BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Norma hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit yaitu dipelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakatagar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, agar terjadi kejahatan. Isi kaedah hokum itu ditujukan kepada sikap lahir manusia. Kaedah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya apa yang dibatin, apa yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal, asal lahirnya ia tidak melanggar hukum. Apakah seseorang dalam mematuhi peraturan lalu lintas (misalnya : berhenti ketika lampu lalu lintas menyalah merah) sambil menggerutu ia tergesa-gesa ia mau pergi kuliah, tidaklah penting bagi hukum, yang penting ialah bahwa lahirnya apa yang tampak dari luar ia patuh pada peraturan lalu lintas. Kaidah hukum berasal dari luar manusia. Kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita (heteronom), masyarakatlah secara resmi diberi kuasa untuk memberi sanksi / menjatuhkan hukuman
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya: 1. Apa Pengertian norma? 2. Bagaimana norma hukum dalam negara?
C.
Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah diatas Maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengertian norma 2. Untuk mengetahui norma hukum dalam negara
1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Norma Norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tataaturan yang berisi kebolehan, anjuran dan perintah. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya norma diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seorang untuk bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti suatu
norma
adalah
segala
aturan
yang
harus
dipatuhi.
Dalam bukunyab “Perihal Kaidah Hukum”, Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mengemukakan bahwa, kaedah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman unruk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau dari hakikatnya, maka kaedah merupakn perumusan suatu pandangan (oordel) mengenai perikelakuan atu sikap tindak. Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa latin, sedangkan kaedah berasal dari bahasa arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Sedangkan kaidah dalam bahsa arab qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur. Jika pengertian norma atau kaedah sebagai pelembagaan itu dirinci, kaedah atau norma yang dimaksud dapat berisi: 1.
kenbolehan atau yang dalam bahasa arab disebut ibahah, mubah.
2.
Anjuran positif untuk melakukan sesuatu atau dalam bahasa arab disebut sunnah.
3.
Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahsa arab disebut makruh.
4.
Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere)
5.
Perintah
negatif
untuk
2
tidak
melakukan
sesuatu.
B.
Norma Hukum Dalam Negara Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan normanorma moral, adat, agama, dan lainnya, terjadi secaratidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat. Hans Kelsen mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics). Sistem norma yang statik adalah sistem yang melihat ‘isi’ norma. Menurut sistem norma yang statik, suatu norma hukum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus. Sistem norma yang dinamik adalah sitem norma yang dilihat dari berlakunya suatu norma. 1.
Hierarki Norma Hukum (Stufentheorie – Hans Kelsen) Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang hukum (Stufentheorie). Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed. Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami dari oleh muridnya Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relative, oleh karena msa
3
berlakunya suatu hukum itu tergantung norma hukum yang ada diatasnya. Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya. 2.
Hierarki Norma Hukum Negara (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen – Hans Nawiasky) Hans
Nawiasky,
salah
seorang
murid
Hans
Kelsen
mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain: Kelompok I :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara); Kelompok
II
:Staatsgrundgesetz (Aturan
Dasar/Aturan
Pokok
Negara); Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”); Kelompok
IV
:Verordnung
&
Autonome
Satzung (Aturan
pelaksana/Aturan otonom). Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya
dengan teori
Hans
Kelsen dan
menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk
4
menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: a.
Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
b.
Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan
c.
Formell Gesetz : Undang-Undang
d.
Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
3. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum Negara adalah “staatsfundamentalnorm”. Istilah staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama ( 10 November 1995) dengan Pokok kaidah fundamental Negara yang berjudul ‘ sejarah
kemudian joeniarto, dalam bukunya
ketatanegaraan Republik Indonesia ‘ menyebutnya dengan istilah norma pertama,
sedangkan
A.
Hamid
S.
attamimi
menyebutkan
istilah ‘staatsfundamentalnorm’ ini dengan ‘ Norma Fundamental Negara’. Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ atau ‘ditetapkan terlebih dahulu’ oleh masyarakat dalam suatu Negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi itu
5
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan merupakan norma yang tertinggi. Menurut hans Nawisky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undangundang dasar dari suatu Negara (staatsfundamentalnorm),termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsesus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (iene gesammtentsheidung uber art und form einer politischen einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa. Selain
hal
itu
norma
juga ursprungsnorm atau urnorm)
dasar
(grundnorm atau
sebagaimana
yang
disebut
disebutkan
bersifat ‘pre-supposed’ dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma; ini diperlukan untuk tidak menggoyahkan lapislapis bangunan tata hukum yang pada akhirnya menggantungkan atau mendasarkan diri kepadanya. Di
dalam
suatu
Negara
norma
dasar
ini
juga staatsfundamentalnorm. Staatsfundamentalnorm suatu
disebut Negara
merupakan landasan dasar filosofisnya yang mengandung kaidahkaidah dasar bagi pengaturan Negara lebih lanjut. Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori jenjang norma (stufentheorie) dari hans kelsen dan teori jenjang norma hukum (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) dari hans nawiasky. Persamaanya adalah bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis–lapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, norma yang diatasnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di
6
atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ dan ‘axiomatis’. Perbedaanya adalah 1) hans kelsen tidak mengelompokkan normanorma itu, sedangkan hans nawiasky membagi norma-norma itu ke dalam empat kelompok yang berlainan. Perbedaan lainya adalah 2) teori hans kelsen membahas jenjang norma secaraumum (general) dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma ( termasuk norma hukum Negara), sedangkan hans nawiasky membahas teori jenjang norma itu secara lebih khusus, yaitu dihubungkan dengan suatu Negara. Selain perbedaan-perbedaan tersebut, 3)di dalam teorinya hans nawiasky menyebutkan norma dasar Negara itu tidak dengan sebutan staatsgrundnorm melainkan dengan istilah staatsfundamentalnorm. Hans nawiasky berpendapat bahwa istilah staatsgrundnorm tidak tepat apabila dipakai dalam menyebut norma dasar Negara, oleh karena pengertian grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah, atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu Negara norma dasar Negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu pemberontakan, kudeta dan sebagainya. Pendapat nawiasky ini dinyatakan sebagai berikut : “Norma
tertinggi
staatsgrundnorm
dalam
Negara
melainkan
sebaiknya
tidak
disebut
staatsfundamentalnorm,
norma
fundamental Negara. Pertimbangannya adalah karena grundnorm dari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma
tertinggi
suatu
Negara
mungkin
berubah-ubah
pemberontakan, coup d’etat, putsch, Anschluss dan sebagainya” .
7
oleh
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama, dan lainnya, terjadi secaratidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat.
B.
Saran Demikianlah makalah yang kami susun tentang Norma Hukum dalam Negara ini, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita.
8
DAFTAR PUSTAKA
Maria
Farida
Indrati
Soeprapto,
2010. Ilmu
Perundang-
Undangan.Yogyakarta: Kanisius. Jimly Asshiddiqie, 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
9