Penyakit infeksi yang didapat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu disebut sebagai Infeksi Nosokomial (Hospital Acquired Infection). Saat ini penyebutan diubah menjadi Infeksi Terkait Layanan Kesehatan atau “HAIs” (HealthcareAssociated Infections) dengan pengertian yang lebih luas, yaitu kejadian infeksi tidak hanya berasal dari rumah sakit, tetapi juga dapat dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Tidak terbatas infeksi kepada pasien namun dapat juga kepada petugas kesehatan dan pengunjung yang tertular pada saat berada di dalam lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan.
pengertian infeksi, infeksi terkait pelayanan kesehatan (Healthcare-Associated Infections/HAIs), rantai penularan infeksi, jenis HAIs dan faktor risikonya
1. Infeksi suatu keadaan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen, dengan/tanpa disertai gejala klinik. Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan (Health Care Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi karena pekerjaan pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. 2. Rantai Infeksi (chain of infection) a) Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur dan parasit. Ada tiga faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu: patogenitas, virulensi dan jumlah (dosis, atau “load”). b) Reservoir atau wadah tempat/sumber agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang-biak dan siap ditularkan kepada pejamu atau manusia. Berdasarkan penelitian, reservoir terbanyak adalah pada manusia, alat medis, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, lingkungan dan bahan-bahan organik lainnya. Dapat juga ditemui pada orang sehat, permukaan kulit, selaput lendir mulut, saluran napas atas, usus dan vagina juga merupakan reservoir. c) Portal of exit (pintu keluar) adalah lokasi tempat agen infeksi (mikroorganisme) meninggalkan reservoir melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih serta transplasenta. d) Metode Transmisi/Cara Penularan adalah metode transport mikroorganisme dari wadah/reservoir ke pejamu yang rentan. Ada beberapa metode penularan yaitu: (1) kontak: langsung dan tidak langsung, (2) droplet, (3) airborne, (4) melalui vehikulum (makanan,
air/minuman, darah) dan (5) melalui vektor (biasanya serangga dan binatang pengerat). e) Portal of entry (pintu masuk) adalah lokasi agen infeksi memasuki pejamu yang rentan dapat melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih dan kelamin atau melalui kulit yang tidak utuh. f) Susceptible host (Pejamu rentan) adalah seseorang dengan kekebalan tubuh menurun sehingga tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi kekebalan adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma, pasca pembedahan dan pengobatan dengan imunosupresan. Faktor lain yang berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, pola hidup, pekerjaan dan herediter.
Gambar 1. Skema rantai penularan penyakit infeksi 3. Jenis dan Faktor Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan atau “Healthcare-Associated Infections” (HAIs) meliputi; a) Jenis HAIs yang paling sering terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit mencakup: 1) Ventilator associated pneumonia (VAP) 2) Infeksi Aliran Darah (IAD) 3) Infeksi Saluran Kemih (ISK) 4) Infeksi Daerah Operasi (IDO) b) Faktor Risiko HAIs meliputi: 1) Umur: neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan. 2) Status imun yang rendah/terganggu (immuno-compromised): penderita dengan penyakit kronik, penderita tumor ganas, pengguna obat-obat imunosupresan. 3) Gangguan/Interupsi barier anatomis: ⁻ Kateter urin: meningkatkan kejadian infeksi saluran kemih (ISK). ⁻ Prosedur operasi: dapat menyebabkan infeksi daerah operasi (IDO) atau “surgical site infection” (SSI).
⁻ Intubasi dan pemakaian ventilator: meningkatkan kejadian “Ventilator Associated Pneumonia” (VAP). ⁻ Kanula vena dan arteri: Plebitis, IAD ⁻ Luka bakar dan trauma. 4) Implantasi benda asing : ⁻ Pemakaian mesh pada operasi hernia. ⁻ Pemakaian implant pada operasi tulang, kontrasepsi, alat pacu jantung. ⁻ “cerebrospinal fluid shunts”. ⁻ “valvular / vascular prostheses”. 5) Perubahan mikroflora normal: pemakaian antibiotika yang tidak bijak dapat menyebabkan pertumbuhan jamur berlebihan dan timbulnya bakteri resisten terhadap berbagai antimikroba. 1. Kebersihan tangan 2. Alat pelindung diri (apd) 3. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien 4. Pengendalian lingkungan 5. Pengelolaan limbah 6. Penatalaksanaan linen 7. Perlindungan kesehatan petugas 8. Penempatan pasien 9. Kebersihan pernapasan/etika batuk dan bersin 10. Praktik menyuntik yang aman
Infeksi di bagian Bedah(kamar operasi) Paling banyak infeksi daerah operasi bersumber dari patogen flora endogenous kulit pasien, membrane mukosa. Bila membrane mukosa atau kulit di insisi,
jaringan tereksposur risiko dengan flora endogenous. Selain itu terdapat sumber exogenous dari infeksi daerah operasi. Sumber exogenous tersebut adalah: 1. Tim bedah 2. Lingkungan ruang operasi 3. Peralatan, instrumen dan alat kesehatan 4. Kolonisasi mikroorganisme 5. Daya tahan tubuh lemah 6. Lama rawat inap pra bedah Kriteria Infeksi Daerah Operasi 1. Infeksi Daerah Operasi Superfisial Infeksi daerah operasi superfisial harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini: a) Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah dan hanya meliputi kulit, subkutan atau jaringan lain diatas fascia. b) Terdapat paling sedikit satu keadaan berikut: 1) Pus keluar dari luka operasi atau drain yang dipasang diatas fascia 2) Biakan positif dari cairan yang keluar dari luka atau jaringan yang diambil secara aseptik 3) Terdapat tanda–tanda peradangan (paling sedikit terdapat satu dari tandatanda infeksi berikut: nyeri, bengkak lokal, kemerahan dan hangat lokal), kecuali jika hasil biakan negatif. 4) Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
2. Infeksi Daerah Operasi Profunda/Deep Incisional Infeksi daerah operasi profunda harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini: a) Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah atau sampai satu tahun pasca bedah (bila ada implant berupa non human derived implant yang dipasang permanan) dan meliputi jaringan lunak yang dalam (misal lapisan fascia dan otot) dari insisi. b) Terdapat paling sedikit satu keadaan berikut: 1) Pus keluar dari luka insisi dalam tetapi bukan berasal dari komponen organ/rongga dari daerah pembedahan. 2) Insisi dalam secara spontan mengalami dehisens atau dengan sengaja dibuka oleh ahli bedah bila pasien mempunyai paling sedikit satu dari tandatanda atau gejala-gejala berikut: demam (> 38ºC) atau nyeri lokal, terkecuali biakan insisi negatif. 3) Ditemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai insisi dalam pada pemeriksaan langsung, waktu pembedahan ulang, atau dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologis. 4) Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
3. Infeksi Daerah Operasi Organ/Rongga Infeksi daerah operasi organ/rongga memiliki kriteria sebagai berikut: a) Infeksi timbul dalam waktu 30 hari setelah prosedur pembedahan, bila tidak dipasang implant atau dalam waktu satu tahun bila dipasang implant dan infeksi tampaknya ada hubungannya dengan prosedur pembedahan. b) Infeksi tidak mengenai bagian tubuh manapun, kecuali insisi kulit, fascia atau lapisan lapisan otot yang dibuka atau dimanipulasi selama prosedur pembedahan. Pasien paling sedikit menunjukkan satu gejala berikut: a) Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka tusuk ke dalam organ/rongga. b) Diisolasi kuman dari biakan yang diambil secara aseptik dari cairan atau jaringan dari dalam organ atau rongga: 1) Abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai organ/rongga yang ditemukan pada pemeriksaan langsung waktu pembedahan ulang atau dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologis. 2) Dokter menyatakan sebagai IDO organ/rongga. Pencegahan infeksi daerah operasi terdiri dari pencegahan infeksi sebelum operasi (pra bedah), pencegahan infeksi selama operasi dan pencegahan infeksi setelah operasi. 1. Pencegahan Infeksi Sebelum Operasi (Pra Bedah) a) Persiapan pasien sebelum operasi 1) Jika ditemukan ada tanda-tanda infeksi, sembuhkan terlebih dahulu infeksi nya sebelum hari operasi elektif, dan jika perlu tunda hari operasi sampai infeksi tersebut sembuh. 2) Jangan mencukur rambut, kecuali bila rambut terdapat pada sekitar daerah operasi dan atau akan menggangu jalannya operasi. 3) Bila diperlukan mencukur rambut, lakukan di kamar bedah beberapa saat sebelum operasi dan sebaiknya menggunakan pencukur listrik (Bila tidak ada pencukur listrik gunakan silet baru). 4) Kendalikan kadar gula darah pada pasien diabetes dan hindari kadar gula darah yang terlalu rendah sebelum operasi. 5) Sarankan pasien untuk berhenti merokok, minimun 30 hari sebelum hari elektif operasi. 6) Mandikan pasien dengan zat antiseptik malam hari sebelum hari operasi. 7) Cuci dan bersihkan lokasi pembedahan dan sekitarnya untuk menghilangkan kontaminasi sebelum mengadakan persiapan kulit dengan anti septik. 8) Gunakan antiseptik kulit yang sesuai untuk persiapan kulit. 9) Oleskan antiseptik pada kulit dengan gerakan melingkar mulai dari bagian tengah menuju ke arah luar. Daerah yang dipersiapkan haruslah cukup luas untuk memperbesar insisi, jika diperlukan membuat insisi baru atau memasang drain bila diperlukan. 10) Masa rawat inap sebelum operasi diusahakan sesingkat mungkin dan cukup waktu untuk persiapan operasi yang memadai.
11) Belum ada rekomendasi mengenai penghentian atau pengurangan steroid sistemik sebelum operasi. 12) Belum ada rekomendasi mengenai makanan tambahan yang berhubungan dengan pencegahan infeksi untuk pra bedah. 13) Belum ada rekomendasi untuk memberikan mupirocin melalui lubang hidung untuk mencegah IDO. 14) Belum ada rekomendasi untuk mengusahakan oksigenisasi pada luka untuk mencegah IDO. b) Antiseptik tangan dan lengan untuk tim bedah 1) Jaga agar kuku selalu pendek dan jangan memakai kuku palsu. 2) Lakukan kebersihan tangan bedah (surgical scrub) dengan antiseptik yang sesuai. Cuci tangan dan lengan sampai ke siku. 3) Setelah cuci tangan, lengan harus tetap mengarah ke atas dan di jauhkan dari tubuh supaya air mengalir dari ujung jari ke siku. Keringkan tangan dengan handuk steril dan kemudian pakailah gaun dan sarung tangan. 4) Bersihkan sela-sela dibawah kuku setiap hari sebelum cuci tangan bedah yang pertama. 5) Jangan memakai perhiasan di tangan atau lengan. 6) Tidak ada rekomendasi mengenai pemakaian cat kuku, namun sebaiknya tidak memakai. c) Tim bedah yang terinfeksi atau terkolonisasi 1) Didiklah dan biasakan anggota tim bedah agar melapor jika mempunyai tanda dan gejala penyakit infeksi dan segera melapor kepada petugas pelayan kesehatan karyawan. 2) Susun satu kebijakan mengenai perawatan pasien bila karyawan mengidap infeksi yang kemungkinan dapat menular. Kebijakan ini mencakup: - Tanggung jawab karyawan untuk menggunakan jasa pelayanan medis karyawan dan melaporkan penyakitnya. - Pelarangan bekerja. - Ijin untuk kembali bekerja setelah sembuh penyakitnya. - Petugas yang berwewenang untuk melakukan pelarangan bekerja. 3) Ambil sampel untuk kultur dan berikan larangan bekerja untuk anggota tim bedah yang memiliki luka pada kulit, hingga infeksi sembuh atau menerima terapi yang memadai. 4) Bagi anggota tim bedah yang terkolonisasi mikroorganisme seperti S. Aureus Bagi anggota tim bedah yang terkolonisasi mikroorganisme seperti S. Aureus atau Streptococcus grup A tidak perlu dilarang bekerja, kecuali bila ada hubungan epidemiologis dengan penyebaran mikroorganisme tersebut di rumah sakit. 2. Pencegahan Infeksi Selama Operasi a) Ventilasi 1) Pertahankan tekanan lebih positif dalam kamar bedah dibandingkan dengan koridor dan ruangan di sekitarnya. 2) Pertahankan minimun 15 kali pergantian udara per jam, dengan minimun 3 di antaranya adalah udara segar. 3) Semua udara harus disaring, baik udara segar maupun udara hasil resirkulasi.
4) Semua udara masuk harus melalui langit-langit dan keluar melalui dekat lantai. 5) Jangan menggunakan fogging dan sinar ultraviolet di kamar bedah untuk mencegah infeksi IDO. 6) Pintu kamar bedah harus selalu tertutup, kecuali bila dibutuhkan untuk lewatnya peralatan, petugas dan pasien. 7) Batasi jumlah orang yang masuk dalam kamar bedah.
b) Membersihkan dan disinfeksi permukaan lingkungan 1) Bila tampak kotoran atau darah atau cairan tubuh lainnya pada permukaan benda atau peralatan, gunakan disinfektan untuk membersihkannya sebelum operasi dimulai. 2) Tidak perlu mengadakan pembersihan khusus atau penutupan kamar bedah setelah selesai operasi kotor. 3) Jangan menggunakan keset berserabut untuk kamar bedah ataupun daerah sekitarnya. 4) Pel dan keringkan lantai kamar bedah dan disinfeksi permukaan lingkungan atau peralatan dalam kamar bedah setelah selesai operasi terakhir setiap harinya dengan disinfektan. 5) Tidak ada rekomendasi mengenai disinfeksi permukaan lingkungan atau peralatan dalam kamar bedah di antara dua operasi bila tidak tampak adanya kotoran.
c) Sterilisasi instrumen kamar bedah 1) Sterilkan semua instrumen bedah sesuai petunjuk. 2) Laksanakan sterilisasi kilat hanya untuk instrumen yang harus segera digunakan seperti instrumen yang jatuh tidak sengaja saat operasi berlangsung. Jangan melaksanakan sterilisasi kilat dengan alasan kepraktisan, untuk menghemat pembelian instrumen baru atau untuk menghemat waktu.
d) Pakaian bedah dan drape 1) Pakai masker bedah dan tutupi mulut dan hidung secara menyeluruh bila memasuki kamar bedah saat operasi akan di mulai atau sedang berjalan, atau instrumen steril sedang dalam keadaan terbuka. Pakai masker bedah selama operasi berlangsung. 2) Pakai tutup kepala untuk menutupi rambut di kepala dan wajah secara menyeluruh bila memasuki kamar bedah (semua rambut yang ada di kepala dan wajah harus tertutup). 3) Jangan menggunakan pembungkus sepatu untuk mencegah IDO. 4) Bagi anggota tim bedah yang telah cuci tangan bedah, pakailah sarung tangan steril. Sarung tangan dipakai setelah memakai gaun steril. 5) Gunakan gaun dan drape yang kedap air. 6) Gantilah gaun bila tampak kotor, terkontaminasi percikan cairan tubuh pasien. 7) Sebaiknya gunakan gaun yang dispossable.
e) Teknik aseptik dan bedah 1) Lakukan tehnik aseptik saat memasukkan peralatan intravaskuler (CVP), kateter anastesi spinal atau epidural, atau bila menuang atau menyiapkan obat-obatan intravena. 2) Siapkan peralatan dan larutan steril sesaat sebelum penggunaan. 3) Perlakukan jaringan dengan lembut, lakukan hemostatis yang efektif, minimalkan jaringan mati atau ruang kosong (dead space) pada lokasi operasi. 4) Biarkan luka operasi terbuka atau tertutup dengan tidak rapat, bila ahli bedah menganggap luka operasi tersebut sangat kotor atau terkontaminasi.
5) Bila diperlukan drainase, gunakan drain penghisap tertutup. Letakkan drain pada insisi yang terpisah dari insisi bedah. Lepas drain sesegera mungkin bila drain sudah tidak dibutuhkan lagi.
3. Pencegahan Infeksi Setelah Operasi Perawatan luka setelah operasi: a) Lindungi luka yang sudah dijahit dengan perban steril selama 24 sampai 48 jam paska bedah. b) Lakukan Kebersihan tangan sesuai ketentuan: sebelum dan sesudah mengganti perban atau bersentuhan dengan luka operasi. c) Bila perban harus diganti gunakan tehnik aseptik. d) Berikan pendidikan pada pasien dan keluarganya mengenai perawatan luka operasi yang benar, gejala IDO dan pentingnya melaporkan gejala tersebut.
Catatan: 1. Belum ada rekomendasi mengenai perlunya menutup luka operasi yang sudah dijahit lebih dari 48 jam ataupun kapan waktu yang tepat untuk mulai diperbolehkan mandi dengan luka tanpa tutup. 2. Beberapa dokter membiarkan luka insisi operasi yang bersih terbuka tanpa kasa, ternyata dari sudut penyembuhan hasilnya baik. 3. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa luka insisi operasi yang bersih dapat pulih dengan baik walaupun tanpa kasa. 4. Belum ada terbukti tertulis yang mengatakan bertambahnya tingkat kemungkinan terjadinya infeksi bila luka dibiarkan terbuka tanpa kasa. 5. Namun demikian masih banyak dokter tetap menutup luka operasi dengan kasa steril sesuai dengan prosedur pembedahan, dengan tujuan : a) Menutupi luka terhadap mikroorganisme yang dari tangan. b) Menyerap cairan yang meleleh keluar agar luka cepat kering. c) Memberikan tekanan pada luka supaya dapat menahan perdarahan perdarahan superficial. d) Melindungi ujung luka dari trauma lainnya. Selain pencegahan infeksi daerah operasi diatas, pencegahan infeksi dapat di lakukan dengan penerapan bundles IDO yaitu :. 1. Pencukuran rambut, dilakukan jika mengganggu jalannya operasi dan dilakukan sesegera mungkin sebelum tindakan operasi. 2. Antibiotika profilaksis, diberikan satu jam sebelum tindakan operasi dan sesuai dengan empirik. 3. Temperatur tubuh, harus dalam kondisi normal. 4. Kadar gula darah, pertahankan kadar gula darah normal.
A.Pengertian Infeksi Nosokomial Nosokomial berasal dari kata Latin nosocomium yang berarti rumah sakit dan bahasa Yunani; “nosos” yang artinya penyakit, dan “komeo” artinya merawat. Infeksi nosokomial (Hospital Acquired Infection / Nosocomial Infection) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit atau ketika penderita itu dirawat di rumah sakit. Infeksi ini baru timbul sekurang - kurangnya dalam waktu 3 x 24 jam sejak mulai dirawat, dan bukan infeksi kelanjutan perawatan sebelumnya. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan selama pengobatan medis, termasuk infeksi yang didapat pada saat bekerja oleh pelayan kesehatan, termasuk juga dalam kategori infeksi nosokomial. Penyakit infeksi yang didapat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu disebut sebagai Infeksi Nosokomial (Hospital Acquired Infection). Saat ini penyebutan diubah menjadi Infeksi Terkait Layanan Kesehatan atau “HAIs” (Healthcare-Associated Infections) dengan pengertian yang lebih luas, yaitu kejadian infeksi tidak hanya berasal dari rumah sakit, tetapi juga dapat dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Tidak terbatas infeksi kepada pasien namun dapat juga kepada petugas kesehatan dan pengunjung yang tertular pada saat berada di dalam lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan.(PMK No.27 Tahun 2017)
B. Etiologi Infeksi Nosokomial 1. Agen Infeksi Semua organisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection ).
Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak
steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal. Infeksi nosokomial dapat menjadi eksogen ataupun endogen. Infeksi eksogen disebabkan oleh organisme yang masuk ke tubuh pasien yang berasaldari lingkungan. Organisme dapat berasal dari paien lain, pemberi pelayanan kesehatan, atau pengunjung. Mereka juga dapat masuk ke tubuh pasien melalui serangga (semut, kecoak, lalat) dari peralatan rumah sakit / komite (toilet, tempat sampah) ke pasien. Objek lainnya, seperti perlengkapan yang digunakan pada terapi pernapasan atau intravena, kateter, peralatan kamar mandi dan sabun, dan sistem penyediaan air, juga dapat menjadi sumber infeksi eksogen. Beberapa resiko infeksi nosokomial dapat di kurangi dengan desinfektan seperti quartenary ammonium . Infeksi endogen disebabkan oleh oportunis flora normal pasien. Opportunistik adalah yang menyebabkan infeksi jika pasien mempunyai resistensi yang rendah terhadap mikroorganisme atau jika flora normal dimatikan oleh antibiotic. Meskipun virus, jamur dan parasit dikenal sebagi sumber infeksi nosokomial, agen bakteri tetap dikenal menjadi penyebab paling umum dalam menyebabkan infeksi nosokomial (Samuel, 2010). Terdapat 90 % infeksi nosokomial disebabkan oleh bakteri, dimana mycobacterial, virus, jamur atau protozoa penyebab umum yang kurang terlibat dalam menyebabkan infeksi nosokomial. Bakteri yang paling umum menyebabkan infeksi nosokomial terdiri dari E.coli, S.aureus, ienterococci, dan P.aeruginosa. 2. Respon dan toleransi tubuh pasien Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam hal ini adalah umur, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat – obatan immunosupresan dan steroid serta intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi. Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis. Keadaan ini akan meningkatkan
toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat oportunistik. Obat-obatan yang bersifat imunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Selain itu, peningkatan infeksi nosokomial juga sesuai dengan umur dimana pada usia diatas 65 tahun mempunyai resiko tiga kali lebih besar terkena infeksi nosokomial dibanding dengan pada usia muda. C.Faktor Resiko Infeksi Nosokomial Penularan infeksi nosokomial sama dengan infeksi pada umumnya, dipengaruhi oleh tiga faktor utama: 1. Sumber penularan mikroorganisme penyebab 2. Host 3. Cara penularan mikroorganisme Di rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya, sumber penularan infeksi adalah penderita dan petugas tempat pelayanan tersebut. Tuan rumah (host) bisa penderita yang sakit parah, orangorang tanpa gejala tetapi dalam masa inkubasi atau dalam window period dari suatu penyakit, atau orang-orang yang karier kronik dari satu mikroba penyebab infeksi. Sumber infeksi lain adalah flora endogen penderita sendiri atau dari benda-benda di lingkungan penderita termasuk obatobatan, dan alat kedokteran yang terkontaminasi. D. Penilaian Infeksi Nosokomial Suatu infeksi dikategorikan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut: 1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut 2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam inkubasi dari infeksi tersebut 3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejakmulai dirawat. 4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya. Ada keadaan khusus dimana infeksi dianggap bukan nosokomial, bila
1. Infeksi yang ada hubungannya dengan penyakit atau kelanjutan dari infeksi yang sudah ada pada saat masuk rumah sakit, kecuali bila ditemukan bakteri atau gejala-gejala yang jelas membuktikan bahwa ini infeksi baru. 2. Pada anak kecil, infeksi yang diketahui atau dibuktikan menular lewat plasenta ( misalnya: toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, atau sifilis) dan terjadi sebelum 48 jam kelahiran. Selain itu, ada dua keadaan yang dianggap bukan infeksi, yaitu: 1. Adanya kolonisasi, yaitu adanya bakteri (pada kulit, mukosa, luka terbuka,atau dalam sekret) tetapi tidak ada tanda-tanda yang membuktikan adanyainfeksi 2. Inflamasi, yaitu keadaan yang terjadi akibat reaksi jaringan terhadap cedera (injury) atau stimulasi oleh zat-zat non-infektious misalnya bahan kimia.
E. Cara Penularan Infeksi Nosokomial Cara penularan infeksi nosokomial bisa berupa infeksi silang (Cross Infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita laindi rumah sakit secara langsung, Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection) yaitu disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan ke jaringan lain, dan Infeksi lingkungan (Environmental infection) yaitu disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingkungan rumah sakit. Mikroorganisme ditransmisikan di rumah sakit oleh beberapa cara dan beberapa mikroorganisme mungkin ditransmisikan oleh lebih dari satu cara. Terdapat lima cara utama penularan termasuk kontak,droplet, udara, peralatan umum dan vector borne. F. Pencegahan Infeksi Nosokomial Pencegahan infeksi nosokomial adalah tanggung jawab semua individu dan pemberi pelayanan kesehatan. Dan setiap orang harus bekerja sama termasuk mengurangi risiko infeksi untuk pasien dan staf. Meskipun, tidak semua infeksi dapat dihindari, tetapi banyak infeksi yang dapat dicegah. Pengawasan infeksi nosokomial merupakan bagian penting dalam pengendalian infeksi dan telah banyak diteapkan di seluruh dunia sebagai langkah awal pencegahan. Namun,untuk mengurangi tingkat infeksi perawatan kesehatan tergantung pada beberapa faktor.
1. Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan desinfektan 2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan 3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi 4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasive 5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya. Terdapat banyak cara pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi nosokomial, antara lain adalah dekontaminasi tangan dimana transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga higiene dari tangan. Penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan apabila melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan yang dirawat di rumah sakit. Lebih dari 50 % injeksi yang dilakukan di negara berkembang tidak aman, contohnya adalah jarum, tabung atau keduanya yang dipakai secara berulang - ulang. Untuk mencegah penyebaran infeksi melalui jarum suntik maka diperlukan penggunaan jarum yang steril dan penggunaan alat suntik yang disposable. Masker digunakan sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara. Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine.Sarung tangan harus selalu diganti untuk setiap pasiennya, baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urine, dan feses. Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya Tuberkulosis dan SARS yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, seperti HIV serta pasien yang mempunyai resistensi rendah seperti leukimia juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara yang menuju keluar. Hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan infeksi nosokomial luka operasi adalah harus melakukan pemeriksaan terhadap pasien operasi sebelum pasien masuk / dirawat di rumah sakit yaitu dengan perbaikan keadaan pasien,misalnya gizi. Sebelum operasi, pasien operasi dilakukan
dengan benar sesuai dengan prosedur, misalnya pasien harus puasa dan disinfeksi daerah operasi. Pada waktu operasi, semua petugas harus mematuhi peraturan kamar operasi yaitu bekerja sesuai SOP (Standard Operating Procedure) yaitu dengan perhatikan waktu / lama operasi. Seterusnya, pasca operasi harus diperhatikan perawatan alat-alat bantu yang terpasang sesudah operasi seperti kateter, infus, dan lain - lain. Prinsip utama prosedur kewaspadaan umum dalam pencegahan infeksi nosokomial adalah menjaga hygiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Kegiatan prinsip tersebut dijabarkan menjadi lima kegiatan pokok yaitu 1. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang, 2. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius lain, 3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan, 4. Pengelolaan limbah 5. Sanitasi ruangan.
G. Infeksi Nosokomial pada bagian Bedah : Surgical Site Infection Infeksi Luka Operasi atau Surgical site infection (SSI) adalah infeksi pada tempat operasi merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang meningkatkan morbiditas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit, bahkan meningkatkan mortalitas penderita. Angka kejadian SSI pada suatu institusi penyedia pelayanan kesehatan mencerminkan kualitas pelayanan institusi tersebut.SSI di Amerika Serikat merupakan penyebab utama angka kesakitan pasien setelah menjalani operasi. SSI merupakan angka kejadian tersering infeksi nosokomial, meliputi 38% dari seluruh infeksi nosokomial. Paling banyak infeksi daerah operasi bersumber dari patogen flora endogenous kulit pasien, membrane mukosa. Bila membrane mukosa atau kulit di insisi, jaringan tereksposur risiko dengan flora endogenous. Selain itu terdapat sumber exogenous dari infeksi daerah operasi. Sumber exogenous tersebut adalah: 1. Tim bedah
2. Lingkungan ruang operasi 3. Peralatan, instrumen dan alat kesehatan 4. Kolonisasi mikroorganisme 5. Daya tahan tubuh lemah 6. Lama rawat inap pra bedah
H. Batasan Surgical Site Infection (SSI) SSI dibedakan atas SSI insisional dan SSI spasial atau organ untuk tujuan klasifikasi surveilens. SSI insisional kemudian dibedakan atas SSI insisional superfisialis, yang hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutis dan SSI insisional dalam yang mencapai jaringan lunak dalam (misalnya fasia dan otot). SSI spatial/organ melibatkan bagian anatomis (organ atau spatium) selain dari insisi yang terbuka atau dimanipulasi selama operasi. Surgical Site Infection (SSI) insisional superfisialis adalah infeksi yang terjadi pada tempat insisi dalam 30 hari pasca operasi yang mengenai kulit dan subkutis tempat operasi dan dijumpai satu diantara kriteria berikut ini:
Adanya drainase purulen dari insisi superfisialis
Organisme yang diisolasi dari kultur cairan atau jaringan dari insisi superfisialis yang diambil secara asepsis.
Setidaknya dijumpai satu dari tanda dan gejala infeksi berikut ini : nyeri, edema lokal, eritema, atau hangat pada perabaan dan insisi superfisialis dibuka dengan sengaja oleh ahli bedah, kecuali hasil kulturnya negatif.
Diagnosa SSI insisional superfisialis ditegakkan oleh dokter bedah atau dokter yang memeriksa.
Hal-hal berikut ini bukan termasuk SSI insisional superfisialis yaitu:
Stitch abses (peradangan minimal dan discarge pada lobang tempat tusukan jarum jahit)
Infeksi pada luka episiotomi atau tempat sirkumsisi neonatus.
Infeksi pada luka bakar.
SSI insisional yang meluas ke dalam lapisan fasia dan otot.
SSI insisional dalam adalah infeksi yang terjadi pada jaringan lunak tempat operasi dan terjadi dalam 30 hari setelah operasi bila tanpa pemasangan implant prostesis, atau terjadi dalam satu tahun bila disertai pemasangan implant, dan infeksi diakibatkan oleh prosedur operasi atau infeksi melibatkan jaringan lunak dalam (misalnya fasia dan otot) tempat insisi dan memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
Drainase purulen dari insisi dalam tetapi bukan dari komponen organ/spatium tempat operasi.
Suatu insisi dalam yang mengalami dehisen secara spontan atau dibuka dengan sengaja oleh ahli bedah ketika pasien mengalami setidaknya satu dari gejala dan tanda berikut ini: demam (>38oC), nyeri lokal, nyeri tekan, kecuali bila hasil kultur hasilnya negatif.
Suatu abses atau infeksi lainnya yang melibatkan insisi dalam ditemukan pada pemeriksaan langsung, selama operasi, atau oleh pemeriksa histopatologi atau radiologi.
Diagnosa SSI insisional dalam ditentukan oleh ahli bedah atau dokter yang memeriksa.
SSI organ / spasial melibatkan bagian anatomis, selain luka insisi, yang dibuka atau dimanipulasi selama oprasi. Ada tempat-tempat spesifik yang digunakan untuk
identifikasi
SSI
organ/spasial
ditempat
tertentu.
Contohnya
appendektomi dengan abses subdiafragmatika, harus dilaporkan sebagai SSI organ intraabdominal site. SSI organ/spasial harus memenuhi satu dari kriteria berikut ini: Infeksi terjadi dalam 30 hari pasca-operasi tanpa insersi implant atau dalam satu tahun bila disertai insersi implant dan infeksi disebabkan oleh tindakan operasi dan infeksi
melibatkan bagian anatomi manapun selain tempat yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi, dan setidaknya ditemukan satu dari hal berikut ini:
Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka tusuk melalui organ/spasium. (tanpa infeksi pada tempat tusukan)
Kuman yang diisolasi dari kultur cairan atau jaringan organ/spasium yang diambil secara aseptik.
Suatu
abses
atau infeksi
yang
melibatkan
organ/spasium
pada
pemeriksaan langsung, selama oprasi, atau melalui pemeriksaan histopatologi atau radiologi.
Diagnosa SSI organ/spasial ditegakkan oleh ahli bedah atau dokter yang memeriksa.
NPS (National Prevalence Survei) menerima lima komponen definisi infeksi luka operasi tersebut yaitu:
Adanya cairan luka berupa pus.
Nyeri, eritema yang menyebar yang merupakan indikasi selulitis.
Demam (lebih dari 38oC untuk NPS), nyeri, edema dan batas eritema yang meluas.
Cairan jernih atau eksudat dari luka,
Disertai selulitis.
I. Faktor Risiko SSI Banyak penelitian mencari hubungan yang paling signifikan antara beberapa faktor yang dianggap merupakan faktor risiko dengan kejadian SSI. Sekilas beberapa faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Pengaruh dokter bedah Pemasangan Drain. Drain besarnya bervariasidan sangat subjektif. Penrose drain diketahui bisa berfungsi sebagai jalan drainase bisa juga sebagai tempat jalan masuknya kuman, karena itu harus diingat tidak boleh memasang drain melalui luka operasi. Pemakaian drain hisap tertutup dapat menurunkan potensi kontaminasi dan infeksi. Lama Operasi. Lama operasi berbanding lurus dengan risiko infeksi luka dan memperberat resiko akibat jenis kontaminasi. Culver dan kawan-kawan menyatakan bahwa; operasi yang berlangsung lebih dari persentile ke 75 dari suatu prosedur, dianggap sebagai operasi lama. Lama operasi dan komorbid mempunyai resiko yang sebanding dengan risiko akibat klasifikasi kontaminasi operasi.Karena kontaminasi meningkat berdasarkan waktu, maka operasi yang singkat dan dengan teknik yang akurat sangat disarankan untuk mencegah permukaan luka yang kering, atau maserasi, yang dapat menyebabkan peningkatan suseptabilitas terhadap infeksi. Tetapi operasi yang cepat dengan teknik yang buruk bukan cara yang baik. Insersi Implant Prostesis. Insersi implant prostetis, meningkatkan risiko infeksi luka operasi. Implan mempunyai efek detrimental pada mekanisme pertahanan pasien. Akibatnya inokulum bakteri yang lebih rendah sudah dapat menimbulkan infeksi, sehingga kemungkinan infeksi menjadi meningkat.
Elektrokauter. Pemakaian alat elektrokauter yang berlebih jelas menyebabkan insidens SSI, namun apabila dipakai dengan cara yang benar untuk koagulasi, atau untuk membelah jaringan yang tension biasanya hanya menimbulkan destruksi jaringan ringan yang tidak mempengaruhi infeksi luka operasi.
Kasus Terkontaminasi. Prosedur abdomen Prosedur abdomen pada operasi kolorektal dipakai antibiotik untuk aerob dan anaerob. Pada appendektomi butuh obat tunggal maupun kombinasi untuk melawan kuman aerob dan anaerob. untuk yang sudah terjadi perforasi, biasanya diteruskan 3 sampai 5 hari. Laparotomi tanpa diagnosis pasti di IGD, biasanya diberikan profilaksis. Tetapi bila diagnosis preoperarif sudah pasti suatu kebocoran usus maka harus diberikan antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob. Kasus Trauma Pada kasus-kasus trauma biasanya antibiotik profilaksis diberikan kurang dari 24 jam, tidak dianjurkan lebih dari 48 jam. Bila laparotomi pada kasus trauma tumpul abdomen harus diberikan profilaksis aeraob dan anaerob kurang dari 24 jam.Pada kasus trauma tembus abdomen profilaksis kombinasi juga dibutuhkan kurang dari 24 jam. Operasi Kotor dan Terinfeksi Pada operasi kotor atau terinfeksi harus diberikan antibiotik terapeutik. Pada operasi kotor akibat trauma, destruksi jaringan lunak dan kontaminasi biasanya meluas dan harus dibiarkan terbuka untuk deleyed primery atau penutupan sekunder. Untuk menentukan apakah luka ditutup atau tidak tergantung temuan pada saat debridement. Antibiotik harus diberikan sebagai komponen resusitasi. Pemberian antibiotik dalam 24 jam biasanya sudah cukup kalau tidak ada infeksi, namun antibiotik terapeutik harus diberikan bila timbul infeksi atau waktu kejadian lebih dari 6 jam. Faktor Pasien Perfusi lokal Perfusi lokal sangat mempengaruhi timbulnya infeksi, terbukti pasien-pasien dengan gangguan vaskuler perifer cenderung mengalami infeksi pada tungkai. Perfusi yang menurun akan menurunkan jumlah kuman yang dibutuhkan
untuk timbulnya infeksi, sebagian karena perfusi yang tidak adekuat menyebabkan penurunan kadar oksigen jaringan. Pada keadaan syok perfusi jaringan juga menurun sehingga mempengaruhi infeksi dimana hanya sedikit kuman yang dibutuhkan untuk menimbulkan infeksisegera setelah syok. Untuk mengatasi efek ini tekanan oksigen arterial harus dirubah menjadi kadar oksigen subkutan yang adekuat, yang kemudian bersama-sama dengan perfusi yang adekuat akan menghasilkan perlindungan lokal, sehingga dibutuhkan jumlah bakteri yang lebih banyak untuk dapat menimbulkan suatu infeksi. Pemberian oksigen tambahan selama masa perioperatif dapat menurunkan angka SSI, mungkin disebabkan oleh meningkatnya tekanan oksigen jaringan. Pemberian hipersaturasi oksigen di ruang pulih melalui masker atau kanul nasal atau melalui ETT sangat berguna. Usia Tua Penuaan
berhubungan
dengan
perubahan
fungsi
dan
struktur
yang
menyebabkan jaringan kulit dan subkutis lebih rentan terhadap infeksi. Perubahan ini tidak dapat dihentikan namun pengaruhnya dapat dikurangi dengan teknik bedah yang baik dan antibiotik profilaksis. Tingkat SSI akan meningkat pada pasien-pasien usia 65 tahun ke atas.
Daftar Pustaka 1. Bereket, dkk. 2012.” Update on Bacterial Nosocomial Infections”, European Review for Medical and Pharmacological Sciences 16: h. 1039-1044. 2. Black, Jacquelyn G. 2012. “Microbiology Principles and Explorations” 8th Edition
3. Ibrahim, Hasbi. 2011. “Analisis Pelaksanaan Kewaspadaan Standar Terhadap Penyakit Infeksi Nosokomial” . Makassar: Alauddin University Press 4. M. Alsen, Remson Sihombing “Infeksi Luka Operasi” Departemen Bedah FK Unsri / RS dr Moh Hoesin Palembang, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya. 5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017