1
MAKALAH “Corak Hukum Adat Sumatra Utara” (BATAK TOBA)
DOSEN (DIANNE EKA RUSMAWATI, S.H,M.HUM.
MATA KULIAH : HUKUM ADAT
DISUSUN OLEH:
JAYA HASIHOLAN LIMBONG 1752011028 UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM TAHUN AJARAN 2018/2019
1
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1 1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................1 1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN............................................................................................3 2.1 Sistem Kekerabatan Batak Toba....................................................................................3 2.2 Marga pada suku Batak Toba.........................................................................................5 2.3 Perkawinan............................................................................................................5 2.4 Upacara Keagamaan.......................................................................................................6 2.5 Kematian........................................................................................................................7 2.6 Harta Warisan.....................................................................................................8 2.7. Kebudayaan..................................................................................................................9
BAB III PENUTUP................................................................................................11 3.1 KESIMPULAN...................................................................................11 3.2 SARANA............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami Corak hukum adat Sumatra Utara (Batak Toba). Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukanmasukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
1
BAB I (PENDAHULUAN)
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam penerapan hukum adat terdapat beberapa corak yang melekat dalam hukum adat itu sendiri yang dapat dijadikan sebagai sumber pengenal hukum adat di antaranya yaitu: corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana, dpat berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan mufakat. Pada umumnya hukum adat bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya dalam hukum adat kekerabatan adat batak yang menarik garis keturunannya dari laki-laki sejak dahulu hingga sekarang masih tetap berlaku dan dipertahankan. Demikian pula sebaliknya pada hukum kekerabatan masyarakat minangkabau yang menarik garis keturunan dari perempuan dan masih dipertahankan hingga dewasa ini. Bahwa sanya banyak sekali corak dan beragam suku yang berada di indonesia dari segala banyaknya budaya ataupun corak adat yang ada indonesia maka saya sebagai penulis tugas dari Dosen Hukum adat mengambil corak hukum adat Sumatra Utara khususnys Batak di Daerah Toba. Yang sangat banyak sekali tata upacaranya baikdari awal kelahiran sampai kepada kematian semuanya pasti akan ada keterkaitan lagi dengan budaya tata upacara Hukum Adat Sumattra Utara (Batak Toba) yang saya sendiri rasakan maupun yang saya baca sendiri dan yang saya kutip dari tokoh-tokoh agama yang pernah saya jumpai. Bagaimana hukum adat di Sumatra Utara(khususnya Batak toba) yang dari dulu masih sangat kental adatnya seiring perkembangan zaman modern.
2
1.2 Rumusan Masalah a. bagaimana sistem kekerabatan corak hukum adat di masyarakat Batak toba? b .bagaiamana upacara-upacara adat di Sumatra Utara(Batak Toba)? c. masih percayakah masyarakat adat Batak Toba akan sifat nenek moyangnya? d.bagaimana sistem tentang harta warisan corak budaya batak toba? e. Apa itu kebudayaan di masyarakat Sumatra Utara (Batak toba)?
3
BAB II (PEMBAHASAN) 2.1 Sistem Kekerabatan Batak Toba Dalihan Na Tolu adalah filosofi yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu merupakan suatu kerangka yang meliputi hubunganhubungan kerabat darah dan juga hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu, istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga. Somba Marhula-hula Hula-hula artinya saudara laki-laki dari isteri atau pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam adat-istiadat Batak Toba sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hula-hula yang diistilahkan dengan somba marhula-hula. Elek Marboru Boru diartikan saudara perempuan atau saudara perempuan yang diperisterikan oleh pihak keluarga marga lain. Boru menempati posisi paling rendah dan sering disebut sebagai ‘parhobas’ atau pelayan dalam setiap acara adat. Walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti dapat diperlakukan dengan semena-mena. Pihak boru sangat dibutuhkan dalam suatu acara adat karena tanpa pihak boru acara adat tidak lengkap dan oleh karena itu harus diambil hatinya, dibujuk sehingga diistilahkan dengan elek marboru. Manat Mardongan Tubu Dongan tubu artinya saudara laki-laki satu marga. Secara harfiah diartikan lahir dari perut yang sama. Dongan tubu diibaratkan seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, sehingga saking dekatnya kadang kala terjadi pertikaian. Namun, pertikaian tersebut tidak membuat hubungan satu marga dapat dipisahkan. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga sehingga diistilahkan dengan manat mardongan tubu. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan berbeda dengan kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang
4
dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru.
Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis.Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis.Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup.Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka.Satu puak bisa memiliki banyak marga. Batak Toba, dikatakan sebagai marga ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba yaitu Limbong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede. Kelompok kekerabatan Batak diambil dari garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya. Untuk menentukan seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana, mereka menggunakan Torombo.Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam sebuah marga.Orang Batak meyakini, bahwa kekerabatan menggunakan Torombo ini dapat diketahui asal-usulnya yang berujung pada Si Raja Batak. Bagi Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan Debata Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di daerah bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat tinggal Si Raja Batak dan keturunannya.Daerah ini adalah tanah Batak, dimana tempat seluruh orang Batak berasal.
2.2 Marga pada suku Batak Toba Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia berasal. Orang Batak selalu memiliki nama Marga/keluarga.
5
Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus. Dikatakan sebagai marga pada suku bangsa BatakToba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman di daerah Toba. Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4 (empat) marga, yaitu:Simangungsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba. 2.3 Perkawinan
Bagi bangasa Batak, khusunya Batak Toba, sesama satu marga dilarang saling mengawini. Jika melanggar ketetapan ini, maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi adat. Hal ini ditujukan untuk menghormati marga seseorang.Juga supaya keturunan marga tersebut dapat berkembang.Ini menunjukan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan marga memiliki kedudukan yang tinggi. Bagi bangsa Batak, perkawinan mengandung nilai sakral.Oleh karenya kesakralan tersebut harus disertai dengan sebuah adat perkawinan.Dikatakan sakral karena bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan.Ia “berkorban” memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuan kepada orang lain pihak paranak, pihak penganten pria. Pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor sapi atau kerbau. Hewan tersebut akan menjadi santapan atau makanan adat dalam ulaon unjuk (adat perkawinan Batak). Terdapat beberapa rangkaian upacara adat perkawinan bangsa Batak. Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata atau lamara. Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih lanjut mengenai rencana perkawinan serta pestanya.Ketiga adalah Patua Hata, yakni para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang amat serius. Berdasarkan jenisnya atau tata cara yang digunakan, perkawinan adat Batak Toba dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu : Unjuk Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak
6
Dalihan Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara perkawinan biasa (unjuk)Mangadati Perkawinan yang dilaksanakan tidak melalui adat Batak yaitu Dalihan Na Tolu dimana pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari sehingga dihari yang telah ditentukan dilakukan acara adat mangadati sebelum pasangan tersebut mempunyai anak.Pasahat sulang-sulang ni pahompu Perkawinan yang dilakukan di luar adat Batak yaitu Dalihan Na Tolu dimana pasangan yang bersangkutan mangalua atau kawin lari sehingga di hari yang ditelah ditentukan dilaksanakan acara adat pasahat sulang-sulang pahompu setelah pasangan tersebut telah mempunyai anak. Keempat adalah rangkaian yang dinamakan Marhata Sinamot, yakni pihak pria mendatangi pihak wanita untuk membicarakan uang jujur atau dalam bahasa Batak adalah tuhor.Selanjutnya adalah Pudun Sauta atau makan bersama kedua belah pihak.Makanan yang dibawa berasal dari pihak pria. Lalu dilanjutkan dengan rangkaian keenam yakni Martumpol, yaitu penandatanganan surat perstejuan kedua belah pihak. Kemudian rangkaian ketujuah adalah Martonggo Raja, yaitu seremoni atau pernikahan yang akan digelar. Prosesi ini memberitahukan kepada masyarakat mengenai pernikahan yang akan digelar. Rangkaian kedelapan adalah Manjalo Pasu-pasu Parbagosan, yaitu pemberkatan kedua pengantin yang dilakukan oleh pihak gereja bila agama mereka adalah Kristen Protestan.Prosesi ini merupakan hal yang terpenting dan tak boleh dilewatkan karena orang Batak adalah penganut Kristen yang taat.Rangkaian terakhir adalah Pesta Unjuk.Prosesi ini merupakan rangkaian terakhir dari keseluruhan rangkaian pernikahan.Semua keluarga berpesata dan membagikan jambar atau daging kepada pihak keluarga. Rangkaian tersebut memang nampak ribet, rumit dan merepotkan.Tetapi itu merupakan suatu kebudayaan yang dimiliki salah satu suku bangsa Indonesia 2.4 Upacara Keagamaan Margondang religi,yaitu upacara yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari suatu kepercayaan tau keyakinan yang dianut dalam hubungan manusia dengan tuhan-nya atau yang disembahnya (hubungan vertikal), misalnya : gondang saem (upacara untuk meminta rejeki), gondang mamele, (upacara pemberian sesajen kepada roh), gordang papurpur sapata (upacara pembersihan tubuh/ buang sial) dan sebagainya. Walaupun upacara margondang masa purba dibagi ke dalam dua bagian, namun hubungan dengan adat dan religi dalam suatu upacara selalu kelihatan dengan jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari tata cara yang dilakukan pada setiap upacara adat yang selalu menyertakan unsur religi dan juga sebaiknya pada
7
setiap upacara religi yang selalu menyertakan unsur adat. Unsur religi yang terdapat dalam upacara adat dapat dilihat dari beberapa aspek yang mendukung upacara tersebut, misalnya : penyertaan gondang, dimana dalam setiap pelaksanaan gondang selalu diawali dengan membuat tua ni gondang ( memainkan inti dari gondang), yaitu semacam upacara semacam meminta izin kepada mulajadi nabolon dan juga kepada dewa-dewa yang dianggap sebagai pemilik gondang tersebut. Sedangkan unsur adat yang terdapat dalam upacara religi dapat dilihat dari unsur dalihan na tolu yang selalu disertakan dalam pada setiap upacara. Menurut Manik, bahwa pada mulanya agama dan adat etnik Batak Toba mempunyai hubungan yang erat, sehingga tiap upacara adat sedikit banyaknya bersifat keagamaan dan tiap upacara agama sedikit banyaknya diatur oleh adat (1977: 69). Walaupun hubungan dari kedua adat dan religi selalu kelihatan jelas dalam pelaksanaan suatu upacara, perbedaaan dari kedua upacara tersebut dapat dilihat dari tujuan utama suatu upacara dilaksanakan. Apabila suatu upacara dilaksanakan untuk hubungan manusia yang disembahnya, maka upacara tersebut di klasifikasikan kedalam upacara religi. Apabila suatu upacara dilakukan untuk hubungan manusia dengan manusia , maka upacara tersebut dapat di klasifikasikan ke dalam upacara Adat
2.5 Kematian Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralangalangan / mate punu),
8
2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anakanaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
2.6 Harta Warisan Dalam pembagian warisan, yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki karena Batak berdasarkan kekerabatan patrilineal. Sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan.Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Jika tidak memiliki anak laki-laki, maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya.Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tua.Alasannya karena saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut, harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.Melihat sistem pembagian hara warisan pada adat Batak, masih terkesan Kuno.Peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan tegas.Hal itu ditunjukkan dalam pewarisan anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Adapaun pada Batak yang memiliki kepercaan Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan.Ini terjadi karena berkaitan dengan sistem kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan.Bukan berdasarkan perhitungan matematis dan
9
proporsional.Biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak-anak mereka dalam pembagian harta warisan.
2.7 KEBUDAYAAN Sumatera Utara yang kaya dengan budaya adat istiadat dan keindahan alamnya. Sumatera Utara kaya dengan berbagai adat budaya atau etnis yang beragam antara lain : Etnis Melayu, Batak Toba, Batak Karo, Batak Angkola, Batak Pakpak Dairi, Batak Simalungun, Nias, Etnis Sibolga Pesisir, dan etnis pendatang. Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah, jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah masing-masing. Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di Sumatera Utara. Walaupun begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat berbaur satu sama lain dengan memupuk kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya sangat memiliki nilai positif terhadap daerah sumatera utara. Kekayaan budaya yang dimiliki berbagai etnis yaitu : Batak Toba dengan Tarian Tortor, Wisata danau toba, wisata megalitik (kubur batu), legenda (cerita rakyat), adat budaya yang bernilai tinggi dan kuliner. Batak Karo yang terkenal dengan daerah Berastagi dengan alam yang sejuk dan indah, penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah menembus pasar global dan juga memiliki adat budaya yang masih tradisional. Etnis Melayu yang terkenal dengan berbagai peninggalan sejarah seperti Istana Maimoon, tari derah dan peninggalan rumah melayu juga masjid yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Batak Angkola yang terkenal dengan kultur budaya yang beragam, mulai dari tari daerah adat istiadat dan merupakan penghasil salak (salak sidempuan) yang juga sudah dapat menembus pasar global.Batak Pakpak Dairi yang dikenal dengan peninggalan sejarah megalitik berupa mejan dan patung ulubalang dan tentunya juga memiliki adat istiadat dan tari daerah juga alat musik yang khusus. Dari semua etnis tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa Sumatera Utara memiliki kekayaan budaya dan etnis juga sejarah yang patut untuk diperhitungkan dan dijaga kelestariannya demi mengangkat martabat bangsa Indonesia di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
10
“Banyak sekali orang yang berpendapat bahwa adat istiadat dari orang Sumatera Utara kasar-kasar”. Menurut saya banyak orang yang menganggap orang sumatera kasar-kasar dikarnakan dari tutur bahasa yang agak sedikit keras. Sebenernya bahasa tersebut sudah menjadi tradisi dari orang sumatera,karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan atau tradisi yg telah diturunkan dari generasi ke generasi.dan tidak akan bisa dirubah,karena kebiasaan itu sudah lahir dari jaman nenek moyang.
11
BAB III (PENUTUP)
3.1 Kesimpulan Hukum Adat atau corak tredisi Kebudayaan sumatra Utara Khususnya Batak Toba merupakan salah satu adat tertua di Pulau Sumatra Utara,banyak sekali marga yang berarti keturunan yang telah dilahirkan dan masih samgat kentalnya tradisi upaca-upaca memohon ampun kepada nenek moyang pada suku batak Toba,bendera yang di bakai suku batak yang selalu di tancapkan di tempat-tempat yang suci biasanya berwarna, merahputihHitam. Dan bendera itu memiliki nilai religius dan maknanya. Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll. Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat, yang sebagian besar tidak tertulis, tetapi senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai sanksi atau akibat tertentu. Dan ternyata Banyak sekali upacara-uoacara yang dilakukan masyarakat adat Batak Toba dari Leluhur,Awal,kandungan,kelahiran Sampai dengan Kematian.biasa upacara pesta paling Sebentar satu hari Penuh.
12
3.2 Saran Saya berharap Diterbitkannya Buku-buku Hukumadat daerah masing-masing sehingga kami yang di era modern juga bisa membaca dan mengetahui apa adat yang sebenarnya di daerah kami masing-masing dan kepada pembaca khususnya mahasiswa Fakultas Hukum bahwa kita harus melihat Hukum Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum itu sendiri dari aspek psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang ada sekarang ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa Hukum untuk langsung turun ke lapangan Hukum Adat yang ada dalam masyarakat agar pendetail data dan esensi Hukum Adat sendiri yang lebih nyata.
13
DAFTAR PUSTAKA
Dari Bapa saya Pengalaman saya. Bushar Muhammad “Asas-Asas Hukum Adat” jakarta Pusat 1978 Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H “Hukum Waris Adat” Bandung 2003 Saleh Hadiwinata,S.H “Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria.