanya (Moerdiani,1987). Reaksi orang tua atau keluarga yang bersalah atau merasa berdosa atas kehadiran anaknya yang menyandang kelainan, perlakuan orang tua atau keluarga dalam rangka menebus dosa atau mengurangi perasaan bersalah dilakukan dengan cara mencurahkan kasih sayangnya secara berlebih kepada anaknya yang berkelainan. Bahkan tak jarang perlakuan orang tua atau keluarga terhadap anaknya yang berkelainan. Bahkan tak jarang perlakuan orang tua atau keluarga terhadap anak yang

berkelainan

terkesaprotn

sangat

melindungi

segala

kepentingannya

(overprotection). Penyingkapan orang tua atau keluarga yang demikian, pada gilirannya justru akan membuat anak berkelainan semakin tidak berdaya. Bisa dimaklumi, orang tua atau keluarga punya kekhwatiran secara berlebih melihat kondisi anaknya. Barangkali mereka merasa iba, kasihan, terenyuh, dak lain-lain sehingga mereka perlu memberikan perlindungan ekstra. Namun, niat orang tua atau

14

keluarga dalam memberikan perlindungan ekstra, perlakuan orang tua atau keluarga menjadi kurang wajar. Kondisi inilah yang kelak membuat anak berkelainan selalu menggantungkan dirinya kepada orang lain atau tidak mampu mandiri. Reaksi orang tua atau keluarga merasa kecewa atas kehadiran anaknya yang menyandang kelainan. Perasaan kecewa ini muncul setelah mengetahui bahwa anak yang dilahirkan tidak memenuhi harapannya, rangkaian selanjutnya akan menimbulkan perasaan putus asa atau frustasi pada orang tua atau keluarga melihat kenyataan yang ada. Tumbuh-kembangnya penyikapan orang tua atau keluarga yang merasa kecewa atas kehadiran anak berkelainan, disebabkan mereka memiliki anggapan bahwa kehadiran anak berkelainan dapat menurunkan marabat atau gengsi orang tua atau keluarga. Atas dasar itulah, terdapat kecenderungan pada sikap orang tua atau keluarga untuk menolak kehadiran anaknya yang menyadang kelainan (rejection). Efek psikologis yang muncul pada anak berkelainan akibat dari penolakan orang tua atau keluarga, yakni timbulnya perasaan tidak aman, rendah diri, serta merasa tidak berharga atau tidak berguna. Reaksi orang tua atau keluarga yang merasa malu terhadap kenyataan atas kehadiran anaknya yang menyandang kalaian. Perasaan ini timbul karena anggapan anaknya berbeda dari yang lain. Sikap orang tua yang dihinggapi perasaan malu menerima kehadiran anaknya yang berkelainan akan memunculkan perlakuan cenderung menyembunyikan keberadaan anaknya yang berkelainan. Mereka biasanya tidak mengizinkan anaknya keluar dari rumah. Perlakuan orang tua yang kontraproduktif ini sangat merugikan anak sebab perkembangan kepribadian maupun penyesuaian sosial anak berkelainan menjadi terhambat. Reaksi orang tua atau keluarga yang menerima kenyataan atas kehadiran anaknya yang menyandang kelainan. Sikap orang tua atau keluarga yang mempunyai perasaan demikian ini memang cukup realistis dalam menghadapi kenyataan. Bisa diduga perlakuan orang tua atau keluarga terhadap anak berkelainan biasanya cukup wajar, artinya perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada anak berkelainan sama seperti yang diberikan kepada anaknya yang lain, dan kasih sayangnya terhadap anak cenderung wajar. Orang tua atau keluarga yang bersikap realistis, secara langsung

15

atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap anak berkelainan untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian yang positif. Termasuk diantaranya memberikan kesempatan kepada anak berkelainan untuk mengatasi berbagai masalah yang menjadi hambatannya.hal ini berarti telah memberi kesempatan kepada anak berkelainan untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.

16

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan sebuah istilah yang diberikan pada anak-anak istimewa yang membutuhkan perhatian dan pengasuhan khusus dari orangtua dan lingkungan sekitarnya. 2. Kriteria normal atau tidaknya dari seorang anak dapat dibedakan melalui kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial. 3. Faktor penyebab terjadinya keberbutuhan khusus pada anak dapat dibagi menjadi tiga ranah yaitu prenatal, natal, dan post natal. 4. Prenatal merupakan faktor penyebab yang pengelompokkan nya terjadi pada waktu anak masih ada dalam kandungan atau sebelum kelahiran. 5. Natal merupakan faktor penyebab yang pengelompokannya terjadi pada waktu proses kelahiran. 6. Post natal merupakan faktor penyebab yang pengelompokannya terjadi setelah proses kelahiran dan masa pertumbuhan anak. 7. Anak berkebutuhan khusus berdampak pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat 8. Jika manusia berada dalam kondisi fisik jasmaniah tertentu akan berpengaruh terhadap kondisi psikisnya, demikian pula sebaliknya 9. Pengaruh hasil interaksi antara keduanya ada yang bersifat langsung dan tidak langsung 10. Pengaruh langsung adalah suatu gejala yang terjadi secara otomatis akibat kondisi primeryang dialami oleh seseorang, misalnya orang sakit perut, mual, pening dikarenakan kecemasan 11. Pengaruh tidak langsung adalah suatu gejala yang terjadi akibat dari kondisi primer melalui suatu proses yang agak panjang, misalnya anak tunadaksa dengan minder. 12. Mekanisme hubungan fisik dengan psikis yang berdampak secara langsung atau tidak langsung, secara eksplisit dapat disimak sebagai berikut.

17



Berkurang kemampuannya untuk memfungsikan secara maksimum organ atau instrument anggota tubuh yang mengalami kelainan (Tahap I).



Mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas yang mendayagunakan alat sensoris atau motorisnya (Tahap II).



Menimbulkan reaksi-reaksi emosional akibat ketidakberdayaannya (Tahap III).



Hambatan terus menumpuk dan intensitasnya semakin meningkat (Tahap IV).

B. Saran Setelah mengetahui dan memahami segala sesuatu hal yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus, sangat diharapkan bagi masyarakat indonesia terutama bagi para pendidik dalam menyikapi dan mendidik anak yang menyandang berkebutuhan khusus dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Karena pada dasarnya anak seperti itu bukan malah dijauhi akan tetapi didekati dan diperlakukan sama dengan manusia normal lainnya akan tetapi caranya yang berbeda.

18

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Mohamad. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Angkasa. Santoso, Hargio. 2012. Cara Memahami & Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang: Gosyen Publishing. Yuwono, Imam dan Utomo. 2015. Pendidikan Inklusif Paradigma Pendidikan Ramah Anak. Banjarmasin: Pustaka Banua

19

Related Documents


More Documents from "Indah Sriindah Wulandari"